Valerie tiba-tiba teringat akan dirinya yang dulu hidup sendiri di rumah ini. Semua berawal karena ayahnya mendapatkan kerja di Inggris dan akan stay di sana untuk jangka waktu yang amat sangat lama, Mamanya ikut dengan Ayah. Mereka menawarkan Val untuk ikut, namun Val tidak mau. Ia ingin kuliah dan bekerja di Indonesia, jadilah sejak itu Val hidup sendiri di Indonesia.
Valerie tersenyum, mengingat semua perjuangannya di awal ia tinggal sendiri. Ia memang memiliki uang lebih jika ia ingin makan beli dan mencuci di laundry, namun ia tidak ingin menjadi anak yang selalu mengandalkan orang lain.
Valerie muda mulai belajar masak, belajar mencuci baju dengan mesin, dengan bantuan internet, ia mempelajari semuanya sendiri. Kecuali memasang gas. Sampai detik ini, Valerie tidak bisa memasang gas dan selalu meminta bantuan satpam komplek rumahnya. Oleh karena itu, Valerie lebih suka mengkonsumsi makanan yang tidak memerlukan dimasak, misalnya roti atau buah, atau sayuran mentah.
Orangtua nya bahkan pernah menawarkannya untuk merekrut Asisten Rumah Tangga, namun Valerie dengan sopan menolaknya. Ia benar-benar meyakinkan orangtua nya bahwa ia bisa mandiri dan bisa melakukan semuanya sendiri. Dan terbukti sampai sekarang. Valerie tumbuh menjadi perempuan mandiri yang tidak pernah bergantung dengan orang lain.
Valerie menggelengkan kepalanya, sekarang bukan saatnya nostalgia. Ia harus bekerja dan bekerja demi hidupnya. “ Okeh, let’s go,” ucap Valerie sambil mulai mengendarai kendaraannya.
Tidak sampai 20 menit, Valerie sudah sampai di tempat yang dijanjikan untuk meeting. Kali ini mereka akan meeting di sebuah coffee shop. Calon klien kali ini bisa dibilang versi laki-laki dari Valerie. Umur mereka sama, dan sudah menduduki jabatan yang tinggi di perusahaan.
Sebelum turun, Valerie mengganti sendal jepit yang ia pakai dengan sepatu high heelsnya. Ia mengambil laptop, hp dan tas kecil lalu keluar dari mobil. Valerie mengecek jam tangannya, belum waktu yang dijanjikan, aman.
“Selamat pagi Bu, untuk berapa orang?” tanya pelayan yang menyambutnya di pintu. Val menyebarkan pandangan ke dalam coffee shop tersebut. Masih lengang, bahkan masih ada beberapa pelayan yang sedang menyapu dan mengepel lantai, sepertinya mereka memang baru buka.
“Oh iya saya udah booking kok atas nama PT Global Maju,” ujar Valerie ramah.
“Sebentar Bu saya cek. Oh iya betul sekali, bahkan sudah ada 1 orang yang datang, mari saya antar bu.”
Valerie dan Si Pelayan berjalan ke arah meja yang dimaksud. Pelayan itu berhenti di sebuah meja, benar kata Si Pelayan bahwa sudah ada 1 orang yang datang, yaitu Pak Risko. Dia terlihat sibuk dengan sesuatu yang ada di laptopnya sampai tidak menyadari ada Valerie yang datang.
“Ibu, ini meja yang dipesan. Saya tinggal ya Bu. Oh iya, apa ada yang mau di pesan sekalian?” tanya Si Pelayan.
“Ada yang gak kopi gak Mas?” tanya Valerie.
“Kami ada hot tea atau ice tea, ada hot dan ice choholate, ada lyce tea ada jasmine tea,” jelas Si Pelayan.
“Lyche tea sounds good,” jawab Val sambil tersenyum.
“Baik bu,” Si Pelayan meninggalkan Val yang sudah duduk di kursi paling ujung. Meja dan kursi sengaja dipesan dengan format “Boardroom” yaitu peserta meeting berhadap-hadapan, dan pemimpin meeting ada di ujung menghadap ke semua peserta meeting. Valerie duduk di bagian pemimpin meeting. Bukan hanya karna ia yang akan memimpin meeting, tapi nanti ia yang akan menjelaskan mengenai produk yang mereka jual ke klien, hingga klien bisa mendengar semua penjelasan Val dengan jelas.
