"Gimana fitting bajunya tadi?" tanya Nalin sambil menuang air ke dalam gelas. Kemudian diberikannya pada putranya itu.
"Aman, Bu, Naura udah pilih," balas Alfa.
"Ah, bahkan sudah sampai pada pernikahan kalian tapi ayah belum sempat mengunjungi Dharma," ujar Abimanyu.
"Om Dharma juga sering kerja lembur, Yah, jarang ada di rumah. Alfa rasa kalian sama-sama tahu kesibukan masing-masing."
"Dasar, Dharma ini. Apa dia nggak ingat umur? Masih saja suka lembur," kata Abimanyu.
"Ck, kayak ayah enggak aja. Ayah juga nggak bisa diem, nggak sadar?" celetuk Alfa mencibir.
"Kamu ini memang paling jago membalik-balikkan perkataan, pantas saja Vano sering kesal," ujar Abimanyu.
"Nggak papa, asal nggak memutar balikkan fakta," balas Alfa lagi.
"Heuh ... bisaaa aja ngebales omongan orang tua."
Alfa terkekeh.
"Oh ya, Alfa, gimana perasaan kamu sekarang?" tanya Abimanyu.
"Gimana, gimana maksudnya?" tanya Alfa tak mengerti.
"Habis dari mana, kok jalan kaki?" tanya Vano membuka percakapan."Habis dari klinik," balas Safira singkat."Kamu sakit?" tanya Vano lagi basa-basi, padahal dia tahu yang sebenarnya.Menggelengkan kepala, Safira menjawab, "enggak.""Terus ngapain ke klinik?""Habis kenalan sama dokter ganteng, siapa tahu mau diajak PDKT," balas Safira membuat Vano tertawa kecil. Safira pun ikut mengulum senyum, meski tak ia tunjukkan terang-terangan."Jadi aku anatar kamu pulang kemana nih?" tanya Vano."Ya pulang ke rumah lah, masa ke kuburan. Emang aku dedemit?"Vano menepuk keningnya, merutuki pertanyaannya sendiri."Iya, maksudnya, alamat rumahnya dimana? Yaelah, perasaan pinter tapi kok ngeselin ya!"Safira terkekeh tanpa suara. "Jalan Semanggi barat, gang cemara dua nomor dua belas.""Nah, kalau gitu kan jelas," sahut Vano puas.Setelah itu terjadi keheningan beberapa saat. Vano fokus menyetir sedangkan Safira
Saat Safira memasuki usia remaja awal, ia di ajak pergi orang tuanya untuk pergi ke sebuah tempat rekreasi. Keluarga kecil itu sangat berbahagia kala itu.Kala itu Safira masih duduk di bangku SMP kelas dua. Keluarganya bukanlah tergolong keluarga yang mewah atau berkecukupan. Sehingya saat orang tuanya mengajaknya pergi ke tempat rekreasi pada hari ulang tahunnyaSafira sangat merasa senang dan bahagia.Kue ulang tahun kecil membuat perayaan ulang tahunnya semakin lengkap. Apalagi ia juga mendapatkan hadiah dari orang tuanya, rasa bahagianya semakin lengkap. Meskipun harganya tidak seberapa tetapi Safira sangat senang menerimanya.Ketika tengah asik-asiknya bermain dan merayakan ulang tahun Safira yang ke 14 itu, tiba-tiba hujan turun. Terpaksa orang tua Safira mengajak Safira berteduh.Mereka berlari menyebari jalan untuk menuju tempat berteduh. Namun naas, orang tua Safira mengalami kecelakaan.Sebuah mobil melaju kencang dan tergilincir akibat j
"Cantik," lirih Vano tanpa sadar memuji kecantikan Safira yang selama ini tak ia sadari."Ha? Apa?""Kamu cantik, Safira," kara Vano tanpa menutup-nutupi.Safira tertunduk karena tersipu malu. Vano pun mengembangkan senyum meski Safira tak melihatnya."Mau berangkat sekarang?" tanya Vano.Safira mengangguk. "Iya."Vano mengulurkan tangan pada Safira. "Ayo."Safira mendongak menatap Vano yang menatapnya teduh. Jantung Safira tiba-tiba berdebar tidak normal, sangat kencang. Dengan gugup Safira menyambut uliran tangan Vano.Vano merasakan tangan Safira yang begitu dingin. 'Apa sebenarnya dia juga gugup, sama seperti aku?' batin Vano.Tak mau berpikir lebih jauh, Vano langsung menuntun Safira dan mereka masuk ke dalam mobil dan mereka segera meninggalkan pelataran rumah Safira."Aku nggak lihat orang tua kamu tadi," celetuk Vano bertanya saat dalam perjalanan untuk mengurangi kecanggungan.Safira terdiam cukup
