Lianne menyusuri gang-gang sempit diwilayah kumuh itu. Dia bertanya kepada beberapa orang yang dilewatinya dan menunjukkan foto Alfaro berharap segera menemukan rumahnya.
Cukup jauh Lianne berjalan hingga akhirnya sampai di sebuah kanal yang besar. Menurut informasi rumahnya berada disekitar kanal tepat di sisi jembatan. Lianne melihat disebrang sana banyak berkumpul beberapa pemuda. Lianne berjalan dan mendekatinya. Tempat itu lebih mirip dengan sebuah bengkel.
"Maaf, boleh saya bertanya sesuatu?" Lianne menyapa seseorang disitu.
"Silahkan adek manis, siapa tahu saya bisa bantu," cowok itu menyambut Lianne setengah meledek.
"Saya ingin bertemu dengan Om ini!" Lianne menunjukkan foto Alfaro. Cowok itupun tersenyum mengerti .
"Alfaro?"
"Iya betul. Alfaro. Apakah disini tempat tinggalnya?"
"Betul. Tetapi itu sudah sebulan yang lalu dia terakhir disini." wajah Lianne tampak kecewa.
"Lalu dimana saya bisa menemuinya?"
"Sebentar saya coba menghubunginya. Silahkan duduk dulu di dalam!" diapun menunjukkan bangku yang bisa diduduki Lianne.
Terdengar pembicaraan mereka di telefon.
"Hai Alfaro, elu gak bilang punya cewek anak SMA. Emang elu apain kok dia nyariin elu sampe kesini."
Lianne tak mendengar jelas jawaban Alfaro.Candaan teman Alfaro ini membuatnya merinding. Mata Lianne mengitari bengkel yang kotor itu. Semua tampak berantakan. Beberapa cowok sedang sibuk mengutak-atik mesin motor sambil sesekali melirik Lianne dan tertawa-tawa. Lianne sangat tidak nyaman dengan sikap mereka.
"Saya Firman" cowok tadi mengulurkan tangannya. Lianne menyambutnya meskipun agak risih. "Lianne,"
"Alfaro akan sampai dalam 30 menit. Santai saja. Oh ya, sudah berapa lama mengenal Alfaro?" Pertanyaan itu membuat Lianne gugup.
"Ehmmm, anu...saya belum pernah bertemu dengan Om Alfaro."
Firman tertawa karena Lianne memanggil Alfaro Om.
"Sangat lucu karena Alfaro kau panggil Om. Dia itu masih bocah juga. Umurnya mungkin cuma beda 3 tahun darimu," jelas Firman.
"Ohhh. Maaf." Lianne ingat dengan video rekaman yang dikirim Kenzo untuknya. Untuk ukuran remaja 20 tahun adegan itu terlalu dewasa bukan? Seorang wanita memeluk dan menciumnya di hadapan umum seperti itu.
Firman menyuguhkan minuman kaleng di hadapan Lianne. Syukurlah mereka tidak menghidang teh buatan mereka. Lianne melihat pojok tempat mereka meletakkan alat makan.Tempat itu sangat kotor dan Lianne tak membayangkan harus meminum dari gelas-gelas yang berantakan dari sana.
"Maaf karena tempatnya berantakan, maklum ini bengkel jadi tidak sempat untuk membereskan ruangan." Lianne cukup senang karena Firman ternyata cukup ramah dan sopan. Tadinya Lianne agak takut karena pakaian yang dikenakan Firman yang belepotan dengan oli.
Sudah 30 menit lebih Lianne menunggu, tapi Alfaro tak juga nongol. Lianne berdiri dan mencari Firman yang sibuk dengan aktivitas bengkelnya. Dia bermaksud untuk pamit.
Seseorang dalam datang dengan motor bersuara berisik. Dibelakangnya seorang wanita dengan rambut tergerai. Tahulah Lianne mereka adalah Alfaro dan cewek yang mencium Alfaro ditempat umum itu.
Alfaro turun dan membuka helmnya. Menyapa teman temannya. Firman mendekati Alfaro karena seakan mengabaikan Lianne.
"Siapa itu?" tanya Alfaro mengisyaratkan Lianne. Firman mengangkat bahunya tanda tak tahu."Dia mencarimu." Alfaro lebih heran.
