"Jangan membuat orang kamu cintai terlalu sering merasa kesal, sebaliknya, buatlah mereka merasa spesial"
Sagita berlari kecil menuju Jidan. Ia tidak sabar untuk melihat apa yang ingin ditunjukkan oleh Jidan."Komodo?" Sagita memekik."Ya ampun Git! Git! Cantik-cantik tapi wawasan soal satwanya sempit. Komodo itu cuman ada di Flores. Di pulau Komodo. Mana ada Komodo di Kalimantan.""Terus itu apa?"Jidan hanya tersenyum senang. Ia sengaja membuat Sagita penasaran. Sagita melihat binatang yang ada di depannya. Binatang itu badannya besar dan panjang, ia jalan melata di pinggir parit besar."Itu apa?" lagi Sagita memancing Jidan untuk buka suara."Bilang dululah, apa yang dibilang oleh Bos Don sama kamu barusan.""Bos Don cuman nanya kabar kita. Sama rencana istrinya buat menjodohkan aku sama ponokannya dia.""Apa? Menjodohkan? Kamu? Sama keponakan Nyonya Besar?" Jidan berteriak"Masa lalu bisa kembali dengan cara yang tak terduga. Bisa dengan cara yang bahagia dan bisa dengan cara yang tragis."Bintang berpijar di atas langit. Malam itu telah diputuskan mereka bertiga tinggal di dekat rumah Pak Darmana. Tidak boleh jauh-jauh dari rumah Pak Darmana. Pasalnya mereka harus mengumpulkan banyak informasi tentang Pak Darmana. Berharap ada informasi yang membuat mereka mampu membujuk Pak Darmana."Kamu dapet info apa?" Pak Sokim bertanya pada Jidan."Enggak ada.""Loh! Kok malah enggak ada." Pak Sokim mengernyit."Saya malah baru menelepon Bos Don. Bilang ke Bos Don kalau orang enggak mau jual tanah ya jangan dipaksa. Itukan haknya dia mau jual apa enggak."Plak!Pak Sokim menepuk jidatnya sendiri. Ia cukup kecewa dengan apa yang dikatakan oleh Jidan. Dirinya merasa sia-sia membawa Jidan dan Sagita ke Pak Darmana."Kamu gimana Git?" Pak Sokim beralih ke Sagita.
"Rasa cinta tidak bisa hilang, dia hanya bisa berubah, berubah jadi benci, jadi sesal dan bahkan menjadi sebuah rasa yang lebur menjadi simpati dan kasihan"Wanita yang bernama Lastrina itu selamat. Ia bahkan sudah sadar. Hal itu jelas membuat semua orang merasa tenang, khususunya Pak Darmana. Ia juga mengucapkan terima kasih pada Jidan, Sagita dan Pak Sokim."Kamu kenal sama anak saya?" Pak Darmana bertanya pada Jidan. Jidan hanya mengangguk kecil. Ia jelas tidak bisa mengelak."Dimana?" tanya Pak Darmana lagi."Sudah lama Pak. Dulu waktu saya pernah ditugaskan juga di Kalimantan.""Oh gitu. Nanti kalau kondisinya Lastrina sudah mau ditemui orang lain, kamu masuk saja ya. Siapa tahu Lastrina senang bisa bertemu dengan teman lamanya.""Uhuk! Uhuk!" Pak Sokim terbatuk mendengar perkataan Pak Darmana. Ia jelas tahu jika Jidan dan Lastrina dulunya bukan hanya sekedar teman."Nasib anak saya itu sunggu
~Cinta tumbuh dengan sendirinya, tidak bisa dipaksakan harus tumbuh dimana, harus tumbuh pada siapa~Jidan menundukkan kepalanya. Matanya lurus menatap ke arah meja. Tatapan mata yang sebenarnya bisa dikatakan sebagai tatapan kosong. Sagita menagkupkan kedua tangannya di dada. Pak Sokim menggoyang-goyangkan kakinya.Jelas, ia gelisah."Saya inikan sudah bilang. Bereskan masalah di Kalimantan. Lah, ini kenapa Kalian malah nambah masalah?" Suara cempreng tapi berat itu terdengar tidak enak di kuping. Suara itu tidak lain dan tidak bukan adalah suara Bos Don. Orang yang saat ini berdiri hanya berjarak dua meter dari Sagita, Jidan dan Pak Sokim. Bos Don yang mampu membuat Pak Sokim kaget begitu melihatnya. Melihat Bos Don yang tiba-tiba ada di depannya Pak Sokim seperti tidak percaya. Dia seperti melihat hantu."Kim! Kim! Jangan goyang-goyang gitu kaki kamu. Gimana ini pertanggungjawaban kamu, hah? Kamu jangan seenaknya gini dong. Tan
~Setiap orang punya keinginan, namun tidak semuanya harus terwujud. Apalagi jika keinginan itu melibatkan campur tangan orang lain~Wajah Pak Darmana jelas sangat berbeda dari sebelumnya. Wajahnya tampak jauh lebih tenang. Ia duduk di sebuah kursi kayu menunggu Jidan. Kursi itu terletak di depan rumah sewa yang untuk sementara akan ditinggali oleh Jidan, Sagita dan Pak Sokim."Bapak cari saya?" tanya Jidan tanpa basa-basi. Ia duduk tidak jauh dari Pak Darmana. Sagita mendekat pada Jidan dan duduk tidak jauh dari Jidan."Boleh saya bicara empat mata dengan kamu?" Perkataan Pak Darmana jelas membuat Sagita menjadi salah tingkah. Ia merasa mengganggu obrolan antara Pak Sokim dan Jidan."Tidak bisa Pak. Kalau ada yang ingin Bapak sampaikan silakan saja. Tapi biarkan Sagita ada di sini. Kami rekan dan sudah sepantasnya apapun masalah di tempat kerja kami hadapi bersama." Jidan berkata dengan mantap. Raut wajah Pak Darmana seperti
