Lapar. Itu yang Rianza rasakan ketika malam sudah hampir larut. Dari tadi sore hingga malam dia tidak berani untuk keluar kamar. Bukan karena kost barunya yang horor. Sejak sore tadi Kalan asik nongkrong di dapur bersama dengan beberapa penghuni lainnya. Gadis itu sudah beberapa kali mengecek ke luar kamar dan selalu mendapati Kalan yang tengah duduk memunggunginya. Dia tidak ingin berurusan dengan cowok itu, terlebih dalam hal yang berkaitan dengan apa yang dikatakan cowok itu tadi. Setampan dan sepopuler apapun Kalan, dia tahu bahwa cowok itu tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Dia tidak ingin menjadi korban dari hubungan main-main Kalan.
Tok..tok..tok
Rianza tersentak ketika pintu kamar kostnya diketuk beberapa kali. Dia mengintip dari jendela yang ada di sebelah pintu dan mendapati Kalan berdiri tepat di depan pintu.
“Gulali,” panggil Kalan pelan dibarengi dengan ketukan di pintu.
“Lo nggak mau keluar apa? Nggak bosan di kamar terus?” tanya Kalan.
Kenapa dia harus peduli? Rianza bukan siapa-siapa Kalan.
“Gulali,” panggil cowok itu lagi, “lo tidur, ya?”
Rianza kembali memilih untuk tidak menjawab pertanyaan cowok yang berdiri di balik pintu itu. Dia memilih untuk berbaring di ranjangnya sembari menahan rasa laparnya. Dia tidak punya persediaan makanan selain beberapa camilan yang juga sudah dia habiskan untuk mengganjal rasa laparnya.
“Sayang?” sekarang suara Kalan terdengar sedikit lebih lantang, “beneran tidur, ya?”
Jantung Rianza seketika berdetak kencang ketika Kalan memanggilnya dengan panggilan tersebut. Gadis berambut merah muda itu tidak pernah memiliki pacar sebelumnya. Jadi, ini kali pertamanya dia dipanggil dengan sebutan sayang. Sayangnya, panggilan itu malah keluar dari cowok yang bukan pacarnya. Iya, meski pun Kalan mengatakan dia tidak menerima penolakan, Rianza tetap menolaknya. Bukan karena dia tidak suka dengan Kalan. Secara keseluruhan, tentunya Kalan adalah cowok yang memiliki pesona yang tidak bisa ditolak. Rianza menolaknya untuk melindungi perasaannya sendiri.
Tiba-tiba ponsel Rianza berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Siapa? Rianza mengangkat panggilan tersebut dengan sedikit rasa penasaran.
“Halo?” ucap Rianza.
“Tuh, kamu belum tidur ternyata. Memangnya nggak kedengeran aku dari tadi ketuk pintu kamar kamu? Keluar dong.”
Rianza tercekat. Yang menelponnya barusan itu..., Kalan?
“Ini siapa, ya?” tanya Rianza. Dia ingin memastikan bahwa itu benar-benar suara cowok yang sedang berdiri di pintu kamar kostnya.
“Pacar kamu.”
“Gue nggak punya pacar,” tandas Rianza. Sekarang dia yakin bahwa itu adalah Kalan.
“Lo pacar gue dan gue nggak menerima penolakan, Rianza,” ucap Kalan di seberang telpon sana dengan nada suara yang mengintimidasi. “Keluar,” titahnya dengan nada final.
“Nggak,” ucap Rianza ketus.
“Ya udah.”
Sambungan telpon langsung terputus. Beberapa detik setelahnya Rianza mendengar langkah kaki yang perlahan menjauh. Gadis itu langsung menghela napasnya ketika tahu Kalan sudah tidak berada di depan kamarnya lagi. Ini saatnya dia keluar kamar untuk membeli beberapa makanan dan stok bahan makanan. Dia memang berencana untuk lebih banyak memasak sendiri daripada membeli makanan. Selain bisa hemat, dia juga ingin makan makanan yang cukup sehat. Dia tidak ingin mengeluarkan lebih banyak uang untuk berobat.
