"Anak kurang ajar!"
Tamparan keras mendarat di pipi Lianne. Lianne menghitung dengan jarinya sudah berapa kali Veronica menamparnya. Sudah yang ketujuh bila dihitung selama empat tahun semenjak menikah dengan papanya.
Kalau dahulu Lianne menangis karena terasa sangat menyakitkan, tetapi sekarang bagi Lianne hal itu sudah dianggap nya hal biasa.
"Harus dengan cara apa aku mendidik anakmu ini!" Veronica mengomeli papa " Dan lihat! Lianne semakin keterlaluan!"
Lianne hanya pasrah. Itu memang kesalahannya. Pak Udin melaporkan rekaman cctv yang menunjukkan Lianne mengendap-endap kabur dari rumah, dan pulang jam sebelas siang keesokan harinya.
Lianne beringsut dari hadapan mereka. Sayup-sayup terdengar mereka bertengkar di ruang tengah sana.
Lianne menghadap cermin. Tak perduli dengan apa yang dirasakan di pipinya. Lianne memikirkan Alfaro. Pria itu tidak terlalu tampan, tapi Lianne paling menyukai sorot matanya. Penampilan juga tak ada, bajunya terkesan gembel. Bahkan tangannya tampak bekas oli berwarna hitam. Tapi Lianne, kenapa Lianne seperti memiliki sesuatu yang membuatnya tenang. Berada di kamar Alfaro membuatnya seperti berdiri ditepi danau yang teduh. Damai dan sejuk.
" Seharusnya mereka sudah berangkat bekerja bukan? Aku benar-benar apes kali ini!"
Lianne menelfon Bety.
"Sorry Lianne, aku lagi dikolam renang. Nanti aku telfon lagi oke?" Bety menutup telepon. Sungguh sahabat tak berperasaan, belum juga ngomong apapun sudah menutup teleponnya. Kesal Lianne.
Lalu mendial nomor Kenzo.
"Hai Lianne. Ada apa?
"Apakah kamu senggang hari ini Kenzo ?"
" Oh maaf Lianne, aku sedang di toko antar mama belanja, adakah sesuatu Lianne ?"
"Ah tidak, tidak ada.Aku cuman mau nelpon aja"
Lianne memutuskan panggilan. Tampaknya dia harus sendirian Minggu ini. Mereka bisa bersama keluarga mereka dengan bahagia. Bety adalah keluarga kaya, tapi mereka tak terlalu sibuk seperti orang tuanya. Dan Kenzo keluarga biasa saja tapi tidak juga seperti keluarganya.
Tiba tiba seseorang menelfonnya. Alfaro?
"Hallo ?"
"Hai, sudah sampai rumah ?"
"Hemmm, Alfaro...aku bosan dirumah. Bolehkah aku kerumahmu ?"
"Tidak. Aku hanya mau mengatakan ada sesuatu yang tertinggal di kamarku, haruskah aku membuangnya atau mengantar kerumahmu ?"
Lianne mengingat apa yang sebenarnya tertinggal. Rasanya Lianne tak membawa apapun tadi malam kecuali handphone dan dompet kecil dan semua masih ada padanya sekarang ini. Lianne menyentuh dadanya.
"Oh my God !" Lianne terpekik. Dia telah meninggalkan pakaian dalam yang dilepaskannya di kamar mandi.
"Lalu bagaimana?" Alfaro menunggu jawaban.
"Aku akan mengambilnya." Lianne menjawabnya.
Lianne sudah tak mendengar keributan apapun dirumahnya. Kemungkinan papa dan Veronica telah pergi. Ini adalah kesempatan yang pas untuk Lianne keluar rumah.
Siang itu Alfaro terkejut dengan benda asing yang terjatuh dibalik pintu kamar mandi. Alfaro mengambilnya dan memasukkannya kedalam kantong plastik. Itulah sebabnya Alfaro terpaksa menelfon Lianne.
