Lianne melempar tas sekolahnya di atas dipan. Melepaskan seragam dan kaos kaki yang dikenakannya. Lalu dia mengeluarkan smartphone milik nya.
Membuka rekaman video yang dikirimkan temannya. Video kompetisi balap liar yang tak bisa ditontonnya karena dia gak bisa bolos les lagi sore ini.
Bukan karena balap liar itu yang menarik perhatiannya. Tapi dia meminta Kenzo untuk merekam sesosok peserta yang biasa ikut disana. Dia adalah Alfaro.
Alfaro adalah pria yang mencuri iPhone kesayangannya. Sudah seminggu Lianne mencari pria itu dan akhirnya dia mendapatkan informasi tentang siapa Alfaro.
"Akhirnya aku mendapatkanmu !" Gumam Lianne.
Lianne menelfon Kenzo yang masih dilokasi balapan.
" Kenzo, kau harus berkenalan dan berpura-pura sebagai penggemarnya !" Lianne antusias memerintah Kenzo.
"Akan aku lakukan, tapi kau harus mentraktirku besok!"
" Deal,.aku tunggu informasimu !"
Lianne menghempaskan tubuhnya di kasur. Pikirannya mengingat kejadian di bus seminggu yang lalu.Dia ingat bagaimana Alfaro berada persis dibelakangnya ketika itu. Kebetulan Bety sedang mengambil foto Selfie besama Lianne dan Kenzo. Dan wajah itu terekam kamera tepat dibelakang Lianne.
Setelah turun dari Bus barulah Lianne menyadari iPhone kesayangannya raib . Lianne meletakkan iPhone itu didalam tas ransel sekolah nya, dan tas sekolah itu setengah terbuka. Mereka mengambil kesimpulan bahwa pria itulah tersangkanya.
Dua hari kemudian Lianne melihat iring iringan pemuda menuju arena balap liar. Lianne melihat Alfaro di antara mereka. Maka diapun memburu Alfaro, hanya saja dia tidak pernah menjumpai nya. Kecuali apa yang dikimkan Kenzo didalam video itu.
Lianne memutar ulang video itu. Melihat Alfaro yang sedang melepaskan helm dan tertawa bersama teman temannya. Bahkan seorang perempuan cantik datang memeluknya seakan memberi selamat.
"Cihhh !! Kamu gak tahu ya kalau pacarmu pencuri!" Lianne berdecih melihat bagaimana wanita itu memeluk dan mencium Alfaro.
"Lebay banget !" Gerutu Lianne.
Lianne memutus putaran Video itu dan mengetik pesan untuk Kenzo.
"Dapatkan nama pria itu dan alamatnya " send.
Lianne termenung. Sebenarnya dia tidak terlalu berharap iPhone itu kembali dan pusing pusing mencarinya. Hanya saja disana masih banyak koleksi kenangan bersama kakaknya di Belanda sebelum kakak perempuannya menikah disana. Dia bahkan belum sempat menyimpannya dengan benar.Dia berharap segera menemukan dan masih belum dihapus. Tapi baiklah aku harus menemukannya apalagi tersangka sudah didepan mata. Tekatnya.
Lianne berharap bisa bertemu dengan pria bernama Alfaro itu.
Seperti biasa Lianne berjalan bersama sahabatnya Kenzo dan Bety. Mereka menyusuri trotoar pertokoan sepulang sekolah. Terkadang mereka akan duduk di cafe es krim dan mengobrol disana.
"Kapan yah aku bisa ketemu Cowok yang bernama Alfaro itu ?" Lianne menanyai Kenzo. "Aku takut iPhone itu keburu dijual."
"Ini nomor telepon dia, aku dapat dari teman" Bety mengeluarkan handphone dan membuka SMS dari seorang temannya.
Mata Lianne membulat. Gadis cantik itu menyambar handphone Bety dan menyalin nomor itu.
"Kira kira aku ngomong gimana ya, kan gak mungkin aku langsung aja lewat telepon . Pastinya nomorku langsung diblokir." Lianne meminta pendapat kepada kedua sahabatnya.
"Kamu harus bisa ketemu sama dia. Cerita kan baik - baik kejadiannya.terus...gimana ya...?" Kenzo bingung.
"Ajak saja janjian dimana gitu, yang penting dia mau datang baru kita bicarakan." Bety memberi usul.
Itu masuk akal. Lianne mengangguk angguk, dia memikirkan dimana tempat yang tepat untuk bertemu dengan Alfaro.
"Tapi gimana kalau dia gak mau datang ?" Tiba tiba Kenzo memberi keraguan.
"Kita Coba saja dulu. Aku akan menumui di rumahnya saja." Lianne berfikir itulah tempat yang paling pas untuk bisa menemuinya.
Kenzo dan Bety saling berpandangan. Diantara mereka Lianne lah yang paling cerdas dikelasnya. Meskipun jarang belajar Lianne selalu menduduki peringkat. Dan Lianne juga memiliki wajah yang cantik. Tak jarang cowok-cowok disekolah berusaha mendekati Lianne dan ingin jadi pacarnya.
