"Mas Alfa ngapain ke sini?" tanya Ning Mila saat sudah duduk di samping suaminya. "Mampir, lah. Sudah mau dua bulan di rumah, gak kamu tengokin. Ya aku yang tengokin," ucap Alfa dengan mimik datarnya seperti biasa. "Hihihi. Maaf Mas Brother, Meifa masih kecil, kasihan dibawa kemana-mana. Eh tapi makasih loh udah ditengokin, tapi nambah bagus, Mas Alfa kasih hadiah dung buat Meifa!" Ning Mila menatap kakak sepupunya dengan binar mata penuh kematrean. Alfa memutar bola matanya malas. Dia lalu membuka ponsel, melakukan sesuatu selama beberapa menit, setelah itu dia mengucapkan sesuatu yang selalu tak pernah manis. Untung adik sepupunya sudah paham karakter si Alfaruk, kalau enggak? Mana mau dia punya kakak sepupu macam patung penjaga kuburan Fir'aun yang meneng bae gak obah."Cek ponsel kamu!""Kenapa?" "Cek m-banking. Mas gak tahu mesti beliin apa buat Meifa sama Haidar, ya mentahannya aja." "Kyaaaaa!"Mata Ning Mila melotot sempurna, dia berteriak nyaring lalu memeluk suaminya. "T
Alfa menatap penuh tantangan pada Ning mila."Jika menurutmu Shadiqah gak pantes, gak cocok buat aku, yang cocok buat aku, Galuh begitu?" tanya Alfa lagi dengan suara yang kini jauh lebih tinggi. Ning Mila hendak bersuara namun suara Galuh lebih dulu terdengar. "Saya gak minta Njenengan menikahi saya, Gus. Dan saya juga yakin njenengan gak pernah melihat saya seperti melihat saya sebagai manusia pada umumnya. Wanita yang pantas diperhitungkan. Jadi gak usah bawa-bawa saya!" ucap Galuh tegas. Dia menatap Alfa dengan tatapan tajam lalu menoleh pada Ning Mila. "Please, Ning Mila, Gus Alfa, kalau mau bahas persoalan ini jangan libatkan saya. Saya tak ada hak untuk ikut campur. Dan perlu Ning Mila dan Gus Alfa ingat, saya juga manusia biasa. Saya masih punya hati. Bisa sakit."Galuh masih menatap Ning Mila dan Ning Mila balas menatap balik. Dia diam. Sengaja membiarkan Galuh mengeluarkan unek-uneknya."Ning Mila gak perlu jorokin saya kayak gini, saya gak suka Ning. Saya datang ke sini
Galuh benar-benar tidak menyangka jika sosok yang masih asik duduk adalah Alfa. Saking kagetnya dia hanya diam saja. Alfa sendiri kini berdiri, dia menghampiri Galuh dan berdiri tepat di sampingnya. Galuh masih menatap Alfa lekat-lekat bahkan cenderung melotot. Alfa sendiri kini sudah mengeluarkan senyum sinis andalan. Lalu tak berapa lama, ucapan khasnya yang terdengar sinis keluar. "Gak pernah berubah. Cerobohnya, ngambeknya, dan mainnya kabur-kaburan kalau lagi ada masalah. Kupikir udah dua lima tahun, harusnya udah beneran dewasa. Bisa menyikapi setiap masalah dengan kepala dingin. Ck! Ternyata masih kayak bocah sepuluh tahun yang demennya kabur ke tanah belakang. Huh!" sinis Alfa. Galuh yang kesal diingatkan dengan memori masa silam langsung menyemprot Alfa. Dia tidak peduli dengan etika atau sopan santun. Apalagi menghadapi tampang modelan Alfa, memang Galuh gak boleh diam. Gak boleh ngalahan. Hajar! "Iya, aku emang tukang kaburan. Terus masalah buat njenengan?" tantang Galu
