Alexandra mendekati Rafael yang terlihat tengah mencarinya. Wajah lelaki itu menunjukkan perasaan lega saat mendapati Alexandra muncul di hadapannya.“Kamu dari mana?” tanya Rafael sambil melihat ke sekelilingnya.“Habis dari toilet,” jawab Alexandra berbohong, ia tak mungkin mengatakan jika dirinya baru saja bertemu dengan William.“Sebaiknya kita pulang sekarang,” kata Rafael yang menunjukkan gelagat anehnya. Alexandra tidak bertanya apapun dan menurut apa kata Rafael.Mereka berdua berjalan ke arah tempat parkir, di sana Alexandra masih bisa melihat mobil William. Bahkan lelaki itu membuka sedikit kaca jendela hingga menampakkan sedikit wajahnya.Gadis itu sedikit terkejut sebelum akhirnya disadarkan oleh Rafael yang memintanya untuk naik.Perasaan Alexandra bercampuraduk. Dalam hatinya ia ingin bersama dengan William. Akan tetapi, keadaannya saat ini tidak memungkinkan untuk bersama dengan lelaki itu.Dia dengan status bertunangan dengan Rafael, dan William yang berstatus menikah
“Lex!” Rafael membuka pintu belakang dan mendapati Alexandra sedang berdiri dengan canggung dan menatapnya aneh.“Kamu baik baik aja, kan?” tanya Rafael dan melihat ke sekelilingnya. “Aku denger kamu lagi ngobrol, sama siapa?”“Oh itu… sama warga sini tadi.”“Tumben udah malam mereka masih di luar.”“Ya.. gitu lah.” Alexandra berjalan ke arah pintu dan mengajak Rafael untuk masuk, meski Rafael sesekali masih melihat ke belakang untuk memastikan apakah ada orang lain di rumahnya.“Kamu pasti capek di jalan, sebaiknya tidur aja,” kata Rafael.Alexandra meneguk minuman dari gelasnya kemudian mengangguk.“Iya, aku mau tidur,” sahut Alexandra.Saat Alexandra hendak membuka pintu kamarnya. Lengannya tiba tiba dipegang oleh Rafael.“Kapan kamu mau membuka hatimu untukku, Lex?” tanya Rafael.Alexandra hanya tersenyum canggung.“Aku tau kita cuma pura pura tunangan, tapi apa nggak ada kesempatan buatku untuk menikahimu?”Sontak Alexandra menatap rafael terkejut.“Bukankah kita udah setuju, kal
Alexandra menatap rumah kecil itu dari mobil William. Pandangannya kosong dan tubuhnya seakan tidak memiliki nyawa. Wajahnya terlihat pucat dengan tangan masih gemetaran.William melepaskan jasnya kemudian memakaikannya kepada Alexandra. Alexandra menoleh lalu membuang wajahnya karena malu terhadap William.“Kita pulang,” kata William.Terdengar suara sesenggukan dari arah Alexandra. William hanya diam dan tak bertanya apa apa pada gadis itu, membiarkan Alexandra untuk melepaskan rasa penat di dalam dadanya.Karena kapal feri tersedia masih besok pagi, akhirnya William dan Alexandra tidur di dalam mobil di dekat dermaga. Mereka tidak mau berada di dekat rumah itu karena hanya akan membuat Alexandra semakin terluka dan trauma.“Kamu tidurlah, aku nggak akan tidur, untuk jaga jaga,” kata William agar Alexandra bisa tidur dengan tenang.Alexandra mengangguk, dia merendahkan kursinya agar bisa berbaring sementara William memandang sekitarnya dengan waspada.Ponselnya bergetar, Nikita akhi
“Maksudmu, ini semua ada hubungannya dengan ayah Lisa?”Alexandra mengangguk.“Terserahlah, yang aku tau lelaki itu brengsek, entah ada kaitannya dengan ayahnya Lisa atau tidak. Aku nggak akan memaafkannya. Aku nggak akan biarkan dia ketemu sama kamu lagi.“Dan aku masih nggak ngerti, kenapa kamu nggak mau aku laporin polisi.”“Aku malu, Om,” kata Alexandra. “Biarin aja.” Suara Alexandra melunak, seakan dia tidak memiliki kepercayaan diri lagi untuk menghadapi semuanya.**Nikita menoleh ke arah pintu ketika terdengar suara pintu dibuka dari luar. Kemudian tak lama dia melihat William datang tapi tidak sendiri… melainkan dengan Alexandra.Nikita tersenyum sambil melambaikan tangannya, sementara satu tangannya memegang cangkir berisi kopi.“Kamu harus segera siap siap,” kata Nikita. “Kita akan rapat di hotel.”“Kenapa kamu mendadak sekali bilangnya?” Meski begitu William bergegas menuju kamarnya, membersihkan dirinya lalu tak lama keluar sudah rapi dengan kemeja dan jasnya yang bersih.
