Alwi menatap Galuh dengan tatapan penuh pemujaan dari lantai dua MA An-Nur untuk siswa putra. Sementara yang dipandangi tidak sadar dan fokus dengan kegiatannya bersama anak-anak PMR. MA An-Nur memang dibagi menjadi dua kompleks berhadapan yang satu untuk santri putra sementara yang satu untuk santri putri. Pengelolaan ini ditujukan agar siswa dan siswi yang hampir sembilan puluh persen adalah santri, mampu menjaga pandangan dengan lawan jenis. Meski sudah diatur sedemikian rupa, tetap saja ada yang mbeler dan melakukan pertemuan dengan lawan jenis. Semua tergantung pribadi masing-masing. Alwi masih asik menatap wajah ayu gadis pujaan hatinya. Sejak dulu, sejak dia masih kecil, Alwi memang sudah menyukai Galuh. Gimana gak suka, Galuh itu paling berbeda. Wajah khas gadis Arab dengan hidung mancung, mata hitam bulat, alis lebat yang melengkung indah di atas kedua mata, serta kulit putihnya begitu kentara. Sangat membedakan dirinya dengan orang lain yang rata-rata berkulit sawo matang
Galuh kaget, mau ngerem juga percuma. Cara jalannya yang jauh dari kata putri Solo kini menjadi bumerang. Galuh sedang berjalan tergesa melewati lorong kelas dan saat berbelok dia kurang waspada. Bukannya memelankan kecepatan berjalan, malah Galuh main belok saja. Dan ternyata ada Alfa yang sedang berjalan dari arah lorong yang lain. Alfa juga terlihat tergesa. Jadilah keduanya sama-sama kaget, tidak bisa ngerem dan bruk! Tubuh keduanya jadi bertubrukan. Galuh hampir jatuh namun refleks dia mencengkeram koko kakak angkatnya. Alfa sendiri refleks menarik pinggang Galuh. Akibatnya tubuh keduanya saling membentur lagi namun kini jadi saling merapat. Karena Galuh berpegangan pada koko sang kakak angkat, sementara Alfa dengan sigap merangkap sang adik angkat dengan kedua lengan kokohnya.Galuh deg-degan. Pipinya merona. Alfa? Jangan tanya, wajah kakak angkatnya terlihat kesal. Wajah Alfa terlihat memerah menahan malu atau marah. Entah, Galuh tak tahu. Yang jelas, Galuh segera melepaskan t
Galuh tak menyangka dengan apa yang dilakukan oleh Alwi. Dia celingukan ke kanan dan ke kiri. Galuh menutup matanya sebentar lalu kembali menatap Alwi. Ternyata sosok yang dia harap hanya hayalan atau halusinasi memang dia. Galuh kesal. Tanpa peduli mau dikatain judes, Galuh berkata ketus pada Alwi. "Gus! Gus apa-apaan sih?" desis Galuh. Dia kembali melirik ke kiri dan kanan. "Lah, aku emangnya ngapain?" tanya Alwi balik. Bahkan sambil cengengesan. "Kenapa Gus Alwi bisa di sini?" "Terserah aku lah, duit juga duitku sendiri." "Memangnya njenengan gak ngajar?" "Ada ustaz piket, kok." Alwi lagi-lagi menjawab cuek.Galuh kembali menutup mata sebentar lalu beristighfar. Menghadapi Alwi memang butuh kesabaran dan kewarasan. Galuh memilih tak memperpanjang urusan. Meski dia yakin, kalau Alwi sengaja membuntutinya, tapi Galuh ta punya kuasa untuk menolak kehadiran Alwi. Galuh yakin, lelaki slengekan dan suka semaunya sendiri itu punya seribu satu macam alasan. Dan sayangnya diantara sem