"Ada apa dek?" Alfaro menyapa Lianne.
Ditanya begitu Lianne agak canggung. Langkah Alfaro mendekatinya. Menatap dengan mata tajam tapi lembut. Ini adalah pencuri itu? Lianne seakan tak percaya. Tapi bukti sudah cukup. Lianne balik melihat kearah Alfaro.
"Tapi saya perlu berbicara empat mata," pelan Lianne.
Firman dan seorang cewek yang bersama Arfaro bersitatap.
"Baiklaht," kata Alfaro tenang dan menunjukkan sebuah tempat disudut ruangan.
"Katakan!" segera Alfaro menuntut penjelasan Lianne. Lianne mengeluarkan smartphone dari dalam tas sekolah nya dan menunjukkan foto selfie bersama Bety di dalam bus.
"Saya kehilangan iPhone di dalam bus, dan waktu itu hanya ada kamu di sana. Ini bukti kalau cuma kamu yang disana,"
"Hah, jadi aku mencuri iPhone milikmu?" Alfaro tertawa getir. Lianne hanya menatap menunggu jawaban Alfaro lebih lanjut. "Yang benar saja..." Alfaro tetap melihat tampilan foto itu.
"Saya mengerti kamu gak akan ngaku. Tak apa kalau memang mau iPhone itu. Tapi tolong kembalikan memori yang ada didalamnya. Karena itu sangat penting untukku,"
"Mengaku ? Apa yang harus saya akui?!" mata itu lebih tajam. Lianne merinding. Apakah dia benar tidak melakukannya? Mana ada maling ngaku bukan? Yang ada maling teriak maling!
"Hei anak kecil. Lain kali kalau emang kehilangan jangan asal tuduh ya!" Alfaro membentak Lianne sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Lianne membuat Lianne mundur beberapa langkah. Alfaro nampak geram dan marah. Sumpah serapah keluar dari mulutnya.
Lianne pulang dengan perasaan kecewa, kembali menyusuri jalan sempit dan kumuh. Sementara Alfaro melalui Lianne dengan kecepatan tinggi dengan motornya yang bising itu. Lianne mendekap telinganya.
" Berisik !!" Teriak Lianne.
Menurutnya Alfaro sangatlah norak.
Lianne tak berharap banyak. Dia sudah menganggap kejadian itu berlalu dan iPhone itu sudah raib tanpa jejak. Dalam hati Lianne sangat takut karena Alfaro lebih mirip dengan berandalan. Lianne tak mau berurusan dengan orang sejenis Alfaro.
Hari ini Lianne pulang sendirian karena Bety dan Kenzo karena mereka ada acara berduaan. Lianne keluar dari gerbang sekolah. Tampak beberapa anak perempuan satu sekolahnya sedang bergerombol diwarung depan sekolah. Tampak juga beberapa anak dengan tampilan serampangan sedang asik mengobrol dengan mereka. Langkah Lianne akan melewati rombongan itu. Dengan santai Lianne melihat satu persatu mereka.
Mata Lianne menangkap sosok Alfaro disana.
Apa yang dilakukannya disini? Apakah dia masih mengenaliku? Ah semoga tidak!
Meskipun agak deg degan Lianne melewati dengan cuek. Tapi Lianne dikejutkan karena tiba-tiba air mengguyur tepat di seragam sekolahnya. Lianne berbalik dengan wajah marah ke arah mereka. Dan sosok yang dikenalnya itu melangkah dengan sombongnya ke arah Lianne.
"Hei bocah, kenapa kamu gak minta maaf karena menuduh aku pencuri?" tatapan Alfaro mengintimidasi. Lianne benar benar tak mau memperpanjang masalah ini.
"Maaf," katanya singkat sambil membungkukkan tubuhnya. Dan mengambil langkah untuk pergi. Tapi baru selangkah Alfaro sudah menarik tangan Lianne. Lianne mendelik.
"Cuma begitu?"
"Lalu?" Lianne mengangkat dagunya, dia merasa Alfaro berlebihan.
"Minta maaflah dengan tulus!"
" Mohon maaf tuan Alfaro! Tapi... gimana dengan bajuku yang udah basah? Bukankah itu lebih dari cukup?!" Lianne gak terima.