"Aku mencintaimu, Vano."Vano terdiam seribu bahasa. Bahkan mulutnya terkunci rapat. Susah payah Vano menelan salivanya.Vano sangat terkejut mendengan pengakuan Safira.Benarkah apa yang baru saja Safira katakan?Apakah Safira mengatakannya dengan kesadarannya? Atau alam bawah sadarnya?Dan jika itu benar, sejak kapan Safira memiliki perasaan itu untuk Vano?Banyak sekali pertanyaan yang berputar di kepala Vano. Yang berdesakan ingin segera meminta jawaban.Semakin lama Vano semakin merasa berat. Vano menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah pucat Safira, dan ternyata Safira terpejam. Pantas saja berat."Dia cuma tidur kan?" lirih Vano bertanya pada kesunyian."Ya, semoga dia cuma tidur. Semoga nggak terjadi apa-apa pada Safira."Vano mengangkat tubuh Safira dan membopongnya ke dalam mobil. Ia akan mengantarnya pulang.***Vano membawa Safira masuk ke dalam kamarnya dan membaringkannya di atas
Debaran kebahagiaan bersarang pada dua hati yang kini tengah mempersiapkan diri untuk menuju hari bahagia. Menuju kehidupan baru yang harus dijalani bersama-sama, yaitu pernikahan.Semua orang sibuk hari ini. Dan semua wajah menampakkan senyuman yang sama, yaitu senyum bahagia.Dekorasi serba putih seperti harapan Naura telah dibuat dengan memuaskan. Para tamu undangan mulai berdatangan untuk menyaksikan upacara sakral hari ini.Gaun pengantin telah melekat sempurna pada tubuh Naura. Seorang perias masih merapikan riasan Naura dan rambut Naura."Cantiknya ... putri ibu," puji Nalin ketika masuk ke dalam ruang rias."Ibu Nalin," ucap Naura."Kok ibu Nalin. Panggil ibu aja dong. Mulai sekarang kamu hanya harus panggil ibu saja, karena mulai hari ini Naura akan jadi putri ibu," kata Nalin. Naura tersenyum."Baiklah, Bu."Nalin terus mengamati Naura melaui pantulan kaca. "Cantik. Pantas saja putra ibu cinta mati sama kamu," ujar Na
"Bagaimana perasaanmu saat menghadiri pernikahan mantan?" tanya Vano tanpa tahu kondisi dan situasi.Kini semua mata tertuju pada Eza, sedangkan Naura sudah tertunduk dalam.Sherly menunggu jawaban apa yang akan diucapkan oleh Eza. Sedangkan Alfa dibandingkan dengan rasa penasaran pada jawaban Eza ia lebih merasa kesal karena Vano tidak bisa mengendalikan mulutnya.Berbeda dengan Sherly dan Alfa, Safira merasa bingung dan bertanya-tanya, mantan?Alfa melotot ke arah Vano, namun Vano malah menunjukkan cengiran bodohnya.Ya Tuhan ... butuh kesabaran ratusan kali lipat memiliki sahabat seorang Vano yang terkadang berbuat yang tidak maauk akal atau melakukan hal-hal yang memancing emosi seperti sekarang ini."Semua orang berbahagia, mana mungkin aku bersedih?" balas Eza menanggapi pertanyaan Vano."Kita sudah memutuskan untuk berteman. Jadi apapun keputusan seorang teman, sebagai seorang teman aku harus mendukungnya dan ikut bahagia atas
