Rianza berlari dengan terburu-buru menuju salah satu gedung di fakultasnya. Dosen pembimbing skripsinya baru saja mengabari bahwa dia memiliki waktu satu jam untuk bimbingan skripsi dengan gadis itu. Rianza yang dari tadi sibuk membereskan barang-barang di kost barunya harus bergegas cepat menuju kampus. Rambut panjang bergelombang yang dicat dengan warna merah muda itu membuatnya selalu terlihat menonjol dan menjadi pusat perhatian. Gadis itu sebenarnya tidak peduli apa kata orang tentang rambutnya, dia sering kali mendengar teman-temannya membicarakan rambutnya--yang katanya tidak cocok dengan gadis itu--di belakangnya. Para dosen juga sering salah fokus dengan rambutnya. Gadis itu tidak peduli dengan tatapan orang yang melihatnya aneh, dia terus melangkahkan kaki cepat menuju lift dan menekan tombol dengan angka 4, lantai di mana ruang dosen pembimbingnya berada.
"Maaf, Pak. Saya terlambat," ucap Rianza dengan napas yang tersengal-sengal.
Pak Ardi, dosen mata kuliah Writing Academy semester lalu, mengernyitkan dahinya, "Kenapa kamu?"
Sambil sedikit menundukkan kepalanya dan mengatur napas, Rianza berucap, "Maaf, Pak. Saya tadi lari-lari dari parkiran."
"Duduk dulu," kata Pak Ardi.
Rianza duduk di kursi yang berada tepat di seberang kursi dosen itu. "Jadi, untuk proposalnya apakah ada revisi, Pak?"
"Sebentar," kata Pak Ardi. Matanya mulai liar mencari sesuatu di atas meja kerjanya. Dia juga mengurai beberapa tumpukan kertas untuk mencari barang yang diinginkan. Tidak lama setelah itu, dia mengambil hasil cetak proposal skripsi gadis itu dan menyodorkannya pada Rianza.
"Itu sudah saya beri beberapa catatan. Tolong kamu perhatikan dan pelajari lagi. Kamu masih banyak salah di dalam penulisan secara keseluruhan. Banyak saltik dan kalimat yang tidak efektif. Kamu perbaiki itu terlebih dahulu, setelah itu baru kita bicarakan tentang konteks skripsi kamu," papar Pak Ardi.
Rianza mengernyitkan dahinya. Bukan karena dia tidak mengerti dengan penjelasan dari dosen pembimbingnya tersebut. Perhatiannya terpaku pada sampul proposal skripsi yang beberapa detik yang lalu diterimanya. Ada yang janggal...,
"Pak, tapi ini bukan proposal skripsi saya," ucap Rianza setelah menemukan hal yang janggal dari sampul proposal skripsi tersebut. Nama dan nomor induk mahasiswa yang tertera di sana bukanlah miliknya.
Mendengar itu, Pak Ardi membulatkan matanya, "Masa? Saya tidak mungkin salah membawa naskah skripsi. Kamu Riani, 'kan?"
Gadis itu menggelengkan kepala dengan mantap, "Saya Rianza, Pak. Bukan Riani." Rianza lalu mengembalikan proposal skripsi dengan nama Riani itu pada dosen pembimbingnya.
Dengan cepat Pak Ardi mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi chatting. "Oalah, ternyata saya salah chat orang. Hari ini saya harusnya ada jadwal bimbingan dengan Riani. Nama kalian mirip sehingga tertukar."
Dalam hati, Rianza menggerutu. Dia sudah lelah berlarian ke kampus dan ternyata dosennya salah menguhubungi mahasiswa.
"Kalau begitu bagaimana kalau jadwal saya diganti dengan Riani, Pak? Jadi saya sekarang bimbingan sama bapak."
Mendengar itu wajah Pak Ardi menggambarkan sebuah ketidaksetujuan. "Saya nggak bawa proposal kamu. Karena saya hanya membawa proposal yang bimbingan hari ini."
