~Setiap perjalanan memiliki rintangannya masing-masing. Hadapilah, sebab tujuanmu sudah menunggu~
Glodak! Glodak!Sagita berpegangan erat di dalam mobil. Sedari tadi mobil itu melewati jalanan yang penuh berbatuan. Debu-debu bertebangan dimana-mana. Sagita merasa jika jauh sekali tempat yang mereka tuju sekarang."Ini jalan yang benar Pak Sokim?" tanya Jidan memastikan. Pasalnya samping kanan kiri yang ia lihat hanya pohon sawit saja. Tidak ada rumah penduduk yang mereka lewati."Benar Jidan. Ya ini jalannya. Memang kita harus melewati perkebunan sawit ini dulu. Baru setelah itu, kita akan masuk ke rumah penduduk dan bertemu dengan salah satu orang penting di sana." Pak Sokim menjelaskan."Jauh sekali Jidan rasa ini. Sepi lagi.""Memang begitu. Kalian terlalu sering tinggal di kota.""Aku kira Kalimantan tidak akan sesunyi ini.""Memang tidaj sesunyi ini Nona Sagita. Tapi kalau di bagian~Manusia terkadang tidak bisa mengelak dari bahaya yang ditakdirkan untuknya. Maka bersiaplah untuk semua bahaya yang akan datang~"Kamu emang dulu pernah digigit ular dimana?" Pak Sokim memancing Jidan untuk bercerita."Di tempat temen Pak. Di kebun bekalang rumahnya.""Kok bisa digigit? Kamu apain itu ular? Setahu saya, ular kalau enggak diganggu, enggak bakal nyatok atau mbelit.""Sebenernya ularnya bukan mau menggigit saya Pak. Tapi,""Tapi apa Kak?" Sagita mulai penasaran."Oh! Saya tahu. Pasti ularnya mau menggigit pacar kamu, terus karena kamu panik dan takut pacar kamu kegigit, kamu malah ngorbanin tangan kamu biar digigit sama itu ular. Bener, kan?"Jidan menelan ludah. Ia tidak membenarkan apa yang dikatakan oleh Pak Sokim, tapi juga tidak membantah apa yang dikatakan oleh Pak Sokim. Pak Sokim justru tertawa melihat reaksi dari Jidan."Bapak kok bisa tahu?" tanya Sagita y
~Hujan deras bisa membuat pikiran tenang dan juga kacau~Perlahan tapi pasti, ular di depan mereka sudah menyingkir. Mobil Pak yang disetir oleh Pak Sokim mulai berjalan pelan. Jidan melihat ke atas langit, ia mulai gelisah. Sagita juga demikian, mendung membuat hatinya jadi cemas."Kok bisa gini ya? Padahal tadi cerah." Jidan bertanya sambil menghela napas."Ya kalau memang mau hujan mau bagaimana lagi? Kita harus pelan-pelan. Yang penting selamat sampai tujuan. Lagian tenang saja Jidan, hujan itu cuman air, masa kamu takut sama air? Memangnya kamu kucing?""Bukan gitu Pak. Takutnya kerjaan kita jadi terkendala.""Halah! Gaya sekali kamu Jidan. Kalau kerjaan kamu terkendala, itu artinya jmu bakal lama bisa balik dari Kalimantan. Seharunya kamu seneng dong.""Kok gitu Pak Sokim?" Sagita yang justru penasaran."Semakin lama Jidan ada di Kalimantan, semakin lama dia bisa sama kamu Git. Bisa berdua-du
~Rumah yang kosong biasanya selalu menyimpan misteri yang tidak kosong~Pak Sokim sudah ketiduran di dalam mobil. Cuaca yang dingin dan suara hujan malah seperti meninabobokan dirinya. Ia lupa kalau Jidan dan Sagita masih bertahan di teras rumah yang kian lama semakin basah karena tempias hujan."Geser dekat sini Git! Nanti kamu basah. Enggak apa-apa jarak kita agak dekat sedikit. Inikan darurat." Jidan membujuk Sagita agar mau lebih mendekat, ia senyum pada Sagita. Senyum yang terlihat canggung, namun semakin menunjukkan aura ketampanan Jidan.Sagita malu-malu mendekat pada Jidan. Kedua tangannya erat membekap dirinya sendiri. Harum parfum Jidan semakin menjadi-jadi masuk ke dalam indra penciuman Sagita. Diam-diam, Sagita mulai nyaman dengan wangi parfum itu."Kakak, enggak dingin? Kalau dingin, pakai aja jaket Kakak ini.""Enggak Git! Kamu lebih butuh. Kamu jangan khawatir sama kondisi kakak. Kakak dari kecil su
~Dimanapun berada, tetaplah hormat pada tuan rumah~Jalanan yang dilalui oleh Sagita, Jidan dan Pak Sokim semakin becek dan hancur. Jalan tanah merah ketika tersiram air memang akan semakin tidak karuan. Jantung Sagita lebih berdebar daripada di depan rumah kosong tadi."Nah, itu ada rumah-rumah penduduk. Ayo kita mampir." Pak Sokim bersemangat."Kita cari warung aja Pak." Jidan memberi saran."Iya, iya. Itu sebelah sana ada warung, rame juga." Pak Sokim segera memarkirkan mobilnya di dekat warung itu. Jidan dan Sagita turun masuk dan duduk di sebuah bangku panjang."Dari wajah kalian, sepertinya kalian bukan orang sini." Pemilik warung yang tampak menghidangkan minuman pada para pelanggan warung berkomentar. Jidan mengangguk dan menjelaskan darimana mereka."Pak! Saya mau tanya dong!" Pak Sokim langsung ingin bertanya tanpa basa-basi."Tanya apa Pak? Tanya saja sama kami." Salah satu pengunjung wa
