Share

Cinta Lama yang Membawa Duka
Cinta Lama yang Membawa Duka
Penulis: Kirana

Bab 1

Suamiku sengaja membawa putra kami pergi bersamanya agar dia bisa makan malam dengan cinta pertamanya tanpa dicurigai.

Di tengah perjalanan, dia menyuruh anak kami yang baru berusia enam tahun itu membeli salep luka bakar, tetapi malangnya, dia bertemu orang gila dan langsung ditikam hingga tewas di tempat.

Hatiku sangat hancur, dan ketika aku melihat salep luka bakar di tangan putraku, aku menangis histeris tanpa henti.

Namun, suamiku malah menelepon dan memarahiku, "Susi, begini anak hasil didikanmu! Dia melukai Wenny dan nggak mau minta maaf, suruh dia pulang sekarang juga!"

....

Saat Ryan mengembuskan napas terakhirnya dalam pelukanku, tangannya masih memegang sekotak obat. Aku menangis tersedu-sedu melihat mulutnya yang berdarah, tak sanggup aku berkata-kata.

Saat itu, aku berlutut memohon kepada Tuhan agar menukar nyawaku demi anakku.

Sayangnya, Tuhan sepertinya tidak mendengarkan. Ryan pergi, dan aku pingsan karena putus asa.

Saat aku sadar kembali, tidak ada seorang pun di sekitarku. Jansen menghubungiku, dan saat itu aku barus sadar bahwa dia belum tahu tentang Ryan.

"Sayang, Ryan ...."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Jansen langsung memotong, "Susi, inikah anak hasil didikanmu? Dia melukai Wenny dan nggak mau minta maaf, suruh dia pulang sekarang juga!"

Hatiku langsung terasa berat. Jadi, ini semua karena mereka!

"Jansen! Ryan itu baru enam tahun. Kamu yang menyuruhnya membeli salep luka bakar, bukan?"

"Memangnya kenapa? Dia sengaja menumpahkan air sampai Wenny terluka. Aku cuma menyuruhnya ke apotek dekat sini, tapi dia malah kabur!"

"Susi, beginilah anak hasil didikanmu! Suruh dia pulang dan minta maaf pada Wenny!"

Saat itu, terdengar suara Wenny dari telepon, "Sudahlah Jansen, aku tahu Ryan nggak suka padaku. Anak kecil memang belum paham, nggak masalah kok kalau aku sedikit terluka."

"Jangan membelanya. Susi, kamu dengar, 'kan? Suruh Ryan ke sini sekarang!"

Aku begitu marah hingga pandanganku menggelap, lalu aku menjawab, "Ryan nggak akan datang. Kalau kamu mau menyalahkannya, cari dia sendiri!"

Aku menutup telepon dan langsung memblokir nomornya. Dadaku sesak tidak tertahankan.

Sejak Wenny kembali, Jansen seperti kehilangan akal, bahkan anaknya sendiri diabaikan.

Aku harus meninggalkannya, dan sekaligus membuat mereka membayar atas semua ini!

Aku menjaga jenazah Ryan sendirian sambil menghubungi agen untuk membeli lahan pemakaman.

"Ryan, jangan khawatir, Ibu nggak akan biarkan kematianmu sia-sia."

Aku berjanji dalam hati, akan menguburkan Ryan di sini. Setelah semuanya selesai, aku kembali ke rumah dengan tubuh yang lelah dan segera bertemu Jansen dan Wenny.

"Susi, di mana Ryan! Lihat apa yang dia lakukan pada Wenny!"

Begitu melihatku, Jansen langsung bertanya. Di sampingnya, Wenny dengan tangan terbalut perban berkata dengan lemah, "Susi, jangan marah. Jansen hanya sekadar membantuku, aku ...."

Plak!

Aku tak bisa menahan diri lagi, aku langsung menamparnya!

"Perempuan hina!"

"Apa yang kamu lakukan!" Jansen langsung mendorongku dengan keras hingga aku terjatuh. Aku tersungkur di lantai, kesakitan sampai bercucuran keringat dingin.

"Gara-gara ibu macam kamulah Ryan jadi seperti ini!"

"Berani sekali kamu memukul! Suruh Ryan keluar sekarang!"

Aku mengangkat wajahku, tanpa memedulikan rasa sakit di tubuhku, aku bangkit dan menabraknya sekuat tenaga hingga terjatuh ke samping.

"Binatang! Kalian yang sudah membunuh Ryan, masih berani menuntut dia minta maaf. Kalian yang seharusnya masuk neraka!"

"Jansen, kamu nggak pantas jadi seorang ayah! Kamu bukan manusia!"

Aku menyerangnya dengan penuh kemarahan sampai Jansen terkejut. Detik berikutnya, dia berteriak, "Tahan dia! Dia sudah gila!"

Dua penjaga datang dan menahanku di lantai. Aku berusaha melawan, tetapi tak mampu bergerak.

Dia mengusap wajahnya dengan marah sambil berkata, "Seandainya aku tahu kamu akan seperti ini, aku nggak akan menikahimu!"

"Ya, siapa suruh dulu dia nggak melirik kamu yang masih miskin dan malah pergi ke luar negeri untuk cari yang lebih kaya!"

"Sekarang dia datang lagi karena kamu sudah kaya. Jansen, kamu memang tolol!"

Aku membuka luka lamanya, dan Jansen marah besar, sampai hampir memukulku, tetapi Wenny langsung beraksi.

"Bagaimana bisa kamu berpikir begitu! Aku ... dulu aku terpaksa, bukan sengaja meninggalkanmu, Jansen. Aku nggak menyangka kamu menganggapku seperti itu!"

Dia menangis, lalu Jansen langsung tersentuh dan buru-buru menenangkannya. "Nggak, aku nggak pernah berpikir begitu. Kamu selalu indah di mataku!"

Indah?

Aku tertawa terbahak-bahak sampai dadaku terasa sakit.

Jansen menatapku dengan muak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status