"Apa bapak menyimpan catatan revisiannya di laptop atau ponsel, Pak?" Rianza mencoba sedikit mendesak. Dia tidak ingin perjuangannya ke kampus sia-sia saja.
Dosen tua itu menggelengkan kepala, "Saya tidak terbiasa mengoreksi skripsi dengan software. Saya lebih suka mencoret skripsi kalian di kertas. Dan tidak ada salinan catatan karena saya langsung mengoreksinya di naskah tersebut."
Pupus sudah. Rianza menghela napas panjang. "Baik, Pak. Terima kasih. Maaf mengganggu waktunya, Pak," pamitnya dengan lesu.
Baru saja gadis itu akan beranjak, geraknya tertahan oleh panggilan dari dosen pembimbingnya tersebut. "Rianza."
"Ya, Pak?"
"Jika kamu mau bimbingan hari ini, saya bisa luangkan waktu jam tiga sore nanti untuk kamu. Tapi, apa kamu mau untuk mengambil naskah proposalmu di rumah saya? Saya harus kembali mengajar setelah istirahat ini."
Mendengar itu senyum Rianza langsung terbit. "Bisa, Pak. Saya bisa mengambilnya di rumah bapak."
Pak Ardi mengangguk, "Saya akan kirimkan lokasi rumah saya ke W******p kamu. Nanti kamu bisa memintanya pada anak laki-laki saya, atau nanti bisa minta bantuan asisten rumah tangga saya."
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi, Pak," pamit Rianza, kali ini dengan senyum lebar yang bertengger di wajahnya.
Gadis itu langsung meninggalkan ruangan dosen pembimbing skripsinya itu. Dia buru-buru mengecek ponselnya setelah mendapatkan sebuah notifikasi pesan. Pak Ardi mengirimkan alamat rumahnya melalui fitur share location yang ada di aplikasi W******p. Untungnya rumah sang dosen tidak terlalu jauh dari kampus, jadi tidak akan menghabiskan banyak ongkos. Gadis itu bergegas menuju parkiran dan memesan ojek online. Di fakultasnya, sudah disediakan titik khusus untuk pick up dan drop off penumpang ojek online, yang terdekat dari gedung yang baru saja dikunjungi Rianza adalah area parkiran sepeda yang berada di pintu selatan fakultas. Dia hanya perlu berjalan cepat dan menunggu ojol di dekat pos satpam yang ada di sana.
Tidak lama seorang pria dengan sepeda motor hitam yang besar berhenti di depan pos satpam. Rianza dengan cepat mengecek plat nomor sepeda motor tersebut dan menyamakannya dengan plat nomor yang ada pada aplikasi ojek onlinenya. Sama. Dengan cepat gadis itu menghampiri pria tersebut.
"Pak, atas nama Rianza kan ya?" tanyanya.
Driver ojek online tersebut mengangguk, "Iya, Mbak. Mbak Rianza, ya?"
Rianza mengangguk. Dia menerima sodoran helm dari sang driver dan memakainya dengan cepat. Setelah menggunakan helm, Rianza langsung duduk di jok belakang motor tersebut, "Udah, Pak," katanya pada si driver.
Motor berjalan cukup kencang membelah jalanan Jogja yang ramai. Cuaca sangat terik siang ini, Rianza mencoba untuk melindungi tangannya agar tidak terkena teriknya matahari dengan cara bersedekap. Dia menggunakan kemeja lengan pendek hari ini yang mengekspose kedua lengannya. Alhasil dia berusaha agar terik matahari tidak langsung kena ke kulitnya.
"Mbak ini rumahnya nomor berapa?" tanya driver ojek online tersebut ketika motor baru saja melewati gerbang besar menuju perumahan elit yang tidak jauh dari kampus.
"Blok A3, Pak," ucap Rianza setengah berteriak agar pengendara motor itu dapat mendengarnya. Untungnya Pak Ardi memberikan alamat lengkap, berikut dengan nomor rumah dan warna cat rumahnya.
