Acara kelulusan semakin dekat. Lianne bersyukur masih bisa mempertahankan prestasinya meskipun terasa sangat berat. Lianne merasa bosan berkutat dengan buku sekolahnya selama hampir sebulan lamanya. Bety menyelamati Lianne karena masuk peringkat setidaknya lima besar.
"Setelah ini, kamu mau kuliah kemana Lianne..."
" Kemana ya...aku juga bingung sih. Tapi sebenarnya aku gak minat sekolah lagi."
"Wah...gila kamu ya...mana mungkin bokap kamu gak nyuruh kamu kuliah." Kenzo ikut nimbrung.
"Aku aja yang otak pas pasan masih harus kuliah..." Bety merasa jutek.
"Ya udah, kita jalanin aja nasib kita masing-masing." Lianne tertawa melihat dua sahabatnya tampak menekuk wajah.
"Bisa jadi aku emang kuliah, tapi entahlah..." Lianne berkata lirih. Lianne sedang gak fokus membicarakan perkuliahan. Lianne memikirkan Alfaro yang tidak bisa dihubungi sekian lama. Lianne sangat ingin kerumahnya, tapi Lianne takut Alfaro tidak menyukai kedatangannya. Tapi kali ini Lianne tak bisa menahannya.
Lianne berjalan lebih cepat setelah lebih dekat jarak dengan rumah bengkel Alfaro. Lianne sangat ingin segera bertemu dengannya meski mungkin akan terjadi keributan dengannya. Sekotak Ayam goreng sudah siap ditangannya.
Bengkel itu tampak sepi karena memang sudah jam 5 sore. Lianne mengintip dari pagar dan melihat sepeda motor berisiknya ada di dalam. Lianne akan memberikan kejutan untuk Alfaro. Diapun berjalan dengan berjingkat agar tidak menimbulkan suara. Di ruang tunggu bengkel sepertinya ada orang. Dengan satu hentakan Lianne mendorong pintu itu.
"Braakk!"
Lianne terkejut. Tapi kedua orang di dalam sana lebih sangat terkejut. Lianne membalikkan tubuhnya karena melihat pemandangan tak seharusnya. Alfaro segera memakai pakaian sekenanya. Dan juga wanita itu terlihat kelabakan karena separuh tubuh atasnya terekspos.
" Sial !!" Wanita itu mengumpat.
Lianne membeku melangkah lebih jauh dari ruang itu. Sekotak ayam goreng sudah jatuh di pintu tadi. Lianne berjalan pelan ke arah pintu keluar.
Tangan Alfaro menahan Lianne.
"Kok pergi ?" Lianne diam. "Lianne ... tunggu."
Alfaro tetap menahan Lianne meskipun Lianne berusaha untuk pergi.
"Aku nggak ngerti kenapa setiap aku datang selalu saja mengganggu kesenanganmu." Lianne berbicara pelan. "Aku sungguh menyesal mengganggumu."
Alfaro tak menjawab, dia mengajak Lianne masuk.
" Perkenalkan, ini adikku Lianne. "
Alfaro memperkenalkan Lianne kepada teman wanitanya.
" Soraya." Wanita itu menjabat tangan Lianne.
"Tapi kenapa gak mirip denganmu ya .?" Soraya menelisik wajah Lianne.
" Benar, kami bukan saudara kandung." Alfaro menjelaskan.
"Masuklah dan ganti seragam sekolahmu." Alfaro berlagak seperti seorang kakak.
Lianne seperti kerbau yang dicucuk hidungnya menurut dengan perkataan Alfaro. Lianne tak ingin terjadi salah paham seperti Meysa dulu. Dia akan berlagak seperti adiknya sekarang.
Sudah jam tujuh malam Alfaro belum juga tiba. Lianne berkali kali mengganti saluran televisi tetapi tak ada yang menarik baginya. Lianne mengingat kejadian sore tadi yang membuatnya malu terhadap Alfaro. Mungkin Alfaro benar benar akan melarang Lianne untuk datang lagi.
Alfaro mengetuk pintu kamar membuat Lianne berlari kearah pintu.
"Aku kira kamu ketiduran." Alfaro membawa sebungkus makan malam untuk Lianne. Lianne tersenyum dan membuka bungkusan itu.
" Kenapa gak pulang ke rumah ?" Tanya Alfaro.
"Tidak. Papa dan Veronica sedang ke Singapura."
"Veronica ? Siapa Veronica ?"
"Dia istri papa." Jawab Lianne sambil mengunyah mie pedas itu.
"Bahkan engkau tidak menyebutnya ibu ?" Alfaro heran.
"Dia bukanlah ibuku, tak mungkin aku memanggilnya ibu."
"Tapi seharusnya kau berada dirumah dan bukannya disini."
