“Selamat ulang tahun, Asa!”
“Makasih, Papa. Makasih, Mama.”
Catra dan Padma sama-sama melambaikan tangannya dengan ceria pada Asa.
Hari ini adalah hari ulang tahun Asa. Namun karena kondisi kesehatan Padma yang menurun sejak dua hari yang lalu, mereka tak bisa pulang ke Jakarta untuk menghadiri acara ulang tahun keponakan mereka tersebut.
“Semoga Asa jadi anak yang baik dan semakin pintar ya,” ucap Catra dengan tulus. “Semoga Asa bisa tumbuh jadi anak yang kuat dan terus semangat. Saling menjaga satu sama lain sama Papa Badai ya.”
“Amiiin,” jawab Asa dengan serius. Anak itu tak terlih
“Aduh, bumil satu ini glowing banget!”Padma terkekeh mendengar seruan Mili yang siang ini tiba di rumahnya. Minggu ini terdapat dua tanggal merah, lalu Arsa dan Mili memutuskan untuk cuti dan datang ke Bali sekalian liburan.“Thank you. Kamu juga tambah glowing.”“Tetep aja kalah sama kamu.” Mili mengibaskan tangannya di udara. Ia mencium aroma masakan yang menggugah selera dan langsung beranjak ke dapur. “Kamu lagi masak?”“Iya, makan siang di sini aja ya?”“Boleh.”Padma dan Mili meninggalkan ART Padma yang sedang memasak dan Padma menggiring sahabat
Padma keluar dari kamar mandi dan melihat Catra yang tengah memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper. Ia menggeleng pelan, lalu memeluk suaminya dari belakang.“Sayang, kan aku bilang aku aja yang beresin baju kamu.”“No, no.” Catra menggeleng. “Kamu duduk aja di ranjang. Aku ngidam beresin baju sendiri nih, Yang.”Padma tergelak, begitu pun Catra yang sadar betapa absurdnya hal tersebut. Ia menoleh ke belakang dan mencium bibir Padma sekilas. Aroma mint dari pasta gigi membuat Catra kembali mengulangi ciumannya lagi pada sang istri.“Beneran,” kata Catra lagi. “Dikit lagi selesai kok. Atau….&rdqu
Badai Tanaka: Di mana? Aku udah sampai.“Baba?”“Iya?”“Papa!”Badai tertawa mendengar bagaimana Asa mengulangi panggilan pertamanya untuk Badai dulu. “Asa udah laper belum?”“Beyum.”“Belum,” ulang Badai. Kadang-kadang Asa memang masih suka mengatakan ‘mam’ untuk ‘makan’, ‘beyum’untuk ‘belum’, dan ‘Om Kayu’ untuk ‘Om Kalu’.
“Kamu abis ketemu siapa semalam?”“Badai sama Asa.”“Tuhkaaan, ngumpet-ngumpet temu kangen sama Asa nggak bilang-bilang ke aku.”Catra tergelak dan keluar dari kamarnya. Ia mengambil kopi yang tadi sudah ia seduh dan menyesapnya dengan pelan. “Maaf, Sayang. Kan aku sekalian ngasih oleh-oleh buat Asa.”Catra tahu, di belakangnya, banyak orang yang berpikir kalau ia lelaki bodoh yang mau-mau saja bersikap baik pada mantan tunangan istrinya.Tapi yang semua orang tak tahu adalah kalau Padma memang benar-benar mencintainya dan bahkan tak berpikir dua kali untuk mengikutinya ke mana saja ia pergi, sekalipun tak ada Badai di sana.Belum lagi Badai Tanaka yang dulunya merupakan seorang lelaki yan
Dulu Padma tak percaya pada sebuah konsep hubungan, di mana seseorang benar-benar bisa mati meskipun raganya masih hidup, saat pasangan mereka pergi begitu saja.Tapi setelah menjalani perjalanan Bali-Jakarta yang seperti hanya kilatan saja, Padma mulai memercayainya.Rumahnya kini dipenuhi para pelayat. Saat ia tiba di Jakarta malam itu juga, rumahnya sudah ramai dan jenazah Catra sudah terbaring di ruang tengah.Tidak ada sofa di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Tidak ada meja yang biasanya berantakan dengan alat gambar Catra. Tidak ada televisi yang menyala dengan tayangan series di Netflix favorit Padma.Semua berjalan begitu saja. Sejak ia datang dan m
Badai menimbang-nimbang rokok di tangannya, lalu menaruhnya begitu saja di meja. Ia menghela napasnya dan menatap ke langit malam yang kian gelap.Tadinya ia ingin pulang, tapi Asa sudah tertidur di kamar paviliun belakang bersama mantan ibu mertuanya dan Badai tak tega untuk membangunkannya. Asa cenderung akan sulit tidur lagi nantinya kalau ia paksa bangunkan sekarang supaya mereka bisa pulang.Dibawa pulang dengan kondisi tertidur pun bukan pilihan yang tepat.Karena tak bisa tertidur, Badai pun memilih duduk di teras saja. Sebenarnya ia ditawari tidur di kamar tamu yang ada, tapi Badai menolaknya dengan sopan.Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia mengirim pesan pada Ar
“Kalian duluan aja.”Shua dan Mili saling berpandangan, kemudian tahu kalau mereka tak bisa membantah permintaan Padma. Jadi yang mereka lakukan adalah mengangguk dan menjauh dari makam Catra yang masih basah.Pagi itu Catra dimakamkan dengan diiringi orang-orang tersayangnya. Padma tak menangis sama sekali, meskipun ia melamun sepanjang hari. Perempuan itu satu-satunya yang tak mengenakan pakaian warna hitam dan tak ada yang berani menegur atau memintanya berganti pakaian.Catra tak terlalu suka warna hitam, lelaki itu cenderung menyukai warna-warna hangat seperti cokelat. Jadilah pagi itu Padma memilih memakai baju terbaiknya yang masih sopan dipakai ke pemakaman dengan palet warna kesukaan Catra.Ia ingin mengantar Catra terakhir kalinya dengan serapi mungkin.“Rasanya masih nggak percaya kalau kamu bakal pergi duluan, Yang.” Padma mengusap pelan nisan bertuliskan nama suaminya. “Tapi aku jadi inget obrolan kita waktu di awal-awal sampai di Bali itu.”Saat itu baru hari kedua merek
“Kamu nggak capek?”“Nggak.”Shua menggeleng prihatin melihat kondisi Badai yang sangat kacau. Hari ini adalah hari keempat setelah Anastasya meninggal, tapi ia baru sempat mengunjungi Badai karena anaknya sakit sejak ia pulang dari rumah Padma.“Makan dulu, Dai.” Shua kembali menyodorkan piring yang sudah diisi dengan nasi, sayur, dan lauk yang memadai. “Gimana kamu mau punya tenaga untuk ngerawat Asa setelah ini kalau kamu terus menerus menyiksa diri sendiri?”Badai menatap Shua dan piring tersebut secara bergantian, lalu mengambilnya dengan enggan.Bukan kebiasaan Badai makan di ruang tengah, tapi ia sudah terlalu malas beranjak ke ruang makan.Shua menghela napas lega saat Badai akhirnya mau makan. Dari Reval, adiknya yang sejak kematian Anastasya ikut menginap di rumah Badai bersama ibu dan adiknya, Shua tahu kalau Asa masih tak mau bicara sama sekali dan Badai jadi jarang makan karena selalu menemani Asa.Dari keluarga Tanaka yang lain, memang keluarga Shua-lah yang paling dekat