~Cinta harus diperjuangkan, jangan hanya didiamkan untuk kemudian berlalu begitu saja~
"Selamat datang di tanah Borneo, Jidan dan Sagita. Perkenalkan nama saya Sokim. Salah satu anggotanya Bos Don yang sudah lama ditersangkakan di bumi Kalimantan." Jidan menjabat tangan pria yang bernama Sokim ini. Jika Jidan menebak, usianya pasti ada di angka empat puluhan."Saya Jidan. Dan ini Sagita. Kami dikirim ke Bos Don untuk tugas di sini. Enggak tahu sampai kapan, jelasnya sampai semua masalah beres." Jidan berkata dengan tegas."Halo Pak Sokim. Nama bapak bagus.""Halo Nona cantik. Baru kamu yang bilang begitu. Sisanya bilang nama saya aneh. Kalau begitu, ayo naik ke dalam mobilku. Malam ini kalian akan menginap di rumahku. Istriku sudah memasak gulai ikan lezat di rumah. Kalian pasti suka. Ayo naik."Pak Sokim, orang yang berkulit hitam dan kumisnya tebal. Walau demikian, wajahnya manis karena selalu tersenyum. Tipikal orang~Setiap perjalanan memiliki rintangannya masing-masing. Hadapilah, sebab tujuanmu sudah menunggu~Glodak! Glodak!Sagita berpegangan erat di dalam mobil. Sedari tadi mobil itu melewati jalanan yang penuh berbatuan. Debu-debu bertebangan dimana-mana. Sagita merasa jika jauh sekali tempat yang mereka tuju sekarang."Ini jalan yang benar Pak Sokim?" tanya Jidan memastikan. Pasalnya samping kanan kiri yang ia lihat hanya pohon sawit saja. Tidak ada rumah penduduk yang mereka lewati."Benar Jidan. Ya ini jalannya. Memang kita harus melewati perkebunan sawit ini dulu. Baru setelah itu, kita akan masuk ke rumah penduduk dan bertemu dengan salah satu orang penting di sana." Pak Sokim menjelaskan."Jauh sekali Jidan rasa ini. Sepi lagi.""Memang begitu. Kalian terlalu sering tinggal di kota.""Aku kira Kalimantan tidak akan sesunyi ini.""Memang tidaj sesunyi ini Nona Sagita. Tapi kalau di bagian
~Manusia terkadang tidak bisa mengelak dari bahaya yang ditakdirkan untuknya. Maka bersiaplah untuk semua bahaya yang akan datang~"Kamu emang dulu pernah digigit ular dimana?" Pak Sokim memancing Jidan untuk bercerita."Di tempat temen Pak. Di kebun bekalang rumahnya.""Kok bisa digigit? Kamu apain itu ular? Setahu saya, ular kalau enggak diganggu, enggak bakal nyatok atau mbelit.""Sebenernya ularnya bukan mau menggigit saya Pak. Tapi,""Tapi apa Kak?" Sagita mulai penasaran."Oh! Saya tahu. Pasti ularnya mau menggigit pacar kamu, terus karena kamu panik dan takut pacar kamu kegigit, kamu malah ngorbanin tangan kamu biar digigit sama itu ular. Bener, kan?"Jidan menelan ludah. Ia tidak membenarkan apa yang dikatakan oleh Pak Sokim, tapi juga tidak membantah apa yang dikatakan oleh Pak Sokim. Pak Sokim justru tertawa melihat reaksi dari Jidan."Bapak kok bisa tahu?" tanya Sagita y
~Hujan deras bisa membuat pikiran tenang dan juga kacau~Perlahan tapi pasti, ular di depan mereka sudah menyingkir. Mobil Pak yang disetir oleh Pak Sokim mulai berjalan pelan. Jidan melihat ke atas langit, ia mulai gelisah. Sagita juga demikian, mendung membuat hatinya jadi cemas."Kok bisa gini ya? Padahal tadi cerah." Jidan bertanya sambil menghela napas."Ya kalau memang mau hujan mau bagaimana lagi? Kita harus pelan-pelan. Yang penting selamat sampai tujuan. Lagian tenang saja Jidan, hujan itu cuman air, masa kamu takut sama air? Memangnya kamu kucing?""Bukan gitu Pak. Takutnya kerjaan kita jadi terkendala.""Halah! Gaya sekali kamu Jidan. Kalau kerjaan kamu terkendala, itu artinya jmu bakal lama bisa balik dari Kalimantan. Seharunya kamu seneng dong.""Kok gitu Pak Sokim?" Sagita yang justru penasaran."Semakin lama Jidan ada di Kalimantan, semakin lama dia bisa sama kamu Git. Bisa berdua-du
~Rumah yang kosong biasanya selalu menyimpan misteri yang tidak kosong~Pak Sokim sudah ketiduran di dalam mobil. Cuaca yang dingin dan suara hujan malah seperti meninabobokan dirinya. Ia lupa kalau Jidan dan Sagita masih bertahan di teras rumah yang kian lama semakin basah karena tempias hujan."Geser dekat sini Git! Nanti kamu basah. Enggak apa-apa jarak kita agak dekat sedikit. Inikan darurat." Jidan membujuk Sagita agar mau lebih mendekat, ia senyum pada Sagita. Senyum yang terlihat canggung, namun semakin menunjukkan aura ketampanan Jidan.Sagita malu-malu mendekat pada Jidan. Kedua tangannya erat membekap dirinya sendiri. Harum parfum Jidan semakin menjadi-jadi masuk ke dalam indra penciuman Sagita. Diam-diam, Sagita mulai nyaman dengan wangi parfum itu."Kakak, enggak dingin? Kalau dingin, pakai aja jaket Kakak ini.""Enggak Git! Kamu lebih butuh. Kamu jangan khawatir sama kondisi kakak. Kakak dari kecil su