"Kenapa harus malu? Kita udah jadi suami istri sekarang. Kamu nggak hanya akan melihat ini, tapi mungkin kamu akan melihat yang lain juga," kata Alfa membuat otak Naura langsung berkelana."Alfaaaa ...!""Hei hei, jangan teriak-teriak. Nanti orang-orang mengira aku ngapa-ngapain kamu," ujar Alfa."Biarin! Cepat pakai bajumu, Alfa!" bentak Naura."Iya iya, mau ambilin aku baju nggak?" tanya Alfa menggoda.Naura memutar bola mata. "Iya iya aku ambilin.""Ini.""Makasih, Sayang," kata Alfa.Naura hanya mengangguk. "Ayo makan.""Iya, mau di suapin?" tanya Alfa menawari."Nggak, makasih! Aku bukan anak kecil.""Nggak harus anak kecil dong. Kan biar mesra, suap-suapan gitu," ujar Alfa."Jangan buat aku geli, Alfa. Udah makan aja nggak usah banyak tingkah.""Astaghfirullohal'adzim ... kenapa susah banget mau mesra? Digombalin nggak mempan, di ajak mesra juga nggak mau," keluh Alfa.Naura terki
"Van, ayo siap-siap. Kita nggak boleh membuat kesalahan apalagi sampai terlambat. Pak Ashof orangnya sangat disiplin," kata Alfa berbicara pada Vano di dalam ruang kerjanya."Ya, aku sudah siapkan semuanya, tenang aja," balas Vano santai."Jangan tenang-tenang. Biasanya kamu suka menyepelekan sesuatu, periksa lagi baik-baik," ujar Vano."Ck, iya iya, Pak Boss."Tok tok tok!Spontan, Alfa dan Vano sama-sama menoleh ke arah pintu."Masuk!" Seru Alfa."Selamat pagi, Pak, saya mau mengantar data yang bapak minta," ujar Yessy—seorang yang baru saja mengetuk pintu."Oh ya, terima kasih banyak, Yessy, kamu sudah melakukan tugasmu dengan cepat. Aku sangat membutuhkan ini untuk presentasi nanti.""Itu sudah menjadi tugas saya, Pak, bapak tidak perlu berterima kasih."Alfa mengangguk."Apakah ada yang bisa saya kerjakan lagi, Pak?" tanya Yessy."Tidak ada, terima kasih. Kamu boleh pergi, Yessy," kata Alf
"Pak Alfa, ini keputusan yang sangat sulit yang harus kalian putuskan. Karena kalian harus memilih salah satu di antara mereka. Kalian memilih menyelamatkan ibunya atau anak yang dikandungnya?"Alfa langsung merasa kebas. Ia hampir ambruk karena seluruh tulangnya serasa diloloskan dari tubuhnya."Nggak mungkin! Nggak mungkin saya pilih salah satu diantara mereka. Selamatkan istri dan anak saya, Dokter. Dokter harus menyelamatkan mereka!" Alfa berteriak kapal. Nalin memegangi Alfa sambil meneteskan air mata. Pada akhirnya keputusan sulit ini harus diambil."Alfa, tenanglah, Nak," lirih Nalin."Bagaimana aku bisa tenang, Bu, anak dan istriku sedang berjuang tapi aku harus memilih salah satu dari mereka. Aku nggak mungkin bisa memilih, Bu," balas Alfa masih juga berteriak.Tak hanya Alfa yang terkejut dan kesulitan mengambil keputusan. Semua orang disana merasakan hal yang sama.Dahayu sudah menangis, Dharma memeluk istrinya. Begitu pula dengan
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?""Pasien sangat lemah. Pendarahan yang terjadi cukup menguras banyak darah. Saat ini pasien masih harus istirahat," jelas dokter."Tapi dia baik-baik aja kan, Dok? Dia pasti sembuh kan, Dok?" tanya Alfa lagi.Dokter itu menghela napas berat, seberat ia menjelaskan keadaan pasiennya yang sebenarnya.Sebagai seorang dokter Lily bertekad untuk selalu mengatakan hal-hal baik karena ucapan adalah doa. Dan juga dokter Lily selalu berusaha menjaga perasaan keluarga pasien agar tidak down."Berdoalah yang terbaik untuk pasien. Hanya Allah yang bisa menolongnya," ujar dokter Lily dengan senyum optimis, mencoba memancarkan sinyal positif meskipun sebenarnya ia sendiri merasa tidak seoptimis itu."Bolehkah saya menemui istri saya, Dok?"Dokter Lily mengangguk. "Silakan berikan kekuatan pada istri anda. Tapi tolong jangan mengganggu istirahatnya. Dia sangat lemah, sebaiknya jangan membangunkannya selama pasi
