Kalan tidak pernah gagal untuk mendapatkan perempuan manapun yang dia inginkan. Namun, Rianza berbeda. Cewek berambut merah muda itu sulit ditaklukkan. Bukan berarti Kalan tidak pernah mengencani cewek keras kepala sebelumnya. Sudah banyak gadis dari beragam sifat dan latar belakang yang berhasil dijadikannya sebagai kekasih. Tapi, Rianza? Kalan sangat sulit untuk menebak apa yang sedang dipikirkan dan diinginkan oleh gadis itu.
"Za, hari ini kita mau makan di restorannya si Ari, nggak?" tanya Kalan ketika dia dan Rianza baru saja bertemu di parkiran. Mereka memang membiasakan diri untuk pergi dan pulang kampus bersama.
Rianza menggelengkan kepalanya, "Hari ini gue harus nyelesaiin tugas. Malam ini tugasnya harus dikumpul via email," tolak gadis itu.
"Gue temenin, ya?" Kalan sengaja membuat suaranya menjadi manja. Cewek tangguh biasanya akan cepat luluh dengan cowok yang bergantung padanya.
Rianza menganggukkan kepala, "Gimana kalau makannya di kost aja?"
"Boleh. Tapi mereka belum ada delivery. Kita beli ke sana terus take away aja. Gimana?"
"Boleh." putus Rianza.
Kalan tersenyum. Ketika cewek dengan rambut merah muda itu berkata bahwa dia memberi Kalan kesempatan, dia sungguh-sungguh membuka hatinya untuk cowok itu. Tentunya tanpa mengubah jati dirinya. Dia tetap menjadi Rianza, namun dengan sikap yang sedikit ramah pada tetangga kostnya itu.
***
"Rianza mau pesan apa?" Tanya Kalan lembut.
Mendengar itu membuat bulu Rianza bergidik. Meski sudah beberapa kali mendengarnya, nyatanya gadis itu masih belum terbiasa dengan eksistensi dan segala tingkah dari Kalan. Termasuk Kalan versi manja yang selalu membuatnya merinding. Sangat jauh berbeda dengan Kalan yang menjadi most wanted guy di kampus dengan image bad boynya.
"Terserah," kata Rianza pada akhirnya.
"Jangan terserah. Nggak ada di menu." Kalan terkikih sendiri dengan jokes yang dilontarkannya.
"Nasi goreng, deh," ujar Rianza setelah beberapa saat melihat menu.
"Nasi goreng apa?"
"Polosan."
"Nggak mau tambah udang? cumi? apa gitu?"
"Terserah deh," kata Rianza yang setelah itu mendengus.
"Lho? Kalan?"
Kedua orang yang sedang berada di depan meja kasir itu tersentak. Rianza dan Kalan langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang gadis dengan pakaian yang cukup terbuka berdiri di belakang mereka sambil tersenyum ke arah Kalan.
"Nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi di sini, Beb," katanya dengan tangan yang langsung mengelus lengan Kalan. Dia berjalan mendekati cowok itu dan merangkul tangan kurus cowok tersebut.
"Kangen nggak sih? Udah lama nih kita nggak ketemu."
Rianza? Gadis itu hanya melihat Kalan dan perempuan itu dalam diam. Cewek itu, secara fisik, jelas sangat tipe Kalan. Dia sering melihat Kalan berpacaran dengan cewek berwajah cantik dan tubuh ideal, plus yang memiliki dada yang lebih menonjol. Rianza tahu tipe Kalan seperti apa, dan dia sadar dia sangat jauh dari tipe itu.
"Haha. Kemana aja, lo? Kapan ya terakhir kali kita ketemu?"
Rianza membulatkan matanya ketika Kalan berucap seperti itu. Dia bahkan terlihat tidak risih sama sekali dengan rangkulan di lengannya. Ah, apa yang dia harapkan dari cowok yang sudah terkenal suka gonta-ganti pasangan itu? Seharusnya dia tidak percaya pada omongan Kalan hari itu dan tidak memberikan cowok itu kesempatan.
