Setelah tiga hari di rawat, akhirnya Rachel di izinkan untuk pulang. Namun, dokter memperingatkan agar tetap menjaga kesehatannya. Awalnya Rachel hanya ingin mengambil cuti, tapi setelah perdebatan dengan Nathan, akhirnya Rachel setuju untuk berhenti bekerja.
Sepertinya itu memang jalan terbaik untuk saat ini. Rachel juga tidak ingin hari-harinya bekerja kemudian hari menjadi tidak nyaman karena rekan-rekan kerjanya pasti akan bertanya tentang kehamilannya. Tentu perutnya semakin hari akan semakin membesar.
"Kau sudah mengambil keputusan yang benar. Sekarang dia akan menjaga dan menanggung semua biaya hidupmu. Untuk apa lagi kau bekerja banting tulang di perusahaan ayahku. Aku juga akan bebas mulai sekarang." Ucap Bella pada Rachel sambil membantu mengemasi barang-barang Rachel yang akan di bawa pulang.
"Apakah itu berarti, selama ini Momy adalah beban bagi Aunty?" Key yang mendengar kata-kata Bella, langsung menimpalinya.
"Owh no, Baby!" Bantah Bella
Saat semuanya sudah bersiap untuk meninggalkan kamar rawat inap ini, Arnold datang mengagetkan Nathan. "Arnold? Bagaimana kau bisa ada disini? Bukan kah kau bekerja untuk ayah Celline?" Nathan tentu saja merasa heran. "Itu dulu. Sekarang aku tidak mau lagi berurusan dengan keluarga itu. Aku bertugas disini sekarang. Dan ini, hasil pemeriksaan akhirmu, Rachel!" Ucapnya menyodorkan berkas dalam map coklat. "Terima kasih, Arnold. Ops, apa aku harus memanggilmu Dokter Arnold mulai sekarang?" Tanya Rachel bercanda. "Haha... jangan terlalu formal padaku. Atau nanti aku yang akan menanggung akibatnya. Kau tau sendiri bagaimana kepribadian Tuan Muda kita ini." Arnold melirik pada Nathan, yang langsung saja mendapat tatapan tajam dari Nathan. "Kau benar! Dia hanya akan melunak dan menjadi seperti pria idiot jika bersama Rachel. Saat dengan orang lain, dia akan memasang wajah mematikannya itu." Timpal Bella tak mau kalah. Roy yang mendengar perk
"Benarkah? Jangan main-main denganku. Aku bisa memotong lidahmu itu." Teriak Celline pada seorang wanita yang bekerja di Rumah Sakit tempat dimana Arnold kini bekerja. "Be-Benar, Nona. Aku berani bersumpah. Ini copy-an hasil pemeriksaannya." Jawab wanita itu sambil menyerahkan dua lembar kertas putih pada Celline. Jelas terlihat perawat itu gemetar karena takut. Sejujurnya Celline sangat penasaran apa yang terjadi pada Rachel hari itu. Kenapa ia keluar dari Rumah Sakit dengan wajah pucat dan di kawal oleh beberapa orang. Jadi di sini lah Celline sekarang berada. Di sebuah ruangan Rumah Sakit itu dan dia menyuap seorang perawat untuk dapat membocorkan beberapa informasi pribadi dan rahasia milik pasien. Yang harusnya dia jaga kerahasiaannya, apapun keadaan dan situasinya. "Baik lah, kau boleh pergi sekarang." Perintahnya pada perawat itu. Celline membaca setiap informasi yang tertulis di kertas putih itu. Banyak kejutan yang dia dapatkan dari secarik k
