Kalan tersenyum lebar. Dia memang tidak pernah gagal mendapatkan apa yang dia mau, termasuk seorang pacar. Rianza, cewek yang terkenal pendiam itu berhasil didapatkannya. Di kampus, mereka sangat jarang bertemu. Rianza hanya akan ke kampus jika ada jadwal bimbingan dengan Pak Ardi, berbeda dengan Kalan yang masih memiliki kelas untuk diikuti. Sejak cewek itu akhirnya setuju untuk menjalin hubungan dengan Kalan, tidak ada hal yang spesial terjadi. Tidak ada hubungan pacaran seperti hubungan Kalan dengan mantan-mantan sebelumnya. Rianza bahkan tidak pernah mengiriminya pesan terlebih dahulu. Dia hanya akan membalas jika Kalan menanyakan sesuatu seperti sudah makan atau belum, atau bertanya lokasi Rianza. Gadis itu juga menjawab sekenanya. Dia bahkan tidak pernah bertanya balik pada Kalan.
“Nggak usah kasih makanan lagi. Gue masih mampu beli,” ucap Rianza yang protes Kalan selalu membelikannya makanan dan meletakkannya di gagang pintu kamar cewek itu.
“Lo harus terima. Ini bentuk perhatian gue ke lo,” ucap Kalan sembari tersenyum, “gue juga beli makanan buat gue. Kita makan bareng di dapur, yuk,” ajaknya.
Rianza menggeleng, “Gue sibuk. Mau revisian. Makasih makanannya.”
Cewek itu langsung menutup pintu kamarnya. Meninggalkan Kalan yang menatap pintu itu dengan tatapan tidak percaya. Sudah seminggu sejak mereka memutuskan untuk pacaran tapi Kalan sama sekali tidak merasa diperlakukan seperti seorang kekasih. Rianza akan menolak jika diajak pergi ke luar kamarnya, bahkan ketika Kalan hanya mengajaknya ke dapur bersama yang ada di lantai dua. Cewek itu selalu beralasan bahwa dia sibuk melakukan revisi skripsi dan tidak ingin diganggu. Kalan paham kalau melakukan revisi skripsi memang butuh konsentrasi tinggi. Tapi dia tidak suka dicuekin seperti ini.
Cowok itu langsung mengetuk pintu Rianza. Dia harus membenarkan apa yang menurutnya tidak benar dari hubungan mereka. Tidak lama kemudian Rianza keluar dengan wajah datarnya. “Apa?” tanya Rianza dengan suara datarnya.
Tanpa aba-aba, Kalan langsung menarik tubuh Rianza masuk dalam rengkuhannya. Kalan meletakkan satu tangannya di pinggang Rianza dan satu tangan mengelus pucuk rambut gadis itu. Dia juga tidak melewatkan kesempatan untuk mencium aroma shampo yang digunakan gadis itu. “Lo wangi,” ucapnya yang kembali mengendus aroma tersebut.
“Kalan, kenapa?” tanya Rianza bingung.
Tubuh mungil gadis itu mencoba untuk melepaskan pelukan Kalan. Namun tentu saja Kalan tidak mengindahkan hal tersebut. Dia bahkan semakin erat memeluk gadis mungil itu.
“Lo pacar gue. Gue nggak butuh alasan buat meluk elo.”
Rianza semakin mencoba untuk melepaskan dirinya. “Kalan, lepas.”
“Nggak sebelum lo memperlakukan gue sebagaimana orang pacaran kebanyakan. Gue nggak suka lo cuekin gue. Gue nggak suka lo nolak pemberian dari gue. Gue nggak suka, paham? Lo harus jadi pacar yang baik kalau mau gue lepasin.”
Tubuh Rianza mematung. Kalan yang menyadari hal ganjal tersebut sedikit mengurai pelukannya. “Kenapa?”
Rianza menggeleng, “Gue nggak tahu harus gimana. Gue nggak pernah pacaran sebelumnya.”
Mendengar itu, mata Kalan nyaris keluar dari tempatnya. “Serius?”
