Risko datang tepat jam 2. Ia mengetuk pintu. Sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, masih tidak ada jawaban. Akhirnya Risko membuka pintu dan masuk ke dalam, sesuai dengan pesan yang diterimanya dari Valerie.
Warna monokrom langsung memenuhi penglihatan Risko. Semua barang yang ada di rumah Valerie hanya memiliki 3 warna. Hitam, putih dan abu-abu. Itupun abu-abu hanya sedikit sekali, hitam dan putih yang mendominasi segalanya.
Tatanan ruang tamu Valerie sangat rapih, tidak ada satupun barang yang tidak pada tempatnya. Lebih tepatnya, tidak terlalu banyak barang di ruangan itu. Hanya sofa berukuran sedang 2 buah, dengan lemari buku di sampingnya. Sisanya hanya terbentang karpet bulu berwarna hitam. Suasana yang nyaman untuk ngobrol tanpa terkesan formal.
Kemudian bergeser sedikit ada sebuah meja makan besar berbentuk bulat, dan 3 buah kursi yang mengelilinginya. Juga sebuah kulkas di dekatnya.
Risko duduk di sofa sambil masih mengamati ruangan ini. Di depan ruangan yang sedang di dudukinya ada 3 buah pintu. Yang 2 berjajar dan 1 pintu membentuk letter L. Risko menebak itu adalah kamar, kamar mandi dan sebuah dapur.
“Udah belom nganalisis rumah saya?” tanya Valerie yang baru saja keluar dari kamar. Dengan kondisi rambut yang basah, dan hanya memakai kaos oblong dan celana santai sebetis membuat Valerie berbeda 180 derajat dengan yang Risko lihat ketika meeting.
“Sekarang, analisis saya?” tanya Valerie lagi.
“Eh, sorry sorry,” Risko terkekeh. Ia benar-benar tidak sadar bahwa dirinya terbengong-bengong memandang Valerie.
“Mau langsung makan?” tanya Val.
“Boleh,” jawab Risko.
“Btw kamu kenapa formal banget sih kerumah saya doang,” Valerie mengamati Risko yang memakai celana semi jeans warna hitam dengan kaos berkerah warna hitam.
“Hahahaha, iya ya salah kostum saya. Besok-besok pake yang lebih santai aja deh,” ujar Risko.
“Yaudah yuk ke meja makan.”
Valerie berjalan mendahului Risko menuju meja makan. Ia mengambil 2 porsi spageti yang terlihat menggiurkan. Asap masih mengepul dari spageti itu, menambah lapar perut Risko. Valerie memberi topping bumbu spageti yang ia olah, warna merah dari topping itu, ditambah irisan smoke beef benar-benar menggoda.
Risko menelan ludah. Partner bisnisnya yang satu ini tidak main-main. Lekukan tubuhnya yang tercetak jelas dibalik kaos oblong yang digunakannya, kelihaian tangannya menyiapkan makanan ditambaah rambut basahnya yang habis mandi, bersatu menjadi penggoda iman paling besar.
“Sabar ya Pak Risko, mukanya laper banget,” Valerie lagi-lagi bisa membaca pikiran Risko.
“Kayaknya kamu jurusan psikologi ya kuliahnya, bukan bisnis. Selalu tau apa yang saya pikirin,” Risko terkekeh.
“Silahkan,” Valerie menyerahkan satu piring spagrti lengkap yang sudah ia racik. Aromanya menguar, menusuk hidung Risko.
“Wangi banget, saya makan yaa,” kata Risko.
“Silahkan,” balas Valerie.
Risko berbinar. Ini hanya spageti, tapi entah mengapa spageti ini terasa enak sekali.
“Enak banget beneran,” kata Risko.
“Terimakasih, saya tersanjung,” kata Valerie. Ia bisa melihat ketulusan dari wajah Risko. Risko benar-benar menikmati makanannya. Valerie tersenyum senang dan melanjutkan makam spagetinya sendiri.