“Gak suka ngopi?” Risko tiba-tiba berbicara, sedikit membuat Val terkejut karna ia tidak mengira kalo Risko dari tadi memperhatikan gerak-geriknya.
“Oh hehe duh kaget saya tiba-tiba kamu ngomong. Bukan ga suka ngopi, tapi tadi pagi saya udah ngopi, baru ajaa selesai tadi di mobil pas kesini,” ujar Val sambil tersenyum.
“Btw, saya Risko. Kita udah kenal ya di email dan telp tapi baru aja ketemu hari ini,” ujar Risko.
“Saya Valerie, kadang dipanggil Val. Iya kita baru kenal di telp sama email aja. Kamu baru sendiri? Staff kamu mana?” tanya Valerie.
Valerie dan Risko memang sudah kenal via telp dan email, pada awalnya Risko memanggil Val dengan sebutan ibu, begitupun Val, tapi terasa kaku hingga mereka sepakat untuk biasa aja memakai saya dan kamu juga memanggil nama.
Risko terpana melihat wanita yang ada di depannya. Cantik, tapi tegas. Independent, dan tidak bergantung pada orang lain. Wajahnya yang cantik, cara bicaranya yang santai namun tegas, cara Valerie menyelesaikan masalah, membuat Risko menyukai Valerie sejak pertama mereka berkomunikasi via email dan telpon.
Risko melihat jam tangannya.
“Belum waktunya meeting memang, jadi belum ada staff saya yang datang. Kamu sendiri?”
“Sama, saya juga. Saya bawa mobil tadi dari rumah, jadi ga ke kantor.”
Baru saja Valerie berhenti berbicara, Intan dan beberapa staff Risko sudah datang. Ternyata, semua staff Risko berumur sama dengan Val dan Intan. Ini sedikit memudahkan Valerie untuk mempresentasikan produknya. Karna anak muda sepertinya tidak suka basa basi, mereka bisa langsung mulai meeting dan masuk ke intinya tanpa perlu banyak intermezo yang tidak penting.
Meeting langsung dimulai. Seperti biasa, dengan semua bahan meeting yang disiapkan oleh Intan dengan sangat matang, di tambah presentasi oleh Valerie dengan sangat baik, perusahaan Risko dengan senang hati menyutujui kerjasama yang akan mereka jalin.
“Baik, jadi kasih kami waktu 2 hari, dan SPK akan sudah mendarat di meja kamu ya,” ujar Valerie mengakhiri meeting kali ini.
“Oke siap. Saya tunggu.”
Val dan Risko bersalaman.
“Semoga kerjasama kita bisa berlangsung lama dan saling menguntungkan ya,” ujar Valerie.
“My pleasure,” balas Risko sambil menjabat tangan Valerie dengan yakin.
Valerie membereskan laptopnya dan bersiap-siap untuk berangkat ke kantor lagi.
“Intan, abis ini saya masih ada meeting gak?” tanya Valerie.
“Gak ada bu, saya sengaja kosongin meeting hari ini karna hari ini kita harus ngejar kerjaan yang kepending dari seminggu yang lalu, seminggu yang lalu sampe hari ini kan saya push meeting semua,” ujar Intan.
“Oke kalo gitu. Risko, saya langsung balik kantor ya, saya takut dimarahin sekertaris saya nih kalo ga selesai kerjaannya,” canda Valerie.
“Hahaha kamu bisa aja. Yaudah yuk kita keluar bareng. Aku juga mau langsung ke kantor,” ujar Risko.
“Intan, kamu duluan aja, saya mau ke toilet dulu.”
“Okee, see you in office yaa,” ujar Intan.”
“Risko, saya permisi dulu ya.” Ujar Valerie sopan.
“Oh iya silahkan, saya duluan ya Val,” ujar Risko.
“Okee, bye Risko, see you,” ujar Valerie.”
“See you.”
Selesai menunaikan urusannya dengan kamar mandi, Valerie berjalan menuju mobilnya. Masih ada 1 mobil di samping mobilnya yang sepertinya ia kenal. Oh mobil ini adalah mobil yang tadi pagi juga terparkir persis di samping mobilnya.
