Galuh memberikan senyum manisnya pada Jauza. Jauza pun membalas hal yang serupa. Meski keduanya saling mengenal tapi tidak terlalu akrab. Tentu saja karena ada batas bernama kedudukan. Jauza meski bukan Ning tapi masih kerabat dekat keluarga Kyai Baihaki. Sementara Galuh? Sudah jelas dia siapa.
"Mbak Galuh apa kabar?" tanya Jauza mencoba beramah-tamah."Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak Jauza bagaimana kabarnya?" "Saya juga baik."Hening. Keduanya sama-sama diam lagi."Budhe dimana ya, Mbak?""Umi sedang menyimak hapalan, Mbak.""Oh, iya juga ya."Lagi-lagi keduanya terdiam. Galuh segan untuk memulai obrolan sementara Jauza bingung mau membawa Galuh pada tema obrolan apa."Loh Jau, masih di sini? Belum ketemu sama Mbak Khomsah?"Sebuah suara memecah keheningan. Tampaklah Bu Nyai Latifah yang datang, baik Galuh dan Jauza langsung menyalami Bu Nyai Latifah.“Belum Budhe.”“Lah kasihan tahu gini nunggu di tempat Budhe aja, ngobrol sama budhe. Alwi juga di rumah.”“Jauza ditemeni Mbak Galuh kok Budhe?”Bu Nyai Latifah menoleh ke arah Galuh."Kamu yang nemeni Jauza, Luh?""Nggih Bu Nyai, Umi masih nyimak hapalan.""Oh ya ya ya."Bu Nyai Latifah kembali mengajak Jauza mengobrol. Diantara tema obrolan, Bu Nyai Latifah beberapa kali memuji Jauza yang berhasil lulus cumlaude untuk program PAI-nya. Bu Nyai Latifah juga menyinggung-nyinggung jika Jauza menjuarai Qiro'ah tingkat Kebumen dan Provinsi Jawa Tengah. Dan masih banyak lagi pujian yang dilontarkan Bu Nyai Latifah.Galuh tetap menunduk sambil menahan senyumnya agar tak terkembang. Dan terutama agar mulutnya tidak sampai keceplosan. Soalnya Galuh tak tahan buat ghibah si mulut nyinyir.“Ini loh Luh, ponakanku hebat banget. Selalu dapat beasiswa, calon berbobot yo? Tinggal dipinang aja.”“Nggih Bu Nyai.” “Wah, pasti banyak bu nyai yang kesengsem sama kamu, Jau. Dan para gus juga. Mosok nolak wanita secantik kamu.” Wajah Bu Nyai Latifah begitu semringah membuat Jauza menunduk malu. Dalam hati dia mengaminkan ucapan budhenya.‘Moga-moga, Mas Alwi juga suka sama Jau, Budhe,' batinnya bermonolog.Tak jauh berbeda dengan Jauza, Galuh juga sedang bermonolog dalam hati.‘Kan kan kan, muji-muji secara gak kentara. Pasti deh mau nyerang mentalku yang hanya bisa sekolah di UT, dan lulusnya gak pake wisuda-wisudaan, cuma foto doang pakai kamera ponsel sama Umi dan Abah. Pasti kan mau bangga-banggain kalau calon menantu idaman, lulusan kampus bergengsi, banyak prestasi. Terserahlah Bu Nyai, Allah mah gak tidur. Asal besok-besok jangan Bu Nyai sendiri yang hancur lebur. Aku mah apa atuh, cuma anak angkat yang dianggap gak sederajat sama Anda. Tapi sorry, ya Bu Nyai, saya gak akan hancur gara-gara provokasinya situ. Hidupku terlalu berharga buat mengurusi kenyinyiran Anda. Lagian meski anak Anda ganteng, tapi Omar Daniel lebih ganteng dan terkenal. Kaya lagi. Jadi gak usah sok sesumbar anaknya Bu Nyai paling top markotop sementara bensin saja masih minta sama njenengan dan Anda selalu minta jatah bulanan sama Abah Baihaki, dih!’Galuh terus mengghibah dalam hati. Sebenarnya dia malas berada dalam satu ruangan bersama Bu Nyai Latifah, tapi apa