Rianza mengangguk. “Makanya gue diem aja. Gue sering lihat orang pacaran, tapi nggak tahu gimana cara ngelakuinnya.”
Polos. Gadis ini terlihat sangat polos di mata Kalan. Wajah cowok tersebut dengan cepat mendekat ke arah Rianza. Secepat kilat dia mencuri sebuah kecupan dari bibir ranum gadis itu. “Berarti ini kecupan pertama juga?”
Rianza yang terkejut hanya mematung. Sekali lagi, Kalan menyatukan bibir mereka. Kali ini sedikit lebih lama. “Ini yang kedua,” katanya sembari tersenyum.
Dan yang Rianza bisa lakukan hanya menganggukkan kepala.
“Mau ke mana?” Kalan bertanya ketika dia melihat Rianza melintas di dapur bersama kost. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana denim panjang. terlihat sangat rapi jika hanya untuk diam di kamar.“Mau bimbingan. Lo nggak kuliah?” tanya cewek itu. Dia melangkah ke arah dispenser dan mengisi botol minum yang sudah dibawanya sejak tadi.“Jadwal gue cuma hari Selasa,” katanya, “nggak sarapan?”Rianza menggeleng, “Brunch aja ntar di kantin kampus,” katanya sembari mengisi botol.Kalan menganggukkan kepala, “Selesai jam berapa?”Rianza mengangkat bahunya. Iya, dia memang tidak tahu akan selesai bimbingan jam berapa. Lamanya bimbingan tergantung pada berapa banyak revisi dan petuah dari sang dosen. Dan Rianza tidak tahu berapa banyak revisinya kali ini.“Gue tanya tuh dijawab,” kata Kalan dengan nada tegas sedikit kesal.Rianza tersentak.
Rianza mengernyitkan dahinya, "Ngapain lagi?" dia bertanya kesal karena Kalan menyeretnya masuk ke dalam kamarnya.Cowok itu tidak bersuara. Dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi sang ayah. "Halo, Pah? Rianza hari ini ada jadwal bimbingan sama papah, 'kan? Hari ini dia sakit, Pah. Jadi nggak bisa ke kampus. Papah atur aja untuk jadwal selanjutnya."Rianza hanya terpelongo mendengar omongan seenak jidat itu keluar dari mulut kekasihnya. "Lan, lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak sopan!""Ini semua gara-gara lo!" ucap Kalan penuh penekanan pada Rianza, "coba aja lo nggak bikin mood gue hancur pagi ini. Gue nggak bakal kayak ini."Cewek berambut merah muda itu hanya menghela napas panjang. "Kita beda, ya?" katanya tiba-tiba.Kalan mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?""Kita beda, Lan. Kita punya sifat yang berbeda, dunia kita pun beda. Gue baru sadar kalau gue nggak banyak tahu tentang lo. Lo yang suka seenaknya, lo yang nggak s
Semuanya nggak baik-baik aja bagi Rianza. Dia memang tidak bertemu secara langsung dengan Kalan dalam dua hari terakhir, namun sepertinya cowok tampan itu punya cara lain yang dapat membuat Rianza menyesali keputusannya. Iya, keputusan untuk putus dengan Kalan. Baginya, jika Kalan bisa membuat mereka pacaran dengan cara sepihak, dia juga bisa memutuskan Kalan seperti itu juga."Puding cokelat?" Rianza berujar lirih sembari melihat sekotak puding cokelat yang menggantung di gagang pintu kamar kostnya.Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar sebelah. Pintu kamar Kalan itu tertutup rapat, lagi pula Rianza tidak bertemu dengan cowok itu di kost akhir-akhir ini. Dia mengambil sekotak puding tersebut dan masuk ke dalam kamarnya. Kemarin, yang menggantung di gagang pintunya adalah sekardus pizza dengan topping keju dan minuman boba yang sedang viral. Rianza tahu, itu semua pasti dari Kalan. Cowok yang diputuskannya dua hari yang lalu itu memang tidak menampakkan dirinya,