"Gadis itu sungguh selalu merepotkan." Gerutunya. "Aku akan membuangnya saja." Tapi Alfaro ragu. Gadis itu pernah menuduh dirinya mencuri handphone dan apa jadinya kalau dituduh mencuri pakaian dalamnya.
Sebenarnya Alfaro mengakui kecantikan Lianne. Gadis cantik dengan rambut lurus panjang berwarna kecoklatan. Kulit pipi yang bersih bersemu merah. Iris mata kecoklatan dan bibirnya yang sensual itu cukup menggemaskan. Alfaro mengira tak mungkin Lianne berasal dari keluarga kelas rendah seperti dirinya. Alfaro juga tahu gadis manja seperti Lianne tak akan mau berteman dengan orang-orang sepertinya.
###
Kesibukan di bengkel Alfaro mulai lengang. Bengkel itu hanya melayani perbaikan motor saja. Satu persatu pekerjaan bisa dilakukan dengan baik. Usaha Alfaro adalah usaha rintisan yang dimulai baru satu bulan . Tetapi ternyata cukup mendapat respon yang lumayan.
Seorang wanita bernama Meysa menunggu dengan tenang sambil memainkan ponselnya. Wajah Meysa memang manis. Dengan baju kasual dan santai membuat penampilannya justru tambah serasi. Dia adalah kekasih Alfaro. Setelah semua selesai Alfaro menutup rolling door bengkelnya.
"Tunggulah sebentar aku akan segera selesai mandi." Alfaro memberi perintah agar Meysa menunggu di ruang tunggu bengkel itu. Meysa mengangguk dan tersenyum. Alfaro meletakkan peralatan bengkelnya dan akan melangkah masuk ke dalam, tetapi bersamaan dengan itu Lianne telah ada di depan pintu yang membuat Alfaro menghentikan langkahnya.
"Lianne ?!" Alfaro terkejut. Lianne hanya melihat sekilas dan menyapa seorang wanita di ruang tunggu dia memberikan isyarat anggukan dengan sopan.
"Iya, ini aku. Aku datang mengambil pakaian dalamku yang tertinggal !" Katanya setengah berteriak. Meysa yang mendengar itu tentu saja melempar pandangan penuh arti ke arah Alfaro.
Lianne memasang wajah masa bodoh. Diapun melenggang masuk ke kamar Alfaro. Belum selesai terkejut dengan ucapan Lianne sekarang dibuat repot dengan apa yang dilakukan Lianne. Alfaro tak bisa menahan langkah Lianne memasuki kamarnya.
Meysa bangkit dari duduknya dengan wajah yang marah.
" Aku gak ngerti kamu Alfaro, kamu memang benar benar playboy murahan !!"
"Bukan begitu Meysa,,aku bisa jelaskan..."
" Sudahlah..aku sudah melihatnya sendiri." Meysa pergi dengan kemarahannya sedang Alfaro terpaku tak bisa berbuat apapun.
Bagaimana tidak. Bahkan tak seorangpun yang bisa masuk ke kamar Alfaro bahkan seorang Meysa yang sekarang adalah kekasihnya. Lalu bagaimana Lianne yang baru datang bisa masuk begitu saja bahkan meninggal kan pakaian dalam didalam sana. Jadi apa hubungan mereka? Meysa kesal dengan semua itu.
"Apa yang kamu lakukan ?" Alfaro menarik Lianne membuat Lianne terjerembab di tempat tidur Alfaro.
"Aku cuma mau ambil pakaian dalam yang kau simpan." Lianne menatap Alfaro.
"Apa hakmu masuk tanpa izin ku?"
"Bahkan aku sudah tidur dikamarmu ini.Untuk apa aku butuh izin ?"
Alfaro menepuk kepalanya. Lianne sangat pintar menjawabnya. Bahkan sekarang Alfaro makin mengerti betapa pintarnya Lianne membuat kekacauan. Alfaro duduk membelakangi Lianne dan mulai menyulut rokoknya.
"Apakah wanita tadi kekasihmu?"