daya, para mbak senior tidak ada yang mau menemani termasuk sahabatnya Ratna yang justru langsung kabur setelah membuatkan minuman untuk Jauza.Sebelum kabur dia berbisik, “Ada Mbak Jauza, bentar lagi ada Madam Ghandari, bye bye.”Secepat kelajuan kereta MRT, Ratna dan dua mbak khadamah senior langsung ngacir meninggalkan secangkir teh manis beserta dua toples cemilan dia atas baki. Galuh hanya bisa pasrah dan mau tak mau harus menghidangkan minuman dan menemani Jauza. Dan benar saja, tidak sampai lima belas menit, sosok Madam Ghandari adiknya Sengkuni sudah hadir dan kini masih asik bercerita dengan sang keponakan. Kedatangan Bu Nyai Khomsah, membuat suara Bu Nyai Latifah berhenti. Dia tersenyum pada kakak iparnya. Galuh sendiri merasa lega. Dia selamat. Galuh segera menyalami Bu Nyai Khomsah dan pamit akan kembali ke pondok karena tinggal jadwalnya mengisi kajian. Dengan cara ngesot yaitu bertumpu pada kedua lutut, Galuh meninggalkan ruang tengah melalui pintu samping rumah. Sampai di luar, dan sudah cukup jauh dari kawasan ndalem, Galuh terlihat menghembuskan napas lega. Dan setelahnya dia mendengar suara tawa membahana dari radius lima meter dari posisi dia berdiri. Galuh menoleh dan dia mencebik. “Seneng banget bikin aku sengsara di sana ya? Benar-benar gak setia kawan.” “Hahaha, dan harus mati kutu di hadapan Madam Gandhari? Makasih,” celetuk Ratna.“Udah yuk pulang, lagian kita masih setia kawan loh, nungguin kamu di sini.”Mau tak mau Galuh tersenyum, dia mengucapkan terima kasih dengan tulus. Empat orang pun segera berlalu menuju ke pondok. Sesekali mereka bercerita dan kadang ada tawa.“Aku penasaran siapa orang yang pertama kali menjuluki Bu Nyai Latifah dengan julukan itu,” ucap Galuh.“Madam Gandhari?” ceplos Rumaisha, salah satu sahabat Galuh juga.“Iya.” “Karena dia mirip Sengkuni mungkin. Dan adiknya kan perempuan bernama Gandhari. Hahaha.”Galuh hanya terkekeh, sementara ketiga sahabatnya kembali mengghibah Madam Gandhari. *** Di tempat lain, tepatnya di sebuah sudut kota Kairo, seorang lelaki tampak baru saja keluar dari ruang dosen. Dia bernama Muhammad Alfarraz Baihaki, putra pertama dari Kyai Baihaki dan Bu Nyai Khomsah.“Alfa, selamat, ane ikut senang, gimana? Lanjut?” Salah satu teman Alfa bernama Ikhlas bertanya.“Alhamdulillah, doakan satu minggu lagi sidang.” “Masya Allah, keren. Semoga dipermudah ya akhi.”“Doa yang sama untukmu saudaraku.” Keduanya berangkulan lalu Alfa mengajak sahabatnya untuk makan. Di sana mereka juga berjumpa dengan banyak mahasiswa asal Indonesia yang rata-rata mereka kenal juga karena memang ada persatuan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Kairo. Dan mereka sering menyelenggarakan pertemuan-pertemuan demi memupuk kekeluargaan dan solidaritas. “Fa, habis ujian selesai, terus wisuda, Ente pulang?” “Iya, ane udah janji sama Abah, selesai S3 ane pulang, terus membantu Abah sama Umi.”“Nah, bagusnya Ente bawain sekalian lah calon bini.”Alfa tertawa. Dia tak menjawab karena masalah mencari pasangan belum dia pikirkan, fokusnya adalah studi, karir dan membantu orang tuanya. Lagian, Alfa belum menemukan sosok wanita yang sreg sesuai dengan kriteria istri idamannya.