"Ini siapa, Lan? Adek lo?"
"Iya."
Hah?! Rianza benar-benar tidak menyangka dengan jawaban cowok itu.
"Halo, gue Riri, temennya Kalan. Nama lo siapa?"
Alih-alih menjabat tangan gadis itu Rianza berbalik. Melangkah meninggalkan keduanya. Hatinya terluka ketika Kalan mengakuinya sebagai adik. Jika dia memberi Kalan kesempatan untuk mendekatinya, apakah dia bisa menerima masa lalu Kalan jika mereka berpacaran nanti? Melihat hal tadi saja sudah membuatnya sakit.
Atau, apa dia harus mengakhirinya sebelum terlambat?
Kalan menghela napas panjang. Hidupnya belakangan terasa membosankan. Kekasih teranyar yang dia miliki sudah tidak menarik minatnya lagi. Adetha, cewek fakultas sebelah yang baru saja menjadi kekasihnya selama dua bulan itu terlalu posesif dan mengekangnya. Kalan bahkan harus membawa Adetha kemanapun cowok itu pergi. Bahkan teman-temannya sering mengejek Kalan bucin. Adetha juga suka protes ketika pesan ataupun panggilan telponnya tidak diangkat. Kalan merasa dia sulit bernapas."Gue putusin aja kali, ya?" Kalan bertanya pada salah satu teman se-gengnya, Nugra."Yakin, Lo? Lu deketin Adetha itu sebulan, lho. Masak baru pacaran dua bulan udah bosan?"Kalan menghela napas panjang, "Sama dia jadi nggak bebas. Cari yang lain mending.""Tapi dia yang paling cantik dari mantan lo yang lain," ucap Nugra lagi."Tapi gue udah bosan. Gimana dong?"Nugra menghela napas kasar, "Lo yakin?""Yakin gue."Kalan langsung mengeluarkan ponsel dar
Rianza berlari dengan terburu-buru menuju salah satu gedung di fakultasnya. Dosen pembimbing skripsinya baru saja mengabari bahwa dia memiliki waktu satu jam untuk bimbingan skripsi dengan gadis itu. Rianza yang dari tadi sibuk membereskan barang-barang di kost barunya harus bergegas cepat menuju kampus. Rambut panjang bergelombang yang dicat dengan warna merah muda itu membuatnya selalu terlihat menonjol dan menjadi pusat perhatian. Gadis itu sebenarnya tidak peduli apa kata orang tentang rambutnya, dia sering kali mendengar teman-temannya membicarakan rambutnya--yang katanya tidak cocok dengan gadis itu--di belakangnya. Para dosen juga sering salah fokus dengan rambutnya. Gadis itu tidak peduli dengan tatapan orang yang melihatnya aneh, dia terus melangkahkan kaki cepat menuju lift dan menekan tombol dengan angka 4, lantai di mana ruang dosen pembimbingnya berada."Maaf, Pak. Saya terlambat," ucap Rianza dengan napas yang tersengal-sengal.Pak Ardi, dosen mata kuliah
Cowok yang baru saja Rianza temui adalah orang yang sempat dia kagumi. Siapa yang sanggup menolak pesona dari Kalan. Sayangnya, Rianza tidak seperti cewek lainnya yang bisa begitu saja mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Dia terkenal pendiam dan tidak memiliki teman di kampus. Itu bukan karena tidak ada yang ingin berteman dengannya. Hanya saja belum ada orang yang cocok dengannya. Padahal sebenarnya berteman dengan Rianza juga tidak ribet. Dia hanya tidak suka dengan orang bermuka dua dan tentunya dia tidak suka bergosip. Itulah yang membuat orang-orang berpikir bahwa berteman dengan Rianza akan membosankan. Namun, tidak adanya teman membuatnya menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada lingkungan pertemanannya.Gadis berambut merah muda itu bergegas membawa naskah proposal skripsinya menuju ruang Pak Ardi di lantai empat. Jam sudah menunjukkan pukul tiga, jadwal bimbingannya akan segera dimulai. Setelah sampai di depan ruang dosen tersebut, Rianza mengetuk pintu