“Apa nih?” lirih Rianza ketika mendapati sesuatu di gagang pintu luar kamarnya.
Ada kantong plastik yang menggantung di sana. Rianza mengambilnya dan membawa barang tersebut masuk ke dalam kamar. Baru saja dia akan mengeluarkan isi dari kantong tersebut, ponselnya berdentang. Sebuah pesan masuk.
Unknown number: udah diterima? Jangan lupa dimakan, sayang.
Rianza langsung mengeluarkan isi dari kantong tersebut setelah membaca pesan dari Kalan. Barang ini dari cowok itu. Makanan? Ketika mengeluarkan isinya, Rianza mendapati satu ricebowl dengan lauk ayam geprek dan sebotol minuman teh yang masih dingin. Rianza langsung mengambil ponselnya dan menyimpan nomor cowok tersebut.
Me: untuk apa ngasih ini ke gue?
Kalan: Lo nggak keluar kamar dari tadi. Gue takutnya lo laper. Makanya gue beliin makanan.
Me: dapat nomor gue dari mana?
Kalan: grup kost
Kalan: lo nggak suka ayam geprek? Mau makan apa? Biar gue pesan pakai ojek online
Me: buat apa? Kenapa lo jadi perhatian sama gue? kita bahkan nggak saling kenal
Kalan : gue harus berapa kali bilang kalau lo itu pacar gue?
Kalan: wajar dong kalau gue perhatian sama cewek gue sendiri
Me: gue nggak mau jadi pacar lo
Kalan: gue nggak terima penolakan, Sayang.
Kalan: jangan keras kepala kalau lo nggak mau hidup lo ribet
Kalan : hidup lo bakal lebih gampang kalau lo terima ajakan gue buat pacaran.
Me: nggak. makasih.
Meskipun sekarang dia sangat lapar, Rianza memilih untuk menutup kembali
ricebowl tersebut dan memasukkan makanan dan minuman ke kantong plastik tadi. Gadis itu meletakkannya di gagang pintu kamar Kalan.“Makan tuh ayam geprek,” katanya tepat ke arah pintu kamar Kalan.
Baru saja cewek itu melangkah pergi dari kamar Kalan. Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan baru masuk. Mata Rianza nyaris terbelalak ketika melihat pesan tersebut. Kalan baru saja mengirim sebuah foto dari kartu tanda mahasiswa Rianza yang sudah dibelah dua.
Kalan: udah gue bilang jangan ngelawan, sayang
Kalan: silakan mengeluarkan banyak uang dan waktu untuk ngurus KTM baru
“Sialll,” pekik Rianza.
Kakinya kembali melangkah ke arah kamar cowok tampan tersebut. Tangannya dengan kencang mengetuk pintu tentangga kostnya. “Keluar, Lo.” pekiknya.
Tidak lama terdengar deritan pintu yang dibuka. Kalan keluar dengan pakaian rumahan dan cengiran di wajahnya. Wajah tampan itu memang selalu mempesona, tidak peduli rambutnya yang acak-acakan atau rapi, atau pakaiannya yang biasa saja. Kalan tetap saja terlihat tampan.
“Kenapa lo patahin KTM gue?” tanya Rianza dengan nada suara tinggi. Tentu saja dia marah. Dia membutuhkan kartu tanda mahasiswa untuk meminjam buku di perpustakaan. Dia membutuhkan beberapa buku sebagai referensi skripsinya.
“Kenapa lo nggak terima ajakan gue? Gue nggak suka ditolak, Gulali. Gue udah peringatin lo, kan?”
Rianza mendengus, “Tapi nggak harus matahin kartu tanda mahasiswa gue juga. Gue butuh kartu itu untuk pinjam buku.”
“Lo bisa ngurus untuk pembuatan kartu baru di kampus. Gampang, kan?”