“Jangan pilih-pilih lah, ntar ketemunya malah yang di luar prediksi kamu.”Alfa hanya mengulas senyum tipis saja. Dia belum menjawab karena kedatangan pramusaji yang membawakan makanan pesanan Alfa dan Ikhlas. “Cewek yang kemarin kamu tolong, cantik. Sayang gak berjilbab.”“Yang mana?” “Ck, dasar Alfaruk! Matamu sekali-kali natap lawan jenis kenapa?” cibir Ikhlas. “Itu, siapa ya? Anaknya Pak Dubes.” “Oooo, Shadiqah?” “Yup. Cantik kan?” “Mungkin. Gak terlalu memperhatikan.”“Ya Allah, Alfaruk! Lah emangnya waktu itu matamu kemana?” “Sibuk benerin mesin mobil itu cewek,” jawab Alfa tanpa dosa.Ikhlas hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap sahabatnya yang selalu saja cool, cuek dan kurang respek sama cewek. Kurang respek dalam artian, Alfa adalah pribadi yang jika menatap seorang wanita walau secantik apa pun dengan mimik muka datar, masa bodoh dan ketika ditanya jawaban Alfa cuma ‘cantiknya biasa aja, cewek ya cantik, namanya cewek ya cantik, bidadari di surga lebih cantik-cantik’. Beruntung ikhlas bukan karakter ringan tangan sehingga saat gereget mendengar respon sang sahabat dia tidak sampai menggeplak kepala sahabatnya itu.“Au ah, ngomong wanita sama kamu mah gelap. Mending makan.” Ikhlas memilih makan, pun Alfa. Keduanya tidak langsung pulang setelah selesai makan. Namun memilih duduk-duduk dulu dan bercerita. Namun aksi keduanya terhenti saat ada sebuah suara yang memanggil nama Alfa. Baik Alfa dan Ikhlas menolehkan kepala. Tampaklah seorang wanita tinggi semampai dengan kaos hitam panjang, celana jeans biru dan rambut hitam tergerai panjang.“Hai Mas Alfa, ingat aku kan? Aku Shadiqah. Shadiqah Amara Munajat.” Wanita bernama Shadiqah tersenyum. Dia terlihat cantik sekali membuat jantung Alfa tiba-tiba berdenyut kencang. Senyum itu rupanya telah membangkitkan hasrat primitif di dalam diri Alfa, dan sepertinya inilah yang disebut cinta pertama.Alfa beristighfar, dia menunduk. Ikhlas yang melihat tingkah sahabatnya terkikik. Menurutnya sikap Alfa itu lucu, terlihat sekali sahabatnya itu sedang terpesona.“Mas Alfa kan? Yang kemarin nolong saya?” cecar Shadiqah.Alfa hanya mengangguk. Shadiqah kembali tersenyum, “Boleh Shadi duduk di sini?”“Boleh-boleh, silakan.” Ikhlas yang langsung mempersilahkan. Dia bahkan sengaja mengarahkan Shadiqah ke kursi yang paling dekat dengan Alfa. Shadiqah pun duduk agak berdekatan dengan Alfa membuat sang bujang sedikit menjauhkan kursinya agar tak terlalu dekat dengan non muhrim.“Udah pesen makan Mbak?” Ikhlas kembali bertanya.“Udah kok.”“Mau minum?”“Boleh.”Ikhlas memanggil pelayan, dan menanyakan kepada Shadiqah mau minum apa. Shadiqah menjawab mau minum jus jeruk saja. Shadiqah akhirnya menghabiskan waktu bersama Ikhlas dan Alfa. Terlihat percakapan didominasi oleh Shadiqah dan Ikhlas, Alfa lebih banyak menjadi pendengar. Dalam obrolan Shadiqah dan Ikhlas, Alfa jadi tahu jika Shadiqah