Beberapa saat kemudian motor berhenti di depan gerbang hitam yang menjulang tinggi. Pada bagian beton pagar tersebut, terukir tulisan A3. Rianza menyisir pandangan ke segala penjuru. Kompleks perumahan itu penuh dengan rumah mewah dan memiliki pagar yang tinggi.
Gadis itu buru-buru turun dari motor dan melepas helmnya. "Makasih, ya, Pak. Bayarnya pakai ovo, ya."
Bapak tersebut mengangguk, "Makasih, ya, Mbak."
Setelah driver ojek online itu pergi, Rianza menekan bel berwarna putih yang ada di dekat pagar. Karena tidak mendengar bunyi apapun, gadis itu memencetnya berkali-kali.
"Siapa?" tanya sebuah suara melalui intercom. Suara seorang laki-laki.
"Saya Rianza, salah satu mahasiswa Pak Ardi," jawab gadis berambut pink tersebut.
"Rianza?" tanya suara itu lagi.
"Iya."
"Pak Ardinya nggak ada di rumah. Dia lagi di kampus."
"Iya. Saya disuruh ambil naskah proposal skripsi saya yang ketinggalan, Mas. Mas anaknya Pak Ardi, ya? Bisa tolong saya untuk ambilkan, Mas?"
"Kamu beneran mahasiswa ayah saya?" tanya suara itu lagi.
"Beneran, Mas. Kalau nggak percaya, Mas bisa cari naskah proposal skripsi atas nama Rianza, nanti saya bisa buktiin kalau itu nama saya pakai KTM."
"Ya udah, tunggu di sana aja. Saya ngeri mempersilakan orang asing masuk rumah saya."
Mendengar itu Rianza mendengus, "Ya sudah, Mas. Saya tunggu di sini. Tolong ambilkan, ya, Mas."
Rianza berkali-kali merutuki anak dosennya yang terlalu lama mengambil naskah proposal skripsinya. Tidak ada tempat berlindung dari sinar matahari dan gadis itu terpaksa harus menahan teriknya. Cukup lama setelah itu, terdengar bunyi besi yang saling bergesek. Pintu pagar pun terbuka. Seorang laki-laki muda muncul dengan pakaian rumahannya--hanya menggunakan kaos polos dan celana selutut.
"Ini naskah lo?" tanya cowok itu.
Rianza tertegun sejenak. Cowok yang baru saja muncul di hadapannya ini adalah teman satu angkatannya, namun mereka tidak begitu dekat. Rianza mengenal laki-laki itu karena mereka pernah sekelas dan tentunya karena reputasi cowok itu di kampus memang terkenal. Rianza tidak memungkiri pesona yang dimiliki pria tampan tersebut. Dia bahkan sempat naksir pada cowok itu sebelum tahu tabiat buruk laki-laki itu.
"Iya, Mas. Makasih, ya," kata Rianza yang langsung mengambil tumpukan kertas tersebut.
Belum sempat tangannya mengambil kertas-kertas itu, si cowok langsung menarik kertas itu ke belakang tubuhnya. "Mana KTM lo?"
"Oh iya, sebentar." Gadis itu langsung membuka tasnya dan mengambil dompet. Dia mengeluarkan kartu tanda mahasiswanya dan menyodorkannya pada cowok itu. "Itu beneran punya saya, Mas."
Cowok itu mengambil KTM Rianza dan mencocokkannya dengan nama yang ada di sampul naskah proposal skripsi tersebut. "Nama lo cuma Rianza? Nggak ada panjangannya?"
Rianza menggeleng, "Cuma Rianza."
"Oke. Nih, proposal skripsi lo," cowok itu menyodorkan naskah proposal skripsinya, namun tidak dengan KTM Rianza. Alih-alih memberikannya, cowok itu malah menyimpan di saku celananya.
"KTM saya?" tanya Rianza yang heran.
Cowok tersebut berdecak, "Bayaran gue lah. Lo pikir jasa gue gratis?"
Rianza tertegun, "Tapi saya cuma punya satu KTM, Mas."