Vano uring-uringan sendiri di depan ruang IGD. Alfa benar-benar membuatnya tak habis pikir. Disaat istrinya berjuang untuk bertahan hidup dia malah melakukan hal yang tidak bisa dibenarkan. Ya Tuhan ....Vano sangat ingin menyusul Alfa tapi dia juga tidak bisa meninggalkan Safira sendiri apalagi di rumah sakit. Vano merasa serba tak mampu sekarang."Sayang, tenanglah ... kita beritahu pada tante Nalin saja nanti kalau dia sudah datang. Tante Nalin pasti bisa mengurus Alfa. Tenang yaa ... aku udah menelpon mereka, sebentar lagi pasti mereka datang," kata Safira membujuk suaminya.Untuk menghargai usaha istrinya, Vano melempar senyum sambil mengangguk meski sebenarnya ia tetap tidak tenamg. "Iya, kita tunggu mereka saja."Dan ya, orang tua Naura dan orang tua Alfa akhirnya datang tak lama kemudian."Vano, Safira, apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Naura?" tanya Dahayu sangatlah panik. Keringat dingi bercucuran dimana-mana."Tante, kami nggak
Semakin hari usia kandungan Naura semakin bertambah. Perutnya pun semakin membesar. Saat ini kandungannya sudah berumur tujuh bulan.Karena perutnya semakin membesar Naura berpikir untuk mulai mempersiapkan kebutuhan bayi mereka. Mulai dari kamar bayi dan segala perlengkapannya, dan juga lain-lain lagi.Hari ini Naura mengajak Alfa pergi berbelanja baju bayi. Mereka mengunjungi baby shop terbesar agar mereka leluasa untuk memilih segala kebutuhan bayi mereka.Oh ya, Alfa dan Naura sengaja tidak ingin mengetahui terlebih dahulu apakah bayinya perempuan atau laki-laki meski dokter bisa saja memberitahu mereka. Mereka sengaja ingin menjadikan itu sebagai sebuah kejutan bagi mereka.Karena mereka belum tahu apakah anak mereka perempuan atau laki-laki, maka mereka berbelanja barang-barang yang netral saja, yang sekiranya cocok dipakai bayi perempuan maupun laki-laki, seperti warnanya yang netral untuk perempuan atau laki-laki, seperti warna biru, putih, atau k
Hari ini Naura pergi ke kantor suaminya. Ia merasa bosan harus berada di rumah sebesar itu sendirian.Para karyawan mengangguk sopan menyapa Naura—Bu boss.Naura membuka pintu ruangan Alfa dan ia melihat Alfa dan Vano terngah saling berdekatan, sangat dekat. Bahkan wajah mereka hampir saling menempel."Kalian lagi ngapain?" tanya Naura memasuki ruangan. Alfa dan Vano langsung menoleh bersamaan dan Vano pun bergerak menjauh."Kok kalian deket-deketan gitu? Kalian nggak belok kan?" tanya Naura lagi."Sialan! Aku masih sangat normal, tahu!" semprot Vano kesal karena dituduh hal yang tidak masuk akal."Ssttt ... nggak boleh ngomong kasar sama ibu hamil," kata Naura berlagak jadi wanita lembut.Vano mendengus kesal lalu duduk di kursinya. "Nggak lagi hamil, lagi hamil, tetep aja nyebelinnya nggak hilang-hilang," cibir Vano."Semoga aja nanti abis lahiran nyebelinnya tambah ya, Van," ucap Naura asal."Bodo amat dah, suka