Kalan tidak pernah gagal untuk mendapatkan perempuan manapun yang dia inginkan. Namun, Rianza berbeda. Cewek berambut merah muda itu sulit ditaklukkan. Bukan berarti Kalan tidak pernah mengencani cewek keras kepala sebelumnya. Sudah banyak gadis dari beragam sifat dan latar belakang yang berhasil dijadikannya sebagai kekasih. Tapi, Rianza? Kalan sangat sulit untuk menebak apa yang sedang dipikirkan dan diinginkan oleh gadis itu. "Za, hari ini kita mau makan di restorannya si Ari, nggak?" tanya Kalan ketika dia dan Rianza baru saja bertemu di parkiran. Mereka memang membiasakan diri untuk pergi dan pulang kampus bersama. Rianza menggelengkan kepalanya, "Hari ini gue harus nyelesaiin tugas. Malam ini tugasnya harus dikumpul via email," tolak gadis itu. "Gue temenin, ya?" Kalan sengaja membuat suaranya menjadi manja. Cewek tangguh biasanya akan cepat luluh dengan cowok yang bergantung padanya. Rianza menganggukkan kepala, "Gimana kalau makannya di
Kalan menghela napas panjang. Hidupnya belakangan terasa membosankan. Kekasih teranyar yang dia miliki sudah tidak menarik minatnya lagi. Adetha, cewek fakultas sebelah yang baru saja menjadi kekasihnya selama dua bulan itu terlalu posesif dan mengekangnya. Kalan bahkan harus membawa Adetha kemanapun cowok itu pergi. Bahkan teman-temannya sering mengejek Kalan bucin. Adetha juga suka protes ketika pesan ataupun panggilan telponnya tidak diangkat. Kalan merasa dia sulit bernapas."Gue putusin aja kali, ya?" Kalan bertanya pada salah satu teman se-gengnya, Nugra."Yakin, Lo? Lu deketin Adetha itu sebulan, lho. Masak baru pacaran dua bulan udah bosan?"Kalan menghela napas panjang, "Sama dia jadi nggak bebas. Cari yang lain mending.""Tapi dia yang paling cantik dari mantan lo yang lain," ucap Nugra lagi."Tapi gue udah bosan. Gimana dong?"Nugra menghela napas kasar, "Lo yakin?""Yakin gue."Kalan langsung mengeluarkan ponsel dar
Rianza berlari dengan terburu-buru menuju salah satu gedung di fakultasnya. Dosen pembimbing skripsinya baru saja mengabari bahwa dia memiliki waktu satu jam untuk bimbingan skripsi dengan gadis itu. Rianza yang dari tadi sibuk membereskan barang-barang di kost barunya harus bergegas cepat menuju kampus. Rambut panjang bergelombang yang dicat dengan warna merah muda itu membuatnya selalu terlihat menonjol dan menjadi pusat perhatian. Gadis itu sebenarnya tidak peduli apa kata orang tentang rambutnya, dia sering kali mendengar teman-temannya membicarakan rambutnya--yang katanya tidak cocok dengan gadis itu--di belakangnya. Para dosen juga sering salah fokus dengan rambutnya. Gadis itu tidak peduli dengan tatapan orang yang melihatnya aneh, dia terus melangkahkan kaki cepat menuju lift dan menekan tombol dengan angka 4, lantai di mana ruang dosen pembimbingnya berada."Maaf, Pak. Saya terlambat," ucap Rianza dengan napas yang tersengal-sengal.Pak Ardi, dosen mata kuliah