Bukannya kasihan, cowok tersebut terkekeh, "Kalau lo mau KTM lo balik. Lo harus tunggu sampai besok. Jangan lupa cari tahu nama gue siapa dan bawa makanan kesukaan gue. Kalau sampai ada yang salah di antara dua itu, gue patahin KTM lo."
Rianza tertegun. Dia tidak habis pikir dengan apa yang cowok itu bilang barusan. Baru saja dia akan membalas ucapan cowok itu, pintu pagar sudah kembali tertutup dan cowok itu sudah menghilang dari hadapannya.
"Tapi kan gue udah tahu nama lo," lirih cewek itu.
***
Cowok yang baru saja Rianza temui adalah orang yang sempat dia kagumi. Siapa yang sanggup menolak pesona dari Kalan. Sayangnya, Rianza tidak seperti cewek lainnya yang bisa begitu saja mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Dia terkenal pendiam dan tidak memiliki teman di kampus. Itu bukan karena tidak ada yang ingin berteman dengannya. Hanya saja belum ada orang yang cocok dengannya. Padahal sebenarnya berteman dengan Rianza juga tidak ribet. Dia hanya tidak suka dengan orang bermuka dua dan tentunya dia tidak suka bergosip. Itulah yang membuat orang-orang berpikir bahwa berteman dengan Rianza akan membosankan. Namun, tidak adanya teman membuatnya menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada lingkungan pertemanannya.Gadis berambut merah muda itu bergegas membawa naskah proposal skripsinya menuju ruang Pak Ardi di lantai empat. Jam sudah menunjukkan pukul tiga, jadwal bimbingannya akan segera dimulai. Setelah sampai di depan ruang dosen tersebut, Rianza mengetuk pintu
Lapar. Itu yang Rianza rasakan ketika malam sudah hampir larut. Dari tadi sore hingga malam dia tidak berani untuk keluar kamar. Bukan karena kost barunya yang horor. Sejak sore tadi Kalan asik nongkrong di dapur bersama dengan beberapa penghuni lainnya. Gadis itu sudah beberapa kali mengecek ke luar kamar dan selalu mendapati Kalan yang tengah duduk memunggunginya. Dia tidak ingin berurusan dengan cowok itu, terlebih dalam hal yang berkaitan dengan apa yang dikatakan cowok itu tadi. Setampan dan sepopuler apapun Kalan, dia tahu bahwa cowok itu tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Dia tidak ingin menjadi korban dari hubungan main-main Kalan.Tok..tok..tokRianza tersentak ketika pintu kamar kostnya diketuk beberapa kali. Dia mengintip dari jendela yang ada di sebelah pintu dan mendapati Kalan berdiri tepat di depan pintu.“Gulali,” panggil Kalan pelan dibarengi dengan ketukan di pintu.“Lo nggak mau keluar apa? Nggak bosan di kam
Kalan tersenyum lebar. Dia memang tidak pernah gagal mendapatkan apa yang dia mau, termasuk seorang pacar. Rianza, cewek yang terkenal pendiam itu berhasil didapatkannya. Di kampus, mereka sangat jarang bertemu. Rianza hanya akan ke kampus jika ada jadwal bimbingan dengan Pak Ardi, berbeda dengan Kalan yang masih memiliki kelas untuk diikuti. Sejak cewek itu akhirnya setuju untuk menjalin hubungan dengan Kalan, tidak ada hal yang spesial terjadi. Tidak ada hubungan pacaran seperti hubungan Kalan dengan mantan-mantan sebelumnya. Rianza bahkan tidak pernah mengiriminya pesan terlebih dahulu. Dia hanya akan membalas jika Kalan menanyakan sesuatu seperti sudah makan atau belum, atau bertanya lokasi Rianza. Gadis itu juga menjawab sekenanya. Dia bahkan tidak pernah bertanya balik pada Kalan.“Nggak usah kasih makanan lagi. Gue masih mampu beli,” ucap Rianza yang protes Kalan selalu membelikannya makanan dan meletakkannya di gagang pintu kamar cewek itu.“L
“Mau ke mana?” Kalan bertanya ketika dia melihat Rianza melintas di dapur bersama kost. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana denim panjang. terlihat sangat rapi jika hanya untuk diam di kamar.“Mau bimbingan. Lo nggak kuliah?” tanya cewek itu. Dia melangkah ke arah dispenser dan mengisi botol minum yang sudah dibawanya sejak tadi.“Jadwal gue cuma hari Selasa,” katanya, “nggak sarapan?”Rianza menggeleng, “Brunch aja ntar di kantin kampus,” katanya sembari mengisi botol.Kalan menganggukkan kepala, “Selesai jam berapa?”Rianza mengangkat bahunya. Iya, dia memang tidak tahu akan selesai bimbingan jam berapa. Lamanya bimbingan tergantung pada berapa banyak revisi dan petuah dari sang dosen. Dan Rianza tidak tahu berapa banyak revisinya kali ini.“Gue tanya tuh dijawab,” kata Kalan dengan nada tegas sedikit kesal.Rianza tersentak.