“Jangan-jangan ini mobilnya Risko, tapi dia kan udah pulang tadi,” pikir Valerie.
Ketika Valerie menghampiri mobilnya dan hendak membuka pintunya, ia dikagetkan oleh tepukan halus yang ternyata adalah Risko.
“Yaampun kamu, kaget aku,” ujar Valerie.
“Kamu kaget terus tiap aku tegor kayaknya hahaha,” Valerie yang baru melihat Risko dari dekat baru memperhatikan bahwa mata Risko tegas namun menyenangkan. Pastas saja ia bisa langsung nyaman bekerja sama dengan Risko.
“Ya kamu ngagetin aja,” ujar Valerie.
“Kok kamu masih di sini? Katanya mau langsung tadi?” tanya Valerie.
“Iya tadi pas saya mau berangkat, ternyata dompet saya ketinggalan di meja. Untung ga di ambil, disimpen sama waitressnya. Nih baru saya ambil.”
“Ohhh, yaudah kalo gitu, saya duluan ya,” ujar Valerie.
“Iya mari..”
Risko memasuki mobilnya, tidak langsung menjalankannya. Risko terdiam di mobil, entah kenapa sosok Valerie masih hinggap dalam pikiran Risko. Sejauh yang ia tahu, Valerie belum menikah, apa yang menyebabkan Valerie belum menikah?
Risko mengambil hpnya, ia mengetik sebuah pesan untuk Valerie.
-Hi, kalo kamu ga keberatan, saya mau nanya sesuatu, tapi ini bukan tentang bisnis. Ini tentang pribadi, bolehkah?
Sent.
Sampai di kantor, Valerie langsung menuju ruangannya. Ia masuk ke dalam ruangan dan mengganti sepatu high heelsnya dengan sendal jepit lagi. Tanpa basa-basi, Valerie langsung duduk dan membuka laptopnya.Intan masuk ke dalam ruangan untuk memberikan beberapa dokumen yang harus ia tandatangani. Beberapa perjanjian kerjasama dengan klien-klien baru. Dan repeat order dari klien yang sudah menjadi langganannya menjadi pemandangan setiap hari yang Valerie lihat.Meeting sana sini, menjelaskan produk kesana kemari, menandatangani perjanjian kerjasama menjadi tugas utama Valerie. Untung ada Intan, sahabatnya yang sekarang menjadi sekertaris sekaligus asisten pribadinya. Ketika pertama Valerie naik ke jabatan ini, posisi sekertaris diisi oleh orang kantor, tapi ia mereasa tidak cocok dan meminta direktur untuk menggantinya.Pada waktu itu, Intan sedang tidak bekerja, karna Valerie tau Intan orangnya seperti apa, ia mengajukan Intan untuk menjadi sekertarisnya, dan akhirnya sampai sekarang sud
Valerie bekerja sampai larut malam. Untung besok akhir pekan, ia bisa beristirahat sebelum senin jadwalnya sudah full lagi dengan meeting-meeting. Tanpa terasa waktu sudah menunjukan pukul 11 malam. Valerie meregangkan badannya. Sudah 20 Surat Perjanjian yang berhasil ia sign hari ini. Benar-benar melelahkan.“Val ayo pulang, gue udah teler banget,” ujar Intan dari luar ruangannya.“Duluan duluan, gue masih mau beberes,” ujar Valerie.“Yaudah gue duluan yaa,” ujar Intan sambil berlalu dari ruangan Valerie.Valerie mengedarkan pandangannya. SPK yang sudah di sign sudah bertumpuk rapih di mejanya, tinggal dikirim ke masing-masing klien. Ia melihat laptopnya, sudah semua rapih, ia tinggal mematikannya. Valerie teringat, ia belum membuka hp nya sama sekali seharian, dan seingatnya tadi ada notifikasi ketika ia di mobil.Valerie membuka hpnya, muncul sebuah nama yang mengirimkan pesan, Risko. Valerie mengerutkan kening. Ia berfikir ada revisi dengan perjanjiannya, akan sangat memakan waktu