Lapar. Itu yang Rianza rasakan ketika malam sudah hampir larut. Dari tadi sore hingga malam dia tidak berani untuk keluar kamar. Bukan karena kost barunya yang horor. Sejak sore tadi Kalan asik nongkrong di dapur bersama dengan beberapa penghuni lainnya. Gadis itu sudah beberapa kali mengecek ke luar kamar dan selalu mendapati Kalan yang tengah duduk memunggunginya. Dia tidak ingin berurusan dengan cowok itu, terlebih dalam hal yang berkaitan dengan apa yang dikatakan cowok itu tadi. Setampan dan sepopuler apapun Kalan, dia tahu bahwa cowok itu tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Dia tidak ingin menjadi korban dari hubungan main-main Kalan.Tok..tok..tokRianza tersentak ketika pintu kamar kostnya diketuk beberapa kali. Dia mengintip dari jendela yang ada di sebelah pintu dan mendapati Kalan berdiri tepat di depan pintu.“Gulali,” panggil Kalan pelan dibarengi dengan ketukan di pintu.“Lo nggak mau keluar apa? Nggak bosan di kam
Kalan tersenyum lebar. Dia memang tidak pernah gagal mendapatkan apa yang dia mau, termasuk seorang pacar. Rianza, cewek yang terkenal pendiam itu berhasil didapatkannya. Di kampus, mereka sangat jarang bertemu. Rianza hanya akan ke kampus jika ada jadwal bimbingan dengan Pak Ardi, berbeda dengan Kalan yang masih memiliki kelas untuk diikuti. Sejak cewek itu akhirnya setuju untuk menjalin hubungan dengan Kalan, tidak ada hal yang spesial terjadi. Tidak ada hubungan pacaran seperti hubungan Kalan dengan mantan-mantan sebelumnya. Rianza bahkan tidak pernah mengiriminya pesan terlebih dahulu. Dia hanya akan membalas jika Kalan menanyakan sesuatu seperti sudah makan atau belum, atau bertanya lokasi Rianza. Gadis itu juga menjawab sekenanya. Dia bahkan tidak pernah bertanya balik pada Kalan.“Nggak usah kasih makanan lagi. Gue masih mampu beli,” ucap Rianza yang protes Kalan selalu membelikannya makanan dan meletakkannya di gagang pintu kamar cewek itu.“L
“Mau ke mana?” Kalan bertanya ketika dia melihat Rianza melintas di dapur bersama kost. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana denim panjang. terlihat sangat rapi jika hanya untuk diam di kamar.“Mau bimbingan. Lo nggak kuliah?” tanya cewek itu. Dia melangkah ke arah dispenser dan mengisi botol minum yang sudah dibawanya sejak tadi.“Jadwal gue cuma hari Selasa,” katanya, “nggak sarapan?”Rianza menggeleng, “Brunch aja ntar di kantin kampus,” katanya sembari mengisi botol.Kalan menganggukkan kepala, “Selesai jam berapa?”Rianza mengangkat bahunya. Iya, dia memang tidak tahu akan selesai bimbingan jam berapa. Lamanya bimbingan tergantung pada berapa banyak revisi dan petuah dari sang dosen. Dan Rianza tidak tahu berapa banyak revisinya kali ini.“Gue tanya tuh dijawab,” kata Kalan dengan nada tegas sedikit kesal.Rianza tersentak.