Cowok yang baru saja Rianza temui adalah orang yang sempat dia kagumi. Siapa yang sanggup menolak pesona dari Kalan. Sayangnya, Rianza tidak seperti cewek lainnya yang bisa begitu saja mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Dia terkenal pendiam dan tidak memiliki teman di kampus. Itu bukan karena tidak ada yang ingin berteman dengannya. Hanya saja belum ada orang yang cocok dengannya. Padahal sebenarnya berteman dengan Rianza juga tidak ribet. Dia hanya tidak suka dengan orang bermuka dua dan tentunya dia tidak suka bergosip. Itulah yang membuat orang-orang berpikir bahwa berteman dengan Rianza akan membosankan. Namun, tidak adanya teman membuatnya menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada lingkungan pertemanannya.Gadis berambut merah muda itu bergegas membawa naskah proposal skripsinya menuju ruang Pak Ardi di lantai empat. Jam sudah menunjukkan pukul tiga, jadwal bimbingannya akan segera dimulai. Setelah sampai di depan ruang dosen tersebut, Rianza mengetuk pintu
Lapar. Itu yang Rianza rasakan ketika malam sudah hampir larut. Dari tadi sore hingga malam dia tidak berani untuk keluar kamar. Bukan karena kost barunya yang horor. Sejak sore tadi Kalan asik nongkrong di dapur bersama dengan beberapa penghuni lainnya. Gadis itu sudah beberapa kali mengecek ke luar kamar dan selalu mendapati Kalan yang tengah duduk memunggunginya. Dia tidak ingin berurusan dengan cowok itu, terlebih dalam hal yang berkaitan dengan apa yang dikatakan cowok itu tadi. Setampan dan sepopuler apapun Kalan, dia tahu bahwa cowok itu tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Dia tidak ingin menjadi korban dari hubungan main-main Kalan.Tok..tok..tokRianza tersentak ketika pintu kamar kostnya diketuk beberapa kali. Dia mengintip dari jendela yang ada di sebelah pintu dan mendapati Kalan berdiri tepat di depan pintu.“Gulali,” panggil Kalan pelan dibarengi dengan ketukan di pintu.“Lo nggak mau keluar apa? Nggak bosan di kam
Kalan tidak pernah gagal untuk mendapatkan perempuan manapun yang dia inginkan. Namun, Rianza berbeda. Cewek berambut merah muda itu sulit ditaklukkan. Bukan berarti Kalan tidak pernah mengencani cewek keras kepala sebelumnya. Sudah banyak gadis dari beragam sifat dan latar belakang yang berhasil dijadikannya sebagai kekasih. Tapi, Rianza? Kalan sangat sulit untuk menebak apa yang sedang dipikirkan dan diinginkan oleh gadis itu. "Za, hari ini kita mau makan di restorannya si Ari, nggak?" tanya Kalan ketika dia dan Rianza baru saja bertemu di parkiran. Mereka memang membiasakan diri untuk pergi dan pulang kampus bersama. Rianza menggelengkan kepalanya, "Hari ini gue harus nyelesaiin tugas. Malam ini tugasnya harus dikumpul via email," tolak gadis itu. "Gue temenin, ya?" Kalan sengaja membuat suaranya menjadi manja. Cewek tangguh biasanya akan cepat luluh dengan cowok yang bergantung padanya. Rianza menganggukkan kepala, "Gimana kalau makannya di
Semuanya nggak baik-baik aja bagi Rianza. Dia memang tidak bertemu secara langsung dengan Kalan dalam dua hari terakhir, namun sepertinya cowok tampan itu punya cara lain yang dapat membuat Rianza menyesali keputusannya. Iya, keputusan untuk putus dengan Kalan. Baginya, jika Kalan bisa membuat mereka pacaran dengan cara sepihak, dia juga bisa memutuskan Kalan seperti itu juga."Puding cokelat?" Rianza berujar lirih sembari melihat sekotak puding cokelat yang menggantung di gagang pintu kamar kostnya.Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar sebelah. Pintu kamar Kalan itu tertutup rapat, lagi pula Rianza tidak bertemu dengan cowok itu di kost akhir-akhir ini. Dia mengambil sekotak puding tersebut dan masuk ke dalam kamarnya. Kemarin, yang menggantung di gagang pintunya adalah sekardus pizza dengan topping keju dan minuman boba yang sedang viral. Rianza tahu, itu semua pasti dari Kalan. Cowok yang diputuskannya dua hari yang lalu itu memang tidak menampakkan dirinya,