Alexandra menimbang saran dari Ethan, tapi tinggal di rumahnya sebenarnya tidak menyelesaikan masalah apapun. Namun, di sisi lain dia juga harus memiliki seseorang yang bisa melindunginya, mengingat ayah Lisa yang terus berusaha untuk menghancurkannya atas apa yang sudah menimpa Lisa.“Lex?” Panggilan dari Ethan memutus pikirannya. Dia hanya tersenyum tipis kepada kakak sepupunya tersebut.“Pikir baik baik ya, aku harus masuk sekarang. Nanti kamu kabarin aku kalau kamu udah yakin.”Alexandra mengangguk dan mengamati kepergian Ethan dengan gamang.Di sisi lain, Nikita terus mendengus di dalam mobil. Dia berkali-kali melirik ke arah William yang terlihat begitu gusar.“Itu sama saja kamu hampir terbunuh, dan kamu nggak melaporkan hal ini?” tanya Nikita.“Alexandra nggak mau aku melakukannya.”“Alasannya?”William diam.Nikira mendengus lagi.“Sudahlah yang terpenting aku sudah bisa datang ke tempat rapat tadi.”“Tapi aku yakin kejadian ini akan terulang lagi, aku nggak percaya kalau kam
Pintu kamar Alexandra diketuk oleh Ethan, dia mengusap wajahnya dengan punggung tangannya lalu membuka pintu.Ethan terlihat terkejut melihat Alexandra seperti habis menangis.“Kamu kenapa?” tanya Ethan.Alexandra menggeleng, dia sudah tidak melihat keberadaan Ashley di ruang tamu.“Dia udah pulang,” jelas Ethan mengetahui Alexandra mencari keberadaan Ashley.“Aku bawa makanan waktu nganter Ashley pulang tadi,” kata Ethan. “Nasi goreng. Kamu belum makan, kan?”“Iya.”“Kalau begitu keluar, kita makan di ruang makan.”Alexandra mengikuti Ethan ke ruang makan. Di sana sudah ada dua bungkus nasi goreng. Alexandra membuka bungkusannya, meski lapar dia tak memiliki nafsu makan saat ini.“Makan, kamu harus punya tenaga buat menjalani hidup,” kata William.Alexandra mengangguk dan mulai menyendok nasi goreng dan menyuapkan ke dalam mulutnya. Perasaan tak enak meliputi dirinya saat ini. Apakah ini ada kaitannya dengan William?“Besok aku mau ke rumah lama, ambil beberapa pakaianku,” kata Alexa
Ethan langsung menghampiri Alexandra yang berada di dalam kamarnya. Wanita itu mengeluh rasa panas di dalam tubuhnya.“Alexa, kamu kenapa?” tanya Ethan.Alexandra menggeleng.“Sakit, Kak,” katanya seperti menahan rasa sakit.“Sakit bagian mana?”Alexandra masih menggeleng, perempuan itu mengeluarkan keringat dingin dan tidak fokus dengan sesuatu. Alexandra seperti aneh, seperti saat Anton masuk gadis itu sama sekali tidak memekik atau mengusir Anton pergi.Jangan jangan …“Lex, lihat aku!” Ethan mengguncangkan bahu Alexandra, menatap kedua bola mata Alexandra yang sayu.Ethan langsung tahu jika Ashley telah memasukkan obat perangsang pada minuman Anton dan Alexandra.“Sakit,” kata Alexandra lagi.Ethan tidak dapat membendung perasaannya saat ini, apalagi melihat Alexandra yang begitu menggairahkan di depan matanya. Gadis itu sama sekali tidak keberatan ketika Ethan memeluk pinggangnya dan melepaskan kaos yang dikenakannya.“Aku akan membantumu,” kata Ethan. Ethan mengecup setiap jeng
“Terus? Kamu mau menggugurkannya?” tanya Ethan cemas jika Alexandra akan mengiyakannya.Alexandra termenung dan melihat perutnya yang masih rata, di dalam rahimnya sekarang ada janin sebesar biji jagung yang selama beberapa bulan ke depan berubah menjadi seorang bayi.Dia tahu jika menggugurkannya sekarang tak akan begitu bermasalah. Hanya saja, dia pasti akan merasa bersalah jika sampai membunuh mahkluk yang tidak bersalah itu.“Alexa?”Alexandra mendongak, Ethan tiba tiba memeluknya, mendekapnya dan menenggelamkannya dalam dadanya.“Kalau kamu belum siap, kita bisa pelan pelan.”“Kenapa kakak yakin? Gimana dengan bibi Martha …”“Ibuku nggak akan menemuiku, dia sudah hidup enak dengan Emily, Alexa.”“Kakak bisa menjaminnya?”Ethan mengangguk dengan yakin, memantapkan keputusan Alexandra yang terlihat masih bimbang.“Tapi …”“Kenapa?”**PRANK!William tak sengaja menjatuhkan gelas wine-nya untuk ke sekian kalinya dalam beberapa minggu ini. Dia merasa jika ada yang tidak beres dengan