"Apa maksudmu Jihan? Apakah dia sendiri? Apakah Key bersamanya?" Tanya Nathan dengan panik saar menerima panggilan dari Arnold. "Aku tidak melihat siapa pun di sana selain dirinya dan sepeda motornya. Kau, hubungi lah Rachel segera. Pasti terjadi sesuatu tadi pada gadis ini. Kelihatannya dia hanya syok." Jelas Arnold lagi, dan sebelum memberi jawaban, Nathan sudah mematikan panggilan itu. "Dasar, Mr Arogant ini." Kesalnya lagi. Sesampai di Rumah Sakit, Arnold membawa Jihan masuk ruanh UGD. Memasang infus dan selang oksigen. Dia memberikan satu suntikan untuk penguat daya tahan tubuh. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Sambil menunggu Jihan sadar. "Apa? Apa maksudmu? Key tidak ada bersama Jihan? Dimana Key? Dimana putriku?" Teriak Rachel histeris saat mendengar kabar dari Nathan. "Tenang lah, aku akan segera kesana. Tunggu aku, okey?" Nathan berusaha membuatnya tenang. Tapi tidak ada jawaban.Nathan mematikan telepon lalu segera menuju ke
Nathan mengacak-acak rambutnya. Dia sudah menyuruh Roy menyelidiki kejadian ini. Dan sampai saat ini belum ada kabar dari Roy. Roy takut saat nanti Rachel bangun, dia akan kembali histeris jika tetap belum ada kabar tentang keberadaan Keynara. "Tadi, saat kami dalam perjalanan pulang..." Jihan mulai menceritakan semua kejadian yang dia alami sebelum tak sadarkan diri. " Hanya itu yang bisa aku ingat." Ucapnya setelah selesai menceritakan kejadian penculikan itu. "Tentu saja, karena setelah itu kau pingsan." Sambung Arnold. Membuat Jihan agak tersentak dari lamunannya tentang kejadian yang begitu singkat itu. "Tapi, Key sama sekali tidak terlihat panik. Dia hanya diam dan tidak memberontak atau memberikan perlawanan sedikit pun." Ucap Jihan lagi dengan perasaan heran. "Itu adalah salah satu strategi bertahan. Ternyata anak itu sangat cerdik. Hah, tentu saja. Darahmu mengalir dalam darahnya." Seru Arnold pada Nathan. "Apa maksudmu?" Tanya
Sementara itu, saat ini di gedung tua tempat Key di sekap. "Paman, kenapa paman gendut itu belum datang?" Tanya Key pada pria bermata satu. "Dia pergi membeli makan malam untukmu." Jawabnya dengan tetap memainkan ponselnya. Ia sedang menunggu kabar dari Dokter tempat Ibunya di rawat. "Kenapa rasanya lama sekali? Jam berapa saat ini?" Tanyanya lagi. "Jam setengah enam sore. Kau pikir kita ada dimana saat ini? Ini jauh dari kota, tentu saja dia belum kembali. Tiga puluh menit lagi pasti dia datang." Ucapnya tanpa sadar, telah memberi petunjuk tentang lokasi mereka saat ini. "Tapi aku sangat lapar, dari siang tadi aku belum makan apa-apa." Keluh Key. Bagaimana pun juga dia hanya.lah anak kecil. "Apakah kau mau sepotong roti ini?" Tiba-tiba pria bertato mengeluarkan sebungkus roti dari balik jaketnya. "Emm.." Jawab Key dengan anggukan, dan segera mengambil roti yang di sodorkan pria bertato. "Terima kasih, Paman
Malam itu, setelah menghabiskan jatah makannya. Key tertidur. Mungkin karena ia sudah lelah seharian ini terikat dan berdebat dengan para penculik. Key tertidur dengan posisi duduk dan tangsn terikat di atas pegangan kursi. Dia hanya mendapat kebebasan sebentar, saat makan tadi. Dua pria bawahan si gendut menjaganya dengan sangat baik. Sementara pria gendut itu sudah tertidur pulas pula di sebuah kursi busa yang sudah hancur di sudut ruangan itu. Pria gendut mendengkur dengan sangat keras. Sehingga membangunkan Key di pertengahan malam. Saat ini, pukul menunjukkan jam dua malam. Key terbangun. Awalnya dia terbangun karena merasa terganggu oleh suara dengkuran si pria gendut. Namun, tiba-tiba dia juga merasa ingin buang air kecil. "Paman, aku ingin buang air kecil. Apa kau bisa melepaskan ikatanku ini?" Tanya Key pada pria bermata satu, yang sedang berjuang menahan rasa kantuknya. "Benarkah? Apa kau tidak akan mencoba untuk kabur?" Pria itu jelas ragu