~Setiap tempat punya misterinya masing-masing. Namun misteri terbesar dalam hidup manusia terkadang terletak pada hatinya~Jalan yang tadi sudah dilalui oleh Jidan, Sagita dan Pak Sokim semakin menjadi-jadi hancurnya. Genangan air dimana-mana dan kondisi jalan sangat licin. Pak Sokim harus ekstra hati-hati menjalankan mobil. 3 orang penduduk setempat yang tadi duduk di warung juga turut serta. Mereka ingin memberikan pembuktian bahwa rumah yang tadi didatangi oleh Pak Sokim itu tidak ada."Nah, habis ini, Bapak belok ke arah sini, kan?" Bapak berkumis tebal yang ikut dalam rombongan menunjuk ke satu simpangan jalan. Pak Sokim mengangguk, perasannya mulai tidak enak. Seumur hidup, belum pernah ia mengalami kejadian janggal seperti ini.Mobil terus melaju, hingga sampai di suatu titik dimana Pak Sokim bingung dan memutuskan memberhentikan mobilnya."Kenapa Pak? Kok berhenti?" tanya Sagita yang mulai cemas."Kalian t
~Terus terang pada perasaan yang dirasakan, terkadang itu yang terbaik~Sudah diputuskan malam itu mereka semua akan tidur dimana. Mereka akan tidur di rumah ustadz yang tadi menjadi imam. Nama ustadz itu adalah ustadz Ali. Orang yang terkenal di kawasan itu. Siapa yang tidak kenal ustadz satu ini, suaranya merdu jika mengaji dan selalu gemar membantu banyak orang di kawasan itu."Terima kasih sudah memberi kami tumpangan tempat tinggal Ustadz." Jidan menundukkan kepalanya. Ustadz Ali hanya menepuk pundak Jidan."Tidak apa-apa. Sesama saudara seiman harus saling membantu. Lagipula ada dua kamar kosong di rumah saya. Teman kamu yang perempuan ini bisa tinggal di satu kamar kosong dan satu kamar yang lainnya bisa untuk kamu dan Pak Sokim."Jidan mengangguk. Ia tidak merasa keberatan jika harus tidur sekamar dengan Pak Sokim. Ustadz Ali bukan hanya menyediakan kamar untuk Jidan, Sagita dan Pak Sokim. Mereka bertiga juga dijami
~Ketika melangkah, perhatikan langkahmu. Jangan sampai langkah yang diambil membahayakan orang lain~Tidur Sagita tidak nyenyak. Dia dihantui oleh mimpi buruk. Sagita terbangun di tengah malam. Ia mengusap wajahnya yang penuh peluh. Di dalam mimpinya tadi, ia dililit oleh ular-ular beracun dan semua ular itu menggigit dirinya. Ada satu ular yang mengerikan sekali, warnanya merah dan paling panjang. Ular itu dari kepala hingga buntutnya mampu membelit Sagita dengan kuat. Sagita menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar, sekedar mencari udara segar.Sagita duduk di ruang tengah, suasana sunyi sekali dan jam dinding menunjukkan pukul 2 malam. Sagita merasa dirinya benar-benar tersiksa. Tubuhnya lelah, namun tidurnya pun tidak bisa nyenyak."Orang yang sedang depresi dan perasaan sedih yang luar biasa memang sering mimpi buruk."Sagita kaget. Ia segera membalikkan badannya
~Setiap orang butuh suasana sarapan pagi yang menenangkan~Aroma masakan tercium ke seluruh penjuru rumah. Jidan dan Pak Sokim semangat sekali menuju ke meja makan. Sudah ada istri Ustaz Ali dan juga Sagita yang sibuk menghidangkan makanan di atas meja."Kamu yang masak?" tanya Pak Sokim pada Sagita."Cuman membantu istri Ustaz Ali, Pak.""Saya kira kamu yang masak semua. Biasanya, wanita kalau sudah pernah punya suami, rasa masakannya pasti enak."Jidan menyikut Pak Sokim, tidak etis rasanya membahas tentang status Sagita yang janda di tengah sarapan. Pak Sokim hanya memasang wajah masa bodohnya."Kalian ini sebenarnya mencari siapa di sini?" tanya Ustaz Ali."Nyari Pak Darmana. Beliau dulu tinggal di kawasan ini. Saya dikasih alamatnya begitu. Dia tinggal di jalan Kenari yang kemarin kami datangi. Tapi ya begitu, zonk." Pak Sokim mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya. Ustaz Ali mengangguk dan menyilakan semua orang untu
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi