Alexandra menimbang saran dari Ethan, tapi tinggal di rumahnya sebenarnya tidak menyelesaikan masalah apapun. Namun, di sisi lain dia juga harus memiliki seseorang yang bisa melindunginya, mengingat ayah Lisa yang terus berusaha untuk menghancurkannya atas apa yang sudah menimpa Lisa.“Lex?” Panggilan dari Ethan memutus pikirannya. Dia hanya tersenyum tipis kepada kakak sepupunya tersebut.“Pikir baik baik ya, aku harus masuk sekarang. Nanti kamu kabarin aku kalau kamu udah yakin.”Alexandra mengangguk dan mengamati kepergian Ethan dengan gamang.Di sisi lain, Nikita terus mendengus di dalam mobil. Dia berkali-kali melirik ke arah William yang terlihat begitu gusar.“Itu sama saja kamu hampir terbunuh, dan kamu nggak melaporkan hal ini?” tanya Nikita.“Alexandra nggak mau aku melakukannya.”“Alasannya?”William diam.Nikira mendengus lagi.“Sudahlah yang terpenting aku sudah bisa datang ke tempat rapat tadi.”“Tapi aku yakin kejadian ini akan terulang lagi, aku nggak percaya kalau kam
Pintu kamar Alexandra diketuk oleh Ethan, dia mengusap wajahnya dengan punggung tangannya lalu membuka pintu.Ethan terlihat terkejut melihat Alexandra seperti habis menangis.“Kamu kenapa?” tanya Ethan.Alexandra menggeleng, dia sudah tidak melihat keberadaan Ashley di ruang tamu.“Dia udah pulang,” jelas Ethan mengetahui Alexandra mencari keberadaan Ashley.“Aku bawa makanan waktu nganter Ashley pulang tadi,” kata Ethan. “Nasi goreng. Kamu belum makan, kan?”“Iya.”“Kalau begitu keluar, kita makan di ruang makan.”Alexandra mengikuti Ethan ke ruang makan. Di sana sudah ada dua bungkus nasi goreng. Alexandra membuka bungkusannya, meski lapar dia tak memiliki nafsu makan saat ini.“Makan, kamu harus punya tenaga buat menjalani hidup,” kata William.Alexandra mengangguk dan mulai menyendok nasi goreng dan menyuapkan ke dalam mulutnya. Perasaan tak enak meliputi dirinya saat ini. Apakah ini ada kaitannya dengan William?“Besok aku mau ke rumah lama, ambil beberapa pakaianku,” kata Alexa
Ethan langsung menghampiri Alexandra yang berada di dalam kamarnya. Wanita itu mengeluh rasa panas di dalam tubuhnya.“Alexa, kamu kenapa?” tanya Ethan.Alexandra menggeleng.“Sakit, Kak,” katanya seperti menahan rasa sakit.“Sakit bagian mana?”Alexandra masih menggeleng, perempuan itu mengeluarkan keringat dingin dan tidak fokus dengan sesuatu. Alexandra seperti aneh, seperti saat Anton masuk gadis itu sama sekali tidak memekik atau mengusir Anton pergi.Jangan jangan …“Lex, lihat aku!” Ethan mengguncangkan bahu Alexandra, menatap kedua bola mata Alexandra yang sayu.Ethan langsung tahu jika Ashley telah memasukkan obat perangsang pada minuman Anton dan Alexandra.“Sakit,” kata Alexandra lagi.Ethan tidak dapat membendung perasaannya saat ini, apalagi melihat Alexandra yang begitu menggairahkan di depan matanya. Gadis itu sama sekali tidak keberatan ketika Ethan memeluk pinggangnya dan melepaskan kaos yang dikenakannya.“Aku akan membantumu,” kata Ethan. Ethan mengecup setiap jeng
“Terus? Kamu mau menggugurkannya?” tanya Ethan cemas jika Alexandra akan mengiyakannya.Alexandra termenung dan melihat perutnya yang masih rata, di dalam rahimnya sekarang ada janin sebesar biji jagung yang selama beberapa bulan ke depan berubah menjadi seorang bayi.Dia tahu jika menggugurkannya sekarang tak akan begitu bermasalah. Hanya saja, dia pasti akan merasa bersalah jika sampai membunuh mahkluk yang tidak bersalah itu.“Alexa?”Alexandra mendongak, Ethan tiba tiba memeluknya, mendekapnya dan menenggelamkannya dalam dadanya.“Kalau kamu belum siap, kita bisa pelan pelan.”“Kenapa kakak yakin? Gimana dengan bibi Martha …”“Ibuku nggak akan menemuiku, dia sudah hidup enak dengan Emily, Alexa.”“Kakak bisa menjaminnya?”Ethan mengangguk dengan yakin, memantapkan keputusan Alexandra yang terlihat masih bimbang.“Tapi …”“Kenapa?”**PRANK!William tak sengaja menjatuhkan gelas wine-nya untuk ke sekian kalinya dalam beberapa minggu ini. Dia merasa jika ada yang tidak beres dengan
Alexandra melihat kedatangan Ethan dengan begitu bersemangat. Dia tidak tahu hal apa yang sudah terjadi sampai membuat lelaki itu terlihat begitu ceria dari biasanya.“Aku ada kabar gembira,” kata Ethan. Dia menarik kursi lalu mendudukinya. Tepat di depan Alexandra yang tengah mengaduk teh hangatnya.“Berita apa?”“Aku akan dipindahkan ke perusahaan cabang. Di sana kemungkinan besar aku bisa naik jabatan. Dan aku akan membawamu ke sana.”“Ke mana?”“Ehmm, jauh dari kota. Tapi aku yakin kamu suka.”“Masih di pedesaan?”“Pulau.”Mendengar kata pulau membuat Alexandra teringat dengan kejadian beberapa waktu yang lalu. Namun, Ethan memastikan jika pulau itu bukanlah pulau yang ditempati oleh dirinya dan Rafael saat itu.“Gimana? Sebelum perut kamu membesar, sebaiknya kita daftarkan pernikahan kita.”Ada beberapa hal yang membuat Alexandra masih ragu, entah mengapa dia takut dengan keputusan yang dia buat saat ini.“Lexa? Kamu masih punya niatan untuk menggugurkan anakmu?”“Bukan begitu.”
SATU BULAN KEMUDIAN …Satu bulan sudah Alexandra sudah resmi menjadi istri dari Ethan. Dia juga telah tinggal di sebuah rumah yang digunakan khusus untuk karyawan.Rumah yang dia tempati saat ini lebih luas, halaman juga luas dan bisa digunakan Alexandra untuk menanam tanaman dan juga bunga.Setiap hari kegiatan Alexandra hanya berkebun. Jika dia memiliki ide, dia melanjutkan tulisannya yang sudah lama terbengkalai. Karena sejak ada Ethan, dia sudah tidak perlu memusingkan biaya hidupnya.Pekerjaan Ethan mulai stabil, dan jika sudah satu tahun berada di sana dia akan diangkat menjadi manajer di perusahaan cabang. Hal yang sangat ditunggu oleh Ethan, karena dengan begitu dia akan mendapatkan kenaikan gaji dan juga tunjangan.Alexandra sekarang berusaha untuk melupakan William, meskipun belum bisa sepenuhnya tapi dia yakin jika dirinya bisa melupakan William.Dia tidak mencoba melihat kabar di internet dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku.“Aku berangkat dulu,” kata Et
Ethan pulang dengan membawa sekotak penuh donat kesukaan Alexandra. Meskipun Alexandra tidak memintanya tetapi Ethan selalu saja membawa makanan untuk istrinya tersebut.Hati Alexandra yang awalnya membatu lama-lama luluh karena sikap Ethan yang benar benar berbeda dengan waktu dia masih remaja. Cuek dan tidak begitu peduli.Tetapi, mungkin karena Ethan kini sudah dewasa watak dan sifatnya pun sedikit berubah. Dan itu menjadi jauh lebih baik.“Aku ada kabar baik,” kata Ethan, dia meletakkan satu kotak donat itu di atas meja makan.“Apa? Kamu naik jabatan?” tebak Alexandra. Tak sabar ingin memakan donat kesukaannya.“Kok kamu tau.” Ethan menatap Alexandra dengan serius.“Padahal aku cuma asal tebak, tapi serius bener?”Ethan mengangguk semangat. “Tapi masih enam bulan lagi, kinerjaku harus dievaluasi tapi kata orang pusat udah pasti aku diangkat.” Ethan meringis tersenyum memperlihatkan senyumnya yang menawan.“Wah selamat! Aku yakin kamu pasti bisa.”“Nanti kalau udah dua tahun, mungk
Alexandra membuka matanya ketika dia merasakan tangan dingin memeluk tubuhnya. Begitu membalik tubuhnya dia melihat Ethan ada di belakangnya dan memeluknya erat.“Kamu bangun? Maaf, aku kedinginan soalnya,” kekeh Ethan.“Habis dari mana?”“Dari luar, jalan jalan sebentar.”“Kok nggak ajak ajak.”“Kamu masih tidur tadi.”“Aku mau cuci muka kalau begitu.”“Nggak usah, udah malam, besok pagi aja.” Ethan makin erat memeluk Alexandra. Alexandra pun tak berdaya dan diam dalam pelukan Ethan.“Soal bibi Martha… “Alexandra memulai pembicaraannya. Ethan yang tadinya menutup mata dan berusaha untuk tidur membuka matanya kembali.“Kenapa sama ibuku?”“Gimana kabarnya?”“Emm… aku nggak tau.”“Aku takut.”“Takut apa? Ketemu sama ibuku?”Alexandra mengangguk.“Dia nggak akan menemukan kita di sini, aku janji.”Mungkin besok Ethan harus mencari jalan lain agar bisa membuat ibunya tidak menyusulnya ke sana. Dia sebenarnya tak mau bersikap seperti itu terhadap ibunya jika dulu dia memperlakukan Alexan
Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
William tiba di apartemennya setelah seharian kerja. Saat ia memasuki ruang tamu, ia melihat Alexandra tertidur pulas di balkon. Bulan purnama menerangi wajah muda Alexandra yang tenang. William menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkannya. "Dingin sekali di sini," gumam William sambil menyelimuti Alexandra dengan lembut. Gadis itu merasa hangat dan sedikit menggeliat, tetapi tetap tertidur.Setelah meyakinkan diri bahwa Alexandra nyaman dengan selimutnya, William memutuskan untuk membopongnya ke dalam kamar. Tubuh Alexandra yang ringan membuatnya mudah diangkat. Langkahnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur Alexandra yang lelap. Sampai di dalam kamar, William meletakkan Alexandra dengan lembut di atas tempat tidur. Ia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian sejenak, lalu menutup pintu kamar perlahan ketika meninggalkannya untuk tidur dengan tenang.--Malam itu, Alexandra terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia tampak gelisah, terli
Evan duduk gelisah di ruang tamu rumahnya, memikirkan nasib Arini yang belum diketahui keberadaannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Arini. Ponselnya tiba-tiba berdering, mengagetkannya. Dia buru-buru mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari nomor polisi.Evan mengangkat telepon, "Halo, ini Evan.""Halo, Pak Evan. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa Arini telah ditemukan. Dia sedang dirawat di rumah sakit setelah mengalami kejadian yang traumatis. Anda bisa menjemputnya di sana."Evan merasa lega, "Oh, syukurlah. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera ke sana."Evan segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia langsung menuju ruang perawatan tempat Arini berada. Dia melihat Arini terbaring di tempat tidur, tampak lemah dan pucat, tetapi dia merasa lega melihat Arini selamat.Evan duduk di samping tempat tidur Arini. "Arini. Bagaimana kabarmu?"Arini dengan suara lemah. "
Polisi setelah menerima laporan penculikan dari Evan, segera melakukan penyelidikan dan menemukan keberadaan rumah Edward. Dengan sigap, mereka menggerebek rumah tersebut dengan harapan menemukan Arini.Saat polisi memasuki rumah, mereka menemukan Edward sedang berusaha untuk melarikan diri melalui pintu belakang. Dengan cepat, polisi mengejar dan berusaha menghentikannya. Namun, Edward menolak untuk menyerah dan terus berlari.Dalam keputusasaan, salah satu polisi memutuskan untuk menembak ke arah kaki Edward untuk menghentikannya. Peluru tersebut mengenai kakinya, membuat Edward jatuh tersungkur ke tanah dengan rasa sakit yang luar biasa.Polisi segera menangkap Edward dan memeriksanya untuk memastikan dia tidak membawa senjata atau bahaya lainnya. Setelah yakin aman, mereka membawanya ke mobil patroli dan membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut.Sementara itu, Arini telah dibawa pulang oleh pria yang menolongnya di hutan. Dia merasa lega karena telah sela
Arini duduk tegak di dalam kamar yang gelap dan hening. Dia merasa terjebak dalam situasi yang mencekam dan tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi tersebut. Mendadak, pintu terbuka dan Edward masuk membawa sebuah piring makanan."Dengar, Arini. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Silakan makan," ucap Edward dengan suara yang tenang, lalu dia duduk di depan Arini.Arini menatap piring makanan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa menolak akan membuat situasinya semakin buruk, tetapi dia juga tidak ingin bergantung pada Edward.Tanpa kata, Arini menerima piring makanan itu dari tangan Edward. Dia mencoba untuk memakannya dengan lambat, tetapi perasaannya yang campur aduk membuatnya kesulitan menelan makanan. Akhirnya, rasa mual yang teramat sangat membuatnya tidak tahan lagi, dan dia memuntahkan semua makanan yang sudah dimakan ke piring di hadapannya.Edward terkejut melihat tindakan Arini. "Kenapa kau melakukan itu, Arini? Aku mencoba untuk memperlakukanmu de
Arini merasa panik ketika mobil yang dikemudikan oleh Edward semakin menjauh dari tempat pesta pernikahan. Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi kekhawatirannya semakin memuncak ketika dia menyadari bahwa dia sedang dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya.Edward tidak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan. Arini mencoba mencari peluang untuk melarikan diri, tetapi dia sadar bahwa dia tidak bisa melawan sendirian. Dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang mencekam.Setelah beberapa saat, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan mewah. Edward membawa Arini masuk ke dalam rumah tersebut tanpa berkata apa-apa. Arini mencoba untuk tetap tenang, tetapi ketakutan yang dirasakannya membuatnya gemetar.Di dalam rumah, Arini dibawa ke sebuah ruangan yang gelap. Edward menutup pintu dan duduk di depan Arini dengan tatapan dingin. "Kau tahu mengapa aku membawamu ke sini, kan?" ucap Edward dengan suara yang dingin.Arini menelan ludahnya. "Apa yang kau in