Pria gendut sudah berdiri tepat di depannya, mengambil ponsel dari tangan Key. Lalu mulai berbicara pada Rachel. "Kau sudah mendengar bukan? Anakmu baik-baik saja di sini. Kami merawatnya dengan sangat baik." Ucap pria gendut. "Tolong... Tolong jangan sakiti putriku. Aku akan melakukan apa pun. Tolong, kembalikan dia padaku." Rachel memohon dan mulai terisak. "Tenang lah Nyonya. Dia pasti akan kembali dalam pelukanmu. Tapi.." Dia sengaja menggantung kata-katanya. "Ta-tapi apa? Katakan padaku!" Desak Rachel tak sabar. "Siapkan uang 10 Miliyar, dan besok pagi aku akan mengirim alamat tempat pertukarannya dengan putrimu." Jawabnya dengan enteng. "Se-sepuluh Milyar? Apa kau gila? Darimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam hitungan jam? Apa kau sengaja mempermainkanku?" "Hahaha... Ayah gadis ini adalah orang yang sangat kaya. Uang segitu tidak ada artinya bagi dia. Suruh dia menyiapkan secepatnya, dan jangan coba-coba lap
Di dalam rumahnya, Rachel sama sekali tak bisa tidur setelah menerima kabar dari Key. Ia terus menerus menangis. Jihan yang menemaninya juga tak kuasa menahan tangis. Bagaimana pun juga, ia telah membantu merawat Key sejak baru lahir. Terlebih kejadian penculikan itu terjadi di depan mata kepalanya sendiri. Ia juga sangat merutuki dirinya sendiri yang tak bisa berbuat apa-apa saat itu. Sementara itu Nathan juga ada di sana. Ia saat ini duduk di ruang tamu rumah Rachel, bersama Roy dan seorang yang ahli melacak gps ponsel. "Apakah kau sudah berhasil menemukan lokasi itu? Aku yakin putriku sengaja menelpon untuk mengirim sinyal gps itu padaku." Kata Nathan dengan penuh keyakinan. "Ya, ini sedikit lagi berhasil mencapai titik lokasi. Bersabar lah. Sepertinya ini sangat jauh dari keramaian. Aku rasa, ini berada di sebuah tempat yang di tinggalkan. Jauh dari pemukiman penduduk. Karena sinyal ini telah melewati hutan dan perkebunan sepanjang tujuh kilometer." Teran
Nathan telah selesai menghidangkan sarapan, yang mungkin lebih tepatnya ini makan siang. Karena, jarum jam sudah di angka sebelas. Rachel turun ke ruang makan, setelah selesai membersihkan diri dan berdandan dengan cantik dan rapi. Aroma tubuhnya membuat Nathan yang sedang asik membuatkan jus stroberi melirik dan tersenyum. Rachel mendatangi Nathan, dan memeluk tubuh kokoh itu dari belakang. "Terima Kasih, Sayang. Kau selalu menuruti apa kataku. Haruskah aku merasa bersalah karena sudah memintamu sibuk di dapur seperti ini?" Ucap Rachel sungguh-sungguh. "Tidak masalah, Sayang. Selagi aku mampu, akan kulakukan semuanya untukmu. Bahkan, jika aku sanggup akan kupindahkan Gunung Fuji ke depan mansion ini." Sahut Nathan dan membalikkan badan. "Konyol. Bagaimana itu bisa? Jangan membodohiku." Ucap Rachel menjewer telinga Nathan. "Aaaa... Sayang, kau ini laki-laki atau perempuan? Kenapa kau selalu menyiksa suamimu yang polos ini?" Nathan berdrama ria.