Ning Mila menatap dua kamar tamu yang berhadapan. "Masih tutupan, masa belum pada bangun sih?" gumamnya. Ning Mila memilih kembali ke ruang makan dan mengurusi sang suami. Sementara kedua anaknya kini diasuh oleh dua Mbak Santri di ruang tengah. Haidar juga nyambi disuapi sementara Meifa sudah minum ASI jadi aman. "Masih tidur?" tanya Gus Hamish pada sang istri yang baru saja menaruh bokongnya di kursi samping. "Kayaknya. Kecapean kali ya?"Gus Hamish hanya tersenyum. Dia memilih membiarkan sang istri meladeni dia dulu. Mereka pun makan dengan tenang. Lima belas menit kemudian ketika makanan sudah ditutup dengan krembeng, lalu sang istri sudah membawakan secangkir kopi, Gus Hamish menceritakan apa yang dia lihat tadi malam. Tentu saja Ning Mila shock. "Bushet, ini anak. Perasaan kaburan mulu, kasihan suami dia nanti. Ada masalah dikit, kabur.""Gak bakalan susah kalau suaminya Mbak Galuh modelan kayak si Alfaruk. Kabur kemana pun pasti ketemu."Ning Mila tertawa ngakak lalu seger
Alwi hanya bisa kikuk ketika wanita yang sering dia hindari malah kini berada di depannya. "Mas Alwi lagi di Jogja?""Iya," jawab Alwi mencoba bersikap biasa saja. "Ooooo. Dari kapan?""Kemarin.""Lah kok sama?""Iyakah?"Jauza mengangguk lalu tersenyum. "Kamu sama siapa Jau?" Jauza mengenalkan kedua temannya yang sama-sama menangkupkan kedua tangan pada Alwi. Alwi pun melakukan hal yang sama. "Kalau ini namanya A—""Kalau saya Adi, temannya Alwi. Salam kenal eh assalamu'alaikum." Adi yang asli Jogja dan rumahnya menjadi basecamp Alwi sejak kemarin memperkenalkan diri. Alwi melirik sinis pada sahabatnya. Lewat tatapan mata, dia seakan mencemooh sikap Adi. Adi yang tahu sedang disinisi hanya memasang tampang polos. "Lah, kamu kelamaan ngenalin siapa aku ya aku ngenalin diri sendiri." Adi mengulas senyum manis pada Jauza. "Kamu dalam rangka apa di sini, Jau?" Alwi memcoba berbasa-basi. "Oh, ini. Ikut kajian bareng, Mas. Kajian rutin yang diselenggarakan oleh perkumpulan rutin p
Bu Nyai Khomsah dan Kyai Baihaki hanya bisa saling melirik satu sama lain. Kedua pasangan yang sudah menginjak usia paruh baya terlihat bingung. Pasalnya dua orang yang biasanya tak pernah bertegur sapa kini jadi mesra dan berdebat terus. "Kok bisa?" bisik Kyai Baihaki. "Umi juga bingung, Bah. Sejak dua hari yang lalu begitu." Bu Nyai Khomsah juga ikut-ikutan berbisik. Beliau lalu melirik kembali pada putra kandung dan putri angkatnya yang sejak satu jam yang lalu saling berdebat membahas konsep kegiatan ziarah wali songo yang akan dilaksanakan satu bulan kemudian. "Gak gini, Luh! Kayak biasa aja.""Kayak biasa gimana, Gus? Pengalaman kemarin dan kemarin kita kerepotan. Jangan pakai jasa ini lagi, gak bagus pelayanannya!""Masa? Kata Bulik—""Njenengan percaya?""Ya kan dia—""Njenengan itu belum ada dua bulan di rumah, makanya jadi orang jangan macam tembok rata atau kulkas dua belas pintu. Katanya jauh belajar ke Kairo. Masa gak bisa lihat banyak yang gak setuju dengan biro pili
Sejak perjalanan ziarah ke makam Wali, Alwi tidak bisa jauh dari Galuh. Setiap transit, entah bagaimana caranya, Alwi selalu saja sudah berada di dekat Galuh. Galuh risih, apalagi godaan selalu datang dari Ratna. "Cieee, disambangin itu sama calon suami, hihihihi.""Apaan sih, Na. Jangan bikin fitnah!""Bukan fitnah, Luh. Eh, lihat tuh! Kayaknya bawain kamu minuman deh hihihi."Ratna menunjuk sosok Alwi yang datang ke arah mereka dengan menenteng plastik putih yang sepertinya berisi makanan atau minuman. Dan benar saja, begitu Alwi sudah berada di depan Galuh dan Ratna, Alwi mengulurkan plastik kresek itu pada Galuh. "Nih, minuman boba. Rasa cokelat kesukaan kamu sama matcha buat Mbak Ratna.""Wah, makasih, Gus. Gus Alwi tahu aja, kan saya jadi ikut seneng."Ratna malah yang langsung menerima uluran kresek putih dari Alwi. Galuh sendiri hanya mengucapkan terima kasih saja. Alwi ingin sekali duduk bersama dengan Galuh sambil menikmati es boba rasa coffe kesukaan tapi kedatangan Alfa