Alwi hanya bisa meluapkan kekesalannya pada Galuh dengan cara menendang kerikil-kerikil yang dia temui sepanjang jalan. Atau pada angin yang dia tinju tapi tak ada reaksi apa pun atau rasa sakit apapun di kepalan tangannya. Tapi rasa sakit di hati? Jelas. Alwi merasa lagi-lagi Galuh tidak ingin tersentuh oleh perhatiannya, kebaikannya dan rasa cintanya. "Kenapa kamu nolak aku terus sih Luh? Aku tuh tulus sama kamu. Sejak kecil loh. Sejak kecil kamu selalu saja nolak keberadaanku. Padahal aku sayang sama kamu."Alwi duduk ndoprok di lantai yang ada di stasiun Jogja. Padahal ada banyak kursi tapi dia memilih menyiksa diri. "Aku kudu gimana sih Luh, buat melunakkan hatimu? Cuma aku? Aku yang nerima kamu apa adanya. Gak ada cowok mana pun yang mau sama kamu. Kamu tuh siapa sih?" kesal Alwi. "Bapakmu aja gak jelas!" ucapnya ketus. Tepat saat kalimat terakhir yang Alwi ucapkan, bunyi kereta lain yang baru datang mengagetkan dirinya. Alwi diam termenung hingga kalimat istighfar terucap da
"Mau kemana, Fa?" tanya Bu Nyai Khomsah pada sang putra. Alfa terlihat menggunakan celana jeans dan jaket warna hitam. Tak hanya itu, tas gendong besar sudah bertengger di punggungnya."Alfa ijin mau ke tempat Hamish, Umi. Alfa sama Hamish kan ada kerja sama mau bikin buku, Hamish yang nulis terus Alfa yang bagian editing.""Lah bukannya kalau kamu bantuin temen kamu ngedit naskah biasanya cuma kirim email?""Sekalian main, Umi. Semenjak Alfa kuliah lagi belum pernah ketemu Hamish. Sama Mila juga. Terus katanya udah punya anak lagi, kan Alfa penasaran sama anak kedua mereka.""Ah iya, kamu belum pernah ketemu. Tapi, kudu berangkat sekarang? Nggak nunggu besok pagi?""Sekarang aja Umi. Kalau perjalanan sore sampai malam lebih sepi, tenang dan adem.""Oh ya sudah."Alfa menunggu sang abah untuk pamitan. Kyai Baihaki yang kembali dari masjid setelah bakda ashar, menatap putranya heran. "Lah, dolan dalam rangka apa?""Kerjaan sama bosen di rumah, Bah. Butuh refreshing.""Oooo, ya sudah
Ning Mila mengerucutkan bibirnya. Sengaja bahkan itu bibir diputer-puter, manyun ke kanan kiri atas bawah. Wes lah pokokmen mencucu. Bahkan gerutuannya terdengar jelas hingga ke ruang tamu dimana suami dan kedua orang tuanya sedang berkumpul."Sopo Mil?" tanya Bu Nyai Khomariyah, adik Bu Nyai Khomsah."Bu Nyai Latifah, Umi. Biasa nyariin balitanya," sinis Ning Mila."Tapi gak gitu juga kali mimik wajahmu, Dek. Sampai bibir meleyat-leyot gitu," gurau sang suami, Gus Hamish."Habis nyebelin banget sumpah Mas, makanya sejak dulu aku tuh gak bestie-an sama Alwi, soal rasa cintanya sama Galuh. Kasihan aku sama Galuh. Ish, sebel."Ning Mila masih saja misah-misuh. Tingkahnya menggemaskan sekali."Wes to, ojo nesu. Sini duduk saja," titah Kyai Badawi pada sang putri semata wayang.Ning Mila menghembuskan napasnya."Mila sama Galuh sama Haidar aja deh. Mau kasih support buat bestie-nya aku."Ning Mila berbalik dan menuju ke taman belakang, sementara suami dan kedua orang tuanya tetap bertahan
"Mas Alfa ngapain ke sini?" tanya Ning Mila saat sudah duduk di samping suaminya. "Mampir, lah. Sudah mau dua bulan di rumah, gak kamu tengokin. Ya aku yang tengokin," ucap Alfa dengan mimik datarnya seperti biasa. "Hihihi. Maaf Mas Brother, Meifa masih kecil, kasihan dibawa kemana-mana. Eh tapi makasih loh udah ditengokin, tapi nambah bagus, Mas Alfa kasih hadiah dung buat Meifa!" Ning Mila menatap kakak sepupunya dengan binar mata penuh kematrean. Alfa memutar bola matanya malas. Dia lalu membuka ponsel, melakukan sesuatu selama beberapa menit, setelah itu dia mengucapkan sesuatu yang selalu tak pernah manis. Untung adik sepupunya sudah paham karakter si Alfaruk, kalau enggak? Mana mau dia punya kakak sepupu macam patung penjaga kuburan Fir'aun yang meneng bae gak obah."Cek ponsel kamu!""Kenapa?" "Cek m-banking. Mas gak tahu mesti beliin apa buat Meifa sama Haidar, ya mentahannya aja." "Kyaaaaa!"Mata Ning Mila melotot sempurna, dia berteriak nyaring lalu memeluk suaminya. "T