Selesai makan, Valerie membawanya piring kotor, masuk ke pintu yang menghadap meja makan membentuk letter L. Benar dugaan Risko bahwa itu adalah dapur. Ia melihat Valerie membersihkan piring mereka berdua. Risko cukup surprise karna Valerir mencuci piring sendiri, tidak ada bantuan asisten rumah tangga.
“Kita ngobrol di karpet aja yuk, apa kamu masih laper dan mau laangsung main course?” tanya Valerie. Lagi-lagi ia seperti bisa membaca pikiran Risko.
“Hahahaha yaudah tunggu ya, saya siapin dulu,” kata Valerie.
“May i help you?” tanya Risko.
“My pleasure,” kata Valerie.
Risko akhirnya membantu Valerie menyiapkan makanan utama mereka, nasi hangat dengan ayam bakar dan bumbu rujak. Risko membantu menyiapkan alat makan, piring, sendok, dan lain-lain. Sedangkan Valerie menyiapkan makanannya. Mereka seperti sudah sangat lama kenal, padahal bertemu saaja baru kemarin, itupun hanya untuk kepperluan pekerjaan.
Satu ekor ayam yang dipotong 8, yang sudah di bakar sudah tersedia di meja makan. Bumbu rujak menghiasi di mangkok di samping ayam. Lalapan mentah tidak terlupakan. Dan yang paling penting, nasi hangat yang baru saja matang.
“Silahkan Pak Risko,” ujar Valerie.
“Hahaha, baik Ibu Valerie,” Risko mengambil sedikit nasi, namun banyak sekali lalapan. Ia mengambil ayam bakar potongan dada, dan bumbu rujak yang dibuat Valerie.
Risko makan ayam bakar dengan nasi, kembali matanya berbinar. Valerie tertawa kecil. Risko yang ia kenal di kantor sangat berbeda dengan Risko yang ia lihat hari ini. Tidak ada urat yang menyembul di jidatnya, tidak ada bahu tegap yang diperlihatkan di meeting. Yang ada hanya seorang pria yang sedang santai sambil menikmati hidangan yang ia masak.
Tidak ada yang bersuara selama mereka makan. Risko dan Valerie sama-sama menikmati hidangan. Ayam yang Valerie bakar bahkan sampai habis 5 potong, lalapan dan sambal rujak habis. Valerie benar-benar senang karna ia merasa masakannya di hargai oleh Risko.
Makan sudah selesai, Risko dan Valerie sudah kenyang. Risko kembali membantu Valerie untuk merapihkan dan mencuci alat-alat makan yang mereka gunakan.
“Harusnya kamu gausah bantuin juga gapapa sih, kan kamu tamu” kata Valerie.
“Tapi saya ga mau makan gratis,” ujar Risko.
Valerie tertawa.
“Man pride nya tergores ya kalo makan gratis pake uang perempuan,” ujar Valerie sambil menaruh piring di tempatnya.
“Hahahha, bisa aja,” kata Risko.
Valerie dan Risko sudah selesai merapihkan peralatan makan. Mereka berjalan menuju ruang depan tadi. Valerie duduk di bawah, di karpet berbulu hitam, Risko duduk di sampingnya, sedikit bersandar ke sofa.
“So, kenapa kamu tiba-tiba kemaren wa saya nanya kayak gitu?” tanya Valerie.
“You are so obvoius,” ujar Risko.
“Hahaha, just like you,” kata Valerie.
“Jujur saya tertarik sama kamu. Kamu cantik Val, kamu juga pinter. Kalo kita bisa lebih dari sekedar bussines partner, It will so great buat saya,” ujar Risko.
“To be honest, so do I. Kamu pinter, kamu juga cakep, kamu tegas jadi laki-laki. And one thing yang paling saya suka dari kamu adalah, kamu ga banyak basa-basi. I really hate someone yang kalo ngomong banyak basa-basi,” ujar Valerie.
“Wah terimakasih saya tersanjung,” ujar Risko.
“Hahahaha bisa aja,” ujar Valerie.
“So, Valerie, are you living alone here?” tanya Risko.
“Yes I am. My parents ada di Inggiris, saya anak satu-satunya. Ya jadi saya tinggal sendiri di sini,” ujar Valerie.
