Share

Bab 3

Sungguh lucu. Ryan sudah tiada, kalau saja dia peduli, dia akan menemukan surat kematian di laci meja tamu.

Dia hanya perlu menarik lacinya, tetapi sayang, dia tidak melakukannya.

Aku menatapnya dengan pandangan sinis, "Apa kamu masih peduli dengan anakmu?"

"Apa maksud perkataanmu itu? Kalau bukan karena dia, Wenny nggak akan tersiram air panas!"

"Jangan kamu salahkan anakku! Aku nggak mau dengar satu kata pun darimu lagi, dan aku nggak mau punya urusan apa pun denganmu. Kita cerai!"

Setelah itu, aku mengeluarkan surat perceraian.

Jansen langsung marah. "Berapa kali harus aku bilang? Aku nggak ada hubungan apa pun sama dia, kami cuma teman biasa!"

"Teman biasa? Dia yang sudah mencelakai Ryan, dia musuhku!"

"Kamu nggak masuk akal!" Jansen mengambil ponselnya dan menyodorkannya ke wajahku. "Lihat sendiri, ini Ryan yang menyiramnya!"

Dalam rekaman itu, Ryan terlihat hati-hati membawa segelas besar air panas, tangannya juga sudah merah karena panas. Dia berganti-ganti tangan dengan gemetar sambil mendekati Wenny.

Baru saja dia meletakkan gelas itu di meja, Wenny langsung berdiri, "Ryan hebat sekali, biar aku lihat!"

Namun, dia berpura-pura tidak sengaja menyenggol Ryan. Ryan mundur dua langkah dan sedikit tersentak, pada saat bersamaan gelas itu terbalik, dan Wenny langsung berteriak!

"Lihat, itu sebabnya dia tersiram!"

Aku merasa ini konyol. "Jansen, kamu buta ya? Nggak lihat kalau Ryan yang sebenarnya jadi korban? Dia seorang dewasa, tapi nggak bisa menangkap gelas!"

"Kamu ini gimana sih jadi ayah, malah membiarkan anakmu disuruh-suruh oleh wanita itu! Apa hatimu nggak merasa sakit!"

Jansen langsung marah besar, "Airnya panas, gimana dia bisa menangkapnya!"

"Oh, jadi kamu tahu itu panas!"

Aku mengangkat tanganku dan menamparnya dengan keras. "Dasar binatang! Itu anakmu, tahu nggak! Bukannya bantu, malah menyuruh anak umur 6 tahun membawakan air panas untuk orang dewasa, apa tanganmu patah?"

Setiap kali aku memikirkan Ryan yang ditindas dan disuruh-suruh, hatiku rasanya seperti tercabik-cabik.

Jansen, yang malu karena kutampar, langsung mencekik leherku. "Susi, aku sudah baik-baik padamu, tapi kamu berani berbuat begini padaku!"

"Ya, aku memang berani! Anak kesayanganmu sudah nggak ada, meninggal karena kalian berdua, pasangan hina ini!"

"Ceraikan aku, atau kita mati bersama!"

Kegilaanku membuatnya terpaksa melepaskan tangannya. Ketika dia melihat surat cerai yang aku bawa, dia langsung marah, "Mau cerai? Mimpi kamu!"

"Aku kasih kamu waktu tiga hari, bawa Ryan kembali!"

Aku mulai tenang, "Jansen, kamu punya banyak uang, kenapa nggak coba mencari tahu? Blok 16, Nomor 30, Taman Pusara Barata. Aku tunggu kamu di sana!"

"Dasar gila!"

Jansen mengucapkan kata itu lalu pergi, tetapi dia tetap mengeluarkan ponsel untuk mencari informasi. Aku tahu, dia pasti percaya.

Aku tertawa dingin, sambil mengedit video itu dan mengirimkannya ke Wenny.

"Lihat, aku mau cerai, tapi dia nggak setuju. Kamu itu nggak punya harga diri, ya? Dia cuma main-main sama kamu."

Wenny, sekarang tinggal giliranmu.

Malam itu, detektif swasta mengirimkan beberapa foto Jansen dan Wenny.

Benar saja. Wenny panik, buru-buru bertemu dengan Jansen, dan mereka tak bisa menahan diri.

Wenny bahkan mengirim foto padaku untuk memprovokasi, "Susi, kamu kalah."

Aku tertawa dingin, lalu mengirimkan surat kematian Ryan dan informasi pemakaman kepada Jansen.

"Jansen! Ryan baru tujuh hari meninggal, dan kamu sudah tidur dengan pembunuhnya! Di mana hati nuranimu!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aeni Nuraeni
ko sekarang ribet ya klw mau buka bab.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status