Alfa menatap penuh tantangan pada Ning mila."Jika menurutmu Shadiqah gak pantes, gak cocok buat aku, yang cocok buat aku, Galuh begitu?" tanya Alfa lagi dengan suara yang kini jauh lebih tinggi. Ning Mila hendak bersuara namun suara Galuh lebih dulu terdengar. "Saya gak minta Njenengan menikahi saya, Gus. Dan saya juga yakin njenengan gak pernah melihat saya seperti melihat saya sebagai manusia pada umumnya. Wanita yang pantas diperhitungkan. Jadi gak usah bawa-bawa saya!" ucap Galuh tegas. Dia menatap Alfa dengan tatapan tajam lalu menoleh pada Ning Mila. "Please, Ning Mila, Gus Alfa, kalau mau bahas persoalan ini jangan libatkan saya. Saya tak ada hak untuk ikut campur. Dan perlu Ning Mila dan Gus Alfa ingat, saya juga manusia biasa. Saya masih punya hati. Bisa sakit."Galuh masih menatap Ning Mila dan Ning Mila balas menatap balik. Dia diam. Sengaja membiarkan Galuh mengeluarkan unek-uneknya."Ning Mila gak perlu jorokin saya kayak gini, saya gak suka Ning. Saya datang ke sini
"Apa kamu bilang? Buktinya sudah dihancurkan? Oleh siapa?" Habiba yang baru saja dilapori oleh anak buahnya terkejut, ketika diberitahu bahwa bukti foto dan video yang sudah didapatkan oleh anak buahnya, hilang. “Gak tahu, nyonya.” “Kenapa bisa gak tahu? Emangnya kamu gak lihat wajahnya?” “Mereka pake masker, Nyonya?.” “Apa?” “Iya Nyonya. Kejadiannya begitu cepat. Intinya begitu saya mendapatkan bukti, saya langsung pergi, biar gak ada yang curiga. Begitu sampai keluar dari pondok, saya dicegat, Nyonya. Badan mereka gede-gede.” “Terus?” "Mereka menghentikan saya. Saya mau kabur tadi dihadang oleh salah satu dari mereka. Yang lainnya meminta HP saya. Gak tak kasih. Malah saya dicekal, dipukuli dan semua yang saya foto dan rekam, mereka hapus. Bukan itu saja, ponsel saya direset semua. Gak ada apa-apa jadinya," terang Abdul. Orang suruhan Habiba yang dia tugasi memvideo perdebatan antara dirinya dan Anjani. Kejadian hari ini, memang sengaja dia lakukan untuk menjebak Anjani. Se
Anjani yang sedang sibuk menata tanaman di kebun pondok bersama beberapa santriwati kaget mendapati kedatangan Habiba. "Kamu!" "Ya ini aku." "Ada apa?" Habiba tak menjawab. Dia justru menarik paksa cadar yang dipakai oleh Anjani. Membuat wajahnya yang buruk terlihat oleh para santri. Mereka menjerit, Anjani mencoba menutupi dengan kerudungnya. Habiba tertawa puas. "Hahaha. Ternyata benar. Wajahmu jadi buruk rupa. Buruk sekali macam monster. Hai kalian semua. Lihat istri Kyai Kalian, dia jelek. Kayak monster. Hahaha. Lihat dia. Hahaha. Masa kalian mau punya Bu Nyai kayak dia?" teriak Habiba. Para santri menatap keduanya dengan bingung lalu berubah kaget saat cadar Anjani terbuka. Para santri memamerkan banyak ekspresi. Dari kaget, takut hingga ekspresi jijik ketika melihat wajah Anjani. Beberapa bahkan menjerit ketakutan dan mengatainya monster. "Hahaha. Lihat. Orang kayak gini jadi istri seorang Umar? Gak pantes. Gak pantes sosok begitu sempurna punya istri kayak dia. Gak pan