Galuh masih shock. Dia diam saja dalam posisi bak ala-ala aktris dan aktor Korea yang sedang melakoni drama romansa. Sayangnya antara Galuh dan Alfa bukannya terlibat dalam sebuah romansa, yang ada keduanya terikat pada realita ya realita. Terutama setelah kata-kata pedas dari sang pria, langsung menyadarkan Galuh untuk kembali menapak ke bumi jangan ke dunia mimpi apalagi halu."Kamu mau melakoni adegan macam ginian sampai kapan?" Suara Alfa terdengar sinis membuat Galuh meringis dan segera bangkit, melepaskan diri dari cekalan tangan Alfa."Hehehe, Gus." Galuh mencoba memberikan senyum seindah melati sewangi Kasturi. Sayang segala bentuk tindak tanduk Galuh tidak diapresiasi."Hehehe, ha he ha he, ceroboh! Kamu mau nambah usia berapa pun tetep ceroboh," sinis Alfa."Maaf, Gus."Galuh menunduk, sementara Alfa masuk ke dalam rumah. Baru tiga langkah, Alfa berbalik."Bawain koperku, tuh udah diturunin sama sopir grab," titah Alfa dengan suara ketus."Nggih, Gus.""Taruh depan kamar, ja
Galuh menerima hadiah dari Alfa dengan kikuk, sementara sang kakak angkat hanya memamerkan senyum tipisnya. Beruntung Alfa memiliki karakter cool, irit ngomong dan segala sifat yang dimiliki oleh kulkas dua pintu, sehingga menyamarkan ketidaksukaan Alfa pada Galuh. “Makasih, Gus,” ucap Galuh lirih. Dia menatap kerudung motif segi empat berwarna hijau toska pemberian sang kakak angkat. Ada keharuan yang menyelimuti hati Galuh. Meski sikap Alfa padanya memang bisa dikatakan kurang bersahabat, tapi kakak angkatnya memang selalu memberinya hadiah kemana pun dia berada. Dan bagi Galuh itu sudah cukup, dia tak akan meminta lebih. “Buatku mana Mas?” rajuk Alwi. Alfa menatap adik sepupunya, “Bukannya sudah tak kasih banyak?” “Kurang.” “Kamu gak minta aku beliin jilbab kayak Galuh kan?” “Astaghfirullah, ya gak gitu juga ngasih hadiahnya, Mas!” pekik Alwi sementara yang lain hanya tertawa mendengar celetukan Alfa yang lucu. Ya lucu karena saat mengatakannya, ekspresi muka Alfa adalah tanp
Galuh tak dapat menahan senyum lebarnya begitu acara yang dia ketua berakhir dengan begitu sangat meriah. Dia bahkan mendapat banyak ucapan selamat dari para Ustazah dan yang spesial dari Abah Baihaki dan Umi Khomsah.Alfa sendiri hanya diam saja, tak mengucap selamat atau apa pun. Alfa lebih memilih menyibukkan diri dengan ponselnya saat sang ibu mengajak Galuh bercengkrama di rumah. Bahkan dia pura-pura harus menelepon sahabatnya agar bisa meninggalkan ruang keluarga. Bukannya sedih, Galuh malah senang jika Alfa tak berada satu ruangan dengannya. Dia bisa lebih banyak berekspresi dan bisa ngobrol santai dengan ibu angkatnya. Obrolan yang lama kelamaan jadi makin serius karena Umi Khomsah memang mengajak Galuh bicara serius."Luh.""Nggih Umi.""Ada lamaran dari Kyai Basroni, kamu ...." Bu Nyai Khomsah diam. Ada mendung di wajahnya."Saya tahu Umi, istri beliau sudah matur ke saya. Tapi mohon maaf Umi, Galuh menolak permintaan beliau. Pantang bagi Galuh jadi yang kedua. Meski Galuh
