~Hujan deras bisa membuat pikiran tenang dan juga kacau~
Perlahan tapi pasti, ular di depan mereka sudah menyingkir. Mobil Pak yang disetir oleh Pak Sokim mulai berjalan pelan. Jidan melihat ke atas langit, ia mulai gelisah. Sagita juga demikian, mendung membuat hatinya jadi cemas."Kok bisa gini ya? Padahal tadi cerah." Jidan bertanya sambil menghela napas."Ya kalau memang mau hujan mau bagaimana lagi? Kita harus pelan-pelan. Yang penting selamat sampai tujuan. Lagian tenang saja Jidan, hujan itu cuman air, masa kamu takut sama air? Memangnya kamu kucing?""Bukan gitu Pak. Takutnya kerjaan kita jadi terkendala.""Halah! Gaya sekali kamu Jidan. Kalau kerjaan kamu terkendala, itu artinya jmu bakal lama bisa balik dari Kalimantan. Seharunya kamu seneng dong.""Kok gitu Pak Sokim?" Sagita yang justru penasaran."Semakin lama Jidan ada di Kalimantan, semakin lama dia bisa sama kamu Git. Bisa berdua-du~Rumah yang kosong biasanya selalu menyimpan misteri yang tidak kosong~Pak Sokim sudah ketiduran di dalam mobil. Cuaca yang dingin dan suara hujan malah seperti meninabobokan dirinya. Ia lupa kalau Jidan dan Sagita masih bertahan di teras rumah yang kian lama semakin basah karena tempias hujan."Geser dekat sini Git! Nanti kamu basah. Enggak apa-apa jarak kita agak dekat sedikit. Inikan darurat." Jidan membujuk Sagita agar mau lebih mendekat, ia senyum pada Sagita. Senyum yang terlihat canggung, namun semakin menunjukkan aura ketampanan Jidan.Sagita malu-malu mendekat pada Jidan. Kedua tangannya erat membekap dirinya sendiri. Harum parfum Jidan semakin menjadi-jadi masuk ke dalam indra penciuman Sagita. Diam-diam, Sagita mulai nyaman dengan wangi parfum itu."Kakak, enggak dingin? Kalau dingin, pakai aja jaket Kakak ini.""Enggak Git! Kamu lebih butuh. Kamu jangan khawatir sama kondisi kakak. Kakak dari kecil su
~Dimanapun berada, tetaplah hormat pada tuan rumah~Jalanan yang dilalui oleh Sagita, Jidan dan Pak Sokim semakin becek dan hancur. Jalan tanah merah ketika tersiram air memang akan semakin tidak karuan. Jantung Sagita lebih berdebar daripada di depan rumah kosong tadi."Nah, itu ada rumah-rumah penduduk. Ayo kita mampir." Pak Sokim bersemangat."Kita cari warung aja Pak." Jidan memberi saran."Iya, iya. Itu sebelah sana ada warung, rame juga." Pak Sokim segera memarkirkan mobilnya di dekat warung itu. Jidan dan Sagita turun masuk dan duduk di sebuah bangku panjang."Dari wajah kalian, sepertinya kalian bukan orang sini." Pemilik warung yang tampak menghidangkan minuman pada para pelanggan warung berkomentar. Jidan mengangguk dan menjelaskan darimana mereka."Pak! Saya mau tanya dong!" Pak Sokim langsung ingin bertanya tanpa basa-basi."Tanya apa Pak? Tanya saja sama kami." Salah satu pengunjung wa
~Setiap tempat punya misterinya masing-masing. Namun misteri terbesar dalam hidup manusia terkadang terletak pada hatinya~Jalan yang tadi sudah dilalui oleh Jidan, Sagita dan Pak Sokim semakin menjadi-jadi hancurnya. Genangan air dimana-mana dan kondisi jalan sangat licin. Pak Sokim harus ekstra hati-hati menjalankan mobil. 3 orang penduduk setempat yang tadi duduk di warung juga turut serta. Mereka ingin memberikan pembuktian bahwa rumah yang tadi didatangi oleh Pak Sokim itu tidak ada."Nah, habis ini, Bapak belok ke arah sini, kan?" Bapak berkumis tebal yang ikut dalam rombongan menunjuk ke satu simpangan jalan. Pak Sokim mengangguk, perasannya mulai tidak enak. Seumur hidup, belum pernah ia mengalami kejadian janggal seperti ini.Mobil terus melaju, hingga sampai di suatu titik dimana Pak Sokim bingung dan memutuskan memberhentikan mobilnya."Kenapa Pak? Kok berhenti?" tanya Sagita yang mulai cemas."Kalian t