Galuh dan Alfa sedang duduk bersama dengan kerabat lain menikmati sarapan pagi. Ada beberapa menu khas wilayah Timur Tengah yang menjadi sajian di meja makan."Kenapa?" tanya Alfa melihat sang istri yang terlihat tidak terlalu bernapsu makannya."Hehehe." Galuh hanya tertawa dan kembali menyuapi Fairuz."Gak suka?""Gak sih, cuma ... gak terbiasa aja. Biasa lihatnya nasi, lalapan sama sambel terasi."Alfa terkekeh lalu kembali menyuapkan makanan ke mulut."Untung aku pernah bertahun-tahun di Kairo. Jadi gak kerasa aneh di lidah," bisik Alfa. "Aku yang merasa aneh, Mas. Sama Fay. Soalnya lidahnya sudah Jawa semua. Ini aja Fay mintanya telor dadar."Alfa terkekeh, Galuh juga."Nanti juga terbiasa.""Moga aja."Di sudut lain, tampak Anjani sedang meladeni suaminya dengan telaten. Pun dengan para istri dari Abu Hasan, Syafiq dan Syakib. Ulfa dan Amira dengan telaten menghidangkan sarapan untuk para suami. Bahkan keduanya makan dalam satu piring bersama suami masing-masing. Khodijah pun s
Yara sedang mengamati Galuh dengan intens, dia penasaran akan sosok sepupunya. Dan yang paling membuatnya penasaran adalah kenapa Galuh bisa menarik hati Alfa sementara dia yang juga punya wajah turunan Arab tidak bisa menarik hati Alfa.“Suami orang gak usah dilihat segitunya, Kak Yara. Ingat Kak Rafi loh," bisik Yesha sengaja menggoda sang kakak.“Apaain, sih. Cuma penasaran aja.”“Penasaran sih penasaran. Tapi jangan kelihatan banget, Kak.” Lagi, Yesha menggoda sang kakak.Yara sekali lagi meminta sang adik untuk tidak menggodanya. Kedua saudara masih asik beradu pendapat. Tanpa sengaja, tatapan mata keduanya bertubrukan dengan tatapan Galuh. Galuh mengulas senyum ramahnya dan dibalas oleh kedua bersaudara dengan sedikit kikuk.Lalu baik Yara dan Yesha memilih pura-pura membahas hal lainnya. Galuh yang sadar, dua bersaudara baru saja membicarakan dirinya dan Alfa memilih cuek. Semenjak kabur dari An-Nur, Galuh sudah bisa lebih berekspresi. Dia sudah tidak manutan dan minderan, poko
Alfa baru saja memarkirkan motornya lalu diikuti Zahra yang parkir di sebelah kirinya. Tak berapa lama, mobil yang dinaiki Faris CS juga sampai di halaman ndalem Pondok Pesantren Andalusia. Abu Yasin yang sejak kemarin diberitahu sang keponakan kalau dia akan pulang bersama anak, istri, menantu, cucu, keponakan serta iparnya tentu sudah menunggu sejak pagi. Syafiq dan Syakib juga ikut menunggu.Maka tak heran, begitu mendengar suara motor dan mobil di halaman, mereka segera keluar. Tampaklah di mata mereka, Faris dan yang lain sedang sibuk menuruni koper-koper sementara Alfa dan Galuh sedang sibuk membangunkan Fairuz.“Sudah sampai Abah, Umi?”“Sudah.”“Hoaam.”Fairuz menguap, Galuh terkekeh lalu segera membawa sang putri dalam gendongan. Sementara Alfa membantu mengambil koper.“Assalamu'alaikum, Ami!” teriak Faris.“Wa'alaikumsalam. Kamu sudah sampai, Umar?”“Iya, Ami. Lihat yang kubawa, ada istri, anak, menantu, cucu, keponakan sama kedua iparku," ucap Faris dengan raut wajah gembi
Alfa sedang menepuk-nepuk paha Fairuz dengan pelan. Lama-kelamaan putri angkatnya tertidur juga. Galuh yang baru keluar dari kamar mandi tersenyum. Dia pun mendekat ke arah ranjang."Sudah tidur?""Gak sampai lima menit, udah tidur dia." Alfa memberi tempat untuk sang istriGaluh pun merebahkan diri di tengah seperti biasa. Alfa segera memeluk sang istri, erat. Sesekali dia mengecup kening sang istri."Belum ada hasil ya? Gus Alwi masih belum nerima?""Iya."Galuh melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mungkin biarkan saja. Sama seperti Mas yang selalu cuek sama Bu Nyai Latifah, kini Mas Alfa juga kudu begitu sama Gus Alwi.""Entahlah. Mas merasa bersalah. Tapi di satu sisi, Mas juga bersyukur memiliki kamu.""Galuh juga, Mas. Galuh bersyukur suami Galuh itu kamu. Pas memutuskan pergi dari sini, dan yakin kalau Mas akan menikahi Mbak Shadi, Galuh sudah memutuskan mau hidup sendirian saja."“Gak mau nikah?”“Gak pengen.”“Karena suamimu bukan aku?”Galuh mengangguk, Alfa menge