Alfa sedang duduk di sofa ruang tengah sambil menunggui sang ibu yang masih berdandan. Sementara gadis cantik yang sejak lima belas menit yang lalu datang ke ndalem, tengah duduk di lantai beralaskan tikar. Sang gadis sejak tadi menunduk saja. Sesekali Alfa melirik pada Galuh yang bagai patung cantik yang sayang kalau tidak dilirik. Sesekali pula setelah memandang Galuh, Alfa terlihat menghembuskan napasnya. Keras. Membuat Galuh sering ikutan melirik ke Alfa. Kening Galuh mengernyit, bingung dia dengan tingkah laku gusnya yang aneh. "Njenengan kena asma?" Galuh akhirnya memilih bertanya saja daripada penasaran. Alfa menoleh ke arahnya lalu menggeleng. "Oh! Kirain. Habis Guse sejak tadi kayak narik napas terus, kayak orang asma."Alfa tak menjawab. Galuh pun kembali diam. Sibuk nunduk sambil memainkan kedua tangan. Bosan dia menunggu ibu angkatnya yang tumben dandannya lama. Keheningan terus melanda membuat Galuh semakin bosan sementara asma bohongannya Alfa kian menjadi. Galuh se
Alfa sedang duduk sambil menikmati es buah di salah satu meja bersama teman-temannya yang lain. Sesekali mereka bercerita dan tertawa. Di sebelahnya ada hijab yang menghalangi dan tanpa bertanya pun Alfa paham kalau di seberang hijab adalah para tamu wanita termasuk teman-teman Syifa di sana.“Sssst, lihat cowok yang tadi sama Teuku Rafly, kan?”“Yang cowok dari Jawa itu, kan?”“Iya.”“Ganteng ya?”“Banget.”“Hihihi, udah punya istri belum ya?”“Aku udah tanya Bang Rafly, masih munfarid tapi udah ada anak cewek satu?”“Anak?!” pekik semua gadis. Lalu mereka menutup mulut, takut dimarahi para tetua karena berisik.“Anak angkat.”“Oooo.”Para wanita yang tadi kaget kini bisa menghela napas lega termasuk gadis bercadar yang sedang duduk sendirian. Pasalnya tiga rekannya yang bercadar juga, sedang meng-ASI-hi anak mereka masing-masing. Ya, dari mereka berlima, hanya Lulu alias Galuh yang masih single. Galuh yang tidak ada teman ngobrol malah jadi ikutan mendengarkan gosip.Tak berapa jauh
Zalina sesekali melirik ke arah Alfa. Dia benar-benar mengagumi wajah Alfa yang tampan. Mana perawakan Alfa mirip sekali seperti kakak pertamanya yang tinggi besar. Jadi terlihat gagah. Kulit Alfa yang tidak terlalu putih juga menunjukkan pesona khas lelaki Jawa yang membuat Zalina betah memandang Alfa."Kamu bisa gak sih, gak kelihatan ganjen gitu, Lin," bisik Zami. Dia tentu saja sejak tadi bisa melihat tingkah genit sang adik yang sebentar-sebentar melirik Alfa."Ganteng, Bang. Mana gagah lagi.""Cih, gantengan aku.""Apaain sih, Abang mah kerempeng, noh Bang Rafly itu baru gagah bin ganteng. Kayak Bang Alfa juga."Zalina kembali tersenyum saat menatap Alfa. Sebetulnya sudah sejak tadi Zalina mencoba mencari perhatian Alfa. Sayang, si kanebo kering lebih banyak menunduk selama pengajian dan jarang menatap lawan jenis. Hal itu membuat Zalina merasa tertantang. Pasalnya di desa ini dia terkenal paling cantik dan jadi idaman banyak pria. Jadi kalau ada pria yang tidak melirik dirinya,