Tidak. Tentu saja itu tidak gampang. Rianza harus meluangkan waktunya untuk mengunjungi bagian kemahasiswaan kampus untuk meminta dibuatkan kartu baru. Tentunya dia juga harus menyiapkan surat keterangan hilang terlebih dahulu. Dia juga harus membayar sejumlah uang untuk pembuatan kartu baru. Selain itu, membutuhkan waktu cukup lama agar kartu tanda mahasiswa dapat diambil dan digunakan. Tidak gampang, kan?
“Gue bahkan bisa ngelakuin yang lebih parah lagi lho. Hidup lo nggak bakal tenang,” ucap Kalan dengan senyum yang terasa sedikit mengerikan.
Rianza menghela napasnya. Pasrah. Dia tidak punya pilihan lain. Dia tidak ingin kehidupannya diganggu.
“Oke. Ayo pacaran.”
Kalan tersenyum lebar. Dia memang tidak pernah gagal mendapatkan apa yang dia mau, termasuk seorang pacar. Rianza, cewek yang terkenal pendiam itu berhasil didapatkannya. Di kampus, mereka sangat jarang bertemu. Rianza hanya akan ke kampus jika ada jadwal bimbingan dengan Pak Ardi, berbeda dengan Kalan yang masih memiliki kelas untuk diikuti. Sejak cewek itu akhirnya setuju untuk menjalin hubungan dengan Kalan, tidak ada hal yang spesial terjadi. Tidak ada hubungan pacaran seperti hubungan Kalan dengan mantan-mantan sebelumnya. Rianza bahkan tidak pernah mengiriminya pesan terlebih dahulu. Dia hanya akan membalas jika Kalan menanyakan sesuatu seperti sudah makan atau belum, atau bertanya lokasi Rianza. Gadis itu juga menjawab sekenanya. Dia bahkan tidak pernah bertanya balik pada Kalan.“Nggak usah kasih makanan lagi. Gue masih mampu beli,” ucap Rianza yang protes Kalan selalu membelikannya makanan dan meletakkannya di gagang pintu kamar cewek itu.“L
“Mau ke mana?” Kalan bertanya ketika dia melihat Rianza melintas di dapur bersama kost. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana denim panjang. terlihat sangat rapi jika hanya untuk diam di kamar.“Mau bimbingan. Lo nggak kuliah?” tanya cewek itu. Dia melangkah ke arah dispenser dan mengisi botol minum yang sudah dibawanya sejak tadi.“Jadwal gue cuma hari Selasa,” katanya, “nggak sarapan?”Rianza menggeleng, “Brunch aja ntar di kantin kampus,” katanya sembari mengisi botol.Kalan menganggukkan kepala, “Selesai jam berapa?”Rianza mengangkat bahunya. Iya, dia memang tidak tahu akan selesai bimbingan jam berapa. Lamanya bimbingan tergantung pada berapa banyak revisi dan petuah dari sang dosen. Dan Rianza tidak tahu berapa banyak revisinya kali ini.“Gue tanya tuh dijawab,” kata Kalan dengan nada tegas sedikit kesal.Rianza tersentak.
