“Randi Narayan?” ulang Asma.“Apakah kamu setuju dengan nama itu, Asma? Dengan nama itu diharapkan anakmu nanti menjadi pelindung keluarga terutama ibunya,” ucap Arya.Semua orang yang ada di dalam ruangan itu memandang Asma. Mereka menunggu jawabannya.“Insya Allah, aku setuju. Semoga dia bisa menjadi apa yang diharapkan semua orang dengan namanya,” jawab Asma seraya menatap ke arah bayi yang berada di gendongan Ibu Intan.“Amiin,” ucap semuanya secara serempak.Ibu Aminah dan Milla bertanya tentang keadaan Asma setelah operasi.“Mbak Asma, lebih sakit mana antara melahirkan operasi dengan normal?” celetuk Milla dengan pertanyaan yang sulit dijawab Asma.“Hmm. Aku sendiri tidak mengetahui bagaimana ketika melahirkan normal, walaupun rasanya sangat nikmat ketika menuju ke setiap pembukaan. Pada saat aku sedang dioperasi enggak merasakan sakit sama sekali karena dibius, tetapi ketika biusnya hilang, rasanya sakit, bahkan aku belum bisa tidur miring.” Asma menceritakan apa yang dirasaka
"Apakah Mbak Asma tidak tertarik sama sekali dengan Mas Arya? Menurut Ibu, kalian itu pasangan cocok, apalagi kalian sudah dekat sejak dulu.”Mendengar pertanyaan dari Ibu Asih yang duduk di sofa, Asma menatapnya.“Mbak Asma pasti tertarik sama mas Arya, kan?” goda Ibu Asih dengan tersenyum. Wajah bersemu Asma tertangkap oleh penglihatan Ibu Asih.“Apaan sih, Bu. Aku itu hanya janda yang masih menumpang hidup di panti asuhan. Aku juga baru saja melahirkan, Bu. Kami itu tidak cocok, Bu,” elak Asma sembari mengalihkan pandangannya ke arah yang lain.“Janda dengan duda, pasangan cocok itu, Mbak.”Asma semakin tidak bisa menyembunyikan perasaan malunya pada Ibu Asih. Dia merasa salah mencari alasan.Asma menghela nafas panjang. Dia belum mengetahui bagaimana perasaannya pada Arya saat ini. Selain itu, dia masih belum bisa menerima laki-laki sebagai pendamping hidupnya untuk saat ini.“Bu, aku tidak tahu dengan perasaanku ke depannya. Arya sudah banyak membantuku. Saat ini, aku masih belum
“Maaf jika pertanyaanku membuatmu sedih,” ucap Asma merasa tidak enak karena Arya tidak segera menjawab pertanyaannya.Arya menengok ke arah Asma. Dia tersenyum pada Asma. Dia tidak bermaksud untuk tidak menjawab pertanyaan Asma.“Aku sudah ikhlas dengan kepergian mereka. Itu semua takdir dari Allah. Aku dan Aisyah menikah karena dijodohkan Mbak Khansa dan almarhum Mas Bagus. Aku bertemu dengan almarhum Mas Bagus di salah satu kajian yang kami hadiri. Karena kami sering bertemu, kami pun menjadi dekat. Aku juga menjadi dekat dengan Mbak Khansa juga yang mempunyai panti asuhan karena aku menjadi salah satu donaturnya. Setahun bersahabat dengan Mas Bagus dan Mbak Khansa, mereka menjodohkanku dengan adiknya, Aisyah. Aku memutuskan menikahinya setelah tiga bulan masa perkenalan kami. Setahun pernikahan, akhirnya kami diberi amanah momongan oleh Allah. Kami sangat bahagia. Akan tetapi, takdir berkata lain, ketika usia kandungan Aisyah 6 bulan, dia terserempet seorang pengendara motor yang
“Laila?” gumam Asma menyebutkan nama wanita yang sedang ada keperluan dengan Khansa.Laila merupakan adik sepupu Asma yang sudah lebih dari enam tahun tidak pernah bertemu dengan Asma karena belajar di pondok pesantren. Kini, mereka dipertemukan di tempat yang tidak pernah terbayang di benak Laila maupun Asma.“Masya Allah, apakah ini benar Mbak Asma?” tanya Laila dengan suara bergetar setelah berhadapan dengan Asma. Mata Laila maupun Asma sudah berkaca-kaca.Asma tidak bisa berkata apa pun. Dia hanya menganggukkan kepala. Laila pun memeluk Asma. Mereka berdua terisak dengan saling memeluk.Khansa dan Arya yang berada di ruangan itu hanya saling pandang. Arya sudah berdiri di samping Khansa dengan Randi dalam gendongan Khansa.“Siapa dia, Mbak?” tanya Arya pada Khansa dengan suara lirih.“Namanya Laila. Dia santri yang dikirim abah untuk membantuku mengisi kajian di sini agar aku fokus mengurus panti,” jawab Khansa dengan suara lirih pula.Arya dan Khansa masih belum mengetahui apa hu