Risko datang tepat jam 2. Ia mengetuk pintu. Sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, masih tidak ada jawaban. Akhirnya Risko membuka pintu dan masuk ke dalam, sesuai dengan pesan yang diterimanya dari Valerie.Warna monokrom langsung memenuhi penglihatan Risko. Semua barang yang ada di rumah Valerie hanya memiliki 3 warna. Hitam, putih dan abu-abu. Itupun abu-abu hanya sedikit sekali, hitam dan putih yang mendominasi segalanya.Tatanan ruang tamu Valerie sangat rapih, tidak ada satupun barang yang tidak pada tempatnya. Lebih tepatnya, tidak terlalu banyak barang di ruangan itu. Hanya sofa berukuran sedang 2 buah, dengan lemari buku di sampingnya. Sisanya hanya terbentang karpet bulu berwarna hitam. Suasana yang nyaman untuk ngobrol tanpa terkesan formal.Kemudian bergeser sedikit ada sebuah meja makan besar berbentuk bulat, dan 3 buah kursi yang mengelilinginya. Juga sebuah kulkas di dekatnya.Risko duduk di sofa sambil masih mengamati ruangan ini. Di depan ruangan yang sedang di dudukin
“Usaha hamburger kamu masih jalan sampe sekarang?” tanya Valerie.“Masih. Tapi jangan kamu bayangin usaha hamburger saya usaha yang besar, berkembang pesat dan punya franchise dimana-mana. Usaha hamburger saya usaha keluarga yang bahkan orangtua saya gamau anaknya ada yang colek-colek resep mereka hahha," Risko tertawa. Satu hal yang Valerie dapat dari Risko adalah, di luar pekerjaan, Risko orang yang sangat suka tertawa. “Orang tua kamu keren. Saya mau banget usaha makanan dari dulu tapi ga bisa-bisa. Mungkin karna masih kerja kali ya. Ajak saya dong ke usaha keluarga kamu,” pinta Valerie.“Boleh, kapan-kapan kamu saya ajak yaa ke warung hamburger punya orangtua saya,” janji Risko.“Kalo kamu emang niat mau usaha yang beneran, kamu harus berani buat keluar dari zona nyaman kamu di kantor Val,” nada bicara Risko semakin lama sudah semakin santai. Sudah seperti bicara dengan teman dan bukan partner bisnis lagi.“Itu yang belom saya bisa. Saya ngerasa kayak saya ga akan bisa kayak seka
Valerie mengulat. Senin pagi. Saatnya ia bekerja kembali. Valerie melihat ke arah jam di kamarnya, baru pukul 2. Ia masih memiliki banyak waktu.Semalam, Valerie tertidur terlalu cepat, sekitar pukul 7, jadilah ia bangun terlalu dini. Valerie menguncir rambutnya, membawa hpnya bersamanya dan keluar dari kamarnya.Valerie meletakkan hpnya di atas meja, mengambil gelas yang berukuran sedang. Membuka toples kopi, menuangkan kopi 3 sendok dan gula pasir 1 sendok. Menyeduhnya dengan air panas sedikit, dan sisanya di masukkannya es batu.Es kopi kesukaan Valerie sudah siap dinikmati. Ia tidak peduli pagi, siang, sore atau malam, es kopi tetaplah juaranya. Valerie duduk di meja makan, menikmati kopi sambil membuka hpnya. Ada 1 pesan dari Risko yang belum ia buka semalam.-Oke goodnight Valerie. Have a very best dream-Valerie tersenyum membaca pesan dari Risko.Hari Sabtu, mereka mengobrol sampai sore sekali, sampai Valerie hampir lupa mengeluarkan
Valerie berangkat ke kantor, berharap pikirannya akan teralihkan dengan setumpuk pekerjaan yang menumpuk. Valerie melewati kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja di tukang sayur, mereka terdiam melihat mobil Valerie lewat. Tersenyum padanya.Munafik, pikir Valerie.Setelah mobil Valerie lewat, mereka kembali melanjutkan menggunjing.“Tuh bener kan, pagi banget berangkatnya. Karyawan apaan berangkat jam segini coba, emangnya OB,” ucap salah satu ibu-ibu.“Ya mungkin kantornya jauh Bu, jadi berangkat pagi-pagi,” kata Si Tukang Sayur.“Ah si Mamang emang ga bisa nih kalo dibilangin. Ya bu yaa,” Ibu-ibu yang lain mengangguk mengiyakan.Valerie melihatnya dari kaca spion mobilnya, ia kembali kesal. Ia kesal karna beberapa fakta menyakitkan yang selama ini ia hindari.Pertama, fakta bahwa dirinya belum menikah bahkan takut untuk menikah atau sekedar memiliki komitmen. Kedua, fakta bahwa orang-orang mengira dirinya memiliki banyak uang karna bekerja yang bukan-bukan, padahal untuk mencapai p