Rianza mengernyitkan dahinya, "Ngapain lagi?" dia bertanya kesal karena Kalan menyeretnya masuk ke dalam kamarnya.Cowok itu tidak bersuara. Dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi sang ayah. "Halo, Pah? Rianza hari ini ada jadwal bimbingan sama papah, 'kan? Hari ini dia sakit, Pah. Jadi nggak bisa ke kampus. Papah atur aja untuk jadwal selanjutnya."Rianza hanya terpelongo mendengar omongan seenak jidat itu keluar dari mulut kekasihnya. "Lan, lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak sopan!""Ini semua gara-gara lo!" ucap Kalan penuh penekanan pada Rianza, "coba aja lo nggak bikin mood gue hancur pagi ini. Gue nggak bakal kayak ini."Cewek berambut merah muda itu hanya menghela napas panjang. "Kita beda, ya?" katanya tiba-tiba.Kalan mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?""Kita beda, Lan. Kita punya sifat yang berbeda, dunia kita pun beda. Gue baru sadar kalau gue nggak banyak tahu tentang lo. Lo yang suka seenaknya, lo yang nggak s
Semuanya nggak baik-baik aja bagi Rianza. Dia memang tidak bertemu secara langsung dengan Kalan dalam dua hari terakhir, namun sepertinya cowok tampan itu punya cara lain yang dapat membuat Rianza menyesali keputusannya. Iya, keputusan untuk putus dengan Kalan. Baginya, jika Kalan bisa membuat mereka pacaran dengan cara sepihak, dia juga bisa memutuskan Kalan seperti itu juga."Puding cokelat?" Rianza berujar lirih sembari melihat sekotak puding cokelat yang menggantung di gagang pintu kamar kostnya.Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar sebelah. Pintu kamar Kalan itu tertutup rapat, lagi pula Rianza tidak bertemu dengan cowok itu di kost akhir-akhir ini. Dia mengambil sekotak puding tersebut dan masuk ke dalam kamarnya. Kemarin, yang menggantung di gagang pintunya adalah sekardus pizza dengan topping keju dan minuman boba yang sedang viral. Rianza tahu, itu semua pasti dari Kalan. Cowok yang diputuskannya dua hari yang lalu itu memang tidak menampakkan dirinya,
Kalan tidak pernah gagal untuk mendapatkan perempuan manapun yang dia inginkan. Namun, Rianza berbeda. Cewek berambut merah muda itu sulit ditaklukkan. Bukan berarti Kalan tidak pernah mengencani cewek keras kepala sebelumnya. Sudah banyak gadis dari beragam sifat dan latar belakang yang berhasil dijadikannya sebagai kekasih. Tapi, Rianza? Kalan sangat sulit untuk menebak apa yang sedang dipikirkan dan diinginkan oleh gadis itu. "Za, hari ini kita mau makan di restorannya si Ari, nggak?" tanya Kalan ketika dia dan Rianza baru saja bertemu di parkiran. Mereka memang membiasakan diri untuk pergi dan pulang kampus bersama. Rianza menggelengkan kepalanya, "Hari ini gue harus nyelesaiin tugas. Malam ini tugasnya harus dikumpul via email," tolak gadis itu. "Gue temenin, ya?" Kalan sengaja membuat suaranya menjadi manja. Cewek tangguh biasanya akan cepat luluh dengan cowok yang bergantung padanya. Rianza menganggukkan kepala, "Gimana kalau makannya di
Kalan menghela napas panjang. Hidupnya belakangan terasa membosankan. Kekasih teranyar yang dia miliki sudah tidak menarik minatnya lagi. Adetha, cewek fakultas sebelah yang baru saja menjadi kekasihnya selama dua bulan itu terlalu posesif dan mengekangnya. Kalan bahkan harus membawa Adetha kemanapun cowok itu pergi. Bahkan teman-temannya sering mengejek Kalan bucin. Adetha juga suka protes ketika pesan ataupun panggilan telponnya tidak diangkat. Kalan merasa dia sulit bernapas."Gue putusin aja kali, ya?" Kalan bertanya pada salah satu teman se-gengnya, Nugra."Yakin, Lo? Lu deketin Adetha itu sebulan, lho. Masak baru pacaran dua bulan udah bosan?"Kalan menghela napas panjang, "Sama dia jadi nggak bebas. Cari yang lain mending.""Tapi dia yang paling cantik dari mantan lo yang lain," ucap Nugra lagi."Tapi gue udah bosan. Gimana dong?"Nugra menghela napas kasar, "Lo yakin?""Yakin gue."Kalan langsung mengeluarkan ponsel dar
