~Ketika melangkah, perhatikan langkahmu. Jangan sampai langkah yang diambil membahayakan orang lain~
Tidur Sagita tidak nyenyak. Dia dihantui oleh mimpi buruk. Sagita terbangun di tengah malam. Ia mengusap wajahnya yang penuh peluh. Di dalam mimpinya tadi, ia dililit oleh ular-ular beracun dan semua ular itu menggigit dirinya. Ada satu ular yang mengerikan sekali, warnanya merah dan paling panjang. Ular itu dari kepala hingga buntutnya mampu membelit Sagita dengan kuat. Sagita menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar, sekedar mencari udara segar.Sagita duduk di ruang tengah, suasana sunyi sekali dan jam dinding menunjukkan pukul 2 malam. Sagita merasa dirinya benar-benar tersiksa. Tubuhnya lelah, namun tidurnya pun tidak bisa nyenyak."Orang yang sedang depresi dan perasaan sedih yang luar biasa memang sering mimpi buruk."Sagita kaget. Ia segera membalikkan badannya~Setiap orang butuh suasana sarapan pagi yang menenangkan~Aroma masakan tercium ke seluruh penjuru rumah. Jidan dan Pak Sokim semangat sekali menuju ke meja makan. Sudah ada istri Ustaz Ali dan juga Sagita yang sibuk menghidangkan makanan di atas meja."Kamu yang masak?" tanya Pak Sokim pada Sagita."Cuman membantu istri Ustaz Ali, Pak.""Saya kira kamu yang masak semua. Biasanya, wanita kalau sudah pernah punya suami, rasa masakannya pasti enak."Jidan menyikut Pak Sokim, tidak etis rasanya membahas tentang status Sagita yang janda di tengah sarapan. Pak Sokim hanya memasang wajah masa bodohnya."Kalian ini sebenarnya mencari siapa di sini?" tanya Ustaz Ali."Nyari Pak Darmana. Beliau dulu tinggal di kawasan ini. Saya dikasih alamatnya begitu. Dia tinggal di jalan Kenari yang kemarin kami datangi. Tapi ya begitu, zonk." Pak Sokim mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya. Ustaz Ali mengangguk dan menyilakan semua orang untu
"Jangan membuat orang kamu cintai terlalu sering merasa kesal, sebaliknya, buatlah mereka merasa spesial"Sagita berlari kecil menuju Jidan. Ia tidak sabar untuk melihat apa yang ingin ditunjukkan oleh Jidan."Komodo?" Sagita memekik."Ya ampun Git! Git! Cantik-cantik tapi wawasan soal satwanya sempit. Komodo itu cuman ada di Flores. Di pulau Komodo. Mana ada Komodo di Kalimantan.""Terus itu apa?"Jidan hanya tersenyum senang. Ia sengaja membuat Sagita penasaran. Sagita melihat binatang yang ada di depannya. Binatang itu badannya besar dan panjang, ia jalan melata di pinggir parit besar."Itu apa?" lagi Sagita memancing Jidan untuk buka suara."Bilang dululah, apa yang dibilang oleh Bos Don sama kamu barusan.""Bos Don cuman nanya kabar kita. Sama rencana istrinya buat menjodohkan aku sama ponokannya dia.""Apa? Menjodohkan? Kamu? Sama keponakan Nyonya Besar?" Jidan berteriak
"Masa lalu bisa kembali dengan cara yang tak terduga. Bisa dengan cara yang bahagia dan bisa dengan cara yang tragis."Bintang berpijar di atas langit. Malam itu telah diputuskan mereka bertiga tinggal di dekat rumah Pak Darmana. Tidak boleh jauh-jauh dari rumah Pak Darmana. Pasalnya mereka harus mengumpulkan banyak informasi tentang Pak Darmana. Berharap ada informasi yang membuat mereka mampu membujuk Pak Darmana."Kamu dapet info apa?" Pak Sokim bertanya pada Jidan."Enggak ada.""Loh! Kok malah enggak ada." Pak Sokim mengernyit."Saya malah baru menelepon Bos Don. Bilang ke Bos Don kalau orang enggak mau jual tanah ya jangan dipaksa. Itukan haknya dia mau jual apa enggak."Plak!Pak Sokim menepuk jidatnya sendiri. Ia cukup kecewa dengan apa yang dikatakan oleh Jidan. Dirinya merasa sia-sia membawa Jidan dan Sagita ke Pak Darmana."Kamu gimana Git?" Pak Sokim beralih ke Sagita.