~Wanita adalah alat pembujuk pria terbaik~Tidak mudah membujuk Jidan. Dengan cara apapun, tampaknya Sagita akan gagal. Lagipula, membujuk Jidan juga seperti melawan sebagian kecil hati Sagita. Ada dalam bagian hati Sagita yang tidak mau Jidan bertemu dengan Lastrina, namun ia juga tidak mau jika Jidan sampai dipecat."Kak Jidan. Hati kakak boleh panas, tapi Kepala Kakak harus tetap dingin. Kakak enggak boleh emosi. Kakak harus tetap tenang." Sagita mencoba berbicara dengan baik. Sagita melirik ke arah cermin yang ada di dekatnya, ia melihat jika jilbabnya tidak rapi. Sagita segera merapikan jilbabnya di depan cermin. Ia tidak mau jilbabnya tidak rapi.Jidan yang melihat Sagita refleks merapikan jilbabnya justru tersenyum kecil. Dalam hati dia berpikir jika semua wanita sama saja jika bertemu dengan cermin. Mau apapun dan bagaimanapun kondisinya, wanita tetap tidak bisa mengabaikan cermin yang ada di dekatnya."Kamu udah cantik, G
~Akhir dari sesuatu adalah awal bagi sesuatu lainnya~Hari berlalu begitu saja. Suka atau tidak suka dunia akan tetap berputar pada porosnya. Manusia-manusia yang tinggal di atas permukaannya juga terus merajut ceritanya masing-masing. Malam ini, yang terdengar hanya tawa kelakar Yoga. Di sampingnya ada Jidan yang masih memasang wajah kesal."Terus! Terus! Tertawain aja aku terus sampai kamu puas.""Ampun Jidan! Ampun! Semua cerita kamu itu lucu banget menurut aku. Bisa-bisanya kamu dilema, berada di antara dua janda. Satu Sagita dan satu Lastrina. Luar biasa. Kamu jadi rebutan para janda. Ckckck! Tolong ajarin aku Suhu! Angkat aku jadi muridmu. Hahaha!" Yoga tertawa lagi. Ia puas menertawakan penderitaan Jidan. Tadi, ia sudah puas menertawakan Jidan atas gelar pengangguran yang disandangnya. Sekarang, Yoga menertawakan Jidan lagi karena merasa dirinya sangat dilematis saat berhadapan dengan masalah Lastrina."Begini ya Bapak Peng
~Selama hidup masih bergulir, masalah pasti akan tetap mengalir~Bunga-bunga hias terjajar rapi. Bugenvil dengan warna semarak menghiasi setiap sudut. Sekulen manis di dalam pot-pot kecil memenuhi sebuah rak yang dicat putih bersih. Tempat itu bukan hanya sekedar tempat jual tanaman hias, tapi juga sudah seperti taman indah yang membuat siapa saja yang masuk ke dalamnya akan betah.Tidak ada suara yang terdengar selain suara air mancur kecil yang airnya mengalir ke sebuah kolam berbatu. Kolam itu berisikan ikan-ikan mas yang warnanya oranye. Siapapun yang tadinya tidak semangat, akan semangat begitu masuk ke dalam kawasan ini.Sudah hampir satu tahun tempat ini beroperasi. Pemiliknya satu, bernama Jidan dan karyawan tetap ya bernama Sagita. Ada beberapa karyawan harian lepas di antaranya Risa dan Cika. Tempat ini juga punya satu pengunjung tetap bernama Yoga. Pengunjung yang berkunjung bukan untuk membeli bunga atau pot hias, dia datan
~Tanaman hias terkadang bisa menjadi obat bagi hati yang luka. Apalagi jika tanaman itu dari orang yang tersayang~Cika menyodorkan kertas bewarna pink pada Yoga. Yoga menerima kertas itu sambil membolak-baliknya."Apa tuh?" Jidan lebih dulu bertanya."Undangan." Cika menjawab singkat."Undangan sunatan?""Ih! Bukanlah Kak Jidan. Itu undangan wisuda. Cika sama Risa mau wisuda. Dan kalian diundang di acara wisudaannya kita." Cika berkata dengan semangat."Oh! Jadi ini merayakan status kalian yang berubah dari mahasiswa menjadi penganggaran?" Yoga bertanya dengan nada mengejek. Jidan malah membantu Yoga dengan tertawa. Suasana kebun bunga Jidan tidak terlalu ramai hari itu. Hujan baru saja mengguyur tempat itu. Susana kebun yang menjual tanaman hias itu menjadi basah. Namun basahnya membuat mata menjadi segar saat memandang."Kami ini enggak pengangguran. Kamikan juga udah kerja di sini, sama K