Rianza mengernyitkan dahinya, "Ngapain lagi?" dia bertanya kesal karena Kalan menyeretnya masuk ke dalam kamarnya.Cowok itu tidak bersuara. Dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi sang ayah. "Halo, Pah? Rianza hari ini ada jadwal bimbingan sama papah, 'kan? Hari ini dia sakit, Pah. Jadi nggak bisa ke kampus. Papah atur aja untuk jadwal selanjutnya."Rianza hanya terpelongo mendengar omongan seenak jidat itu keluar dari mulut kekasihnya. "Lan, lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak sopan!""Ini semua gara-gara lo!" ucap Kalan penuh penekanan pada Rianza, "coba aja lo nggak bikin mood gue hancur pagi ini. Gue nggak bakal kayak ini."Cewek berambut merah muda itu hanya menghela napas panjang. "Kita beda, ya?" katanya tiba-tiba.Kalan mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?""Kita beda, Lan. Kita punya sifat yang berbeda, dunia kita pun beda. Gue baru sadar kalau gue nggak banyak tahu tentang lo. Lo yang suka seenaknya, lo yang nggak s
Semuanya nggak baik-baik aja bagi Rianza. Dia memang tidak bertemu secara langsung dengan Kalan dalam dua hari terakhir, namun sepertinya cowok tampan itu punya cara lain yang dapat membuat Rianza menyesali keputusannya. Iya, keputusan untuk putus dengan Kalan. Baginya, jika Kalan bisa membuat mereka pacaran dengan cara sepihak, dia juga bisa memutuskan Kalan seperti itu juga."Puding cokelat?" Rianza berujar lirih sembari melihat sekotak puding cokelat yang menggantung di gagang pintu kamar kostnya.Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar sebelah. Pintu kamar Kalan itu tertutup rapat, lagi pula Rianza tidak bertemu dengan cowok itu di kost akhir-akhir ini. Dia mengambil sekotak puding tersebut dan masuk ke dalam kamarnya. Kemarin, yang menggantung di gagang pintunya adalah sekardus pizza dengan topping keju dan minuman boba yang sedang viral. Rianza tahu, itu semua pasti dari Kalan. Cowok yang diputuskannya dua hari yang lalu itu memang tidak menampakkan dirinya,
Kalan tidak pernah gagal untuk mendapatkan perempuan manapun yang dia inginkan. Namun, Rianza berbeda. Cewek berambut merah muda itu sulit ditaklukkan. Bukan berarti Kalan tidak pernah mengencani cewek keras kepala sebelumnya. Sudah banyak gadis dari beragam sifat dan latar belakang yang berhasil dijadikannya sebagai kekasih. Tapi, Rianza? Kalan sangat sulit untuk menebak apa yang sedang dipikirkan dan diinginkan oleh gadis itu. "Za, hari ini kita mau makan di restorannya si Ari, nggak?" tanya Kalan ketika dia dan Rianza baru saja bertemu di parkiran. Mereka memang membiasakan diri untuk pergi dan pulang kampus bersama. Rianza menggelengkan kepalanya, "Hari ini gue harus nyelesaiin tugas. Malam ini tugasnya harus dikumpul via email," tolak gadis itu. "Gue temenin, ya?" Kalan sengaja membuat suaranya menjadi manja. Cewek tangguh biasanya akan cepat luluh dengan cowok yang bergantung padanya. Rianza menganggukkan kepala, "Gimana kalau makannya di
Semuanya nggak baik-baik aja bagi Rianza. Dia memang tidak bertemu secara langsung dengan Kalan dalam dua hari terakhir, namun sepertinya cowok tampan itu punya cara lain yang dapat membuat Rianza menyesali keputusannya. Iya, keputusan untuk putus dengan Kalan. Baginya, jika Kalan bisa membuat mereka pacaran dengan cara sepihak, dia juga bisa memutuskan Kalan seperti itu juga."Puding cokelat?" Rianza berujar lirih sembari melihat sekotak puding cokelat yang menggantung di gagang pintu kamar kostnya.Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar sebelah. Pintu kamar Kalan itu tertutup rapat, lagi pula Rianza tidak bertemu dengan cowok itu di kost akhir-akhir ini. Dia mengambil sekotak puding tersebut dan masuk ke dalam kamarnya. Kemarin, yang menggantung di gagang pintunya adalah sekardus pizza dengan topping keju dan minuman boba yang sedang viral. Rianza tahu, itu semua pasti dari Kalan. Cowok yang diputuskannya dua hari yang lalu itu memang tidak menampakkan dirinya,