" Apakah kamu mengusirku lagi ?" Alfaro takbisa berkata kata.
"Lianne, kau membuatku takut. Kalau kamu betul betul adikku aku takkan menyuruhmu pulang. Tapi..."
"Tapi kau sudah menganggap aku sebagai adikmu tadi. Dan juga aku tak bisa menghubungi kontak mu lagi. Apakah sebenarnya aku diblokir ?!" Lianne protes.
Lianne memaksa, Alfaro hanya bisa pasrah.
Lianne mengambil tempat duduk didepan kursi. Melihat tayangan entertainment . Alfaro mengambil sebuah selimut di lemari dan melipatnya menjadi sebuah bantal. Melihat itu Lianne mematikan televisi.
"Malam ini aku akan tidur di ruang tamu , jadi kuncilah kamar ini."
" Tidak, tidur lah ditempat tidurmu, Aku akan tidur didepan televisi saja. Atau aku akan tidur bersamamu di ruang tamu."
"Lianne, aku gak mungkin tidur satu kamar sama seorang gadis. "
"Tetapi, setidaknya aku ingin mengobrol denganmu. Aku sangat kesepian..." Lagi lagi Alfaro gak tega melihat Lianne seperti itu . Alfaro akhirnya duduk di samping Lianne.
"Yang tadi kekasihmu ke berapa? " Lianne berbicara sambil menghidupkan televisi kembali, dengan suara yang sangat pelan.
"Hmmm berapa ya ? Aku gak menghitung sih." Alfaro meringis.
"Kalau begitu kamu gak pernah serius ya..."
"Bisa dibilang begitulah..." Jawabnya singkat.
"Kenapa ?"
"Bukankah wanita jadi juga begitu? Itu yang aku lihat."
"Tapi bagiku laki laki yang begitu."
"Atas dasar apa ?"
"Aku bahkan melihat dua orang yang ada didekatku semua begitu."
"Siapa?"
"Papaku dan juga kamu." Lianne nyengir, sepertinya dia sudah menang argumen. Alfaro menggaruk kepalanya. "Kalau saja bukan papaku sendiri aku pasti sudah menyebutnya si brengsek !!"
"Dan aku ?" Alfaro membulatkan matanya ke arah Lianne.
"Eehh, aku belum bisa tahu seberapa berengseknya dirimu."
Ha haha ... Alfaro terpingkal pingkal. Baru kali ini ada yang terang terangan menyebutnya brengsek. Alfaro terdiam. Dia tak akan menyangkal Lianne. Alfaro merasa punya latar belakang yang mirip dengan Lianne. Dia ingat bagaimana dimasa itu ibunya yang bersama seorang lelaki yang bukan ayahnya. Ibunya berselingkuh di depan matanya. Meskipun dia masih kecil pada waktu itu, tapi dia sudah mengerti arti pengkhianatan yang dilakukan ibunya.
Ayah Alfaro sering jatuh sakit. Tak lama berselang ayahnya meninggal dihadapannya. Alfaro merasa semua penyebab kematian ayahnya adalah karena menderita melihat tingkah laku ibunya. Semenjak itu Alfaro membenci ibunya. Dia juga merasa gambaran wanita pasti tak jauh dari tingkah ibunya.
Itulah sebabnya Alfaro tak ingin menjalin hubungan dengan wanita kecuali untuk bersenang-senang saja.
"Plok !!" Tangan Lianne menepuk pipi Alfaro. Membuat Alfaro kaget. "Ada nyamuk tuh ! Lihat nih sampai kenyang begini." Lianne menunjukkan nyamuk yang menjadi korban tangannya. "
Lianne mengambil selimut Alfaro yang sempat dilipatnya tadi lalu melebarkan dilantai kamar. Mengambil bantal dan mulai meletakkan kepalanya disana.
"Jangan buat aku seperti penjahat begitu Lianne. " Tangan Alfaro menarik Lianne untuk segera pindah ke tempat tidur. Otomatis tubuh Lianne yang sudah hampir berbaring menjadi limbung dan malah membuat dirinya terjungkal menimpa tubuh Alfaro. Alfaro tak bisa menahan tubuh Lianne karena bersamaan dengan ia juga tersandung kaki meja dan alhasil tubuh Lianne menumpang ditubuhnya tepat diatas tempat tidur.
Untuk beberapa saat karena terkejut mereka hanya saling menatap. Lalu Alfaro mendorong tubuh gadis itu menjauh. Alfaro melangkah keluar kamar karena gak tahan dengan jantungnya yang berdetak kencang hingga terdengar ditelinganya.
Tapi Lianne, itu tidak membuat dirinya berdebar seperti Alfaro. Lianne gadis lugu itu tak merasakan apapun.
"Huuh, makanya jangan ceroboh Alfaro."