"Baiklah! Tetapi, aku harap Mbak Asma segera pulang untuk menemui keluarganya Mbak,” ucap Laila seraya menghela nafas.Khansa membiarkan Laila berbicara dengan Asma. Selama ini, Khansa maupun Arya sering membujuk Asma agar memberi kabar pada orang tuanya mengenai keberadaan dirinya, tetapi Asma selalu menolak. Mereka tidak mengetahui alasan Asma menolak bertemu dengan orang tuanya.“Iya, La. Aku berjanji akan menemui mereka jika sudah waktunya. Aku masih malu untuk bertemu dengan mereka karena sudah membuat mereka kecewa.” Asma masih bersikukuh dengan pemikirannya.Laila tidak bisa mengatakan apa pun lagi pada Asma. Asma memang termasuk orang yang selalu memegang teguh keinginannya walaupun terkadang kurang tepat. Laila teringat dengan bu dhenya yang bercerita tentang Asma yang keras kepala akan menikah dengan pacarnya yang terkenal playboy. Bu Dhenya bercerita sembari menangis di hadapan Ibunya. Semula dia ingin membujuk Asma yang memang jaraknya usianya tidak terlampau jauh, tetapi
"Ka-kamu duluan saja, Asma,” ucap Arya dengan gugup ketika terdengar suara Khansa yang memanggil mereka dari ruang tengah panti asuhan tersebut. Arya merasa canggung dengan peristiwa yang baru saja terjadi, begitu pula dengan Asma.Asma segera meninggalkan Arya tanpa mengucapkan sepatah kata. Jantungnya masih merasa berdebar dan pipinya terasa panas karena malu dan canggung. Tanpa menengok ke arah Arya, dia pun menuju ke ruang tengah, tempat semua orang sedang berkumpul.Sepeninggal Asma, Arya duduk di bangku yang ada di teras. Dia memegang dadanya yang masih berdebar karena peristiwa yang baru saja di alami dengan Asma.‘Ya Allah, mengapa debaran ini muncul lagi? Debaran yang pernah ada di dalam hatiku. Apakah cinta yang sudah sekian lama terkubur, kini kembali lagi,’ gumam Arya dalam hatinya. Bayangan kebersamaan dan kedekatan dengan Asma sebelum kehadiran Tanto dalam persahabatan mereka, terbayang di pelupuk matanya. Dia tersenyum mengingat kebersamaan mereka sewaktu di bangku SMA.
Laila segera mengambil ponselnya ketika sudah berada di luar rumah. Dia pun menekan nomor ponsel Asma.“Assalamualaikum, Mbak. Insya Allah, malam ini aku menginap di panti asuhan. Aku masih kangen dengan Mbak Asma, selain itu aku ingin menemani keponakanku.” Terdengar suara Laila yang sedang menelepon Asma. Suara Laila yang lirih masih terdengar oleh Uki yang berada di balik pintu rumahnya.“Asma? Apakah yang dimaksud Asma adikku?” gumam Uki yang mendengar obrolan Laila.Uki pun memutuskan untuk mengikuti Laila. Dia penasaran dengan tingkah laku Laila yang tidak seperti biasanya.Setelah menghubungi Asma untuk meminta izin menginap di panti asuhan, Laila segera meninggalkan rumah. Dia menuju ke arah gang rumahnya untuk mencari ojek yang masih mangkal di pos ojek.Laila pun segera naik ojek untuk menuju ke arah jalan raya yang dilewati bus yang menuju ke kota. Rumah tinggal orang tua Asma memang jauh dari jalan raya besar. Tanpa sepengetahuan Laila, Uki sudah mengikuti di belakangnya m
"Hei, Uki,” sapa teman Uki yang bernama Alan.Uki tidak menjawab sapaan Alan yang sudah berada di dekatnya. Dia masih memperhatikan mobil yang ditumpangi Laila yang sudah pergi.“Hhhh.” Terdengar embusan nafas Uki.“Ada apa?” tanya Alan seraya menengok ke arah pandang Uki.Uki memalingkan pandangannya ke arah Alan. Ada gurat kekecewaan yang terlihat di wajahnya.“Maaf, Lan. Tadi kamu menanyakan apa ya?” tanya Alan yang berada di samping Uki.“Apa kamu tadi mau mengikuti mobil yang baru saja pergi dari depan toserba itu?” tebak Alan.“Iya. Tadinya aku mengira adikku ikut mobil tersebut. Tapi, mungkin aku salah lihat. Eh, kamu dari mana mau ke mana, Lan?” tanya Uki.“Aku mau menjemput Ibu yang baru saja ikut majelis taklim di rumah temannya.”Uki dan Alan mengobrol sebentar tentang kegiatan mereka masing-masing. Mereka pernah bekerja di tempat yang sama, tetapi kini mereka sudah menekuni usaha masing-masing.Karena Uki sudah kehilangan jejak Laila, dia pun memutuskan untuk pulang ke des