Setelah melewati malam pengantin yang penuh gairah, pagi ini Nathan masih memandang wajah Rachel yang masih tidur dengan nyenyak. Rachel memimpin permainan dengan sangat agresif dan liar. Nathan tidak pernah melihat Rachel menjadi wanita yang seperti itu selama hidupnya. Tentu saja saat ini dia lelah dan butuh waktu tidur tambahan. Mengingat, mereka melakukannya berulang-ulang kali semalam suntuk. "Kau sangat cantik, bahkan saat sedang tidur tanpa busana sekali pun, Sayang." Nathan bermonolg. Nathan sudah bangun lebih dari dua jam, namun ia tak berniat turun dari ranjang. Karena Rachel tidur dengan tangan mengalung pada tubuhnya. Nathan takut gerakannya akan membangunkan Rachel. Sebesar itu lah cinta yang Nathan punya untuk Rachel. Nathan kembali mengingat dan membayangkan tahun demi tahun yang telah wanita dalam pelukannya ini lalui tanpa dirinya. Sendiri membawa anak dalam kandungan, sendiri berjuang di ruang bersalin, sendiri bekerja keras banting tu
Mereka saling menatap dalam waktu lama. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya, Nathan dengan lembut mencumbu bibir Rachel. Cumbuan itu langsung dibalas oleh Rachel. Mereka saling melepaskan gairah melalui ciuman. Pemanasan yang cukup bagus. Mengingat, sudah lama mereka tidak melakukannya. Tangan Nathan mulai menjelajah bagian atas tubuh Rachel. Gaun yang seksi itu, memperlihatkan sedikit belahan dadanya. Tangan Nathan bermain disana, tanpa melepaskan lumatan bibirnya. Nathan mengelusnya dengan pelan, sehingga membuat deru napas Rachel tak beraturan. Dadanya naik turun, mengikuti permainan lidah Nathan dan tangannya yang semakin liar menyapu dada montok itu. "Hmmpp.." desahnya di sela-sela ciuman yang menggairahkan itu. "Mendesah lah dengan keras malam ini, sayang. Tidak akan ada yang mendengarnya selain aku." Ucap Nathan seraya berbaring di sebelah Rachel. Lalu ia memiringkan tubuh Rachel, agar bisa lebih leluasa
"Kenapa kau memanggilku dengan sebutan Tuan? Bukan kah sekarang, aku adalah Mertuamu?" Willy protes. "I-itu.. boleh kah aku memanggilmu Ayah Mertua?" Nathan bertanya dengan ragu. "Tentu saja. Aku Ayah mertuamu mulai saat ini." Willy menepuk bahu Nathan lambat. Frans dan Jeny sangat bersyukur, akhirnya Nathan mendapatkan kebahagiaan yang benar-benar dia harapkan sejak dulu. Jeny menyesal pernah menentangnya. Ternyata menantu yang sangat ia harapkan tak lebih dari wanita berhati iblis. "Nathan, Rachel, Mami dan Papi akan pulang sekarang. Lain kali kami akan berkunjung kembali, atau kalian bisa datang kapan pun ke rumah tua." Ucap Jeny ingin segera memberikan waktu untuk pengantin baru ini. "Mami benar, kami harus segera pergi. Karena kalian harus berusaha keras memberikan kami cucu kedua mulai sekarang." Frans pum tertawa dan beranjak dari kursinya. "Key, ayo ikut Nenek. Biarkan Momy dan Papi berdua saja beberapa hari ini." Ucap Je
Setelah pesta usai, kini hanya tinggal keluarga besar Nathan dan Rachel yang berada di mansion itu. Mereka duduk di satu meja bundar yang besar. Key terlihat sangat akrab duduk di pangkuan Willy. "Jadi, ketika kau baru saja lahir dlu, aku sengaja menitipkanmu pada kaki tangan kepercayaanku. Nana, Ibumu itu awalnya sangat menentang keputusanku. Tapi, setelah ia tau alasannya terpaksa dia menerima keadaan. Harus hidup layaknya sebagai suami isteri dengan Danu, yang notabane-nya adalah pengawal kami dulu." Willy membuka suara saat keadaan telah lama hening. "Apa alasanmu melakukan semua itu? Jadi, Ibu dan Ayahku..maksudku Danu itu tidak memiliki hubungan apa pun selama hidupnya?" Rachel tentu saja memiliki banyak pertanyaan untuk menanti penjelasan dari Nathan. "Ibumu rela melakukan semua itu, demi dirimu. Agar kau tidak kehilangan sosok ayah dalam hidupmu. Aku tidak berdaya saat itu. Aku dulu terlibat dalam satu gank mafia, jika lawan mengetahui keberadaan iste