“Dedek Faaaaay, Abah mertuamu datang!” teriak Hanan menggema. Fairuz yang sedang bermain di halaman belakang langsung melempar mainannya dan berlari menuju Hanan.“Masya Allah, mantuku yang cantik, giimana kabarmu, Sayang?” Hanan membopong Fairuz lalu mencium gemas kedua pipi Fairuz.“Woi! Lepasin anakku gak!” “Gak mau ya, orang Fay calon mantuku ya Nak ya."“Iya.”“Tuh, weeee.”Hanan kini memutar-mutar tubuh Fairuz. Bukannya takut, Fairuz malah minta lebih tinggi. Tak berselang lama Nabila dan sang putra yang kini berusia delapan belas bulan juga datang.“Fay Sayang? Peluk Umi, Nak?”“Umiii.”“Aaaaa, calon mantuku.”Nabila mengulurkan dua tangannya. Fairuz minta turun dari gendongan Hanan. Si gadis cilik berlari ke arah Nabila lalu keduanya berpelukan.“Masya Allah kamu tambah cantik, Nak.” Tak lupa Nabila mengecup pipi gembul Fairuz saking gemasnya.“Kim Kim Kim peyuk.” Bocah lelaki berusia delapan belas bulan bernama Hakim, menarik-narik baju Fairuz. Fairuz tertawa. Dia memeluk ge
Alwi sedang asik makan siang di ruang tamu sambil sesekali ngobrol dengan Fairuz. Kyai Baihaki dan Bu Nyai Khomsah sedang berada di pondok. Alfa sendiri sedang menemui dua pengurus pondok putra, membahas beberapa hal penting di ruang perpus merangkap ruang kerjanya."Fay.""Ya Om.""Pengen punya ibu gak? Cari sana, bapakmu kan banyak yang naksir.""Fay udah punya Umi.""Siapa?""Umi Galuh. Kan kita sama wajahnya."Fairuz menunjuk kedua pipinya dengan kedua jari telunjuk. Tak lupa matanya dia kedip-kedipkan."Dih! Bukan ya! Galuh itu calon istri masa depan om.""Umi aku weee.""Istriku.""Umiku!"“Istriku.”“Umiku Umiku Umiku!”"Istriku istriku istriku!"Alwi tak mau kalah ngotot dengan Fairuz. Mereka berdua bagai kucing dan anjing. Meski Fairuz suka diledekin sama Alfa, tapi ledekan Alfa hanya akan membuat Fairuz jengkel sebentar lalu tertawa karena Alfa pintar menjungkir-balik hati sang anak yang jatuhnya tidak akan bisa betah lama-lama marah pada sang abah. Sementara Alwi, polahnya
2 Tahun 4 Bulan KemudianAlfa masih bergelung nyaman di kasurnya. Maklum dia baru saja sampai rumah mendekati subuh. Setelah sholat subuh, Alfa memutuskan untuk tidur karena rasa lelah dan kantuk yang tak tertahankan. Rasanya baru saja dia terlelap, gedoran di pintu kamarnya terdengar menggema.Alfa bukannya bangun, malah mempererat pelukannya pada bantal guling kesayangan. Aksi yang membuat si penggedor jadi tidak sabaran dan memilih masuk setelah mengucap salam.“Assalamu'alaikum, Abaaaaah!” teriakan gadis cilik berusia tiga tahun menggema di seluruh kamar.Bukannya bangun, Alfa malah makin mengeratkan pelukan pada guling. Sang gadis cilik kesal, dia menggelembungkan kedua pipinya.“Abaaah, banguuuun!” teriaknya.Fairuz langsung saja menuju ke ranjang. Tak lupa dia menduduki punggung Alfa sambil berteriak membuat Alfa kaget dan sontak membuka matanya.“Abaah, bangun bangun bangun. Abah kok tidur mulu, ih! Bangun!” teriak Fairuz.Alfa masih ngelag, dia membuka matanya. Awalnya kurang
Alfa menatap sendu nisan bertuliskan 'Melati Anggraini binti Fulan'. Dengan bantuan Aidan, mereka bisa mencari panti asuhan tempat Melati dulu dirawat. Sehingga Melati bisa dimakamkan di pemakaman dekat panti asuhan "Kasih Bunda" tempat Melati dibesarkan dari bayi.Jamilah, sang pemimpin panti serta beberapa penghuni panti yang mengenal Melati sangat terpukul dengan kematian Melati. Bagi mereka, Melati adalah orang baik yang ramah, penuh kasih sayang dan menyenangkan.Jamilah, mencoba tegar. Dia mengusap air matanya lalu menatap ke arah Alfa dan Aidan."Terima kasih, karena sudah mau mengurusi jenazah Melati dan membawanya kemari."Jamilah menghela napas. "Anak itu sangat cantik dan baik. Makanya Amer jatuh cinta padanya. Sayang, kedua orang tua Amer menentang. Tapi dasarnya Amer keras kepala dia tetap nekat. Melati juga sudah terlalu bucin. Sudah saya larang, tapi dia tetap nekat."Jamilah tersenyum lemah. "Meski tanpa restu mereka tetap menikah. Meski banyak ujian terutama dari kelu