Alfa menatap ponselnya dalam diam. Keningnya terlihat berkerut. Tampak sekali sedang berpikir keras. Alfa lalu menghembuskan napasnya dengan kasar. Ditaruhnya ponsel itu di atas nakas dekat ranjang lalu Alfa memilih rebahan. Sambil rebahan, tatapan mata Alfa tertuju pada langit-langit kamarnya. Suara kipas angin di dinding pun terdengar keras. Alfa berbalik, menutup matanya sebentar, membuka mata lagi dan berbalik lagi menatap langit kamar. Posisinya kembali terentang. Beberapa kali embusan napasnya terdengar berat bahkan terkesan lelah."Kenapa perasaanku kok kayak ada yang salah ya? Tapi apa?" gumamnya."Tau ah, gelap. Mending tidur!" Alfa memilih tidur siang. Siapa tahu habis tidur perasaannya jadi lebih baik. Sayangnya Alfa kembali membuka mata. Dia tak bisa tidur. "Ish! Kenapa susah sekali buat merem sih?"Alfa memilih berdiri. Kebiasaan di Kairo yang jarang tidur siang, kebablasan hingga di rumah. Alfa yang masih dalam tahap adaptasi kesulitan mencari aktivitas yang bisa membu
Alwi menatap Galuh dengan tatapan penuh pemujaan dari lantai dua MA An-Nur untuk siswa putra. Sementara yang dipandangi tidak sadar dan fokus dengan kegiatannya bersama anak-anak PMR. MA An-Nur memang dibagi menjadi dua kompleks berhadapan yang satu untuk santri putra sementara yang satu untuk santri putri. Pengelolaan ini ditujukan agar siswa dan siswi yang hampir sembilan puluh persen adalah santri, mampu menjaga pandangan dengan lawan jenis. Meski sudah diatur sedemikian rupa, tetap saja ada yang mbeler dan melakukan pertemuan dengan lawan jenis. Semua tergantung pribadi masing-masing. Alwi masih asik menatap wajah ayu gadis pujaan hatinya. Sejak dulu, sejak dia masih kecil, Alwi memang sudah menyukai Galuh. Gimana gak suka, Galuh itu paling berbeda. Wajah khas gadis Arab dengan hidung mancung, mata hitam bulat, alis lebat yang melengkung indah di atas kedua mata, serta kulit putihnya begitu kentara. Sangat membedakan dirinya dengan orang lain yang rata-rata berkulit sawo matang
Galuh kaget, mau ngerem juga percuma. Cara jalannya yang jauh dari kata putri Solo kini menjadi bumerang. Galuh sedang berjalan tergesa melewati lorong kelas dan saat berbelok dia kurang waspada. Bukannya memelankan kecepatan berjalan, malah Galuh main belok saja. Dan ternyata ada Alfa yang sedang berjalan dari arah lorong yang lain. Alfa juga terlihat tergesa. Jadilah keduanya sama-sama kaget, tidak bisa ngerem dan bruk! Tubuh keduanya jadi bertubrukan. Galuh hampir jatuh namun refleks dia mencengkeram koko kakak angkatnya. Alfa sendiri refleks menarik pinggang Galuh. Akibatnya tubuh keduanya saling membentur lagi namun kini jadi saling merapat. Karena Galuh berpegangan pada koko sang kakak angkat, sementara Alfa dengan sigap merangkap sang adik angkat dengan kedua lengan kokohnya.Galuh deg-degan. Pipinya merona. Alfa? Jangan tanya, wajah kakak angkatnya terlihat kesal. Wajah Alfa terlihat memerah menahan malu atau marah. Entah, Galuh tak tahu. Yang jelas, Galuh segera melepaskan t
Galuh tak menyangka dengan apa yang dilakukan oleh Alwi. Dia celingukan ke kanan dan ke kiri. Galuh menutup matanya sebentar lalu kembali menatap Alwi. Ternyata sosok yang dia harap hanya hayalan atau halusinasi memang dia. Galuh kesal. Tanpa peduli mau dikatain judes, Galuh berkata ketus pada Alwi. "Gus! Gus apa-apaan sih?" desis Galuh. Dia kembali melirik ke kiri dan kanan. "Lah, aku emangnya ngapain?" tanya Alwi balik. Bahkan sambil cengengesan. "Kenapa Gus Alwi bisa di sini?" "Terserah aku lah, duit juga duitku sendiri." "Memangnya njenengan gak ngajar?" "Ada ustaz piket, kok." Alwi lagi-lagi menjawab cuek.Galuh kembali menutup mata sebentar lalu beristighfar. Menghadapi Alwi memang butuh kesabaran dan kewarasan. Galuh memilih tak memperpanjang urusan. Meski dia yakin, kalau Alwi sengaja membuntutinya, tapi Galuh ta punya kuasa untuk menolak kehadiran Alwi. Galuh yakin, lelaki slengekan dan suka semaunya sendiri itu punya seribu satu macam alasan. Dan sayangnya diantara sem
"Apa kamu bilang? Buktinya sudah dihancurkan? Oleh siapa?" Habiba yang baru saja dilapori oleh anak buahnya terkejut, ketika diberitahu bahwa bukti foto dan video yang sudah didapatkan oleh anak buahnya, hilang. “Gak tahu, nyonya.” “Kenapa bisa gak tahu? Emangnya kamu gak lihat wajahnya?” “Mereka pake masker, Nyonya?.” “Apa?” “Iya Nyonya. Kejadiannya begitu cepat. Intinya begitu saya mendapatkan bukti, saya langsung pergi, biar gak ada yang curiga. Begitu sampai keluar dari pondok, saya dicegat, Nyonya. Badan mereka gede-gede.” “Terus?” "Mereka menghentikan saya. Saya mau kabur tadi dihadang oleh salah satu dari mereka. Yang lainnya meminta HP saya. Gak tak kasih. Malah saya dicekal, dipukuli dan semua yang saya foto dan rekam, mereka hapus. Bukan itu saja, ponsel saya direset semua. Gak ada apa-apa jadinya," terang Abdul. Orang suruhan Habiba yang dia tugasi memvideo perdebatan antara dirinya dan Anjani. Kejadian hari ini, memang sengaja dia lakukan untuk menjebak Anjani. Se
Anjani yang sedang sibuk menata tanaman di kebun pondok bersama beberapa santriwati kaget mendapati kedatangan Habiba. "Kamu!" "Ya ini aku." "Ada apa?" Habiba tak menjawab. Dia justru menarik paksa cadar yang dipakai oleh Anjani. Membuat wajahnya yang buruk terlihat oleh para santri. Mereka menjerit, Anjani mencoba menutupi dengan kerudungnya. Habiba tertawa puas. "Hahaha. Ternyata benar. Wajahmu jadi buruk rupa. Buruk sekali macam monster. Hai kalian semua. Lihat istri Kyai Kalian, dia jelek. Kayak monster. Hahaha. Lihat dia. Hahaha. Masa kalian mau punya Bu Nyai kayak dia?" teriak Habiba. Para santri menatap keduanya dengan bingung lalu berubah kaget saat cadar Anjani terbuka. Para santri memamerkan banyak ekspresi. Dari kaget, takut hingga ekspresi jijik ketika melihat wajah Anjani. Beberapa bahkan menjerit ketakutan dan mengatainya monster. "Hahaha. Lihat. Orang kayak gini jadi istri seorang Umar? Gak pantes. Gak pantes sosok begitu sempurna punya istri kayak dia. Gak pan
Galuh dan Alfa sedang duduk bersama dengan kerabat lain menikmati sarapan pagi. Ada beberapa menu khas wilayah Timur Tengah yang menjadi sajian di meja makan."Kenapa?" tanya Alfa melihat sang istri yang terlihat tidak terlalu bernapsu makannya."Hehehe." Galuh hanya tertawa dan kembali menyuapi Fairuz."Gak suka?""Gak sih, cuma ... gak terbiasa aja. Biasa lihatnya nasi, lalapan sama sambel terasi."Alfa terkekeh lalu kembali menyuapkan makanan ke mulut."Untung aku pernah bertahun-tahun di Kairo. Jadi gak kerasa aneh di lidah," bisik Alfa. "Aku yang merasa aneh, Mas. Sama Fay. Soalnya lidahnya sudah Jawa semua. Ini aja Fay mintanya telor dadar."Alfa terkekeh, Galuh juga."Nanti juga terbiasa.""Moga aja."Di sudut lain, tampak Anjani sedang meladeni suaminya dengan telaten. Pun dengan para istri dari Abu Hasan, Syafiq dan Syakib. Ulfa dan Amira dengan telaten menghidangkan sarapan untuk para suami. Bahkan keduanya makan dalam satu piring bersama suami masing-masing. Khodijah pun s