Rianza mengernyitkan dahinya, "Ngapain lagi?" dia bertanya kesal karena Kalan menyeretnya masuk ke dalam kamarnya.Cowok itu tidak bersuara. Dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi sang ayah. "Halo, Pah? Rianza hari ini ada jadwal bimbingan sama papah, 'kan? Hari ini dia sakit, Pah. Jadi nggak bisa ke kampus. Papah atur aja untuk jadwal selanjutnya."Rianza hanya terpelongo mendengar omongan seenak jidat itu keluar dari mulut kekasihnya. "Lan, lo nggak boleh ngomong gitu. Nggak sopan!""Ini semua gara-gara lo!" ucap Kalan penuh penekanan pada Rianza, "coba aja lo nggak bikin mood gue hancur pagi ini. Gue nggak bakal kayak ini."Cewek berambut merah muda itu hanya menghela napas panjang. "Kita beda, ya?" katanya tiba-tiba.Kalan mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?""Kita beda, Lan. Kita punya sifat yang berbeda, dunia kita pun beda. Gue baru sadar kalau gue nggak banyak tahu tentang lo. Lo yang suka seenaknya, lo yang nggak s
“Mau ke mana?” Kalan bertanya ketika dia melihat Rianza melintas di dapur bersama kost. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana denim panjang. terlihat sangat rapi jika hanya untuk diam di kamar.“Mau bimbingan. Lo nggak kuliah?” tanya cewek itu. Dia melangkah ke arah dispenser dan mengisi botol minum yang sudah dibawanya sejak tadi.“Jadwal gue cuma hari Selasa,” katanya, “nggak sarapan?”Rianza menggeleng, “Brunch aja ntar di kantin kampus,” katanya sembari mengisi botol.Kalan menganggukkan kepala, “Selesai jam berapa?”Rianza mengangkat bahunya. Iya, dia memang tidak tahu akan selesai bimbingan jam berapa. Lamanya bimbingan tergantung pada berapa banyak revisi dan petuah dari sang dosen. Dan Rianza tidak tahu berapa banyak revisinya kali ini.“Gue tanya tuh dijawab,” kata Kalan dengan nada tegas sedikit kesal.Rianza tersentak.
Kalan tersenyum lebar. Dia memang tidak pernah gagal mendapatkan apa yang dia mau, termasuk seorang pacar. Rianza, cewek yang terkenal pendiam itu berhasil didapatkannya. Di kampus, mereka sangat jarang bertemu. Rianza hanya akan ke kampus jika ada jadwal bimbingan dengan Pak Ardi, berbeda dengan Kalan yang masih memiliki kelas untuk diikuti. Sejak cewek itu akhirnya setuju untuk menjalin hubungan dengan Kalan, tidak ada hal yang spesial terjadi. Tidak ada hubungan pacaran seperti hubungan Kalan dengan mantan-mantan sebelumnya. Rianza bahkan tidak pernah mengiriminya pesan terlebih dahulu. Dia hanya akan membalas jika Kalan menanyakan sesuatu seperti sudah makan atau belum, atau bertanya lokasi Rianza. Gadis itu juga menjawab sekenanya. Dia bahkan tidak pernah bertanya balik pada Kalan.“Nggak usah kasih makanan lagi. Gue masih mampu beli,” ucap Rianza yang protes Kalan selalu membelikannya makanan dan meletakkannya di gagang pintu kamar cewek itu.“L