"Apa maksudmu, Pak Tua? Siapa yang kau sebut sebagai putrimu? Katakan dengan jelas, dan jangan berbelit-belit." Tuntut Rachel tak sabar. "Kau... Putriku satu-satunya." Jawab Pak Tua itu. "Berikan aku bukti, agar aku bisa percaya." Pinta Rachel lagi. Rachel tidak terlalu terkejut, karena ia mengingat pesan dari mendiang neneknya. Sebelum meninggal, neneknya sempat berkata bahwa ayah kandung Rachel sebenarnya masih hidup. Apa pun alasannya meninggalkan Rachel, jangan pernah membencinya. Karena ia melakukan semua itu demi keselamatan hidup Rachel. Sebab itu Rachel bisa bersikap tetap tenang saat ini. "Siapa nama belakangmu?" Tanya Pak Tua itu. "Willona." Jawab Rachel. "Apa kau tau siapa namaku?" Tanya Pak Tua itu lagi. "Tidak, aku tidak pernah tau siapa namamu." Jawab Rachel. Pak Tua itu menyerahkan sebuah dokumen bukti kelahiran Rachel. Tertulis nama ayah kandung, Willy Horizon yang sama sekali bukan nama ayah yang membes
Setelah delapan tahu berlalu, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu oleh Rachel dan Nathan sudah ada didepan mata. Saat ini keduanta tengah bersiap di kamar rias masing-masing. Mereka memilih mengadakan pernikahan di mansion mewah itu. Dengan bujuk rayu Rachel, tentu saja Nathan merelakan mansion itu di datangi ratusan umat Para rekan bisnis hadir semua. Bahkan tak sedikit dari mereka yang jauh-jauh datang dari luar negeri. Karena ingin menyaksikan langsung pernikahan mewah yang akan di gelar oleh keluarga Darke. Mungkin, lebih tepatnya oleh Nathan. Meski sebelumnya Nathan pernah menikah dengan Celline, namun tidak banyak orang yang tau dan menghadiri pernikahan tersebut. "Sayang, apa kau sudah siap?" Tanya Nathan saat membuka pintu kamar tempat Rachel dan Key sedang di make over. "Hampir selesai, hanya tinggal memakai sepatu kacaku." Jawab Rachel sambil berdiri. Rachel terlihat sangat cantik meski hanya dibalut gaun putih sederhana
Waktu terlalu cepat berlalu. Tak terasa, besok adalah hari pernikahan Nathan dan Rachel. Saat ini Rachel hanya duduk di atas ranjang kamarnya. Ada Bella dan Key juga bersamanya. Sementara Jihan tengah sibuk membuatkan persiapan makan siang untuk menjamu orang tua Nathan yang akan datang ke mansion ini untuk pertama kalinya. "Aku sungguh tidak pernah menyangka, bahwa akhirnya hari bahagia ini datang juga dalam hidupku." Ucap Rachel dengan mata berkaca-kaca. Bella menatap sahabatnya dengan sendu. Dia tau, tidak mudah bagi Rachel untuk akhirnya sampai di titik ini. Dia bahkan melewati berbagai tindakan kriminal belum lama ini, kekerasan dan ancaman tak luput dari hari-harinya bersama Key. Melihat Rachel berjuang dan bertahan sejauh itu, hati Bella seakan ikut merasakan sakit. Saat ini, hari bahagia yang telah tertunda selama delapan tahun akhirnya akan tiba. Bella adalah orang pertama yang bersorak bahagia mendengar kabar ini. Dialah saksi perjuangan cinta Rache
Hari ini Rachel sudah kembali sehat dan bugar. Setelah dua hari dia tak pernah meninggalkan kamarnya. Pagi ini Rachel sangat sibuk menyiapkan diri. Nathan yang sudah menunggu lebih dari satu jam tidak sabar lagi dan mencoba bertanya. "Sayang, sebenarnya apa yang ingin kau pakai? Dari tadi kau hanya memegang semua pakaian itu tanpa mencobanya langsung." "Aku bingung, harus memakai pakaian yang mana. Aku ingin terlihat sebagai wanita yang cantik dan elegant di depan orang tuamu. Tapi aku juga harus memakai pakaian yang sopan." Rachel menjelaskan kegundahan hati yang sejak tadi menderanya. "Sayang... Apa pun yang kau kenakan, kau selalu terlihat canti dan berkelas." Nathan memegang kedua sisi bahu Rachel. "Semua laki-laki akan berkata seperti itu, karena mereka malas menunggu wanitanya berdandan." Rengut Rachel, lalu kembali dengan aktifitas pilih memilih pakaiannya. "Honey.. percaya lah padaku. Aku rela menunggumu berjam-jam asal kau tau.