“Kamu ga mau ikut ke Inggris sama orangtua kamu? Bukannya di sana lebih menjanjikan ya? Pekerjaannya, lingkungannya?” tanya Risko.
“Nope. Saya sangat suka di sini. Saya suka kota ini, saya suka Negara ini. Pokoknya saya suka di sini. Saya gak mau pindah,” kata Valerie.
“And how about you? And your family?” tanya Valerie.
“Ga ada yang spesial, saya anak kedua dari 2 bersaudara. Saya punya 1 kakak yang sekarang tinggal di Amsterdam sama keluarganya, saya tinggal sama orangtua saya. Orangtua saya punya usaha jual beli hamburger…” Risko diam sebentar, ia melihat ekspresi Valerie yang tiba-tiba terlihat sumringah.
“Kamu kenapa?” tanya Risko.
“Usaha hamburger kamu masih jalan sampe sekarang?” tanya Valerie.“Masih. Tapi jangan kamu bayangin usaha hamburger saya usaha yang besar, berkembang pesat dan punya franchise dimana-mana. Usaha hamburger saya usaha keluarga yang bahkan orangtua saya gamau anaknya ada yang colek-colek resep mereka hahha," Risko tertawa. Satu hal yang Valerie dapat dari Risko adalah, di luar pekerjaan, Risko orang yang sangat suka tertawa. “Orang tua kamu keren. Saya mau banget usaha makanan dari dulu tapi ga bisa-bisa. Mungkin karna masih kerja kali ya. Ajak saya dong ke usaha keluarga kamu,” pinta Valerie.“Boleh, kapan-kapan kamu saya ajak yaa ke warung hamburger punya orangtua saya,” janji Risko.“Kalo kamu emang niat mau usaha yang beneran, kamu harus berani buat keluar dari zona nyaman kamu di kantor Val,” nada bicara Risko semakin lama sudah semakin santai. Sudah seperti bicara dengan teman dan bukan partner bisnis lagi.“Itu yang belom saya bisa. Saya ngerasa kayak saya ga akan bisa kayak seka
Valerie mengulat. Senin pagi. Saatnya ia bekerja kembali. Valerie melihat ke arah jam di kamarnya, baru pukul 2. Ia masih memiliki banyak waktu.Semalam, Valerie tertidur terlalu cepat, sekitar pukul 7, jadilah ia bangun terlalu dini. Valerie menguncir rambutnya, membawa hpnya bersamanya dan keluar dari kamarnya.Valerie meletakkan hpnya di atas meja, mengambil gelas yang berukuran sedang. Membuka toples kopi, menuangkan kopi 3 sendok dan gula pasir 1 sendok. Menyeduhnya dengan air panas sedikit, dan sisanya di masukkannya es batu.Es kopi kesukaan Valerie sudah siap dinikmati. Ia tidak peduli pagi, siang, sore atau malam, es kopi tetaplah juaranya. Valerie duduk di meja makan, menikmati kopi sambil membuka hpnya. Ada 1 pesan dari Risko yang belum ia buka semalam.-Oke goodnight Valerie. Have a very best dream-Valerie tersenyum membaca pesan dari Risko.Hari Sabtu, mereka mengobrol sampai sore sekali, sampai Valerie hampir lupa mengeluarkan
Valerie berangkat ke kantor, berharap pikirannya akan teralihkan dengan setumpuk pekerjaan yang menumpuk. Valerie melewati kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja di tukang sayur, mereka terdiam melihat mobil Valerie lewat. Tersenyum padanya.Munafik, pikir Valerie.Setelah mobil Valerie lewat, mereka kembali melanjutkan menggunjing.“Tuh bener kan, pagi banget berangkatnya. Karyawan apaan berangkat jam segini coba, emangnya OB,” ucap salah satu ibu-ibu.“Ya mungkin kantornya jauh Bu, jadi berangkat pagi-pagi,” kata Si Tukang Sayur.“Ah si Mamang emang ga bisa nih kalo dibilangin. Ya bu yaa,” Ibu-ibu yang lain mengangguk mengiyakan.Valerie melihatnya dari kaca spion mobilnya, ia kembali kesal. Ia kesal karna beberapa fakta menyakitkan yang selama ini ia hindari.Pertama, fakta bahwa dirinya belum menikah bahkan takut untuk menikah atau sekedar memiliki komitmen. Kedua, fakta bahwa orang-orang mengira dirinya memiliki banyak uang karna bekerja yang bukan-bukan, padahal untuk mencapai p