Papa Lianne menatap Lianne yang tertunduk di kursi bersebrangan dengannya. Ada sedikit kemarahan yang ingin ia luapkan untuk anak gadisnya yang sudah mulai beranjak dewasa."Papa mendapatkan laporan, kau sering tidak berada di rumah dan bahkan menginap entah dimana, benarkah begitu?" tanya papa Lianne dengan intonasi yang masih datar.Lianne menatap wajah ayahnya, baru saja sehari di rumah papanya sudah menunjukkan wajah tak empati. "Iya, pah," pelannya, tapi ia sungguh ingin menatap tajam mata ayahnya karena sebenarnya ia juga telah kehilangan empati untuk papanya yang selalu sibuk."Lianne, kau tak merasa bersalah? Apakah itu wajar?" ujar papanya dengan sedikit keheranan, Lianne tampak santai mengatakannya. "Dan kenapa kamu menatap papa seakan mau melawan papa?""Bagaimana menurut papa? Apakah Lianne putri yang menurut atau putri yang melawan? Apakah papa tahu?" sergah Lianne tanpa rasa takut.Papa Lianne menghela napas. Heran dengan tingkah Lianne
Sudah lama Alfaro tidak mendapat telepon atau didatangi Lianne, akan tetapi ia malah merasa senang gadis itu tak mengganggunya.Akan tetapi ia merasa sedikit khawatir karena Lianne baginya adalah gadis yang perlu dikasihani.Alfaro sering mendengar keluh kesah Lianne yang selalu merasa kesepian."Apa anak itu baik-baik saja ya?" gumamnya.Baru saja membatin sebuah pesan masuk ke ponselnya.__Jemput aku di halte bus dekat rumahku sekarang juga__Pesan itu jelas dari Lianne. Alfaro tak banyak berpikir, ia hanya merasa harus menjemput gadis yang selama ini selalu ada di dekatnya.Dalam tiga puluh menit Alfaro sudah sampai di halte bus yang dimaksud Lianne. Gadis itu duduk termenung seorang diri dengan wajah yang muram."Hai! Bocah! Ngapain manyun, ayo cepat naik!" teriakan Alfaro mengejutkan Lianne. Lianne segera menoleh dan bangun dari duduknya mendekati Alfaro."Kamu habis nangis? Tumben banget!" Alfaro menggoda Lianne tapi
Menghadapi Lianne, adalah sesuatu yang luar biasa. Ia tak mengerti kenapa gadis ini seperti orang hilang, orang yang tak bisa kembali kepada orang tuanya. Apa yang membuatnya seperti itu?"Lianne, kalau kau mau ikut kau harus mendapatkan restu dari orang tuamu. Kau harus bicara baik-baik kepada orang tuamu dan juga kau harus kuliah."Lianne mengusap air matanya. Bagaimana bisa ia meminta ijin papanya untuk pergi bersama Alfaro, mungkinkah?"Papa tak mungkin mengijinkan aku, papa ingin aku ke Australia. Mana mungkin aku kesana? Aku akan semakin jauh dengan papa, mama dan juga kamu. Aku tak mau!" pekiknya."Jangan manja, kau sudah besar kenapa manja seperti itu? Mau jadi apa? Uang ada, otak mampu tapi ternyata tak lebih dari otak ayam," kesal Alfaro."Apa? Otak ayam? Kamu ngejek aku hah?!" Lianne jengkel dan marah."Jadi, bukan otak ayam ya? Gimana kalau otak udang? Cocok nggak?""Iiih, ngejek terus! Aku malas sekolah, aku mau pulang ke
"Kenapa kau diam? Kau menolakku ya?" Lianne mengurai pelukannya. Matanya terpusat pada tatapan Alfaro yang bingung mau bilang apa. Sorot mata Lianne sangat lucu dan menggemaskan. "Lianne, kau nggak salah ngomong? Hati-hati kalau ngomong sama lawan jenis ya, sudah-sudah jangan membahas ini lagi. Kau semakin jadi otak lembu kalau menuruti kemauan hatimu." Alfaro menggelengkan kepalanya. Lianne masih menatap Alfaro, kali ini ia menatap sangat kecewa. "Aku akan ikut denganmu kalau begitu," ujarnya gemetar. "Ikut? Ikut kemana Lianne? Kau bukan anak kandungku, bagaimana kau bisa ikut denganku. Bodoh!" "Terserah, yang penting dimana kamu kuliah aku akan ikut bersamamu dan jadi pacarmu, itu saja." Alfaro makin gemas."Gini saja, kau kuliah dulu baru nanti kita pacaran. Sekarang kau masih ingusan, terus terang kau bukan levelku dalam hal ini," kata Alfaro yang sebenarnya ia hanya mengada-ada. "Aku sudah dewasa, aku bukan anak ingusan. Apa me