"Astaghfirullah!""Ya Allah!""Allahu akbar!""Aaah!"Bruk! Brak! Jeder!Dentuman demi dentuman, teriakan demi teriakan, takbir hingga ucapan istighfar menggema jadi satu. Suasana di sekitar Tol Calarang tepatnya di kilometer 82 benar-benar kacau. Ada sekitar 17 mobil pribadi yang ikut menjadi korban tabrakan beruntun yang disebabkan oleh truk pembawa kardus. Jeritan dan teriakan terus menggema. Beberapa mobil yang berada di depan atau belakang lokasi mobil yang bertumpuk, berhenti. Beberapa dari mereka ada yang keluar dari mobil untuk membantu para korban. Beberapa dari korban yang selamat, mencoba menyelamatkan diri.Alfa merasakan rasa sakit di bahu dan pelipisnya. Dia melirik ke arah belakang tempat kedua temannya berada."Hanan! Iklas!" teriaknya.Alfa mencoba melepaskan diri dari himpitan. Dia tak bisa keluar dari kanan, sehingga Alfa mencoba keluar dari pintu samping kiri. Meski merasakan sakit yang luar biasa, Alfa segera menuju ke bagian belakang, tampak Hanan dan Iklas yang
Tiga anggota keluarga Munajat masih berada di ruang tamu bersama Eko. Keempatnya tidak ada yang bersuara, semua diam dengan pikiran masing-masing. Ponsel Munajat berbunyi.“Bagaimana?”“Penyadapan. Ada seseorang yang bisa masuk ke sosmed Arkan dan penyimpanan foto beserta video Arkan yang tersimpan di gdrive.” Suara seseorang terdengar di seberang telepon.Munajat tertawa keras sekali. “Kamu mau bilang, si bedebah Alfa punya backingan orang yang tidak biasa?”“Betul. Tapi, kami tidak bisa melacak siapa orangnya, Tuan."“Hahaha, tidak usah dilacak. Percuma, aku yakin dia pasti orang cerdas nan cerdik. Mainnya halus.”"Iya Tuan.""Gadis itu bagaimana?""Sama Tuan. Hilang jejak."Lagi, Munajat tertawa. "Baiklah. Baiklah."Munajat memberi beberapa perintah untuk anak buahnya lalu dia menutup sambungan. Munajat menyandarkan punggung di sofa. Dia memijit pelipisnya. Pikirannya kemana-mana.Lama, keheningan kembali melanda hingga Yunita, istri dari Munajat memberanikan diri untuk mendekati s
"Mas Alfa," lirih Shadiqah. Alfa tak menjawab. Dia hanya menatap tajam sosok Shadiqah tanpa berkedip. Pak Eko yang baru datang melirik ke arah Shadiqah, Alfa, Shadiqah lagi lalu ke Alfa dan kini ke arah duo Hanan-Iklas yang terlihat sedang berbisik-bisik."Gila, udah mahir, Bro. Aku aja yang mau nikah masih deg-degan, bingung gimana besok nyium biniku pertama kali," bisik Hanan."Binimu masih segel kan?" bisik Iklas juga."Segel lah. Santri tahu. Dididik agama dengan baik insya Allah.""Good job, Bro. Wah, besok aku kudu pinter nyari calon bini, Alfa aja yang perfeksionis sampai ketipu.""Harus, Mas Bro. Harus!"Hanan dan Iklas terus berkasak-kusuk. Shadiqah sendiri fokus menatap Alfa. Dia jujur takut, Alfa melihat semua yang dia lakukan."Ma-""Pakai baju yang sopan dulu, Sha. Saya tunggu. Dan ... kalau tak ingin memakai kerudung, tak masalah. Penting bajumu sopan dan terutama ... tutupi lehermu!" ucap Alfa dingin. Ada ketegasan juga dalam suara Alfa.Shadiqah meneguk ludahnya kasar