Rianza mengernyitkan dahinya, "Ngapain lagi?" dia bertanya kesal karena Kalan menyeretnya masuk ke dalam kamarnya.Cowok itu tidak bersuara. Dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi sang ayah. "Halo, Pah? Rianza hari ini ada jadwal bimbingan sama papah, 'kan? Hari ini dia sakit, Pah. Jadi nggak bisa ke kampus. Papah atur aja untuk jadwal selanjutnya."Rianza hanya terpelongo mendengar omongan seenak jidat itu keluar dari mulut kekasihnya. "Lan, lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak sopan!""Ini semua gara-gara lo!" ucap Kalan penuh penekanan pada Rianza, "coba aja lo nggak bikin mood gue hancur pagi ini. Gue nggak bakal kayak ini."Cewek berambut merah muda itu hanya menghela napas panjang. "Kita beda, ya?" katanya tiba-tiba.Kalan mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?""Kita beda, Lan. Kita punya sifat yang berbeda, dunia kita pun beda. Gue baru sadar kalau gue nggak banyak tahu tentang lo. Lo yang suka seenaknya, lo yang nggak s
Semuanya nggak baik-baik aja bagi Rianza. Dia memang tidak bertemu secara langsung dengan Kalan dalam dua hari terakhir, namun sepertinya cowok tampan itu punya cara lain yang dapat membuat Rianza menyesali keputusannya. Iya, keputusan untuk putus dengan Kalan. Baginya, jika Kalan bisa membuat mereka pacaran dengan cara sepihak, dia juga bisa memutuskan Kalan seperti itu juga."Puding cokelat?" Rianza berujar lirih sembari melihat sekotak puding cokelat yang menggantung di gagang pintu kamar kostnya.Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar sebelah. Pintu kamar Kalan itu tertutup rapat, lagi pula Rianza tidak bertemu dengan cowok itu di kost akhir-akhir ini. Dia mengambil sekotak puding tersebut dan masuk ke dalam kamarnya. Kemarin, yang menggantung di gagang pintunya adalah sekardus pizza dengan topping keju dan minuman boba yang sedang viral. Rianza tahu, itu semua pasti dari Kalan. Cowok yang diputuskannya dua hari yang lalu itu memang tidak menampakkan dirinya,
Kalan tidak pernah gagal untuk mendapatkan perempuan manapun yang dia inginkan. Namun, Rianza berbeda. Cewek berambut merah muda itu sulit ditaklukkan. Bukan berarti Kalan tidak pernah mengencani cewek keras kepala sebelumnya. Sudah banyak gadis dari beragam sifat dan latar belakang yang berhasil dijadikannya sebagai kekasih. Tapi, Rianza? Kalan sangat sulit untuk menebak apa yang sedang dipikirkan dan diinginkan oleh gadis itu. "Za, hari ini kita mau makan di restorannya si Ari, nggak?" tanya Kalan ketika dia dan Rianza baru saja bertemu di parkiran. Mereka memang membiasakan diri untuk pergi dan pulang kampus bersama. Rianza menggelengkan kepalanya, "Hari ini gue harus nyelesaiin tugas. Malam ini tugasnya harus dikumpul via email," tolak gadis itu. "Gue temenin, ya?" Kalan sengaja membuat suaranya menjadi manja. Cewek tangguh biasanya akan cepat luluh dengan cowok yang bergantung padanya. Rianza menganggukkan kepala, "Gimana kalau makannya di