"Ambil nasi goreng itu dan kasih gue uang satu juta," kata gadis itu dengan tersenyum miring.Alfa mendelik tajam. "Kamu memeras saya?""Nggak. Itu sih terserah lo aja. Kalau nggak mau ya udah sini balikin masi goreng gue. Lo lebih sayang uang satu juta lo atau istri lo?" kata gadis itu enteng dan terdengar meremehkan.Alfa ingin sekali meneriaki gadis itu, tapi dia teringat nasehat ibunya. 'Jaga sikapmu di luar sana. Ingatlah istrimu tengah mengandung.' Mengingat itu Alfa langsung mengurungkan niatnya.Alfa berpikir, apa sebaiknya dia membayar uang satu juta untuk nasi goreng itu?"Cepat putuskan. Gue nggak suka makan masi goreng yang udah dingin!" seru gadis itu mengagetkan Alfa dan membuyarkan lamunannya."Baiklah, saya beli nasi gorengmu seharga satu juta. Ini," kata Alfa pada akhirnya.Sambil terkekeh penuh kemenangan gadis itu menerima uang satu juta dari tangan Alfa."Senang bertransaksi sama lo," ucap gadis itu dan kemu
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Usia kehamilan Naura sudah empat bulan. Keluarganya baru saja mengadakan upacara empat bulanan kehamilan Naura.Oh ya, Vano dan Safira juga sudah menikah. Mereka tinggal di rumah Vano bersama orang tua Vano—Danti dan Yoga.Perut Naura sudah mulai nampak menonjol. Karena usia kandungannya yang sudah ssmakin bertambah, kekonyolan Naura juga semakin berkurang. Maksudnya, kini Naura sudah jarang meminta hal-hal yang aneh-aneh. Yaaa ... tidak bisa hilang sepenuhnya, hanya kadang-kadang saja tapi Alfa sudah cukup bernapas lega karena dia bisa lebih fokus mengurus pekerjaannya sekarang."Sayang, pada usia empat bulan kandungan, Allah menurunkan nyawa pada janin di dalam perut. Sekarang anak ini telah bernyawa," ujar Nalin sambil mengusap lembut perut Naura."Kalian ajaklah dia berkomunikasi. Dia ada di dalam perut tapi dia bisa mendengar apa yang orang tuanya bicarakan. Lakukan hal-hal baik dan ajaklah dia mendenga
Meskipun merasa lega karena bapak botak itu nerbaik hati mengizinkan Alfa menyentuh kepalanya dan juga tidak mengecewakan Naura, tetapi tetap saja Alfa menanggung malu.Bahkan Alfa cepat-cepat pergi ke kasir sebelum menyelesaikan belanjanya.Bayangkan, seorang CEO Dynamite yang terkenal arogan kini melakukan hal memalukan seperti itu. Alfa beberapa kali menghela napas kasar dan juga merapalkan mantra semoga Naura tidak akan lagi memintanya melakukan hal aneh-aneh lagi.Alfa mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia ingin segera sampai di rumah dan dia ingin menghukum istrinya.Sampai di rumah Alfa menggendong Naura masuk ke dalam rumahnya tanpa mempedulikan belanjaan yang baru saja mereka beli."Alfa, apa yang kamu lakukan? Turunkan aku dan ambil belanjaannya. Aku mau masak, Alfa," kata Naura merajuk."Diamlah. Aku sedang marah sekarang," kata Alfa dengan ekspresi datar."Ma-marah?" lirih Naura terbata."Ya, aku marah. K
Hari ini adalah peata pernikahan Eza dan Sherly. Alfa, Naura, Safira dan Vano datang.Disana Naura banyak bertemu teman lama karena teman-teman Eza adalah teman-teman Naura juga di tempat kerjanya yang lama.Termasuk Adam yant waktu itu pernah dibahas oleh Eza dan Naura saat mereka masih bersama."Heyyooo ... sombing sekali sekarang kamu, Ra, nggak pernah mau main-main ke kantor," celetuk Adam."Adam, mana mungkin aku main-main ke kantor. Aku udah bukan apa-apa lagi disana. Kecuali kalau itu perusahaan nenek moyangku," balas Naura."Nenek moyang kita kan sama, Ra. Sama juga sama nenek moyangnya pak boss. Sama-sama seorang pelaut. Kan ada tuh lagunya, nenek moyangku seorang pelaut ...." ujar Adam diakhiri dengan nyanyian pendek.Alfa terkekeh pelan. Adam pun menoleh."Hei, Naura, suamimu tertawa," celetuk Adam. Naura jadi ikut tertawa."Hei, Bro, salam kenal, aku temannya Naura," sapa Adam menyapa Alfa."Ya, salam kenal.