~Dimanapun berada, tetaplah hormat pada tuan rumah~Jalanan yang dilalui oleh Sagita, Jidan dan Pak Sokim semakin becek dan hancur. Jalan tanah merah ketika tersiram air memang akan semakin tidak karuan. Jantung Sagita lebih berdebar daripada di depan rumah kosong tadi."Nah, itu ada rumah-rumah penduduk. Ayo kita mampir." Pak Sokim bersemangat."Kita cari warung aja Pak." Jidan memberi saran."Iya, iya. Itu sebelah sana ada warung, rame juga." Pak Sokim segera memarkirkan mobilnya di dekat warung itu. Jidan dan Sagita turun masuk dan duduk di sebuah bangku panjang."Dari wajah kalian, sepertinya kalian bukan orang sini." Pemilik warung yang tampak menghidangkan minuman pada para pelanggan warung berkomentar. Jidan mengangguk dan menjelaskan darimana mereka."Pak! Saya mau tanya dong!" Pak Sokim langsung ingin bertanya tanpa basa-basi."Tanya apa Pak? Tanya saja sama kami." Salah satu pengunjung wa
~Setiap tempat punya misterinya masing-masing. Namun misteri terbesar dalam hidup manusia terkadang terletak pada hatinya~Jalan yang tadi sudah dilalui oleh Jidan, Sagita dan Pak Sokim semakin menjadi-jadi hancurnya. Genangan air dimana-mana dan kondisi jalan sangat licin. Pak Sokim harus ekstra hati-hati menjalankan mobil. 3 orang penduduk setempat yang tadi duduk di warung juga turut serta. Mereka ingin memberikan pembuktian bahwa rumah yang tadi didatangi oleh Pak Sokim itu tidak ada."Nah, habis ini, Bapak belok ke arah sini, kan?" Bapak berkumis tebal yang ikut dalam rombongan menunjuk ke satu simpangan jalan. Pak Sokim mengangguk, perasannya mulai tidak enak. Seumur hidup, belum pernah ia mengalami kejadian janggal seperti ini.Mobil terus melaju, hingga sampai di suatu titik dimana Pak Sokim bingung dan memutuskan memberhentikan mobilnya."Kenapa Pak? Kok berhenti?" tanya Sagita yang mulai cemas."Kalian t
~Terus terang pada perasaan yang dirasakan, terkadang itu yang terbaik~Sudah diputuskan malam itu mereka semua akan tidur dimana. Mereka akan tidur di rumah ustadz yang tadi menjadi imam. Nama ustadz itu adalah ustadz Ali. Orang yang terkenal di kawasan itu. Siapa yang tidak kenal ustadz satu ini, suaranya merdu jika mengaji dan selalu gemar membantu banyak orang di kawasan itu."Terima kasih sudah memberi kami tumpangan tempat tinggal Ustadz." Jidan menundukkan kepalanya. Ustadz Ali hanya menepuk pundak Jidan."Tidak apa-apa. Sesama saudara seiman harus saling membantu. Lagipula ada dua kamar kosong di rumah saya. Teman kamu yang perempuan ini bisa tinggal di satu kamar kosong dan satu kamar yang lainnya bisa untuk kamu dan Pak Sokim."Jidan mengangguk. Ia tidak merasa keberatan jika harus tidur sekamar dengan Pak Sokim. Ustadz Ali bukan hanya menyediakan kamar untuk Jidan, Sagita dan Pak Sokim. Mereka bertiga juga dijami
~Ketika melangkah, perhatikan langkahmu. Jangan sampai langkah yang diambil membahayakan orang lain~Tidur Sagita tidak nyenyak. Dia dihantui oleh mimpi buruk. Sagita terbangun di tengah malam. Ia mengusap wajahnya yang penuh peluh. Di dalam mimpinya tadi, ia dililit oleh ular-ular beracun dan semua ular itu menggigit dirinya. Ada satu ular yang mengerikan sekali, warnanya merah dan paling panjang. Ular itu dari kepala hingga buntutnya mampu membelit Sagita dengan kuat. Sagita menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar, sekedar mencari udara segar.Sagita duduk di ruang tengah, suasana sunyi sekali dan jam dinding menunjukkan pukul 2 malam. Sagita merasa dirinya benar-benar tersiksa. Tubuhnya lelah, namun tidurnya pun tidak bisa nyenyak."Orang yang sedang depresi dan perasaan sedih yang luar biasa memang sering mimpi buruk."Sagita kaget. Ia segera membalikkan badannya