“Ah selesai juga. Cepet kan kalo saya bantuin, coba tadi kamu sendirian pasti jam segini belum selesai cuci piringnya,” kata Valerie.“Bu, saya minta maaf ya sama sekali saya ga ada maksud buat nyuruh Bu Valerie bantuin saya cuci piring. Tangan Ibu jadi kotor pasti,” ucap Daus dengan nada panik.“Kamu kenapa?” Valerie yang bingung kenapa Daus sepanik itu.“Saya takut dipecat Bu, karna Bu Valerrie udah bantuin saya cuci piring,” ujar Daus.“Hahaha ga bakalan. Udah ah, saya mau masuk dulu ya. Mau ganti baju. Masa saya kerja pake kaos begini,” Valerie memang masih menggunakan kaos dan celana jeans. Ia membawa baju kerjanya, sengaja ia belum berganti pakaian agar ketika kerja, bajunya tidak lecek.Valerie masuk ke ruangannya, mengeluarkan dari tasnya baju kerja yang akan ia pakai. Hari ini ia akan memakai blouse berwarna pink dan celana hitam panjang. Hari ini tidak ada pertemuan dengan klie
“Ehm..”Valerie berdeham. Ia, Intan dan ketiga staffnya sudah duduk di ruang meeting. Suasana tegang menyelimuti mereka. Valerie yang memimpin meeting duduk di paling pojok, dimana semua peserta meeting dapat melihatnya secara langsung.Disa, Dewi dan Kumala hanya bisa menunduk, sama sekali tidak berani memandang Valerie. Aura Lady Boss yang keluar dari diri Valerie benar-benar kuat. Intan saja yang sahabatnya, tidak berani sama sekali menegur Valerie jika auranya sudah seperti ini.“Tadinya hari ini saya ingin meeting membahas kinerja dan pencapaian kita bulan lalu, namun saya urungkan karna ternyata ada hal yang lebih penting..” Suara Valerie menggantung di udara. Intan mengernyitkan dahi. Tidak biasanya Valerie mengesampingkan masalah kinerja, ia adalah orang paling strick dan tepat waktu yang ia tahu. Jika ada yang digeser atau dibatalkan, berarti hal ini benar-benar penting.“Barangkali ada yang belum tahu mengapa pembahasan kinerja saya geser, saya akan menceritakan sebuah kis
“Jadi gini Bu Valerie..”Faris mendengarkan di depan pintu dengan Valerie yang ada di tempat tidur.“Ibu pernah punya histori radang tenggorokan ya?” tanya Dokter Ali.“Iya dok,” jawab Valerie.“Nah radang tenggorokannya itu kumat bu, jadi demam, enggak enak badan. Lidah juga pahit. Ini enggak apa-apa kok. Cuma butuh istirahat aja, makan juga jangan sembarangan dulu ya bu. Trus banyakin minum air putih.”Valerie mengangguk-angguk. Sudah bukan hal baru dirinya terkena radang tenggorokan. Biasanya jika ia banyak pikiran, atau tubuhnya sedang lelah, radangnya bisa memerah dan membuatnya tidak enak badan.Namun kali ini, sakitnya luar biasa. Mungkin karena ia benar-benar tidak memperhatikan makanan atau minuman apa yang ia konsumsi belakangan, ditambah lagi dengan aktifitasnya yang tidak ada behentinya.“Ini saya buat resep untuk radang tenggorokannya ya, nanti bisa ditebus di apotik. Kalo 3 hari be