"Kabarmu gimana, Wi?""Baik Pakdhe.""Alhamdulillah. Betah kamu di sana?""Ya dibetah-betahkan, Padhe.""Makanmu yang teratur ya? Jangan terlalu ngoyo. Kalau capek ya istirahat.""Kalau gak capek justru aku gak bisa tidur, Pakdhe. Banyak yang kupikirkan. Bahkan, sudah capek saja, aku gak bisa langsung tidur. Coba buat rebahan, terus peluk guling tetep gak bisa tidur. Beda sama Mas Alfa. Sekarang lah dia enak. Capek ada yang mijitin. Banyak pikiran ada yang nenangin. Ada yang meluk," sinis Alwi sambil melirik ke arah Alfa. Alfa yang sadar sedang disindir hanya bisa menghela napas.Kyai Baihaki tersenyum. Dia sadar keponakannya sedang dilanda kecemburuan yang besar serta kemarahan yang luar biasa. Sayang, dia tidak bisa meluapkan kekesalannya seperti biasa. Mungkin karena ada Kyai Baihaki. Coba gak ada, beliau yakin, keponakannya pasti bisa terlibat pertengkaran dengan putra tunggalnya. Bahkan adu hantam bisa jadi."Ya nanti kamu nyari lah, jodoh sudah ada yang ngatur. Semua sudah diper
Alfa sedang menemui beberapa pengurus MA untuk membahas sesuatu. Cukup lama dia di sana hingga begitu selesai, Alfa tak langsung pergi tapi mengobrol dulu dengan salah satu ustaz di sana."Gus. Tadi saya lihat Gus Alwi loh. Njenengan sudah ketemu belum?""Alwi? Dia pulang? Kok aku gak tahu. Ustaz Malik tahu dia di mana sekarang?""Kayaknya di lantai dua.""Ya sudah aku cari dulu."Alfa segera menuju ke lantai dua. Namun, setelah mencari bahkan hingga ke setiap ruang kelas, sosok adik sepupunya tak terlihat. Tiba-tiba ada perasaan resah yang melanda. Alfa yakin, adik sepupunya pasti sudah tahu kalau dia dan Galuh telah menikah. Alfa sebenarnya sudah tahu konsekuensi dari tindakannya saat menikahi Galuh. Tapi jika masa lalu kembali diulang, dia akan tetap memilih menikahi Galuh. Dia mencintainya. Dia ingin membuat Galuh bahagia. Jadi, Alfa pun di sini tak salah. Lagi pula Galuh mau dia nikahi. Gak nolak juga setiap hari dia cumbui. Jadi intinya, hanya perasaan Alwi yang tak bersambut.
"Aba baik-baik saja?" tanya Galuh saat abanya duduk dibantu sang ibu menuju meja makan."Aba baik, My Princess. Kamu tak usah khawatir."Faris mengusap kepala sang putri dengan lembut. Galuh tersenyum. Faris sendiri kini menoleh pada Fairuz yang sedang memainkan jari-jarinya di meja. Dia terkekeh melihat betapa hiperaktifnya cucu angkatnya."Hai Fay, Fay lagi apa?""Fay main musik, Jid. Pakai jari.""Oooo."Faris mengajak Fairuz bercerita tentu saja Fairuz menjawab. Celotehan Fairuz sesekali membuat Faris tertawa pun yang lain."Ih, kamu gemesin. Jid jadi makin sayang. Nanti pas jid sudah sembuh, main ke tempat jid ya? Bareng abah sama umi juga.""Okeee!"Faris menarik gemas pipi Fairuz yang bukannya berteriak malah tertawa-tawa. Aiman yang baru datang dari masjid bersama Kyai Baihaki dan Alfa melihat keharmonisan Faris, Galuh, Anjani dan Fairuz. Meski tipis, Aiman tak mampu menyembunyikan senyumnya. Alfa dan Kyai Baihaki tentu saja bisa melihatnya. Keduanya saling mengkode lalu ters