“Ah selesai juga. Cepet kan kalo saya bantuin, coba tadi kamu sendirian pasti jam segini belum selesai cuci piringnya,” kata Valerie.“Bu, saya minta maaf ya sama sekali saya ga ada maksud buat nyuruh Bu Valerie bantuin saya cuci piring. Tangan Ibu jadi kotor pasti,” ucap Daus dengan nada panik.“Kamu kenapa?” Valerie yang bingung kenapa Daus sepanik itu.“Saya takut dipecat Bu, karna Bu Valerrie udah bantuin saya cuci piring,” ujar Daus.“Hahaha ga bakalan. Udah ah, saya mau masuk dulu ya. Mau ganti baju. Masa saya kerja pake kaos begini,” Valerie memang masih menggunakan kaos dan celana jeans. Ia membawa baju kerjanya, sengaja ia belum berganti pakaian agar ketika kerja, bajunya tidak lecek.Valerie masuk ke ruangannya, mengeluarkan dari tasnya baju kerja yang akan ia pakai. Hari ini ia akan memakai blouse berwarna pink dan celana hitam panjang. Hari ini tidak ada pertemuan dengan klie
“Ehm..”Valerie berdeham. Ia, Intan dan ketiga staffnya sudah duduk di ruang meeting. Suasana tegang menyelimuti mereka. Valerie yang memimpin meeting duduk di paling pojok, dimana semua peserta meeting dapat melihatnya secara langsung.Disa, Dewi dan Kumala hanya bisa menunduk, sama sekali tidak berani memandang Valerie. Aura Lady Boss yang keluar dari diri Valerie benar-benar kuat. Intan saja yang sahabatnya, tidak berani sama sekali menegur Valerie jika auranya sudah seperti ini.“Tadinya hari ini saya ingin meeting membahas kinerja dan pencapaian kita bulan lalu, namun saya urungkan karna ternyata ada hal yang lebih penting..” Suara Valerie menggantung di udara. Intan mengernyitkan dahi. Tidak biasanya Valerie mengesampingkan masalah kinerja, ia adalah orang paling strick dan tepat waktu yang ia tahu. Jika ada yang digeser atau dibatalkan, berarti hal ini benar-benar penting.“Barangkali ada yang belum tahu mengapa pembahasan kinerja saya geser, saya akan menceritakan sebuah kis
Selama menunggu Intan di mobil, Valeri membuka-buka pesan whatsapp. Ia melihat siapa saja klien-klien besar yang harus ia temui. Namun ia terdiam dan ingat bahwa ia tidak memakai pakaian yang cukup formal untuk bertemu klien besar.Ia kembali mengingat kira-kira klien yang bisa didatangi hanya dengan menggunakan pakaian semi formal. Ah Risko.Valerie membuka kontak Risko. Menekan tombol panggil. Diangkat pada panggilan kedua. Ini berarti Risko sedang tidak terlalu sibuk.“Yes Val,” jawab Risko.“Kalo saya ke kantor kamu sekarang untuk review hasil kerjasama kita selama sebulan, gimana?” tanpa basa-basi, Valerie langsung bertanya pada Risko.“Oh iya boleh, kebetulan saya lagi di kantor. Kamu udah tau kantor saya?” tanya Risko.“Belum tau, boleh tolong do share location?” tanya Valerie.“Oke habis ini saya shareloc” jawab Risko.“Oke,” ujar Valerie. Ia