Kalan menghela napas panjang. Hidupnya belakangan terasa membosankan. Kekasih teranyar yang dia miliki sudah tidak menarik minatnya lagi. Adetha, cewek fakultas sebelah yang baru saja menjadi kekasihnya selama dua bulan itu terlalu posesif dan mengekangnya. Kalan bahkan harus membawa Adetha kemanapun cowok itu pergi. Bahkan teman-temannya sering mengejek Kalan bucin. Adetha juga suka protes ketika pesan ataupun panggilan telponnya tidak diangkat. Kalan merasa dia sulit bernapas."Gue putusin aja kali, ya?" Kalan bertanya pada salah satu teman se-gengnya, Nugra."Yakin, Lo? Lu deketin Adetha itu sebulan, lho. Masak baru pacaran dua bulan udah bosan?"Kalan menghela napas panjang, "Sama dia jadi nggak bebas. Cari yang lain mending.""Tapi dia yang paling cantik dari mantan lo yang lain," ucap Nugra lagi."Tapi gue udah bosan. Gimana dong?"Nugra menghela napas kasar, "Lo yakin?""Yakin gue."Kalan langsung mengeluarkan ponsel dar
Kalan tidak pernah gagal untuk mendapatkan perempuan manapun yang dia inginkan. Namun, Rianza berbeda. Cewek berambut merah muda itu sulit ditaklukkan. Bukan berarti Kalan tidak pernah mengencani cewek keras kepala sebelumnya. Sudah banyak gadis dari beragam sifat dan latar belakang yang berhasil dijadikannya sebagai kekasih. Tapi, Rianza? Kalan sangat sulit untuk menebak apa yang sedang dipikirkan dan diinginkan oleh gadis itu. "Za, hari ini kita mau makan di restorannya si Ari, nggak?" tanya Kalan ketika dia dan Rianza baru saja bertemu di parkiran. Mereka memang membiasakan diri untuk pergi dan pulang kampus bersama. Rianza menggelengkan kepalanya, "Hari ini gue harus nyelesaiin tugas. Malam ini tugasnya harus dikumpul via email," tolak gadis itu. "Gue temenin, ya?" Kalan sengaja membuat suaranya menjadi manja. Cewek tangguh biasanya akan cepat luluh dengan cowok yang bergantung padanya. Rianza menganggukkan kepala, "Gimana kalau makannya di
Semuanya nggak baik-baik aja bagi Rianza. Dia memang tidak bertemu secara langsung dengan Kalan dalam dua hari terakhir, namun sepertinya cowok tampan itu punya cara lain yang dapat membuat Rianza menyesali keputusannya. Iya, keputusan untuk putus dengan Kalan. Baginya, jika Kalan bisa membuat mereka pacaran dengan cara sepihak, dia juga bisa memutuskan Kalan seperti itu juga."Puding cokelat?" Rianza berujar lirih sembari melihat sekotak puding cokelat yang menggantung di gagang pintu kamar kostnya.Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar sebelah. Pintu kamar Kalan itu tertutup rapat, lagi pula Rianza tidak bertemu dengan cowok itu di kost akhir-akhir ini. Dia mengambil sekotak puding tersebut dan masuk ke dalam kamarnya. Kemarin, yang menggantung di gagang pintunya adalah sekardus pizza dengan topping keju dan minuman boba yang sedang viral. Rianza tahu, itu semua pasti dari Kalan. Cowok yang diputuskannya dua hari yang lalu itu memang tidak menampakkan dirinya,