~Terus terang pada perasaan yang dirasakan, terkadang itu yang terbaik~Sudah diputuskan malam itu mereka semua akan tidur dimana. Mereka akan tidur di rumah ustadz yang tadi menjadi imam. Nama ustadz itu adalah ustadz Ali. Orang yang terkenal di kawasan itu. Siapa yang tidak kenal ustadz satu ini, suaranya merdu jika mengaji dan selalu gemar membantu banyak orang di kawasan itu."Terima kasih sudah memberi kami tumpangan tempat tinggal Ustadz." Jidan menundukkan kepalanya. Ustadz Ali hanya menepuk pundak Jidan."Tidak apa-apa. Sesama saudara seiman harus saling membantu. Lagipula ada dua kamar kosong di rumah saya. Teman kamu yang perempuan ini bisa tinggal di satu kamar kosong dan satu kamar yang lainnya bisa untuk kamu dan Pak Sokim."Jidan mengangguk. Ia tidak merasa keberatan jika harus tidur sekamar dengan Pak Sokim. Ustadz Ali bukan hanya menyediakan kamar untuk Jidan, Sagita dan Pak Sokim. Mereka bertiga juga dijami
~Ketika melangkah, perhatikan langkahmu. Jangan sampai langkah yang diambil membahayakan orang lain~Tidur Sagita tidak nyenyak. Dia dihantui oleh mimpi buruk. Sagita terbangun di tengah malam. Ia mengusap wajahnya yang penuh peluh. Di dalam mimpinya tadi, ia dililit oleh ular-ular beracun dan semua ular itu menggigit dirinya. Ada satu ular yang mengerikan sekali, warnanya merah dan paling panjang. Ular itu dari kepala hingga buntutnya mampu membelit Sagita dengan kuat. Sagita menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar, sekedar mencari udara segar.Sagita duduk di ruang tengah, suasana sunyi sekali dan jam dinding menunjukkan pukul 2 malam. Sagita merasa dirinya benar-benar tersiksa. Tubuhnya lelah, namun tidurnya pun tidak bisa nyenyak."Orang yang sedang depresi dan perasaan sedih yang luar biasa memang sering mimpi buruk."Sagita kaget. Ia segera membalikkan badannya
~Setiap orang butuh suasana sarapan pagi yang menenangkan~Aroma masakan tercium ke seluruh penjuru rumah. Jidan dan Pak Sokim semangat sekali menuju ke meja makan. Sudah ada istri Ustaz Ali dan juga Sagita yang sibuk menghidangkan makanan di atas meja."Kamu yang masak?" tanya Pak Sokim pada Sagita."Cuman membantu istri Ustaz Ali, Pak.""Saya kira kamu yang masak semua. Biasanya, wanita kalau sudah pernah punya suami, rasa masakannya pasti enak."Jidan menyikut Pak Sokim, tidak etis rasanya membahas tentang status Sagita yang janda di tengah sarapan. Pak Sokim hanya memasang wajah masa bodohnya."Kalian ini sebenarnya mencari siapa di sini?" tanya Ustaz Ali."Nyari Pak Darmana. Beliau dulu tinggal di kawasan ini. Saya dikasih alamatnya begitu. Dia tinggal di jalan Kenari yang kemarin kami datangi. Tapi ya begitu, zonk." Pak Sokim mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya. Ustaz Ali mengangguk dan menyilakan semua orang untu
"Jangan membuat orang kamu cintai terlalu sering merasa kesal, sebaliknya, buatlah mereka merasa spesial"Sagita berlari kecil menuju Jidan. Ia tidak sabar untuk melihat apa yang ingin ditunjukkan oleh Jidan."Komodo?" Sagita memekik."Ya ampun Git! Git! Cantik-cantik tapi wawasan soal satwanya sempit. Komodo itu cuman ada di Flores. Di pulau Komodo. Mana ada Komodo di Kalimantan.""Terus itu apa?"Jidan hanya tersenyum senang. Ia sengaja membuat Sagita penasaran. Sagita melihat binatang yang ada di depannya. Binatang itu badannya besar dan panjang, ia jalan melata di pinggir parit besar."Itu apa?" lagi Sagita memancing Jidan untuk buka suara."Bilang dululah, apa yang dibilang oleh Bos Don sama kamu barusan.""Bos Don cuman nanya kabar kita. Sama rencana istrinya buat menjodohkan aku sama ponokannya dia.""Apa? Menjodohkan? Kamu? Sama keponakan Nyonya Besar?" Jidan berteriak
"Masa lalu bisa kembali dengan cara yang tak terduga. Bisa dengan cara yang bahagia dan bisa dengan cara yang tragis."Bintang berpijar di atas langit. Malam itu telah diputuskan mereka bertiga tinggal di dekat rumah Pak Darmana. Tidak boleh jauh-jauh dari rumah Pak Darmana. Pasalnya mereka harus mengumpulkan banyak informasi tentang Pak Darmana. Berharap ada informasi yang membuat mereka mampu membujuk Pak Darmana."Kamu dapet info apa?" Pak Sokim bertanya pada Jidan."Enggak ada.""Loh! Kok malah enggak ada." Pak Sokim mengernyit."Saya malah baru menelepon Bos Don. Bilang ke Bos Don kalau orang enggak mau jual tanah ya jangan dipaksa. Itukan haknya dia mau jual apa enggak."Plak!Pak Sokim menepuk jidatnya sendiri. Ia cukup kecewa dengan apa yang dikatakan oleh Jidan. Dirinya merasa sia-sia membawa Jidan dan Sagita ke Pak Darmana."Kamu gimana Git?" Pak Sokim beralih ke Sagita.