Rianza berlari dengan terburu-buru menuju salah satu gedung di fakultasnya. Dosen pembimbing skripsinya baru saja mengabari bahwa dia memiliki waktu satu jam untuk bimbingan skripsi dengan gadis itu. Rianza yang dari tadi sibuk membereskan barang-barang di kost barunya harus bergegas cepat menuju kampus. Rambut panjang bergelombang yang dicat dengan warna merah muda itu membuatnya selalu terlihat menonjol dan menjadi pusat perhatian. Gadis itu sebenarnya tidak peduli apa kata orang tentang rambutnya, dia sering kali mendengar teman-temannya membicarakan rambutnya--yang katanya tidak cocok dengan gadis itu--di belakangnya. Para dosen juga sering salah fokus dengan rambutnya. Gadis itu tidak peduli dengan tatapan orang yang melihatnya aneh, dia terus melangkahkan kaki cepat menuju lift dan menekan tombol dengan angka 4, lantai di mana ruang dosen pembimbingnya berada."Maaf, Pak. Saya terlambat," ucap Rianza dengan napas yang tersengal-sengal.Pak Ardi, dosen mata kuliah
Cowok yang baru saja Rianza temui adalah orang yang sempat dia kagumi. Siapa yang sanggup menolak pesona dari Kalan. Sayangnya, Rianza tidak seperti cewek lainnya yang bisa begitu saja mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Dia terkenal pendiam dan tidak memiliki teman di kampus. Itu bukan karena tidak ada yang ingin berteman dengannya. Hanya saja belum ada orang yang cocok dengannya. Padahal sebenarnya berteman dengan Rianza juga tidak ribet. Dia hanya tidak suka dengan orang bermuka dua dan tentunya dia tidak suka bergosip. Itulah yang membuat orang-orang berpikir bahwa berteman dengan Rianza akan membosankan. Namun, tidak adanya teman membuatnya menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada lingkungan pertemanannya.Gadis berambut merah muda itu bergegas membawa naskah proposal skripsinya menuju ruang Pak Ardi di lantai empat. Jam sudah menunjukkan pukul tiga, jadwal bimbingannya akan segera dimulai. Setelah sampai di depan ruang dosen tersebut, Rianza mengetuk pintu
Kalan tidak pernah gagal untuk mendapatkan perempuan manapun yang dia inginkan. Namun, Rianza berbeda. Cewek berambut merah muda itu sulit ditaklukkan. Bukan berarti Kalan tidak pernah mengencani cewek keras kepala sebelumnya. Sudah banyak gadis dari beragam sifat dan latar belakang yang berhasil dijadikannya sebagai kekasih. Tapi, Rianza? Kalan sangat sulit untuk menebak apa yang sedang dipikirkan dan diinginkan oleh gadis itu. "Za, hari ini kita mau makan di restorannya si Ari, nggak?" tanya Kalan ketika dia dan Rianza baru saja bertemu di parkiran. Mereka memang membiasakan diri untuk pergi dan pulang kampus bersama. Rianza menggelengkan kepalanya, "Hari ini gue harus nyelesaiin tugas. Malam ini tugasnya harus dikumpul via email," tolak gadis itu. "Gue temenin, ya?" Kalan sengaja membuat suaranya menjadi manja. Cewek tangguh biasanya akan cepat luluh dengan cowok yang bergantung padanya. Rianza menganggukkan kepala, "Gimana kalau makannya di