Tapi Lianne memang orang yang terlalu cuek untuk masalah pacaran. Dia tak terlalu menyukai hal hal percintaan. Karena apa yang dilihatnya dirumahnya membuatnya trauma.
Papa mamanya sudah bercerai. Padahal mereka sudah pacaran selama 8 tahun lamanya. Dan itu cukup membuatnya meyakini pacaran itu melelahkan.
Lianne menyusuri gang-gang sempit diwilayah kumuh itu. Dia bertanya kepada beberapa orang yang dilewatinya dan menunjukkan foto Alfaro berharap segera menemukan rumahnya.Cukup jauh Lianne berjalan hingga akhirnya sampai di sebuah kanal yang besar. Menurut informasi rumahnya berada disekitar kanal tepat di sisi jembatan. Lianne melihat disebrang sana banyak berkumpul beberapa pemuda. Lianne berjalan dan mendekatinya. Tempat itu lebih mirip dengan sebuah bengkel."Maaf, boleh saya bertanya sesuatu?" Lianne menyapa seseorang disitu."Silahkan adek manis, siapa tahu saya bisa bantu," cowok itu menyambut Lianne setengah meledek."Saya ingin bertemu dengan Om ini!" Lianne menunjukkan foto Alfaro. Cowok itupun tersenyum mengerti ."Alfaro?""Iya betul. Alfaro. Apakah disini tempat tinggalnya?""Betul. Tetapi itu sudah sebulan yang lalu dia terakhir disini." wajah Lianne tampak kecewa."Lalu dimana saya bisa menemuinya?"
"Papa, kapan Papa ambil cuti sih?" Lianne mendekati papanya yang sedang sibuk dimeja kerja."Ada apa Lianne? Belum lama sejak kita berlibur ke Belanda?! jawab papa Lianne."Tapi Papa, itu sudah dua bulan yang lalu?" Lianne menempelkan tubuhnya lebih dekat ke papanya."Lianne , papa sedang bekerja,""Papa, sebenarnya kapan sih aku bisa ketemu sama mama? bisik Lianne. "Kan sudah empat tahun semenjak papa menikah lagi Lianne gak pernah ketemu Mama?""Lianne, apa tidak lihat kalau papamu sedang bekerja?!" suara itu tidak asing.Dia Veronica istri papa. Lianne mengerucutkan bibirnya. Salah satu alasan kenapa Lianne tidak bisa menemui mamanya adalah karena wanita ini.Padahal Veronica sebenarnya adalah teman Mama tapi entah mengapa papa menikahi teman Mama. Dunia orang dewasa sungguh aneh. Apa sih ruginya kalau aku ketemu Mama? Mama juga tidak berusaha untuk menemuiku karena takut dengan Veronica.Mama takut Veronica melakukan
"Anak kurang ajar!"Tamparan keras mendarat di pipi Lianne. Lianne menghitung dengan jarinya sudah berapa kali Veronica menamparnya. Sudah yang ketujuh bila dihitung selama empat tahun semenjak menikah dengan papanya.Kalau dahulu Lianne menangis karena terasa sangat menyakitkan, tetapi sekarang bagi Lianne hal itu sudah dianggap nya hal biasa."Harus dengan cara apa aku mendidik anakmu ini!" Veronica mengomeli papa " Dan lihat! Lianne semakin keterlaluan!"Lianne hanya pasrah. Itu memang kesalahannya. Pak Udin melaporkan rekaman cctv yang menunjukkan Lianne mengendap-endap kabur dari rumah, dan pulang jam sebelas siang keesokan harinya.Lianne beringsut dari hadapan mereka. Sayup-sayup terdengar mereka bertengkar di ruang tengah sana.Lianne menghadap cermin. Tak perduli dengan apa yang dirasakan di pipinya. Lianne memikirkan Alfaro. Pria itu tidak terlalu tampan, tapi Lianne paling menyukai sorot matanya. Penampilan juga tak ada, bajunya t
Acara kelulusan semakin dekat. Lianne bersyukur masih bisa mempertahankan prestasinya meskipun terasa sangat berat. Lianne merasa bosan berkutat dengan buku sekolahnya selama hampir sebulan lamanya. Bety menyelamati Lianne karena masuk peringkat setidaknya lima besar. "Setelah ini, kamu mau kuliah kemana Lianne..." " Kemana ya...aku juga bingung sih. Tapi sebenarnya aku gak minat sekolah lagi." "Wah...gila kamu ya...mana mungkin bokap kamu gak nyuruh kamu kuliah." Kenzo ikut nimbrung. "Aku aja yang otak pas pasan masih harus kuliah..." Bety merasa jutek. "Ya udah, kita jalanin aja nasib kita masing-masing." Lianne tertawa melihat dua sahabatnya tampak menekuk wajah. "Bisa jadi aku emang kuliah, tapi entahlah..." Lianne berkata lirih. Lianne sedang gak fokus membicarakan perkuliahan. Lianne memikirkan Alfaro yang tidak bisa dihubungi sekian lama. Lianne sangat ingin kerumahnya, tapi Lianne takut Alfaro tidak menyukai kedatangannya. Tapi