"Lianne, kamu sungguh aneh. Cepat ambillah kantung itu dan pulang. Kamu tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan ku."
"Aku tidak mau.!" Lianne menatap Alfaro. Tiba-tiba Lianne tampak sendu. Matanya menatap Alfaro iba.
"Tidak Lianne, tidak bisa begini. Kamu tidak mengenal orang sepertiku. Sebelum terlambat pergilah dan jangan pernah datang kesini." Alfaro memperingati Lianne.
Rasa kecewa mengusik Lianne. Dia sungguh menyukai didekat Alfaro, tapi ternyata Alfaro tak menyukainya.
"Kenapa ? Mengapa aku tidak bisa kesini dan menemuimu? Apakah karena wanita tadi?" Lianne menuntut penjelasan dari Alfaro.
Alfaro diam. Dia tak mungkin menjawab pertanyaan yang terlalu sederhana yang Lianne lontarkan. Lianne, meskipun Alfaro tak mengenal latar belakang gadis ini, tapi Alfaro tahu dengan melihat penampilan Lianne yang tidak biasa. Pakaian yang dikenakan dan apa saja yang ada pada Lianne bukanlah di garis orang orang sepertinya.
Terlepas dari semua itu Lianne adalah gadis manja dan polos. Semakin terlibat dengannya, Alfaro tak yakin apakah dia bisa menahan diri. Lianne terlalu cantik untuk berada di kamarnya terus terusan.
"Bisa jadi begitu, Meysa pacarku. Kamu lihat sendiri bagaimana dia marah tadi. Kamu mengucapkan sesuatu yang membuatnya salah faham."
"Tapi aku memang ingin mengusirnya, aku cuma ingin mengobrol denganmu. Itu saja..." Alfaro terkejut dengan pengakuan Lianne. Alfaro menyentil keras dahi Lianne yang membuat Lianne menjerit. Lianne membalas dengan melempar bantal didekatnya ke arah Alfaro. Begitu juga Alfaro membalas melempar bantal itu lagi. Tanpa terasa mereka dalam suasana yang tak bisa mereka hindari. Mereka tertawa bersama hingga merasa lelah.
Satu hal yang Alfaro sadari, Lianne butuh seorang teman yang mengerti. Tapi Alfaro tidak bersedia untuk itu. Alfaro seakan memiliki firasat bahaya yang mengancamnya bila berada di dekat Lianne. Alfaro harus bisa menghentikan Lianne.
Acara kelulusan semakin dekat. Lianne bersyukur masih bisa mempertahankan prestasinya meskipun terasa sangat berat. Lianne merasa bosan berkutat dengan buku sekolahnya selama hampir sebulan lamanya. Bety menyelamati Lianne karena masuk peringkat setidaknya lima besar. "Setelah ini, kamu mau kuliah kemana Lianne..." " Kemana ya...aku juga bingung sih. Tapi sebenarnya aku gak minat sekolah lagi." "Wah...gila kamu ya...mana mungkin bokap kamu gak nyuruh kamu kuliah." Kenzo ikut nimbrung. "Aku aja yang otak pas pasan masih harus kuliah..." Bety merasa jutek. "Ya udah, kita jalanin aja nasib kita masing-masing." Lianne tertawa melihat dua sahabatnya tampak menekuk wajah. "Bisa jadi aku emang kuliah, tapi entahlah..." Lianne berkata lirih. Lianne sedang gak fokus membicarakan perkuliahan. Lianne memikirkan Alfaro yang tidak bisa dihubungi sekian lama. Lianne sangat ingin kerumahnya, tapi Lianne takut Alfaro tidak menyukai kedatangannya. Tapi