Valerie berjalan bersama Risko ke parkiran mobil. Ia sudah memberikan kunci mobilnya kepada Intan. Intan sudah duluan pergi ke kantor, habis dari sini, ia yakin ia akan diberondong beribu pertanyaan oleh Intan. Biarlah. Kali ini, ia yakin bersama Risko bisa memulihkan moodnya hari ini.Risko sudah duduk di belakang kemudi, kali ini ia sengaja tidak memakai supir, ia ingin menemani Valerie. Ia yakin Valerie hari ini ke kantornya bukan untuk membahas dan mereview kerjasama mereka. Ia yakin suasana hati Valerie sedang tidak baik namun ia mencoba profesional.“Jangan lupa pake seatbelt ya, karna perjalanan kita agak jauh,” ujar Risko.“Emang kita mau kemana?” tanya Valerie.“Makan siang,” jawab Risko enteng.“Ya ampun cuma makan siang aja jangan jauh-jauh. Waktu makan siang itu Cuma 1 jam,” kata Valerie.“Saya yakin kok anak buah kamu akan lebih seneng kalo bosnya makan siang sedikit le
Dan Bu Rika mulai bercerita..Keluarga Risko bukanlah keluarga kaya raya. Dengan seorang ibu rumah tangga dan ayah seorang karyawan swasta, kehidupan mereka cukup. Risko dan kakaknya sekolah di sekolah negri biasa, dengan prestasi biasa, tidak terlalu pintar tapi juga tidak terlalu bodoh.Semua berjalan normal dan baik-baik saja, sampai akhirnya kerusuhan tahun 98 merenggut semua yang keluarga Risko punya. Ayah Risko kehilangan pekerjaan. Saat itu kakak Risko baru lulus SMP dan Risko masih kelas 5 SD.Kakak Risko, Kak Roni sampai harus menunda masuk ke SMA karna waktu itu keadaan keuangan keluarga Risko yang tidak memungkinkan. Risko masih melanjutkan sekolah di SD kelas 5. Ayah Risko dan Bu Rika berfikir keras bagaimana menyambung hidup dan melanjutkan sekolah anak-anak mereka.Karna jika Roni masuk ke SMA tahun depan, itu akan berbarengan dengan Risko yang masuk SMP, biaya akan semakin besar.“Sayang, kita harus gimana?” Tanya B
“Jadi gini Bu Valerie..”Faris mendengarkan di depan pintu dengan Valerie yang ada di tempat tidur.“Ibu pernah punya histori radang tenggorokan ya?” tanya Dokter Ali.“Iya dok,” jawab Valerie.“Nah radang tenggorokannya itu kumat bu, jadi demam, enggak enak badan. Lidah juga pahit. Ini enggak apa-apa kok. Cuma butuh istirahat aja, makan juga jangan sembarangan dulu ya bu. Trus banyakin minum air putih.”Valerie mengangguk-angguk. Sudah bukan hal baru dirinya terkena radang tenggorokan. Biasanya jika ia banyak pikiran, atau tubuhnya sedang lelah, radangnya bisa memerah dan membuatnya tidak enak badan.Namun kali ini, sakitnya luar biasa. Mungkin karena ia benar-benar tidak memperhatikan makanan atau minuman apa yang ia konsumsi belakangan, ditambah lagi dengan aktifitasnya yang tidak ada behentinya.“Ini saya buat resep untuk radang tenggorokannya ya, nanti bisa ditebus di apotik. Kalo 3 hari be
Pukul 4 pagi, Valerie dan Faris baru sampai di rumah. Tubuh mereka sudah lelah dan mengantuk.“Kamu apa aku yang mandi duluan?” tanya Valerie.“Kamu aja dulu, abis itu baru aku,” jawab Faris.Setelah Valerie dan Faris mandi, keduanya langsung tertidur. Namun, kali ini Valerie merasa dingin yang dirasakan berbeda dari dingin yang biasanya.“Pasti gara-gara mandi abis begadang nih,” pikirnya.Valerie merapatkan selimutnya dan menaikkan suhu AC nya agar tidak terlalu dingin. Tapi ternyata tidak membantu sama sekali, tubuhnya menggigil saking dinginnya. Faris yang merasakan ada getar disampingnya, membuka mata dan melihat Valerie dalam keadaan menggigil.“Val, kamu kenapa? Dingin ya?” tanya Faris. Valerie mengangguk.Faris buru-buru menuju lemari, ia mengambil 2 pasang kaus kaki dan memakaikannya di kaki Valerie bersamaan. Ia mematikan AC, dan menyalahkan Air cooler. Tidak sedingin AC, namun tetap m