Semuanya nggak baik-baik aja bagi Rianza. Dia memang tidak bertemu secara langsung dengan Kalan dalam dua hari terakhir, namun sepertinya cowok tampan itu punya cara lain yang dapat membuat Rianza menyesali keputusannya. Iya, keputusan untuk putus dengan Kalan. Baginya, jika Kalan bisa membuat mereka pacaran dengan cara sepihak, dia juga bisa memutuskan Kalan seperti itu juga."Puding cokelat?" Rianza berujar lirih sembari melihat sekotak puding cokelat yang menggantung di gagang pintu kamar kostnya.Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar sebelah. Pintu kamar Kalan itu tertutup rapat, lagi pula Rianza tidak bertemu dengan cowok itu di kost akhir-akhir ini. Dia mengambil sekotak puding tersebut dan masuk ke dalam kamarnya. Kemarin, yang menggantung di gagang pintunya adalah sekardus pizza dengan topping keju dan minuman boba yang sedang viral. Rianza tahu, itu semua pasti dari Kalan. Cowok yang diputuskannya dua hari yang lalu itu memang tidak menampakkan dirinya,
Rianza mengernyitkan dahinya, "Ngapain lagi?" dia bertanya kesal karena Kalan menyeretnya masuk ke dalam kamarnya.Cowok itu tidak bersuara. Dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi sang ayah. "Halo, Pah? Rianza hari ini ada jadwal bimbingan sama papah, 'kan? Hari ini dia sakit, Pah. Jadi nggak bisa ke kampus. Papah atur aja untuk jadwal selanjutnya."Rianza hanya terpelongo mendengar omongan seenak jidat itu keluar dari mulut kekasihnya. "Lan, lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak sopan!""Ini semua gara-gara lo!" ucap Kalan penuh penekanan pada Rianza, "coba aja lo nggak bikin mood gue hancur pagi ini. Gue nggak bakal kayak ini."Cewek berambut merah muda itu hanya menghela napas panjang. "Kita beda, ya?" katanya tiba-tiba.Kalan mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?""Kita beda, Lan. Kita punya sifat yang berbeda, dunia kita pun beda. Gue baru sadar kalau gue nggak banyak tahu tentang lo. Lo yang suka seenaknya, lo yang nggak s
“Mau ke mana?” Kalan bertanya ketika dia melihat Rianza melintas di dapur bersama kost. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana denim panjang. terlihat sangat rapi jika hanya untuk diam di kamar.“Mau bimbingan. Lo nggak kuliah?” tanya cewek itu. Dia melangkah ke arah dispenser dan mengisi botol minum yang sudah dibawanya sejak tadi.“Jadwal gue cuma hari Selasa,” katanya, “nggak sarapan?”Rianza menggeleng, “Brunch aja ntar di kantin kampus,” katanya sembari mengisi botol.Kalan menganggukkan kepala, “Selesai jam berapa?”Rianza mengangkat bahunya. Iya, dia memang tidak tahu akan selesai bimbingan jam berapa. Lamanya bimbingan tergantung pada berapa banyak revisi dan petuah dari sang dosen. Dan Rianza tidak tahu berapa banyak revisinya kali ini.“Gue tanya tuh dijawab,” kata Kalan dengan nada tegas sedikit kesal.Rianza tersentak.
Kalan tersenyum lebar. Dia memang tidak pernah gagal mendapatkan apa yang dia mau, termasuk seorang pacar. Rianza, cewek yang terkenal pendiam itu berhasil didapatkannya. Di kampus, mereka sangat jarang bertemu. Rianza hanya akan ke kampus jika ada jadwal bimbingan dengan Pak Ardi, berbeda dengan Kalan yang masih memiliki kelas untuk diikuti. Sejak cewek itu akhirnya setuju untuk menjalin hubungan dengan Kalan, tidak ada hal yang spesial terjadi. Tidak ada hubungan pacaran seperti hubungan Kalan dengan mantan-mantan sebelumnya. Rianza bahkan tidak pernah mengiriminya pesan terlebih dahulu. Dia hanya akan membalas jika Kalan menanyakan sesuatu seperti sudah makan atau belum, atau bertanya lokasi Rianza. Gadis itu juga menjawab sekenanya. Dia bahkan tidak pernah bertanya balik pada Kalan.“Nggak usah kasih makanan lagi. Gue masih mampu beli,” ucap Rianza yang protes Kalan selalu membelikannya makanan dan meletakkannya di gagang pintu kamar cewek itu.“L