Pukul 4 pagi, Valerie dan Faris baru sampai di rumah. Tubuh mereka sudah lelah dan mengantuk.“Kamu apa aku yang mandi duluan?” tanya Valerie.“Kamu aja dulu, abis itu baru aku,” jawab Faris.Setelah Valerie dan Faris mandi, keduanya langsung tertidur. Namun, kali ini Valerie merasa dingin yang dirasakan berbeda dari dingin yang biasanya.“Pasti gara-gara mandi abis begadang nih,” pikirnya.Valerie merapatkan selimutnya dan menaikkan suhu AC nya agar tidak terlalu dingin. Tapi ternyata tidak membantu sama sekali, tubuhnya menggigil saking dinginnya. Faris yang merasakan ada getar disampingnya, membuka mata dan melihat Valerie dalam keadaan menggigil.“Val, kamu kenapa? Dingin ya?” tanya Faris. Valerie mengangguk.Faris buru-buru menuju lemari, ia mengambil 2 pasang kaus kaki dan memakaikannya di kaki Valerie bersamaan. Ia mematikan AC, dan menyalahkan Air cooler. Tidak sedingin AC, namun tetap m
“Enggak apa-apa. Aku selalu kabarin ibuku kok kalo belom pulang,” jawab Anita.“Oh ya?”“Iya, aku lagi sama siapa, aku lagi dimana, ngapain, aku pasti kabarin ibuku. Sebenernya dia enggak minta, tapi emang aku yang selalu ngabarin biar enggak kuatir,” jelas Anita.“Oke kalo gitu.”Risko menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya. Ia memejamkan mata, tanpa sadar ia sudah terlelap tidur. Tidak berbeda dengan Anita, setelah memastikan semua pintu terkunci dan AC tetap menyala, Anita jatuh tertidur.Tapi tidak lama kemudian, Anita bangun, ia tidak bisa tertidr jika kondisi mobil tidak berjalan. Lagi pula, tidak baik untuk pernafasan. Buru-buru Anita membuka semua jendela dalam mobil Risko.Angin malam langsung berebut masuk. Malam ini tidak terlalu dingin sebenarnya, tidak seperti malam-malam kemarin. Tapi sudah cukup membuat Anita mengencangkan jaketnya.Anita melihat ke layar, sudah nomor
Valerie yang tadinya sedang serius mengerjakan laporan langsung bangkit dari duduknya.“Serius??” tanya Valerie sambil menghampiri Anita.“Iya Val. Dia bilang mau jadi suamiku tadi,” jawab Anita.“And you said yes?” tanya Valerie, dia benar-benar exited mendengar kabar ini.“Iya Val,” jawab Anita malu-malu.“Wahhhhhh keren banget kalian berduaaa, jadi kapan nih?” tanya Valerie. Ia menarik tangan Anita untuk duduk di sofa bersama dirinya dan Faris.“Masih lama kok. Aku mau kenal Risko dan keluarganya lebih dalam lagi, juga mau kenal sama temen-temannya Risko dulu. Soalnya kan kita kenalnya baru, jadi enggak langsung cepet juga. Minimal 3 bulan aku minta waktu, ya Ris?” tanya Anita kepada Risko.“Iyaa, aku juga mau kenal dulu sama keluarga dan temen-temennya dia. Abis itu kita diskusi lagi, baru deh tentuin tanggal,” jawab Risko. Ia duduk di kursi yang tadi Vale
Anita terdiam. Ia tidak menyangka Risko secepat itu melamar dirinya.“Anita?” tanya Risko.“Eh eh maaf Risko. Aku kaget, enggak nyangka kamu secepat itu ngelamar aku,” ujar Anita.“Iya makanya. Aku juga mikir kamu pasti ngerasa ini cepet banget. Tapi aku udah ngerasa cocok sama kamu. Aku mau hidup aku sama kamu.”Anita menatap Risko, mencari kebohongan dalam mata Risko, tapi ia tidak melihatnya sama sekali. Risko terlihat tulus, ia tidak terlihat bohong sama sekali.“Risko, kamu yakin? Kita belum lama kenal loh..” ujar Anita.“Aku yakin. Aku bisa kenal kamu nanti setelah nikah. Enggak apa-apa kok. Aku beneran yakin mau nikah sama kamu, kamu adalah calon istri yang aku rasa terbaik buatku, buat Papaku, buat keluargaku.”Anita tersentak.“Aku bahkan belom sempet kenal sama keluarga kamu, kalo mereka enggak suka sama aku gimana?” tanya Anita.“Eng