Lianne melempar tas sekolahnya di atas dipan. Melepaskan seragam dan kaos kaki yang dikenakannya. Lalu dia mengeluarkan smartphone milik nya. Membuka rekaman video yang dikirimkan temannya. Video kompetisi balap liar yang tak bisa ditontonnya karena dia gak bisa bolos les lagi sore ini. Bukan karena balap liar itu yang menarik perhatiannya. Tapi dia meminta Kenzo untuk merekam sesosok peserta yang biasa ikut disana. Dia adalah Alfaro. Alfaro adalah pria yang mencuri iPhone kesayangannya. Sudah seminggu Lianne mencari pria itu dan akhirnya dia mendapatkan informasi tentang siapa Alfaro. "Akhirnya aku mendapatkanmu !" Gumam Lianne. Lianne menelfon Kenzo yang masih dilokasi balapan. " Kenzo, kau harus berkenalan dan berpura-pura sebagai penggemarnya !" Lianne antusias memerintah Kenzo. "Akan aku lakukan, tapi kau harus mentraktirku besok!" " Deal,.aku tunggu informasimu !" Lianne menghempaskan tubuhnya
Lianne menyusuri gang-gang sempit diwilayah kumuh itu. Dia bertanya kepada beberapa orang yang dilewatinya dan menunjukkan foto Alfaro berharap segera menemukan rumahnya.Cukup jauh Lianne berjalan hingga akhirnya sampai di sebuah kanal yang besar. Menurut informasi rumahnya berada disekitar kanal tepat di sisi jembatan. Lianne melihat disebrang sana banyak berkumpul beberapa pemuda. Lianne berjalan dan mendekatinya. Tempat itu lebih mirip dengan sebuah bengkel."Maaf, boleh saya bertanya sesuatu?" Lianne menyapa seseorang disitu."Silahkan adek manis, siapa tahu saya bisa bantu," cowok itu menyambut Lianne setengah meledek."Saya ingin bertemu dengan Om ini!" Lianne menunjukkan foto Alfaro. Cowok itupun tersenyum mengerti ."Alfaro?""Iya betul. Alfaro. Apakah disini tempat tinggalnya?""Betul. Tetapi itu sudah sebulan yang lalu dia terakhir disini." wajah Lianne tampak kecewa."Lalu dimana saya bisa menemuinya?"
"Papa, kapan Papa ambil cuti sih?" Lianne mendekati papanya yang sedang sibuk dimeja kerja."Ada apa Lianne? Belum lama sejak kita berlibur ke Belanda?! jawab papa Lianne."Tapi Papa, itu sudah dua bulan yang lalu?" Lianne menempelkan tubuhnya lebih dekat ke papanya."Lianne , papa sedang bekerja,""Papa, sebenarnya kapan sih aku bisa ketemu sama mama? bisik Lianne. "Kan sudah empat tahun semenjak papa menikah lagi Lianne gak pernah ketemu Mama?""Lianne, apa tidak lihat kalau papamu sedang bekerja?!" suara itu tidak asing.Dia Veronica istri papa. Lianne mengerucutkan bibirnya. Salah satu alasan kenapa Lianne tidak bisa menemui mamanya adalah karena wanita ini.Padahal Veronica sebenarnya adalah teman Mama tapi entah mengapa papa menikahi teman Mama. Dunia orang dewasa sungguh aneh. Apa sih ruginya kalau aku ketemu Mama? Mama juga tidak berusaha untuk menemuiku karena takut dengan Veronica.Mama takut Veronica melakukan
"Anak kurang ajar!"Tamparan keras mendarat di pipi Lianne. Lianne menghitung dengan jarinya sudah berapa kali Veronica menamparnya. Sudah yang ketujuh bila dihitung selama empat tahun semenjak menikah dengan papanya.Kalau dahulu Lianne menangis karena terasa sangat menyakitkan, tetapi sekarang bagi Lianne hal itu sudah dianggap nya hal biasa."Harus dengan cara apa aku mendidik anakmu ini!" Veronica mengomeli papa " Dan lihat! Lianne semakin keterlaluan!"Lianne hanya pasrah. Itu memang kesalahannya. Pak Udin melaporkan rekaman cctv yang menunjukkan Lianne mengendap-endap kabur dari rumah, dan pulang jam sebelas siang keesokan harinya.Lianne beringsut dari hadapan mereka. Sayup-sayup terdengar mereka bertengkar di ruang tengah sana.Lianne menghadap cermin. Tak perduli dengan apa yang dirasakan di pipinya. Lianne memikirkan Alfaro. Pria itu tidak terlalu tampan, tapi Lianne paling menyukai sorot matanya. Penampilan juga tak ada, bajunya t