Rianza mengernyitkan dahinya, "Ngapain lagi?" dia bertanya kesal karena Kalan menyeretnya masuk ke dalam kamarnya.Cowok itu tidak bersuara. Dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi sang ayah. "Halo, Pah? Rianza hari ini ada jadwal bimbingan sama papah, 'kan? Hari ini dia sakit, Pah. Jadi nggak bisa ke kampus. Papah atur aja untuk jadwal selanjutnya."Rianza hanya terpelongo mendengar omongan seenak jidat itu keluar dari mulut kekasihnya. "Lan, lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak sopan!""Ini semua gara-gara lo!" ucap Kalan penuh penekanan pada Rianza, "coba aja lo nggak bikin mood gue hancur pagi ini. Gue nggak bakal kayak ini."Cewek berambut merah muda itu hanya menghela napas panjang. "Kita beda, ya?" katanya tiba-tiba.Kalan mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?""Kita beda, Lan. Kita punya sifat yang berbeda, dunia kita pun beda. Gue baru sadar kalau gue nggak banyak tahu tentang lo. Lo yang suka seenaknya, lo yang nggak s
“Mau ke mana?” Kalan bertanya ketika dia melihat Rianza melintas di dapur bersama kost. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana denim panjang. terlihat sangat rapi jika hanya untuk diam di kamar.“Mau bimbingan. Lo nggak kuliah?” tanya cewek itu. Dia melangkah ke arah dispenser dan mengisi botol minum yang sudah dibawanya sejak tadi.“Jadwal gue cuma hari Selasa,” katanya, “nggak sarapan?”Rianza menggeleng, “Brunch aja ntar di kantin kampus,” katanya sembari mengisi botol.Kalan menganggukkan kepala, “Selesai jam berapa?”Rianza mengangkat bahunya. Iya, dia memang tidak tahu akan selesai bimbingan jam berapa. Lamanya bimbingan tergantung pada berapa banyak revisi dan petuah dari sang dosen. Dan Rianza tidak tahu berapa banyak revisinya kali ini.“Gue tanya tuh dijawab,” kata Kalan dengan nada tegas sedikit kesal.Rianza tersentak.
Kalan tersenyum lebar. Dia memang tidak pernah gagal mendapatkan apa yang dia mau, termasuk seorang pacar. Rianza, cewek yang terkenal pendiam itu berhasil didapatkannya. Di kampus, mereka sangat jarang bertemu. Rianza hanya akan ke kampus jika ada jadwal bimbingan dengan Pak Ardi, berbeda dengan Kalan yang masih memiliki kelas untuk diikuti. Sejak cewek itu akhirnya setuju untuk menjalin hubungan dengan Kalan, tidak ada hal yang spesial terjadi. Tidak ada hubungan pacaran seperti hubungan Kalan dengan mantan-mantan sebelumnya. Rianza bahkan tidak pernah mengiriminya pesan terlebih dahulu. Dia hanya akan membalas jika Kalan menanyakan sesuatu seperti sudah makan atau belum, atau bertanya lokasi Rianza. Gadis itu juga menjawab sekenanya. Dia bahkan tidak pernah bertanya balik pada Kalan.“Nggak usah kasih makanan lagi. Gue masih mampu beli,” ucap Rianza yang protes Kalan selalu membelikannya makanan dan meletakkannya di gagang pintu kamar cewek itu.“L
Lapar. Itu yang Rianza rasakan ketika malam sudah hampir larut. Dari tadi sore hingga malam dia tidak berani untuk keluar kamar. Bukan karena kost barunya yang horor. Sejak sore tadi Kalan asik nongkrong di dapur bersama dengan beberapa penghuni lainnya. Gadis itu sudah beberapa kali mengecek ke luar kamar dan selalu mendapati Kalan yang tengah duduk memunggunginya. Dia tidak ingin berurusan dengan cowok itu, terlebih dalam hal yang berkaitan dengan apa yang dikatakan cowok itu tadi. Setampan dan sepopuler apapun Kalan, dia tahu bahwa cowok itu tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Dia tidak ingin menjadi korban dari hubungan main-main Kalan.Tok..tok..tokRianza tersentak ketika pintu kamar kostnya diketuk beberapa kali. Dia mengintip dari jendela yang ada di sebelah pintu dan mendapati Kalan berdiri tepat di depan pintu.“Gulali,” panggil Kalan pelan dibarengi dengan ketukan di pintu.“Lo nggak mau keluar apa? Nggak bosan di kam