Anita dan Risko sudah duduk di dalam rumah makan. Mereka duduk berhadapan dengan pemandangan langit yang cerah. Dengan lampu-lampu kecil cantik menghiasi interior rumah makan tersebut yang makin terlihat ketika sudah gelap.Angin malam menerbangkan rambut Anita yang dikuncir hanya setengah.“Dingin ya?” tanya Risko.“Lebih tepatnya adem, bukan dingin. Yang waktu di Villa nya Faris aja aku kuat kan,” ujar Anita.“Oh iya bener.”“Kamu tau tempat ini darimana sih? Bagus banget tau,” ujar Anita.“Dulu pernah makan di sini sama temen kantor rame-rame. Kita dari luar kota trus mampir kesini eh ternyata bagus banget.”Obrolan mereka terselak oleh pelayan yang mengantarkan makanan untuk Risko dan Anita. 2 piring nasi dengan ayam goreng dan sambal juga lalapan tersaji di depan mereka. 2 gelas jus buah naga pun tidak luput dari pesanan.“Makasih Mas,” ujar Anita.“Sama-sa
Hari-hari selanjutnya dijalani Valerie dan Faris dengan masih bekerja di KS burger. Selama satu minggu Faris bekerja di sana sebagai pelayan banyak sekali pelajaran yang bisa ia ambil. Faris mengerti kenapa Risko bisa sebijaksana itu.Faris juga belajar untuk selalu menempatkan kepentingan orang lain diatas kepanetingannya sendiri, bagaimana ia harus menghargai orang lain, dan sama sekali tidak merasa diatas yang lainnya.Faris menilai, ilmu-ilmu seperti ini benar-benar mahal untuk dipelajari. Ia bisa menerapkannya di dunia kerja setelah ia masuk kerja nanti.“Val, hari ini aku izin lagi yaa. Mumpung masih ada Faris, jadi kamu enggak sendirian. Sabtu Minggu aku di sini kok,” ujar Risko.“Kamu belakangan izin mulu deh perasaan,” selidik Valerie.“Pacaran dia tuhhh,” Faris langsung menyerbu Risko begitu masuk ke dalam ruangan.“Seriusss Risko? Wahhh kenalin kaliiiiii pacarnyaaa,” ujar Valer
“Weiiii yang abis cari pacar, udah dapet?” tanya Faris begitu melihat Risko sampai di toko.“Hahhaa, enggak ada yang buang,” ujar Risko.“Seneng banget roman-romannya,” goda Faris.“Hahahha iya, lumayan lah. Gimana toko hari ini?” tanya Risko.“Aman, tenang aja. Setidaknya enggak ada ibu-ibu yang godain gue hari ini,” Faris sedang mengelap-ngelap meja. Ia benar-benar menikmati perannya dari hari ke hari bekerja di sini. Sepertinya Faris mulai berfikir ingin pindah Haluan menjadi pengusaha kuliner daripada kantoran.“Hahahah, bisa aja lo. Gue liat-liat makin jago aja ngelap mejanya. Udah deh Ris, gue ngeri lo kegirangan kerja ginian, inget lo CEO.”“Ternyata enak ya Ko kerja kayak gini,” Faris duduk di atas sebuah meja yang baru saja ia bersihkan. Apron seragam dari KS burger terlihat begitu pas di tubuh Faris.“Enaknya?” tanya Risko. Ia ikut duduk di seb
Anita masih tersenyum lebar selesai dari menonton film yang berjudul Notebook.“Bagus filmnyaaaa,” ujar Anita.“Bagus filmnya apa suka endingnya?” tebak Risko.“Hahaha bener. Aku selalu jatuh cinta sama film yang happy ending.”“Typical perempuan sih. Rata-rata perempuan tuh suka banget film yang happy ending. Kayak enggak suka gitu tokoh utamanya tersakiti.”“Hahhaha iya bener tau.”“Makan dulu yuk,” ajak Risko.“Boleh.”Anita dan Risko memilih makan ayam goreng cepat saji yang ada di mall itu. Anita dan Risko memesan paket nasi dengan ayam super besar.“Kamu enggak mau pesen burger atau kentang?” tanya Anita.“Nope. Di toko banyak dan enak, ngapain aku pesen di sini,” ujar Risko.“Yeee bisa aja. Iya juga ya. Trus kenapa kita enggak makan di toko kamu aja sih,” ujar Anita.“Lah iya juga hahaha