Lapar. Itu yang Rianza rasakan ketika malam sudah hampir larut. Dari tadi sore hingga malam dia tidak berani untuk keluar kamar. Bukan karena kost barunya yang horor. Sejak sore tadi Kalan asik nongkrong di dapur bersama dengan beberapa penghuni lainnya. Gadis itu sudah beberapa kali mengecek ke luar kamar dan selalu mendapati Kalan yang tengah duduk memunggunginya. Dia tidak ingin berurusan dengan cowok itu, terlebih dalam hal yang berkaitan dengan apa yang dikatakan cowok itu tadi. Setampan dan sepopuler apapun Kalan, dia tahu bahwa cowok itu tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Dia tidak ingin menjadi korban dari hubungan main-main Kalan.Tok..tok..tokRianza tersentak ketika pintu kamar kostnya diketuk beberapa kali. Dia mengintip dari jendela yang ada di sebelah pintu dan mendapati Kalan berdiri tepat di depan pintu.“Gulali,” panggil Kalan pelan dibarengi dengan ketukan di pintu.“Lo nggak mau keluar apa? Nggak bosan di kam
Cowok yang baru saja Rianza temui adalah orang yang sempat dia kagumi. Siapa yang sanggup menolak pesona dari Kalan. Sayangnya, Rianza tidak seperti cewek lainnya yang bisa begitu saja mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Dia terkenal pendiam dan tidak memiliki teman di kampus. Itu bukan karena tidak ada yang ingin berteman dengannya. Hanya saja belum ada orang yang cocok dengannya. Padahal sebenarnya berteman dengan Rianza juga tidak ribet. Dia hanya tidak suka dengan orang bermuka dua dan tentunya dia tidak suka bergosip. Itulah yang membuat orang-orang berpikir bahwa berteman dengan Rianza akan membosankan. Namun, tidak adanya teman membuatnya menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada lingkungan pertemanannya.Gadis berambut merah muda itu bergegas membawa naskah proposal skripsinya menuju ruang Pak Ardi di lantai empat. Jam sudah menunjukkan pukul tiga, jadwal bimbingannya akan segera dimulai. Setelah sampai di depan ruang dosen tersebut, Rianza mengetuk pintu
Rianza berlari dengan terburu-buru menuju salah satu gedung di fakultasnya. Dosen pembimbing skripsinya baru saja mengabari bahwa dia memiliki waktu satu jam untuk bimbingan skripsi dengan gadis itu. Rianza yang dari tadi sibuk membereskan barang-barang di kost barunya harus bergegas cepat menuju kampus. Rambut panjang bergelombang yang dicat dengan warna merah muda itu membuatnya selalu terlihat menonjol dan menjadi pusat perhatian. Gadis itu sebenarnya tidak peduli apa kata orang tentang rambutnya, dia sering kali mendengar teman-temannya membicarakan rambutnya--yang katanya tidak cocok dengan gadis itu--di belakangnya. Para dosen juga sering salah fokus dengan rambutnya. Gadis itu tidak peduli dengan tatapan orang yang melihatnya aneh, dia terus melangkahkan kaki cepat menuju lift dan menekan tombol dengan angka 4, lantai di mana ruang dosen pembimbingnya berada."Maaf, Pak. Saya terlambat," ucap Rianza dengan napas yang tersengal-sengal.Pak Ardi, dosen mata kuliah
Kalan menghela napas panjang. Hidupnya belakangan terasa membosankan. Kekasih teranyar yang dia miliki sudah tidak menarik minatnya lagi. Adetha, cewek fakultas sebelah yang baru saja menjadi kekasihnya selama dua bulan itu terlalu posesif dan mengekangnya. Kalan bahkan harus membawa Adetha kemanapun cowok itu pergi. Bahkan teman-temannya sering mengejek Kalan bucin. Adetha juga suka protes ketika pesan ataupun panggilan telponnya tidak diangkat. Kalan merasa dia sulit bernapas."Gue putusin aja kali, ya?" Kalan bertanya pada salah satu teman se-gengnya, Nugra."Yakin, Lo? Lu deketin Adetha itu sebulan, lho. Masak baru pacaran dua bulan udah bosan?"Kalan menghela napas panjang, "Sama dia jadi nggak bebas. Cari yang lain mending.""Tapi dia yang paling cantik dari mantan lo yang lain," ucap Nugra lagi."Tapi gue udah bosan. Gimana dong?"Nugra menghela napas kasar, "Lo yakin?""Yakin gue."Kalan langsung mengeluarkan ponsel dar