"Rasa cinta tidak bisa hilang, dia hanya bisa berubah, berubah jadi benci, jadi sesal dan bahkan menjadi sebuah rasa yang lebur menjadi simpati dan kasihan"Wanita yang bernama Lastrina itu selamat. Ia bahkan sudah sadar. Hal itu jelas membuat semua orang merasa tenang, khususunya Pak Darmana. Ia juga mengucapkan terima kasih pada Jidan, Sagita dan Pak Sokim."Kamu kenal sama anak saya?" Pak Darmana bertanya pada Jidan. Jidan hanya mengangguk kecil. Ia jelas tidak bisa mengelak."Dimana?" tanya Pak Darmana lagi."Sudah lama Pak. Dulu waktu saya pernah ditugaskan juga di Kalimantan.""Oh gitu. Nanti kalau kondisinya Lastrina sudah mau ditemui orang lain, kamu masuk saja ya. Siapa tahu Lastrina senang bisa bertemu dengan teman lamanya.""Uhuk! Uhuk!" Pak Sokim terbatuk mendengar perkataan Pak Darmana. Ia jelas tahu jika Jidan dan Lastrina dulunya bukan hanya sekedar teman."Nasib anak saya itu sunggu
~Cinta tumbuh dengan sendirinya, tidak bisa dipaksakan harus tumbuh dimana, harus tumbuh pada siapa~Jidan menundukkan kepalanya. Matanya lurus menatap ke arah meja. Tatapan mata yang sebenarnya bisa dikatakan sebagai tatapan kosong. Sagita menagkupkan kedua tangannya di dada. Pak Sokim menggoyang-goyangkan kakinya.Jelas, ia gelisah."Saya inikan sudah bilang. Bereskan masalah di Kalimantan. Lah, ini kenapa Kalian malah nambah masalah?" Suara cempreng tapi berat itu terdengar tidak enak di kuping. Suara itu tidak lain dan tidak bukan adalah suara Bos Don. Orang yang saat ini berdiri hanya berjarak dua meter dari Sagita, Jidan dan Pak Sokim. Bos Don yang mampu membuat Pak Sokim kaget begitu melihatnya. Melihat Bos Don yang tiba-tiba ada di depannya Pak Sokim seperti tidak percaya. Dia seperti melihat hantu."Kim! Kim! Jangan goyang-goyang gitu kaki kamu. Gimana ini pertanggungjawaban kamu, hah? Kamu jangan seenaknya gini dong. Tan
~Setiap orang punya keinginan, namun tidak semuanya harus terwujud. Apalagi jika keinginan itu melibatkan campur tangan orang lain~Wajah Pak Darmana jelas sangat berbeda dari sebelumnya. Wajahnya tampak jauh lebih tenang. Ia duduk di sebuah kursi kayu menunggu Jidan. Kursi itu terletak di depan rumah sewa yang untuk sementara akan ditinggali oleh Jidan, Sagita dan Pak Sokim."Bapak cari saya?" tanya Jidan tanpa basa-basi. Ia duduk tidak jauh dari Pak Darmana. Sagita mendekat pada Jidan dan duduk tidak jauh dari Jidan."Boleh saya bicara empat mata dengan kamu?" Perkataan Pak Darmana jelas membuat Sagita menjadi salah tingkah. Ia merasa mengganggu obrolan antara Pak Sokim dan Jidan."Tidak bisa Pak. Kalau ada yang ingin Bapak sampaikan silakan saja. Tapi biarkan Sagita ada di sini. Kami rekan dan sudah sepantasnya apapun masalah di tempat kerja kami hadapi bersama." Jidan berkata dengan mantap. Raut wajah Pak Darmana seperti
~Wanita adalah alat pembujuk pria terbaik~Tidak mudah membujuk Jidan. Dengan cara apapun, tampaknya Sagita akan gagal. Lagipula, membujuk Jidan juga seperti melawan sebagian kecil hati Sagita. Ada dalam bagian hati Sagita yang tidak mau Jidan bertemu dengan Lastrina, namun ia juga tidak mau jika Jidan sampai dipecat."Kak Jidan. Hati kakak boleh panas, tapi Kepala Kakak harus tetap dingin. Kakak enggak boleh emosi. Kakak harus tetap tenang." Sagita mencoba berbicara dengan baik. Sagita melirik ke arah cermin yang ada di dekatnya, ia melihat jika jilbabnya tidak rapi. Sagita segera merapikan jilbabnya di depan cermin. Ia tidak mau jilbabnya tidak rapi.Jidan yang melihat Sagita refleks merapikan jilbabnya justru tersenyum kecil. Dalam hati dia berpikir jika semua wanita sama saja jika bertemu dengan cermin. Mau apapun dan bagaimanapun kondisinya, wanita tetap tidak bisa mengabaikan cermin yang ada di dekatnya."Kamu udah cantik, G
~Akhir dari sesuatu adalah awal bagi sesuatu lainnya~Hari berlalu begitu saja. Suka atau tidak suka dunia akan tetap berputar pada porosnya. Manusia-manusia yang tinggal di atas permukaannya juga terus merajut ceritanya masing-masing. Malam ini, yang terdengar hanya tawa kelakar Yoga. Di sampingnya ada Jidan yang masih memasang wajah kesal."Terus! Terus! Tertawain aja aku terus sampai kamu puas.""Ampun Jidan! Ampun! Semua cerita kamu itu lucu banget menurut aku. Bisa-bisanya kamu dilema, berada di antara dua janda. Satu Sagita dan satu Lastrina. Luar biasa. Kamu jadi rebutan para janda. Ckckck! Tolong ajarin aku Suhu! Angkat aku jadi muridmu. Hahaha!" Yoga tertawa lagi. Ia puas menertawakan penderitaan Jidan. Tadi, ia sudah puas menertawakan Jidan atas gelar pengangguran yang disandangnya. Sekarang, Yoga menertawakan Jidan lagi karena merasa dirinya sangat dilematis saat berhadapan dengan masalah Lastrina."Begini ya Bapak Peng