Alfaro tertawa menyeringai.
"Tahu gak, seumur hidupku baru ini aku dituduh pencuri dan itu membuat aku sangat kesal!" hardiknya.
Lianne gak tahu harus berkata apa, tapi dia benar-benar ingin urusannya selesai dengan Alfaro. Dia melangkah menjauhi Alfaro dengan langkah mundur.
"Oke, maafkan aku! Anggap saja itu gak pernah ada!"
Alfaro membiarkan Lianne pergi. Meskipun ia masih kesal.
Bagi Lianne ituTitu sudah dianggap selesa, tetapi Lianne masih melihat sorot dendam di mata Alfaro. Lianne hanya pasrah. Dia berdoa agar tidak pernah dipertemukan lagi dengan Alfaro. Sebenarnya itu membuatnya menyesal mendatangi Alfaro. Tapi semuanya sudah terlanjur.
"Papa, kapan Papa ambil cuti sih?" Lianne mendekati papanya yang sedang sibuk dimeja kerja."Ada apa Lianne? Belum lama sejak kita berlibur ke Belanda?! jawab papa Lianne."Tapi Papa, itu sudah dua bulan yang lalu?" Lianne menempelkan tubuhnya lebih dekat ke papanya."Lianne , papa sedang bekerja,""Papa, sebenarnya kapan sih aku bisa ketemu sama mama? bisik Lianne. "Kan sudah empat tahun semenjak papa menikah lagi Lianne gak pernah ketemu Mama?""Lianne, apa tidak lihat kalau papamu sedang bekerja?!" suara itu tidak asing.Dia Veronica istri papa. Lianne mengerucutkan bibirnya. Salah satu alasan kenapa Lianne tidak bisa menemui mamanya adalah karena wanita ini.Padahal Veronica sebenarnya adalah teman Mama tapi entah mengapa papa menikahi teman Mama. Dunia orang dewasa sungguh aneh. Apa sih ruginya kalau aku ketemu Mama? Mama juga tidak berusaha untuk menemuiku karena takut dengan Veronica.Mama takut Veronica melakukan
"Anak kurang ajar!"Tamparan keras mendarat di pipi Lianne. Lianne menghitung dengan jarinya sudah berapa kali Veronica menamparnya. Sudah yang ketujuh bila dihitung selama empat tahun semenjak menikah dengan papanya.Kalau dahulu Lianne menangis karena terasa sangat menyakitkan, tetapi sekarang bagi Lianne hal itu sudah dianggap nya hal biasa."Harus dengan cara apa aku mendidik anakmu ini!" Veronica mengomeli papa " Dan lihat! Lianne semakin keterlaluan!"Lianne hanya pasrah. Itu memang kesalahannya. Pak Udin melaporkan rekaman cctv yang menunjukkan Lianne mengendap-endap kabur dari rumah, dan pulang jam sebelas siang keesokan harinya.Lianne beringsut dari hadapan mereka. Sayup-sayup terdengar mereka bertengkar di ruang tengah sana.Lianne menghadap cermin. Tak perduli dengan apa yang dirasakan di pipinya. Lianne memikirkan Alfaro. Pria itu tidak terlalu tampan, tapi Lianne paling menyukai sorot matanya. Penampilan juga tak ada, bajunya t
Acara kelulusan semakin dekat. Lianne bersyukur masih bisa mempertahankan prestasinya meskipun terasa sangat berat. Lianne merasa bosan berkutat dengan buku sekolahnya selama hampir sebulan lamanya. Bety menyelamati Lianne karena masuk peringkat setidaknya lima besar. "Setelah ini, kamu mau kuliah kemana Lianne..." " Kemana ya...aku juga bingung sih. Tapi sebenarnya aku gak minat sekolah lagi." "Wah...gila kamu ya...mana mungkin bokap kamu gak nyuruh kamu kuliah." Kenzo ikut nimbrung. "Aku aja yang otak pas pasan masih harus kuliah..." Bety merasa jutek. "Ya udah, kita jalanin aja nasib kita masing-masing." Lianne tertawa melihat dua sahabatnya tampak menekuk wajah. "Bisa jadi aku emang kuliah, tapi entahlah..." Lianne berkata lirih. Lianne sedang gak fokus membicarakan perkuliahan. Lianne memikirkan Alfaro yang tidak bisa dihubungi sekian lama. Lianne sangat ingin kerumahnya, tapi Lianne takut Alfaro tidak menyukai kedatangannya. Tapi