Rianza mengernyitkan dahinya, "Ngapain lagi?" dia bertanya kesal karena Kalan menyeretnya masuk ke dalam kamarnya.Cowok itu tidak bersuara. Dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi sang ayah. "Halo, Pah? Rianza hari ini ada jadwal bimbingan sama papah, 'kan? Hari ini dia sakit, Pah. Jadi nggak bisa ke kampus. Papah atur aja untuk jadwal selanjutnya."Rianza hanya terpelongo mendengar omongan seenak jidat itu keluar dari mulut kekasihnya. "Lan, lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak sopan!""Ini semua gara-gara lo!" ucap Kalan penuh penekanan pada Rianza, "coba aja lo nggak bikin mood gue hancur pagi ini. Gue nggak bakal kayak ini."Cewek berambut merah muda itu hanya menghela napas panjang. "Kita beda, ya?" katanya tiba-tiba.Kalan mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?""Kita beda, Lan. Kita punya sifat yang berbeda, dunia kita pun beda. Gue baru sadar kalau gue nggak banyak tahu tentang lo. Lo yang suka seenaknya, lo yang nggak s
“Mau ke mana?” Kalan bertanya ketika dia melihat Rianza melintas di dapur bersama kost. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana denim panjang. terlihat sangat rapi jika hanya untuk diam di kamar.“Mau bimbingan. Lo nggak kuliah?” tanya cewek itu. Dia melangkah ke arah dispenser dan mengisi botol minum yang sudah dibawanya sejak tadi.“Jadwal gue cuma hari Selasa,” katanya, “nggak sarapan?”Rianza menggeleng, “Brunch aja ntar di kantin kampus,” katanya sembari mengisi botol.Kalan menganggukkan kepala, “Selesai jam berapa?”Rianza mengangkat bahunya. Iya, dia memang tidak tahu akan selesai bimbingan jam berapa. Lamanya bimbingan tergantung pada berapa banyak revisi dan petuah dari sang dosen. Dan Rianza tidak tahu berapa banyak revisinya kali ini.“Gue tanya tuh dijawab,” kata Kalan dengan nada tegas sedikit kesal.Rianza tersentak.
Kalan tersenyum lebar. Dia memang tidak pernah gagal mendapatkan apa yang dia mau, termasuk seorang pacar. Rianza, cewek yang terkenal pendiam itu berhasil didapatkannya. Di kampus, mereka sangat jarang bertemu. Rianza hanya akan ke kampus jika ada jadwal bimbingan dengan Pak Ardi, berbeda dengan Kalan yang masih memiliki kelas untuk diikuti. Sejak cewek itu akhirnya setuju untuk menjalin hubungan dengan Kalan, tidak ada hal yang spesial terjadi. Tidak ada hubungan pacaran seperti hubungan Kalan dengan mantan-mantan sebelumnya. Rianza bahkan tidak pernah mengiriminya pesan terlebih dahulu. Dia hanya akan membalas jika Kalan menanyakan sesuatu seperti sudah makan atau belum, atau bertanya lokasi Rianza. Gadis itu juga menjawab sekenanya. Dia bahkan tidak pernah bertanya balik pada Kalan.“Nggak usah kasih makanan lagi. Gue masih mampu beli,” ucap Rianza yang protes Kalan selalu membelikannya makanan dan meletakkannya di gagang pintu kamar cewek itu.“L
Lapar. Itu yang Rianza rasakan ketika malam sudah hampir larut. Dari tadi sore hingga malam dia tidak berani untuk keluar kamar. Bukan karena kost barunya yang horor. Sejak sore tadi Kalan asik nongkrong di dapur bersama dengan beberapa penghuni lainnya. Gadis itu sudah beberapa kali mengecek ke luar kamar dan selalu mendapati Kalan yang tengah duduk memunggunginya. Dia tidak ingin berurusan dengan cowok itu, terlebih dalam hal yang berkaitan dengan apa yang dikatakan cowok itu tadi. Setampan dan sepopuler apapun Kalan, dia tahu bahwa cowok itu tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Dia tidak ingin menjadi korban dari hubungan main-main Kalan.Tok..tok..tokRianza tersentak ketika pintu kamar kostnya diketuk beberapa kali. Dia mengintip dari jendela yang ada di sebelah pintu dan mendapati Kalan berdiri tepat di depan pintu.“Gulali,” panggil Kalan pelan dibarengi dengan ketukan di pintu.“Lo nggak mau keluar apa? Nggak bosan di kam