Papa Lianne menatap Lianne yang tertunduk di kursi bersebrangan dengannya. Ada sedikit kemarahan yang ingin ia luapkan untuk anak gadisnya yang sudah mulai beranjak dewasa."Papa mendapatkan laporan, kau sering tidak berada di rumah dan bahkan menginap entah dimana, benarkah begitu?" tanya papa Lianne dengan intonasi yang masih datar.Lianne menatap wajah ayahnya, baru saja sehari di rumah papanya sudah menunjukkan wajah tak empati. "Iya, pah," pelannya, tapi ia sungguh ingin menatap tajam mata ayahnya karena sebenarnya ia juga telah kehilangan empati untuk papanya yang selalu sibuk."Lianne, kau tak merasa bersalah? Apakah itu wajar?" ujar papanya dengan sedikit keheranan, Lianne tampak santai mengatakannya. "Dan kenapa kamu menatap papa seakan mau melawan papa?""Bagaimana menurut papa? Apakah Lianne putri yang menurut atau putri yang melawan? Apakah papa tahu?" sergah Lianne tanpa rasa takut.Papa Lianne menghela napas. Heran dengan tingkah Lianne
Sudah lama Alfaro tidak mendapat telepon atau didatangi Lianne, akan tetapi ia malah merasa senang gadis itu tak mengganggunya.Akan tetapi ia merasa sedikit khawatir karena Lianne baginya adalah gadis yang perlu dikasihani.Alfaro sering mendengar keluh kesah Lianne yang selalu merasa kesepian."Apa anak itu baik-baik saja ya?" gumamnya.Baru saja membatin sebuah pesan masuk ke ponselnya.__Jemput aku di halte bus dekat rumahku sekarang juga__Pesan itu jelas dari Lianne. Alfaro tak banyak berpikir, ia hanya merasa harus menjemput gadis yang selama ini selalu ada di dekatnya.Dalam tiga puluh menit Alfaro sudah sampai di halte bus yang dimaksud Lianne. Gadis itu duduk termenung seorang diri dengan wajah yang muram."Hai! Bocah! Ngapain manyun, ayo cepat naik!" teriakan Alfaro mengejutkan Lianne. Lianne segera menoleh dan bangun dari duduknya mendekati Alfaro."Kamu habis nangis? Tumben banget!" Alfaro menggoda Lianne tapi
Menghadapi Lianne, adalah sesuatu yang luar biasa. Ia tak mengerti kenapa gadis ini seperti orang hilang, orang yang tak bisa kembali kepada orang tuanya. Apa yang membuatnya seperti itu?"Lianne, kalau kau mau ikut kau harus mendapatkan restu dari orang tuamu. Kau harus bicara baik-baik kepada orang tuamu dan juga kau harus kuliah."Lianne mengusap air matanya. Bagaimana bisa ia meminta ijin papanya untuk pergi bersama Alfaro, mungkinkah?"Papa tak mungkin mengijinkan aku, papa ingin aku ke Australia. Mana mungkin aku kesana? Aku akan semakin jauh dengan papa, mama dan juga kamu. Aku tak mau!" pekiknya."Jangan manja, kau sudah besar kenapa manja seperti itu? Mau jadi apa? Uang ada, otak mampu tapi ternyata tak lebih dari otak ayam," kesal Alfaro."Apa? Otak ayam? Kamu ngejek aku hah?!" Lianne jengkel dan marah."Jadi, bukan otak ayam ya? Gimana kalau otak udang? Cocok nggak?""Iiih, ngejek terus! Aku malas sekolah, aku mau pulang ke
"Kenapa kau diam? Kau menolakku ya?" Lianne mengurai pelukannya. Matanya terpusat pada tatapan Alfaro yang bingung mau bilang apa. Sorot mata Lianne sangat lucu dan menggemaskan. "Lianne, kau nggak salah ngomong? Hati-hati kalau ngomong sama lawan jenis ya, sudah-sudah jangan membahas ini lagi. Kau semakin jadi otak lembu kalau menuruti kemauan hatimu." Alfaro menggelengkan kepalanya. Lianne masih menatap Alfaro, kali ini ia menatap sangat kecewa. "Aku akan ikut denganmu kalau begitu," ujarnya gemetar. "Ikut? Ikut kemana Lianne? Kau bukan anak kandungku, bagaimana kau bisa ikut denganku. Bodoh!" "Terserah, yang penting dimana kamu kuliah aku akan ikut bersamamu dan jadi pacarmu, itu saja." Alfaro makin gemas."Gini saja, kau kuliah dulu baru nanti kita pacaran. Sekarang kau masih ingusan, terus terang kau bukan levelku dalam hal ini," kata Alfaro yang sebenarnya ia hanya mengada-ada. "Aku sudah dewasa, aku bukan anak ingusan. Apa me