Yara sedang mengamati Galuh dengan intens, dia penasaran akan sosok sepupunya. Dan yang paling membuatnya penasaran adalah kenapa Galuh bisa menarik hati Alfa sementara dia yang juga punya wajah turunan Arab tidak bisa menarik hati Alfa.“Suami orang gak usah dilihat segitunya, Kak Yara. Ingat Kak Rafi loh," bisik Yesha sengaja menggoda sang kakak.“Apaain, sih. Cuma penasaran aja.”“Penasaran sih penasaran. Tapi jangan kelihatan banget, Kak.” Lagi, Yesha menggoda sang kakak.Yara sekali lagi meminta sang adik untuk tidak menggodanya. Kedua saudara masih asik beradu pendapat. Tanpa sengaja, tatapan mata keduanya bertubrukan dengan tatapan Galuh. Galuh mengulas senyum ramahnya dan dibalas oleh kedua bersaudara dengan sedikit kikuk.Lalu baik Yara dan Yesha memilih pura-pura membahas hal lainnya. Galuh yang sadar, dua bersaudara baru saja membicarakan dirinya dan Alfa memilih cuek. Semenjak kabur dari An-Nur, Galuh sudah bisa lebih berekspresi. Dia sudah tidak manutan dan minderan, poko
Alfa baru saja memarkirkan motornya lalu diikuti Zahra yang parkir di sebelah kirinya. Tak berapa lama, mobil yang dinaiki Faris CS juga sampai di halaman ndalem Pondok Pesantren Andalusia. Abu Yasin yang sejak kemarin diberitahu sang keponakan kalau dia akan pulang bersama anak, istri, menantu, cucu, keponakan serta iparnya tentu sudah menunggu sejak pagi. Syafiq dan Syakib juga ikut menunggu.Maka tak heran, begitu mendengar suara motor dan mobil di halaman, mereka segera keluar. Tampaklah di mata mereka, Faris dan yang lain sedang sibuk menuruni koper-koper sementara Alfa dan Galuh sedang sibuk membangunkan Fairuz.“Sudah sampai Abah, Umi?”“Sudah.”“Hoaam.”Fairuz menguap, Galuh terkekeh lalu segera membawa sang putri dalam gendongan. Sementara Alfa membantu mengambil koper.“Assalamu'alaikum, Ami!” teriak Faris.“Wa'alaikumsalam. Kamu sudah sampai, Umar?”“Iya, Ami. Lihat yang kubawa, ada istri, anak, menantu, cucu, keponakan sama kedua iparku," ucap Faris dengan raut wajah gembi
Alfa sedang menepuk-nepuk paha Fairuz dengan pelan. Lama-kelamaan putri angkatnya tertidur juga. Galuh yang baru keluar dari kamar mandi tersenyum. Dia pun mendekat ke arah ranjang."Sudah tidur?""Gak sampai lima menit, udah tidur dia." Alfa memberi tempat untuk sang istriGaluh pun merebahkan diri di tengah seperti biasa. Alfa segera memeluk sang istri, erat. Sesekali dia mengecup kening sang istri."Belum ada hasil ya? Gus Alwi masih belum nerima?""Iya."Galuh melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mungkin biarkan saja. Sama seperti Mas yang selalu cuek sama Bu Nyai Latifah, kini Mas Alfa juga kudu begitu sama Gus Alwi.""Entahlah. Mas merasa bersalah. Tapi di satu sisi, Mas juga bersyukur memiliki kamu.""Galuh juga, Mas. Galuh bersyukur suami Galuh itu kamu. Pas memutuskan pergi dari sini, dan yakin kalau Mas akan menikahi Mbak Shadi, Galuh sudah memutuskan mau hidup sendirian saja."“Gak mau nikah?”“Gak pengen.”“Karena suamimu bukan aku?”Galuh mengangguk, Alfa menge