Lapar. Itu yang Rianza rasakan ketika malam sudah hampir larut. Dari tadi sore hingga malam dia tidak berani untuk keluar kamar. Bukan karena kost barunya yang horor. Sejak sore tadi Kalan asik nongkrong di dapur bersama dengan beberapa penghuni lainnya. Gadis itu sudah beberapa kali mengecek ke luar kamar dan selalu mendapati Kalan yang tengah duduk memunggunginya. Dia tidak ingin berurusan dengan cowok itu, terlebih dalam hal yang berkaitan dengan apa yang dikatakan cowok itu tadi. Setampan dan sepopuler apapun Kalan, dia tahu bahwa cowok itu tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Dia tidak ingin menjadi korban dari hubungan main-main Kalan.Tok..tok..tokRianza tersentak ketika pintu kamar kostnya diketuk beberapa kali. Dia mengintip dari jendela yang ada di sebelah pintu dan mendapati Kalan berdiri tepat di depan pintu.“Gulali,” panggil Kalan pelan dibarengi dengan ketukan di pintu.“Lo nggak mau keluar apa? Nggak bosan di kam
Cowok yang baru saja Rianza temui adalah orang yang sempat dia kagumi. Siapa yang sanggup menolak pesona dari Kalan. Sayangnya, Rianza tidak seperti cewek lainnya yang bisa begitu saja mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Dia terkenal pendiam dan tidak memiliki teman di kampus. Itu bukan karena tidak ada yang ingin berteman dengannya. Hanya saja belum ada orang yang cocok dengannya. Padahal sebenarnya berteman dengan Rianza juga tidak ribet. Dia hanya tidak suka dengan orang bermuka dua dan tentunya dia tidak suka bergosip. Itulah yang membuat orang-orang berpikir bahwa berteman dengan Rianza akan membosankan. Namun, tidak adanya teman membuatnya menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada lingkungan pertemanannya.Gadis berambut merah muda itu bergegas membawa naskah proposal skripsinya menuju ruang Pak Ardi di lantai empat. Jam sudah menunjukkan pukul tiga, jadwal bimbingannya akan segera dimulai. Setelah sampai di depan ruang dosen tersebut, Rianza mengetuk pintu
Rianza berlari dengan terburu-buru menuju salah satu gedung di fakultasnya. Dosen pembimbing skripsinya baru saja mengabari bahwa dia memiliki waktu satu jam untuk bimbingan skripsi dengan gadis itu. Rianza yang dari tadi sibuk membereskan barang-barang di kost barunya harus bergegas cepat menuju kampus. Rambut panjang bergelombang yang dicat dengan warna merah muda itu membuatnya selalu terlihat menonjol dan menjadi pusat perhatian. Gadis itu sebenarnya tidak peduli apa kata orang tentang rambutnya, dia sering kali mendengar teman-temannya membicarakan rambutnya--yang katanya tidak cocok dengan gadis itu--di belakangnya. Para dosen juga sering salah fokus dengan rambutnya. Gadis itu tidak peduli dengan tatapan orang yang melihatnya aneh, dia terus melangkahkan kaki cepat menuju lift dan menekan tombol dengan angka 4, lantai di mana ruang dosen pembimbingnya berada."Maaf, Pak. Saya terlambat," ucap Rianza dengan napas yang tersengal-sengal.Pak Ardi, dosen mata kuliah
Kalan menghela napas panjang. Hidupnya belakangan terasa membosankan. Kekasih teranyar yang dia miliki sudah tidak menarik minatnya lagi. Adetha, cewek fakultas sebelah yang baru saja menjadi kekasihnya selama dua bulan itu terlalu posesif dan mengekangnya. Kalan bahkan harus membawa Adetha kemanapun cowok itu pergi. Bahkan teman-temannya sering mengejek Kalan bucin. Adetha juga suka protes ketika pesan ataupun panggilan telponnya tidak diangkat. Kalan merasa dia sulit bernapas."Gue putusin aja kali, ya?" Kalan bertanya pada salah satu teman se-gengnya, Nugra."Yakin, Lo? Lu deketin Adetha itu sebulan, lho. Masak baru pacaran dua bulan udah bosan?"Kalan menghela napas panjang, "Sama dia jadi nggak bebas. Cari yang lain mending.""Tapi dia yang paling cantik dari mantan lo yang lain," ucap Nugra lagi."Tapi gue udah bosan. Gimana dong?"Nugra menghela napas kasar, "Lo yakin?""Yakin gue."Kalan langsung mengeluarkan ponsel dar