Papa Lianne menatap Lianne yang tertunduk di kursi bersebrangan dengannya. Ada sedikit kemarahan yang ingin ia luapkan untuk anak gadisnya yang sudah mulai beranjak dewasa."Papa mendapatkan laporan, kau sering tidak berada di rumah dan bahkan menginap entah dimana, benarkah begitu?" tanya papa Lianne dengan intonasi yang masih datar.Lianne menatap wajah ayahnya, baru saja sehari di rumah papanya sudah menunjukkan wajah tak empati. "Iya, pah," pelannya, tapi ia sungguh ingin menatap tajam mata ayahnya karena sebenarnya ia juga telah kehilangan empati untuk papanya yang selalu sibuk."Lianne, kau tak merasa bersalah? Apakah itu wajar?" ujar papanya dengan sedikit keheranan, Lianne tampak santai mengatakannya. "Dan kenapa kamu menatap papa seakan mau melawan papa?""Bagaimana menurut papa? Apakah Lianne putri yang menurut atau putri yang melawan? Apakah papa tahu?" sergah Lianne tanpa rasa takut.Papa Lianne menghela napas. Heran dengan tingkah Lianne
Sudah lama Alfaro tidak mendapat telepon atau didatangi Lianne, akan tetapi ia malah merasa senang gadis itu tak mengganggunya.Akan tetapi ia merasa sedikit khawatir karena Lianne baginya adalah gadis yang perlu dikasihani.Alfaro sering mendengar keluh kesah Lianne yang selalu merasa kesepian."Apa anak itu baik-baik saja ya?" gumamnya.Baru saja membatin sebuah pesan masuk ke ponselnya.__Jemput aku di halte bus dekat rumahku sekarang juga__Pesan itu jelas dari Lianne. Alfaro tak banyak berpikir, ia hanya merasa harus menjemput gadis yang selama ini selalu ada di dekatnya.Dalam tiga puluh menit Alfaro sudah sampai di halte bus yang dimaksud Lianne. Gadis itu duduk termenung seorang diri dengan wajah yang muram."Hai! Bocah! Ngapain manyun, ayo cepat naik!" teriakan Alfaro mengejutkan Lianne. Lianne segera menoleh dan bangun dari duduknya mendekati Alfaro."Kamu habis nangis? Tumben banget!" Alfaro menggoda Lianne tapi
Menghadapi Lianne, adalah sesuatu yang luar biasa. Ia tak mengerti kenapa gadis ini seperti orang hilang, orang yang tak bisa kembali kepada orang tuanya. Apa yang membuatnya seperti itu?"Lianne, kalau kau mau ikut kau harus mendapatkan restu dari orang tuamu. Kau harus bicara baik-baik kepada orang tuamu dan juga kau harus kuliah."Lianne mengusap air matanya. Bagaimana bisa ia meminta ijin papanya untuk pergi bersama Alfaro, mungkinkah?"Papa tak mungkin mengijinkan aku, papa ingin aku ke Australia. Mana mungkin aku kesana? Aku akan semakin jauh dengan papa, mama dan juga kamu. Aku tak mau!" pekiknya."Jangan manja, kau sudah besar kenapa manja seperti itu? Mau jadi apa? Uang ada, otak mampu tapi ternyata tak lebih dari otak ayam," kesal Alfaro."Apa? Otak ayam? Kamu ngejek aku hah?!" Lianne jengkel dan marah."Jadi, bukan otak ayam ya? Gimana kalau otak udang? Cocok nggak?""Iiih, ngejek terus! Aku malas sekolah, aku mau pulang ke
"Kenapa kau diam? Kau menolakku ya?" Lianne mengurai pelukannya. Matanya terpusat pada tatapan Alfaro yang bingung mau bilang apa. Sorot mata Lianne sangat lucu dan menggemaskan. "Lianne, kau nggak salah ngomong? Hati-hati kalau ngomong sama lawan jenis ya, sudah-sudah jangan membahas ini lagi. Kau semakin jadi otak lembu kalau menuruti kemauan hatimu." Alfaro menggelengkan kepalanya. Lianne masih menatap Alfaro, kali ini ia menatap sangat kecewa. "Aku akan ikut denganmu kalau begitu," ujarnya gemetar. "Ikut? Ikut kemana Lianne? Kau bukan anak kandungku, bagaimana kau bisa ikut denganku. Bodoh!" "Terserah, yang penting dimana kamu kuliah aku akan ikut bersamamu dan jadi pacarmu, itu saja." Alfaro makin gemas."Gini saja, kau kuliah dulu baru nanti kita pacaran. Sekarang kau masih ingusan, terus terang kau bukan levelku dalam hal ini," kata Alfaro yang sebenarnya ia hanya mengada-ada. "Aku sudah dewasa, aku bukan anak ingusan. Apa me