"Kabarmu gimana, Wi?""Baik Pakdhe.""Alhamdulillah. Betah kamu di sana?""Ya dibetah-betahkan, Padhe.""Makanmu yang teratur ya? Jangan terlalu ngoyo. Kalau capek ya istirahat.""Kalau gak capek justru aku gak bisa tidur, Pakdhe. Banyak yang kupikirkan. Bahkan, sudah capek saja, aku gak bisa langsung tidur. Coba buat rebahan, terus peluk guling tetep gak bisa tidur. Beda sama Mas Alfa. Sekarang lah dia enak. Capek ada yang mijitin. Banyak pikiran ada yang nenangin. Ada yang meluk," sinis Alwi sambil melirik ke arah Alfa. Alfa yang sadar sedang disindir hanya bisa menghela napas.Kyai Baihaki tersenyum. Dia sadar keponakannya sedang dilanda kecemburuan yang besar serta kemarahan yang luar biasa. Sayang, dia tidak bisa meluapkan kekesalannya seperti biasa. Mungkin karena ada Kyai Baihaki. Coba gak ada, beliau yakin, keponakannya pasti bisa terlibat pertengkaran dengan putra tunggalnya. Bahkan adu hantam bisa jadi."Ya nanti kamu nyari lah, jodoh sudah ada yang ngatur. Semua sudah diper
Alfa sedang menemui beberapa pengurus MA untuk membahas sesuatu. Cukup lama dia di sana hingga begitu selesai, Alfa tak langsung pergi tapi mengobrol dulu dengan salah satu ustaz di sana."Gus. Tadi saya lihat Gus Alwi loh. Njenengan sudah ketemu belum?""Alwi? Dia pulang? Kok aku gak tahu. Ustaz Malik tahu dia di mana sekarang?""Kayaknya di lantai dua.""Ya sudah aku cari dulu."Alfa segera menuju ke lantai dua. Namun, setelah mencari bahkan hingga ke setiap ruang kelas, sosok adik sepupunya tak terlihat. Tiba-tiba ada perasaan resah yang melanda. Alfa yakin, adik sepupunya pasti sudah tahu kalau dia dan Galuh telah menikah. Alfa sebenarnya sudah tahu konsekuensi dari tindakannya saat menikahi Galuh. Tapi jika masa lalu kembali diulang, dia akan tetap memilih menikahi Galuh. Dia mencintainya. Dia ingin membuat Galuh bahagia. Jadi, Alfa pun di sini tak salah. Lagi pula Galuh mau dia nikahi. Gak nolak juga setiap hari dia cumbui. Jadi intinya, hanya perasaan Alwi yang tak bersambut.
"Aba baik-baik saja?" tanya Galuh saat abanya duduk dibantu sang ibu menuju meja makan."Aba baik, My Princess. Kamu tak usah khawatir."Faris mengusap kepala sang putri dengan lembut. Galuh tersenyum. Faris sendiri kini menoleh pada Fairuz yang sedang memainkan jari-jarinya di meja. Dia terkekeh melihat betapa hiperaktifnya cucu angkatnya."Hai Fay, Fay lagi apa?""Fay main musik, Jid. Pakai jari.""Oooo."Faris mengajak Fairuz bercerita tentu saja Fairuz menjawab. Celotehan Fairuz sesekali membuat Faris tertawa pun yang lain."Ih, kamu gemesin. Jid jadi makin sayang. Nanti pas jid sudah sembuh, main ke tempat jid ya? Bareng abah sama umi juga.""Okeee!"Faris menarik gemas pipi Fairuz yang bukannya berteriak malah tertawa-tawa. Aiman yang baru datang dari masjid bersama Kyai Baihaki dan Alfa melihat keharmonisan Faris, Galuh, Anjani dan Fairuz. Meski tipis, Aiman tak mampu menyembunyikan senyumnya. Alfa dan Kyai Baihaki tentu saja bisa melihatnya. Keduanya saling mengkode lalu ters