Papa Lianne menatap Lianne yang tertunduk di kursi bersebrangan dengannya. Ada sedikit kemarahan yang ingin ia luapkan untuk anak gadisnya yang sudah mulai beranjak dewasa."Papa mendapatkan laporan, kau sering tidak berada di rumah dan bahkan menginap entah dimana, benarkah begitu?" tanya papa Lianne dengan intonasi yang masih datar.Lianne menatap wajah ayahnya, baru saja sehari di rumah papanya sudah menunjukkan wajah tak empati. "Iya, pah," pelannya, tapi ia sungguh ingin menatap tajam mata ayahnya karena sebenarnya ia juga telah kehilangan empati untuk papanya yang selalu sibuk."Lianne, kau tak merasa bersalah? Apakah itu wajar?" ujar papanya dengan sedikit keheranan, Lianne tampak santai mengatakannya. "Dan kenapa kamu menatap papa seakan mau melawan papa?""Bagaimana menurut papa? Apakah Lianne putri yang menurut atau putri yang melawan? Apakah papa tahu?" sergah Lianne tanpa rasa takut.Papa Lianne menghela napas. Heran dengan tingkah Lianne
Sudah lama Alfaro tidak mendapat telepon atau didatangi Lianne, akan tetapi ia malah merasa senang gadis itu tak mengganggunya.Akan tetapi ia merasa sedikit khawatir karena Lianne baginya adalah gadis yang perlu dikasihani.Alfaro sering mendengar keluh kesah Lianne yang selalu merasa kesepian."Apa anak itu baik-baik saja ya?" gumamnya.Baru saja membatin sebuah pesan masuk ke ponselnya.__Jemput aku di halte bus dekat rumahku sekarang juga__Pesan itu jelas dari Lianne. Alfaro tak banyak berpikir, ia hanya merasa harus menjemput gadis yang selama ini selalu ada di dekatnya.Dalam tiga puluh menit Alfaro sudah sampai di halte bus yang dimaksud Lianne. Gadis itu duduk termenung seorang diri dengan wajah yang muram."Hai! Bocah! Ngapain manyun, ayo cepat naik!" teriakan Alfaro mengejutkan Lianne. Lianne segera menoleh dan bangun dari duduknya mendekati Alfaro."Kamu habis nangis? Tumben banget!" Alfaro menggoda Lianne tapi
Menghadapi Lianne, adalah sesuatu yang luar biasa. Ia tak mengerti kenapa gadis ini seperti orang hilang, orang yang tak bisa kembali kepada orang tuanya. Apa yang membuatnya seperti itu?"Lianne, kalau kau mau ikut kau harus mendapatkan restu dari orang tuamu. Kau harus bicara baik-baik kepada orang tuamu dan juga kau harus kuliah."Lianne mengusap air matanya. Bagaimana bisa ia meminta ijin papanya untuk pergi bersama Alfaro, mungkinkah?"Papa tak mungkin mengijinkan aku, papa ingin aku ke Australia. Mana mungkin aku kesana? Aku akan semakin jauh dengan papa, mama dan juga kamu. Aku tak mau!" pekiknya."Jangan manja, kau sudah besar kenapa manja seperti itu? Mau jadi apa? Uang ada, otak mampu tapi ternyata tak lebih dari otak ayam," kesal Alfaro."Apa? Otak ayam? Kamu ngejek aku hah?!" Lianne jengkel dan marah."Jadi, bukan otak ayam ya? Gimana kalau otak udang? Cocok nggak?""Iiih, ngejek terus! Aku malas sekolah, aku mau pulang ke
