“Kalau nanti udah sampai di sana, kabarin Papa ya. Terus minggu depan Papa sama Mama mau ke sana, kamu nggak usah capek-capek beresin rumah karena Papa nggak mau kamu kecapekan. Oke?”
Padma tertawa mendengar celotehan ayahnya yang cukup panjang. Ia mengangguk berkali-kali agar ayahnya yakin kalau ia akan mematuhinya.
Begitulah Refaldy Hardjaja, selalu ingin melindunginya dan memanjakannya meskipun kini Padma sudah menjadi istri orang. Naluri seorang ayah yang tak bisa dihapuskan begitu saja meskipun sang anak sudah menikah.
“Iya, Papa. Papa tenang aja. Catra tuh terlalu manjain aku.” Padma melepas pelukannya pada sang ayah. “Cuci piring aja sering dilarang sama dia.”
“Beneran Padma yang nitip pesan begitu?”“Ck, beneranlah! Kurasa dia nggak sanggup kalau harus ngomong selamat tinggal sendiri ke kamu.”Percakapan itu sudah terjadi hampir sebulan yang lalu, sedetik setelah Badai menerima pesan dari Arsa yang mengantar kepergian Catra dan Padma ke bandara.Badai sudah lupa rasanya dipanggil ‘B’ oleh Padma. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mendengarnya. Tapi sebulan yang lalu, melalui Arsa, Padma mengucapkan selamat tinggal dengan memanggilnya ‘B’ seperti dulu.“Papa!”
“Selamat ulang tahun, Asa!”“Makasih, Papa. Makasih, Mama.”Catra dan Padma sama-sama melambaikan tangannya dengan ceria pada Asa.Hari ini adalah hari ulang tahun Asa. Namun karena kondisi kesehatan Padma yang menurun sejak dua hari yang lalu, mereka tak bisa pulang ke Jakarta untuk menghadiri acara ulang tahun keponakan mereka tersebut.“Semoga Asa jadi anak yang baik dan semakin pintar ya,” ucap Catra dengan tulus. “Semoga Asa bisa tumbuh jadi anak yang kuat dan terus semangat. Saling menjaga satu sama lain sama Papa Badai ya.”“Amiiin,” jawab Asa dengan serius. Anak itu tak terlih
“Aduh, bumil satu ini glowing banget!”Padma terkekeh mendengar seruan Mili yang siang ini tiba di rumahnya. Minggu ini terdapat dua tanggal merah, lalu Arsa dan Mili memutuskan untuk cuti dan datang ke Bali sekalian liburan.“Thank you. Kamu juga tambah glowing.”“Tetep aja kalah sama kamu.” Mili mengibaskan tangannya di udara. Ia mencium aroma masakan yang menggugah selera dan langsung beranjak ke dapur. “Kamu lagi masak?”“Iya, makan siang di sini aja ya?”“Boleh.”Padma dan Mili meninggalkan ART Padma yang sedang memasak dan Padma menggiring sahabat
Padma keluar dari kamar mandi dan melihat Catra yang tengah memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper. Ia menggeleng pelan, lalu memeluk suaminya dari belakang.“Sayang, kan aku bilang aku aja yang beresin baju kamu.”“No, no.” Catra menggeleng. “Kamu duduk aja di ranjang. Aku ngidam beresin baju sendiri nih, Yang.”Padma tergelak, begitu pun Catra yang sadar betapa absurdnya hal tersebut. Ia menoleh ke belakang dan mencium bibir Padma sekilas. Aroma mint dari pasta gigi membuat Catra kembali mengulangi ciumannya lagi pada sang istri.“Beneran,” kata Catra lagi. “Dikit lagi selesai kok. Atau….&rdqu
Badai Tanaka: Di mana? Aku udah sampai.“Baba?”“Iya?”“Papa!”Badai tertawa mendengar bagaimana Asa mengulangi panggilan pertamanya untuk Badai dulu. “Asa udah laper belum?”“Beyum.”“Belum,” ulang Badai. Kadang-kadang Asa memang masih suka mengatakan ‘mam’ untuk ‘makan’, ‘beyum’untuk ‘belum’, dan ‘Om Kayu’ untuk ‘Om Kalu’.
“Kamu abis ketemu siapa semalam?”“Badai sama Asa.”“Tuhkaaan, ngumpet-ngumpet temu kangen sama Asa nggak bilang-bilang ke aku.”Catra tergelak dan keluar dari kamarnya. Ia mengambil kopi yang tadi sudah ia seduh dan menyesapnya dengan pelan. “Maaf, Sayang. Kan aku sekalian ngasih oleh-oleh buat Asa.”Catra tahu, di belakangnya, banyak orang yang berpikir kalau ia lelaki bodoh yang mau-mau saja bersikap baik pada mantan tunangan istrinya.Tapi yang semua orang tak tahu adalah kalau Padma memang benar-benar mencintainya dan bahkan tak berpikir dua kali untuk mengikutinya ke mana saja ia pergi, sekalipun tak ada Badai di sana.Belum lagi Badai Tanaka yang dulunya merupakan seorang lelaki yan
Dulu Padma tak percaya pada sebuah konsep hubungan, di mana seseorang benar-benar bisa mati meskipun raganya masih hidup, saat pasangan mereka pergi begitu saja.Tapi setelah menjalani perjalanan Bali-Jakarta yang seperti hanya kilatan saja, Padma mulai memercayainya.Rumahnya kini dipenuhi para pelayat. Saat ia tiba di Jakarta malam itu juga, rumahnya sudah ramai dan jenazah Catra sudah terbaring di ruang tengah.Tidak ada sofa di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Tidak ada meja yang biasanya berantakan dengan alat gambar Catra. Tidak ada televisi yang menyala dengan tayangan series di Netflix favorit Padma.Semua berjalan begitu saja. Sejak ia datang dan m
Badai menimbang-nimbang rokok di tangannya, lalu menaruhnya begitu saja di meja. Ia menghela napasnya dan menatap ke langit malam yang kian gelap.Tadinya ia ingin pulang, tapi Asa sudah tertidur di kamar paviliun belakang bersama mantan ibu mertuanya dan Badai tak tega untuk membangunkannya. Asa cenderung akan sulit tidur lagi nantinya kalau ia paksa bangunkan sekarang supaya mereka bisa pulang.Dibawa pulang dengan kondisi tertidur pun bukan pilihan yang tepat.Karena tak bisa tertidur, Badai pun memilih duduk di teras saja. Sebenarnya ia ditawari tidur di kamar tamu yang ada, tapi Badai menolaknya dengan sopan.Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia mengirim pesan pada Ar