Cowok yang baru saja Rianza temui adalah orang yang sempat dia kagumi. Siapa yang sanggup menolak pesona dari Kalan. Sayangnya, Rianza tidak seperti cewek lainnya yang bisa begitu saja mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Dia terkenal pendiam dan tidak memiliki teman di kampus. Itu bukan karena tidak ada yang ingin berteman dengannya. Hanya saja belum ada orang yang cocok dengannya. Padahal sebenarnya berteman dengan Rianza juga tidak ribet. Dia hanya tidak suka dengan orang bermuka dua dan tentunya dia tidak suka bergosip. Itulah yang membuat orang-orang berpikir bahwa berteman dengan Rianza akan membosankan. Namun, tidak adanya teman membuatnya menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada lingkungan pertemanannya.Gadis berambut merah muda itu bergegas membawa naskah proposal skripsinya menuju ruang Pak Ardi di lantai empat. Jam sudah menunjukkan pukul tiga, jadwal bimbingannya akan segera dimulai. Setelah sampai di depan ruang dosen tersebut, Rianza mengetuk pintu
Rianza berlari dengan terburu-buru menuju salah satu gedung di fakultasnya. Dosen pembimbing skripsinya baru saja mengabari bahwa dia memiliki waktu satu jam untuk bimbingan skripsi dengan gadis itu. Rianza yang dari tadi sibuk membereskan barang-barang di kost barunya harus bergegas cepat menuju kampus. Rambut panjang bergelombang yang dicat dengan warna merah muda itu membuatnya selalu terlihat menonjol dan menjadi pusat perhatian. Gadis itu sebenarnya tidak peduli apa kata orang tentang rambutnya, dia sering kali mendengar teman-temannya membicarakan rambutnya--yang katanya tidak cocok dengan gadis itu--di belakangnya. Para dosen juga sering salah fokus dengan rambutnya. Gadis itu tidak peduli dengan tatapan orang yang melihatnya aneh, dia terus melangkahkan kaki cepat menuju lift dan menekan tombol dengan angka 4, lantai di mana ruang dosen pembimbingnya berada."Maaf, Pak. Saya terlambat," ucap Rianza dengan napas yang tersengal-sengal.Pak Ardi, dosen mata kuliah
Kalan menghela napas panjang. Hidupnya belakangan terasa membosankan. Kekasih teranyar yang dia miliki sudah tidak menarik minatnya lagi. Adetha, cewek fakultas sebelah yang baru saja menjadi kekasihnya selama dua bulan itu terlalu posesif dan mengekangnya. Kalan bahkan harus membawa Adetha kemanapun cowok itu pergi. Bahkan teman-temannya sering mengejek Kalan bucin. Adetha juga suka protes ketika pesan ataupun panggilan telponnya tidak diangkat. Kalan merasa dia sulit bernapas."Gue putusin aja kali, ya?" Kalan bertanya pada salah satu teman se-gengnya, Nugra."Yakin, Lo? Lu deketin Adetha itu sebulan, lho. Masak baru pacaran dua bulan udah bosan?"Kalan menghela napas panjang, "Sama dia jadi nggak bebas. Cari yang lain mending.""Tapi dia yang paling cantik dari mantan lo yang lain," ucap Nugra lagi."Tapi gue udah bosan. Gimana dong?"Nugra menghela napas kasar, "Lo yakin?""Yakin gue."Kalan langsung mengeluarkan ponsel dar