"Kenapa kau diam? Kau menolakku ya?" Lianne mengurai pelukannya. Matanya terpusat pada tatapan Alfaro yang bingung mau bilang apa. Sorot mata Lianne sangat lucu dan menggemaskan. "Lianne, kau nggak salah ngomong? Hati-hati kalau ngomong sama lawan jenis ya, sudah-sudah jangan membahas ini lagi. Kau semakin jadi otak lembu kalau menuruti kemauan hatimu." Alfaro menggelengkan kepalanya. Lianne masih menatap Alfaro, kali ini ia menatap sangat kecewa. "Aku akan ikut denganmu kalau begitu," ujarnya gemetar. "Ikut? Ikut kemana Lianne? Kau bukan anak kandungku, bagaimana kau bisa ikut denganku. Bodoh!" "Terserah, yang penting dimana kamu kuliah aku akan ikut bersamamu dan jadi pacarmu, itu saja." Alfaro makin gemas."Gini saja, kau kuliah dulu baru nanti kita pacaran. Sekarang kau masih ingusan, terus terang kau bukan levelku dalam hal ini," kata Alfaro yang sebenarnya ia hanya mengada-ada. "Aku sudah dewasa, aku bukan anak ingusan. Apa me
Lianne melempar tas sekolahnya di atas dipan. Melepaskan seragam dan kaos kaki yang dikenakannya. Lalu dia mengeluarkan smartphone milik nya. Membuka rekaman video yang dikirimkan temannya. Video kompetisi balap liar yang tak bisa ditontonnya karena dia gak bisa bolos les lagi sore ini. Bukan karena balap liar itu yang menarik perhatiannya. Tapi dia meminta Kenzo untuk merekam sesosok peserta yang biasa ikut disana. Dia adalah Alfaro. Alfaro adalah pria yang mencuri iPhone kesayangannya. Sudah seminggu Lianne mencari pria itu dan akhirnya dia mendapatkan informasi tentang siapa Alfaro. "Akhirnya aku mendapatkanmu !" Gumam Lianne. Lianne menelfon Kenzo yang masih dilokasi balapan. " Kenzo, kau harus berkenalan dan berpura-pura sebagai penggemarnya !" Lianne antusias memerintah Kenzo. "Akan aku lakukan, tapi kau harus mentraktirku besok!" " Deal,.aku tunggu informasimu !" Lianne menghempaskan tubuhnya
"Kenapa kau diam? Kau menolakku ya?" Lianne mengurai pelukannya. Matanya terpusat pada tatapan Alfaro yang bingung mau bilang apa. Sorot mata Lianne sangat lucu dan menggemaskan. "Lianne, kau nggak salah ngomong? Hati-hati kalau ngomong sama lawan jenis ya, sudah-sudah jangan membahas ini lagi. Kau semakin jadi otak lembu kalau menuruti kemauan hatimu." Alfaro menggelengkan kepalanya. Lianne masih menatap Alfaro, kali ini ia menatap sangat kecewa. "Aku akan ikut denganmu kalau begitu," ujarnya gemetar. "Ikut? Ikut kemana Lianne? Kau bukan anak kandungku, bagaimana kau bisa ikut denganku. Bodoh!" "Terserah, yang penting dimana kamu kuliah aku akan ikut bersamamu dan jadi pacarmu, itu saja." Alfaro makin gemas."Gini saja, kau kuliah dulu baru nanti kita pacaran. Sekarang kau masih ingusan, terus terang kau bukan levelku dalam hal ini," kata Alfaro yang sebenarnya ia hanya mengada-ada. "Aku sudah dewasa, aku bukan anak ingusan. Apa me
Menghadapi Lianne, adalah sesuatu yang luar biasa. Ia tak mengerti kenapa gadis ini seperti orang hilang, orang yang tak bisa kembali kepada orang tuanya. Apa yang membuatnya seperti itu?"Lianne, kalau kau mau ikut kau harus mendapatkan restu dari orang tuamu. Kau harus bicara baik-baik kepada orang tuamu dan juga kau harus kuliah."Lianne mengusap air matanya. Bagaimana bisa ia meminta ijin papanya untuk pergi bersama Alfaro, mungkinkah?"Papa tak mungkin mengijinkan aku, papa ingin aku ke Australia. Mana mungkin aku kesana? Aku akan semakin jauh dengan papa, mama dan juga kamu. Aku tak mau!" pekiknya."Jangan manja, kau sudah besar kenapa manja seperti itu? Mau jadi apa? Uang ada, otak mampu tapi ternyata tak lebih dari otak ayam," kesal Alfaro."Apa? Otak ayam? Kamu ngejek aku hah?!" Lianne jengkel dan marah."Jadi, bukan otak ayam ya? Gimana kalau otak udang? Cocok nggak?""Iiih, ngejek terus! Aku malas sekolah, aku mau pulang ke