Lianne melempar tas sekolahnya di atas dipan. Melepaskan seragam dan kaos kaki yang dikenakannya. Lalu dia mengeluarkan smartphone milik nya. Membuka rekaman video yang dikirimkan temannya. Video kompetisi balap liar yang tak bisa ditontonnya karena dia gak bisa bolos les lagi sore ini. Bukan karena balap liar itu yang menarik perhatiannya. Tapi dia meminta Kenzo untuk merekam sesosok peserta yang biasa ikut disana. Dia adalah Alfaro. Alfaro adalah pria yang mencuri iPhone kesayangannya. Sudah seminggu Lianne mencari pria itu dan akhirnya dia mendapatkan informasi tentang siapa Alfaro. "Akhirnya aku mendapatkanmu !" Gumam Lianne. Lianne menelfon Kenzo yang masih dilokasi balapan. " Kenzo, kau harus berkenalan dan berpura-pura sebagai penggemarnya !" Lianne antusias memerintah Kenzo. "Akan aku lakukan, tapi kau harus mentraktirku besok!" " Deal,.aku tunggu informasimu !" Lianne menghempaskan tubuhnya
Lianne menyusuri gang-gang sempit diwilayah kumuh itu. Dia bertanya kepada beberapa orang yang dilewatinya dan menunjukkan foto Alfaro berharap segera menemukan rumahnya.Cukup jauh Lianne berjalan hingga akhirnya sampai di sebuah kanal yang besar. Menurut informasi rumahnya berada disekitar kanal tepat di sisi jembatan. Lianne melihat disebrang sana banyak berkumpul beberapa pemuda. Lianne berjalan dan mendekatinya. Tempat itu lebih mirip dengan sebuah bengkel."Maaf, boleh saya bertanya sesuatu?" Lianne menyapa seseorang disitu."Silahkan adek manis, siapa tahu saya bisa bantu," cowok itu menyambut Lianne setengah meledek."Saya ingin bertemu dengan Om ini!" Lianne menunjukkan foto Alfaro. Cowok itupun tersenyum mengerti ."Alfaro?""Iya betul. Alfaro. Apakah disini tempat tinggalnya?""Betul. Tetapi itu sudah sebulan yang lalu dia terakhir disini." wajah Lianne tampak kecewa."Lalu dimana saya bisa menemuinya?"
"Papa, kapan Papa ambil cuti sih?" Lianne mendekati papanya yang sedang sibuk dimeja kerja."Ada apa Lianne? Belum lama sejak kita berlibur ke Belanda?! jawab papa Lianne."Tapi Papa, itu sudah dua bulan yang lalu?" Lianne menempelkan tubuhnya lebih dekat ke papanya."Lianne , papa sedang bekerja,""Papa, sebenarnya kapan sih aku bisa ketemu sama mama? bisik Lianne. "Kan sudah empat tahun semenjak papa menikah lagi Lianne gak pernah ketemu Mama?""Lianne, apa tidak lihat kalau papamu sedang bekerja?!" suara itu tidak asing.Dia Veronica istri papa. Lianne mengerucutkan bibirnya. Salah satu alasan kenapa Lianne tidak bisa menemui mamanya adalah karena wanita ini.Padahal Veronica sebenarnya adalah teman Mama tapi entah mengapa papa menikahi teman Mama. Dunia orang dewasa sungguh aneh. Apa sih ruginya kalau aku ketemu Mama? Mama juga tidak berusaha untuk menemuiku karena takut dengan Veronica.Mama takut Veronica melakukan