Cowok yang baru saja Rianza temui adalah orang yang sempat dia kagumi. Siapa yang sanggup menolak pesona dari Kalan. Sayangnya, Rianza tidak seperti cewek lainnya yang bisa begitu saja mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Dia terkenal pendiam dan tidak memiliki teman di kampus. Itu bukan karena tidak ada yang ingin berteman dengannya. Hanya saja belum ada orang yang cocok dengannya. Padahal sebenarnya berteman dengan Rianza juga tidak ribet. Dia hanya tidak suka dengan orang bermuka dua dan tentunya dia tidak suka bergosip. Itulah yang membuat orang-orang berpikir bahwa berteman dengan Rianza akan membosankan. Namun, tidak adanya teman membuatnya menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada lingkungan pertemanannya.Gadis berambut merah muda itu bergegas membawa naskah proposal skripsinya menuju ruang Pak Ardi di lantai empat. Jam sudah menunjukkan pukul tiga, jadwal bimbingannya akan segera dimulai. Setelah sampai di depan ruang dosen tersebut, Rianza mengetuk pintu
Rianza berlari dengan terburu-buru menuju salah satu gedung di fakultasnya. Dosen pembimbing skripsinya baru saja mengabari bahwa dia memiliki waktu satu jam untuk bimbingan skripsi dengan gadis itu. Rianza yang dari tadi sibuk membereskan barang-barang di kost barunya harus bergegas cepat menuju kampus. Rambut panjang bergelombang yang dicat dengan warna merah muda itu membuatnya selalu terlihat menonjol dan menjadi pusat perhatian. Gadis itu sebenarnya tidak peduli apa kata orang tentang rambutnya, dia sering kali mendengar teman-temannya membicarakan rambutnya--yang katanya tidak cocok dengan gadis itu--di belakangnya. Para dosen juga sering salah fokus dengan rambutnya. Gadis itu tidak peduli dengan tatapan orang yang melihatnya aneh, dia terus melangkahkan kaki cepat menuju lift dan menekan tombol dengan angka 4, lantai di mana ruang dosen pembimbingnya berada."Maaf, Pak. Saya terlambat," ucap Rianza dengan napas yang tersengal-sengal.Pak Ardi, dosen mata kuliah
Kalan menghela napas panjang. Hidupnya belakangan terasa membosankan. Kekasih teranyar yang dia miliki sudah tidak menarik minatnya lagi. Adetha, cewek fakultas sebelah yang baru saja menjadi kekasihnya selama dua bulan itu terlalu posesif dan mengekangnya. Kalan bahkan harus membawa Adetha kemanapun cowok itu pergi. Bahkan teman-temannya sering mengejek Kalan bucin. Adetha juga suka protes ketika pesan ataupun panggilan telponnya tidak diangkat. Kalan merasa dia sulit bernapas."Gue putusin aja kali, ya?" Kalan bertanya pada salah satu teman se-gengnya, Nugra."Yakin, Lo? Lu deketin Adetha itu sebulan, lho. Masak baru pacaran dua bulan udah bosan?"Kalan menghela napas panjang, "Sama dia jadi nggak bebas. Cari yang lain mending.""Tapi dia yang paling cantik dari mantan lo yang lain," ucap Nugra lagi."Tapi gue udah bosan. Gimana dong?"Nugra menghela napas kasar, "Lo yakin?""Yakin gue."Kalan langsung mengeluarkan ponsel dar