Sudah lama Alfaro tidak mendapat telepon atau didatangi Lianne, akan tetapi ia malah merasa senang gadis itu tak mengganggunya.Akan tetapi ia merasa sedikit khawatir karena Lianne baginya adalah gadis yang perlu dikasihani.Alfaro sering mendengar keluh kesah Lianne yang selalu merasa kesepian."Apa anak itu baik-baik saja ya?" gumamnya.Baru saja membatin sebuah pesan masuk ke ponselnya.__Jemput aku di halte bus dekat rumahku sekarang juga__Pesan itu jelas dari Lianne. Alfaro tak banyak berpikir, ia hanya merasa harus menjemput gadis yang selama ini selalu ada di dekatnya.Dalam tiga puluh menit Alfaro sudah sampai di halte bus yang dimaksud Lianne. Gadis itu duduk termenung seorang diri dengan wajah yang muram."Hai! Bocah! Ngapain manyun, ayo cepat naik!" teriakan Alfaro mengejutkan Lianne. Lianne segera menoleh dan bangun dari duduknya mendekati Alfaro."Kamu habis nangis? Tumben banget!" Alfaro menggoda Lianne tapi
Papa Lianne menatap Lianne yang tertunduk di kursi bersebrangan dengannya. Ada sedikit kemarahan yang ingin ia luapkan untuk anak gadisnya yang sudah mulai beranjak dewasa."Papa mendapatkan laporan, kau sering tidak berada di rumah dan bahkan menginap entah dimana, benarkah begitu?" tanya papa Lianne dengan intonasi yang masih datar.Lianne menatap wajah ayahnya, baru saja sehari di rumah papanya sudah menunjukkan wajah tak empati. "Iya, pah," pelannya, tapi ia sungguh ingin menatap tajam mata ayahnya karena sebenarnya ia juga telah kehilangan empati untuk papanya yang selalu sibuk."Lianne, kau tak merasa bersalah? Apakah itu wajar?" ujar papanya dengan sedikit keheranan, Lianne tampak santai mengatakannya. "Dan kenapa kamu menatap papa seakan mau melawan papa?""Bagaimana menurut papa? Apakah Lianne putri yang menurut atau putri yang melawan? Apakah papa tahu?" sergah Lianne tanpa rasa takut.Papa Lianne menghela napas. Heran dengan tingkah Lianne
Acara kelulusan semakin dekat. Lianne bersyukur masih bisa mempertahankan prestasinya meskipun terasa sangat berat. Lianne merasa bosan berkutat dengan buku sekolahnya selama hampir sebulan lamanya. Bety menyelamati Lianne karena masuk peringkat setidaknya lima besar. "Setelah ini, kamu mau kuliah kemana Lianne..." " Kemana ya...aku juga bingung sih. Tapi sebenarnya aku gak minat sekolah lagi." "Wah...gila kamu ya...mana mungkin bokap kamu gak nyuruh kamu kuliah." Kenzo ikut nimbrung. "Aku aja yang otak pas pasan masih harus kuliah..." Bety merasa jutek. "Ya udah, kita jalanin aja nasib kita masing-masing." Lianne tertawa melihat dua sahabatnya tampak menekuk wajah. "Bisa jadi aku emang kuliah, tapi entahlah..." Lianne berkata lirih. Lianne sedang gak fokus membicarakan perkuliahan. Lianne memikirkan Alfaro yang tidak bisa dihubungi sekian lama. Lianne sangat ingin kerumahnya, tapi Lianne takut Alfaro tidak menyukai kedatangannya. Tapi