“Enggak apa-apa. Aku selalu kabarin ibuku kok kalo belom pulang,” jawab Anita.“Oh ya?”“Iya, aku lagi sama siapa, aku lagi dimana, ngapain, aku pasti kabarin ibuku. Sebenernya dia enggak minta, tapi emang aku yang selalu ngabarin biar enggak kuatir,” jelas Anita.“Oke kalo gitu.”Risko menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya. Ia memejamkan mata, tanpa sadar ia sudah terlelap tidur. Tidak berbeda dengan Anita, setelah memastikan semua pintu terkunci dan AC tetap menyala, Anita jatuh tertidur.Tapi tidak lama kemudian, Anita bangun, ia tidak bisa tertidr jika kondisi mobil tidak berjalan. Lagi pula, tidak baik untuk pernafasan. Buru-buru Anita membuka semua jendela dalam mobil Risko.Angin malam langsung berebut masuk. Malam ini tidak terlalu dingin sebenarnya, tidak seperti malam-malam kemarin. Tapi sudah cukup membuat Anita mengencangkan jaketnya.Anita melihat ke layar, sudah nomor
Valerie yang tadinya sedang serius mengerjakan laporan langsung bangkit dari duduknya.“Serius??” tanya Valerie sambil menghampiri Anita.“Iya Val. Dia bilang mau jadi suamiku tadi,” jawab Anita.“And you said yes?” tanya Valerie, dia benar-benar exited mendengar kabar ini.“Iya Val,” jawab Anita malu-malu.“Wahhhhhh keren banget kalian berduaaa, jadi kapan nih?” tanya Valerie. Ia menarik tangan Anita untuk duduk di sofa bersama dirinya dan Faris.“Masih lama kok. Aku mau kenal Risko dan keluarganya lebih dalam lagi, juga mau kenal sama temen-temannya Risko dulu. Soalnya kan kita kenalnya baru, jadi enggak langsung cepet juga. Minimal 3 bulan aku minta waktu, ya Ris?” tanya Anita kepada Risko.“Iyaa, aku juga mau kenal dulu sama keluarga dan temen-temennya dia. Abis itu kita diskusi lagi, baru deh tentuin tanggal,” jawab Risko. Ia duduk di kursi yang tadi Vale
Anita terdiam. Ia tidak menyangka Risko secepat itu melamar dirinya.“Anita?” tanya Risko.“Eh eh maaf Risko. Aku kaget, enggak nyangka kamu secepat itu ngelamar aku,” ujar Anita.“Iya makanya. Aku juga mikir kamu pasti ngerasa ini cepet banget. Tapi aku udah ngerasa cocok sama kamu. Aku mau hidup aku sama kamu.”Anita menatap Risko, mencari kebohongan dalam mata Risko, tapi ia tidak melihatnya sama sekali. Risko terlihat tulus, ia tidak terlihat bohong sama sekali.“Risko, kamu yakin? Kita belum lama kenal loh..” ujar Anita.“Aku yakin. Aku bisa kenal kamu nanti setelah nikah. Enggak apa-apa kok. Aku beneran yakin mau nikah sama kamu, kamu adalah calon istri yang aku rasa terbaik buatku, buat Papaku, buat keluargaku.”Anita tersentak.“Aku bahkan belom sempet kenal sama keluarga kamu, kalo mereka enggak suka sama aku gimana?” tanya Anita.“Eng