"Anak kurang ajar!"Tamparan keras mendarat di pipi Lianne. Lianne menghitung dengan jarinya sudah berapa kali Veronica menamparnya. Sudah yang ketujuh bila dihitung selama empat tahun semenjak menikah dengan papanya.Kalau dahulu Lianne menangis karena terasa sangat menyakitkan, tetapi sekarang bagi Lianne hal itu sudah dianggap nya hal biasa."Harus dengan cara apa aku mendidik anakmu ini!" Veronica mengomeli papa " Dan lihat! Lianne semakin keterlaluan!"Lianne hanya pasrah. Itu memang kesalahannya. Pak Udin melaporkan rekaman cctv yang menunjukkan Lianne mengendap-endap kabur dari rumah, dan pulang jam sebelas siang keesokan harinya.Lianne beringsut dari hadapan mereka. Sayup-sayup terdengar mereka bertengkar di ruang tengah sana.Lianne menghadap cermin. Tak perduli dengan apa yang dirasakan di pipinya. Lianne memikirkan Alfaro. Pria itu tidak terlalu tampan, tapi Lianne paling menyukai sorot matanya. Penampilan juga tak ada, bajunya t
"Papa, kapan Papa ambil cuti sih?" Lianne mendekati papanya yang sedang sibuk dimeja kerja."Ada apa Lianne? Belum lama sejak kita berlibur ke Belanda?! jawab papa Lianne."Tapi Papa, itu sudah dua bulan yang lalu?" Lianne menempelkan tubuhnya lebih dekat ke papanya."Lianne , papa sedang bekerja,""Papa, sebenarnya kapan sih aku bisa ketemu sama mama? bisik Lianne. "Kan sudah empat tahun semenjak papa menikah lagi Lianne gak pernah ketemu Mama?""Lianne, apa tidak lihat kalau papamu sedang bekerja?!" suara itu tidak asing.Dia Veronica istri papa. Lianne mengerucutkan bibirnya. Salah satu alasan kenapa Lianne tidak bisa menemui mamanya adalah karena wanita ini.Padahal Veronica sebenarnya adalah teman Mama tapi entah mengapa papa menikahi teman Mama. Dunia orang dewasa sungguh aneh. Apa sih ruginya kalau aku ketemu Mama? Mama juga tidak berusaha untuk menemuiku karena takut dengan Veronica.Mama takut Veronica melakukan
Lianne menyusuri gang-gang sempit diwilayah kumuh itu. Dia bertanya kepada beberapa orang yang dilewatinya dan menunjukkan foto Alfaro berharap segera menemukan rumahnya.Cukup jauh Lianne berjalan hingga akhirnya sampai di sebuah kanal yang besar. Menurut informasi rumahnya berada disekitar kanal tepat di sisi jembatan. Lianne melihat disebrang sana banyak berkumpul beberapa pemuda. Lianne berjalan dan mendekatinya. Tempat itu lebih mirip dengan sebuah bengkel."Maaf, boleh saya bertanya sesuatu?" Lianne menyapa seseorang disitu."Silahkan adek manis, siapa tahu saya bisa bantu," cowok itu menyambut Lianne setengah meledek."Saya ingin bertemu dengan Om ini!" Lianne menunjukkan foto Alfaro. Cowok itupun tersenyum mengerti ."Alfaro?""Iya betul. Alfaro. Apakah disini tempat tinggalnya?""Betul. Tetapi itu sudah sebulan yang lalu dia terakhir disini." wajah Lianne tampak kecewa."Lalu dimana saya bisa menemuinya?"
Lianne melempar tas sekolahnya di atas dipan. Melepaskan seragam dan kaos kaki yang dikenakannya. Lalu dia mengeluarkan smartphone milik nya. Membuka rekaman video yang dikirimkan temannya. Video kompetisi balap liar yang tak bisa ditontonnya karena dia gak bisa bolos les lagi sore ini. Bukan karena balap liar itu yang menarik perhatiannya. Tapi dia meminta Kenzo untuk merekam sesosok peserta yang biasa ikut disana. Dia adalah Alfaro. Alfaro adalah pria yang mencuri iPhone kesayangannya. Sudah seminggu Lianne mencari pria itu dan akhirnya dia mendapatkan informasi tentang siapa Alfaro. "Akhirnya aku mendapatkanmu !" Gumam Lianne. Lianne menelfon Kenzo yang masih dilokasi balapan. " Kenzo, kau harus berkenalan dan berpura-pura sebagai penggemarnya !" Lianne antusias memerintah Kenzo. "Akan aku lakukan, tapi kau harus mentraktirku besok!" " Deal,.aku tunggu informasimu !" Lianne menghempaskan tubuhnya