Anita dan Risko sudah duduk di dalam rumah makan. Mereka duduk berhadapan dengan pemandangan langit yang cerah. Dengan lampu-lampu kecil cantik menghiasi interior rumah makan tersebut yang makin terlihat ketika sudah gelap.Angin malam menerbangkan rambut Anita yang dikuncir hanya setengah.“Dingin ya?” tanya Risko.“Lebih tepatnya adem, bukan dingin. Yang waktu di Villa nya Faris aja aku kuat kan,” ujar Anita.“Oh iya bener.”“Kamu tau tempat ini darimana sih? Bagus banget tau,” ujar Anita.“Dulu pernah makan di sini sama temen kantor rame-rame. Kita dari luar kota trus mampir kesini eh ternyata bagus banget.”Obrolan mereka terselak oleh pelayan yang mengantarkan makanan untuk Risko dan Anita. 2 piring nasi dengan ayam goreng dan sambal juga lalapan tersaji di depan mereka. 2 gelas jus buah naga pun tidak luput dari pesanan.“Makasih Mas,” ujar Anita.“Sama-sa
Hari-hari selanjutnya dijalani Valerie dan Faris dengan masih bekerja di KS burger. Selama satu minggu Faris bekerja di sana sebagai pelayan banyak sekali pelajaran yang bisa ia ambil. Faris mengerti kenapa Risko bisa sebijaksana itu.Faris juga belajar untuk selalu menempatkan kepentingan orang lain diatas kepanetingannya sendiri, bagaimana ia harus menghargai orang lain, dan sama sekali tidak merasa diatas yang lainnya.Faris menilai, ilmu-ilmu seperti ini benar-benar mahal untuk dipelajari. Ia bisa menerapkannya di dunia kerja setelah ia masuk kerja nanti.“Val, hari ini aku izin lagi yaa. Mumpung masih ada Faris, jadi kamu enggak sendirian. Sabtu Minggu aku di sini kok,” ujar Risko.“Kamu belakangan izin mulu deh perasaan,” selidik Valerie.“Pacaran dia tuhhh,” Faris langsung menyerbu Risko begitu masuk ke dalam ruangan.“Seriusss Risko? Wahhh kenalin kaliiiiii pacarnyaaa,” ujar Valer
“Weiiii yang abis cari pacar, udah dapet?” tanya Faris begitu melihat Risko sampai di toko.“Hahhaa, enggak ada yang buang,” ujar Risko.“Seneng banget roman-romannya,” goda Faris.“Hahahha iya, lumayan lah. Gimana toko hari ini?” tanya Risko.“Aman, tenang aja. Setidaknya enggak ada ibu-ibu yang godain gue hari ini,” Faris sedang mengelap-ngelap meja. Ia benar-benar menikmati perannya dari hari ke hari bekerja di sini. Sepertinya Faris mulai berfikir ingin pindah Haluan menjadi pengusaha kuliner daripada kantoran.“Hahahah, bisa aja lo. Gue liat-liat makin jago aja ngelap mejanya. Udah deh Ris, gue ngeri lo kegirangan kerja ginian, inget lo CEO.”“Ternyata enak ya Ko kerja kayak gini,” Faris duduk di atas sebuah meja yang baru saja ia bersihkan. Apron seragam dari KS burger terlihat begitu pas di tubuh Faris.“Enaknya?” tanya Risko. Ia ikut duduk di seb
Anita masih tersenyum lebar selesai dari menonton film yang berjudul Notebook.“Bagus filmnyaaaa,” ujar Anita.“Bagus filmnya apa suka endingnya?” tebak Risko.“Hahaha bener. Aku selalu jatuh cinta sama film yang happy ending.”“Typical perempuan sih. Rata-rata perempuan tuh suka banget film yang happy ending. Kayak enggak suka gitu tokoh utamanya tersakiti.”“Hahhaha iya bener tau.”“Makan dulu yuk,” ajak Risko.“Boleh.”Anita dan Risko memilih makan ayam goreng cepat saji yang ada di mall itu. Anita dan Risko memesan paket nasi dengan ayam super besar.“Kamu enggak mau pesen burger atau kentang?” tanya Anita.“Nope. Di toko banyak dan enak, ngapain aku pesen di sini,” ujar Risko.“Yeee bisa aja. Iya juga ya. Trus kenapa kita enggak makan di toko kamu aja sih,” ujar Anita.“Lah iya juga hahaha