Shadiqah masih memandangi kepergian Alfa dengan dada sesak. Dia tak menyadari jika Arkan tengah menatapnya dengan kekesalan yang tak terhingga. Lama keduanya dalam posisi diam sambil berdiri. Shadiqah masih menatap ke arah perginya Alfa sementara Arkan masih menatap Shadiqah dengan tatapan tajam. Shadiqah mendesah pasrah. Dia lelah dengan hubungan yang tanpa kejelasan. Suara desahannya terdengar oleh Arkan yang dibalas dengan suara sinis. "Jadi! Dia lelaki yang kamu pilih?" sinisnya.Shadiqah menatap ke arah sang mantan dengan tatapan sedikit bingung. Setelah beberapa detik dalam kebingungan, akhirnya dia sadar akan maksud dari Arkan. "Iya, dia Mas Alfa. Calon suamiku," sahut Shadiqah tegas."Jadi, kapan kalian nikah?" tanya Arkan.Arkan menatap Shadiqah, menuntut jawaban. Shadiqah masih diam. Bingung mau menjawab apa. Pikirannya kacau. Tidak mungkin dia mengatakan kalau mereka belum sampai tahap kapan menikah. Boro-boro nikah, lamaran saja belum. Dan ini semua tak lain karena kein
Kyai Baihaki terlihat menghela napasnya sementara Alfa dan Bu Nyai Khomsah terlihat diam. Bu Nyai Khomsah sudah menceritakan semua kejadian tadi siang saat bertemu dengan Shadiqah. Tanpa ada satu pun yang ditutupi. Kyai Baihaki tidak langsung merespon, namun dilihat dari gurat wajahnya, tampak sekali beliau sedang mempertimbangkan sesuatu sebelum mengutarakannya. Alfa yang paham dengan karakter sang abah, bersuara. "Ngomong aja, Bah. Jangan cuma dipendem." Kyai Baihaki terkekeh, "kamu yakin? Meski tutur kata Abah santai dan lembut, seringnya nyelekit, loh." "Gak papa, Bah. Udah biasa banget digituin sama Abah. Justru kalau Abah diem, itu baru masalah." "Hehehe, baiklah." Kyai Baihaki memperbaiki posisi duduknya menjadi sedikit merebahkan punggung di sofa. Kebetulan, ketiga orang tersebut kini berada di ruang tengah. "Dari awal, abah sudah ngomong, kamu yakin sama Nak Shadi? Dan jawaban kamu, yakin. Padahal kamu tahu, dunia kalian berbeda." Alfa diam, namun dia mendengark
Setelah terbangun dari tidurnya, Alfa sama sekali tak bisa tidur hingga azan subuh berkumandang. Dia pun memutuskan ke masjid saja. Di ruang tengah, Alfa bertemu dengan kedua orang tuanya."Kamu pindah jam berapa ke kamar, Nang? Semalam kan umi suruh pindah katanya mager mau tiduran di sofa dulu.""Jam dua-an Umi.""Oooo."Bu nyai Khomsah lalu mengajak suami dan putranya untuk segera menuju ke masjid. Sampai di sana, bu nyai Khomsah memisahkan diri menuju ke bagian putri. Puji-pujian berkumandang dalam lantun merdu. Membuat hati para manusia menjadi tenang bagi yang hatinya dengan lapang percaya akan adanya Tuhan dan ingin menjadi hamba yang taat.Pukul lima kurang lima belas menit, sholat subuh pun dilaksanakan dengan Kyai Baihaki sebagai imam. Sehabis sholat, dilanjutkan dengan wiridan lalu kultum. Alfa terus berada di masjid hingga sampai pukul enam."Bah, Alfa duluan."Alfa berpamitan pada sang abah yang masih asik bercengkrama dengan para jamaah yang seumuran dengan beliau. "Oh
Jauza merasakan tatapan ketidaksukaan yang begitu kentara dari tatapan Alwi. Dia yang memiliki hati begitu sensitif sampai terdiam untuk waktu yang lama. Namun, keterdiaman Jauza terkikis oleh suara Bu Nyai Latifah yang terus saja mengajaknya ngobrol."Jauza.""Ya, Budhe.""Aku udah minta Mas Baihaki buat nerima kamu ngajar di sini. Nanti kamu tinggal di sini aja ya? Sama Budhe."Jauza hendak bersuara tapi dicegah oleh Alwi."Ya gak bisa dong Umi. Terus Alwi mau tidur dimana kalau Jauza di sini? Kami bukan muhrim. Tadi malam saja Alwi mesti nginep di pondok gara-gara Jauza datang mendadak lah ini Alwi suruh nginep sana lagi?" Suara Alwi terdengar sangat ketus membuat Jauza tak enak hati."Ya bareng juga gak papa. Kan kalian masih sepupu.""Sepupu bukan mahram, Umi.""Ya udah nikah aja, kalian. Gampang," celetuk Bu Nyai Latifah santai."Moh!" Alwi menjawab spontan dengan suara lantang. Membuat Jauza merasakan sakit di dada. 'Mas Alwi langsung nolak aku terang-terangan,' batinnya.'Ter
Alfa sedang berlari menuju ke ruang IGD di rumah sakit Sigap Medika. Dia baru saja dihubungi oleh seseorang yang mengatakan kalau Alwi mengalami kecelakaan. Sampai ruang IGD, Alwi segera menuju ke bagian administrasi. "Maaf Mbak. Pasien atas nama Alwi, yang kecelakaan tadi pagi, dimana ya?""Oh, anda siapa?""Saya kakak sepupunya.""Mari ikut saya."Salah seorang petugas mengantar Alfa ke tempat Alwi. Sampai di sana, Alwi baru saja mendapat pertolongan pertama. Dokter yang menangani Alwi memberitahu Alfa apa yang terjadi."Luka serius di kepala dan tungkai kanan bawah patah. Kami harus segera melakukan tindakan operasi. Kami butuh persetujuan keluarga korban.""Lakukan apa saja yang terbaik, Dok.""Baiklah."Alfa segera diminta mengurusi administrasi dan menandatangani persetujuan operasi. Begitu selesai, dia langsung menengok sang adik. Hati Alfa terasa tercabik-cabik melihat kondisi Alwi yang begitu mengenaskan."Kamu kenapa jadi begini, Wi? Astaghfirullah. Padahal paginya kamu ma
Bu Nyai Latifah menatap pasangan Arkan dan Shadiqah dengan tatapan kebencian. Bagi ibunya Alwi, keduanya adalah penyebab sang putra kecelakaan. Beliau bahkan meminta pada sang kakak untuk memanggil polisi agar memenjarakan Arkan. Tentu saja Arkan tersulut emosi dan melemparkan fakta-fakta serta bukti rekaman yang sudah dia peroleh akibat bantuan sahabatnya. Dalam rekaman itu jelas Alwi lah yang salah. Mobil yang dikendarai Arkan hanya 'nampani' motor Alwi yang mencoba menghindari truk besar."Mau adu pendapat di kantor polisi ayok Bu Nyai, saya berani. Orang saya tidak salah kok." Arkan dengan santai memprovokasi Bu Nyai Laila.Kyai Baihaki mencoba menenangkan sang adik."Latifah, ini bukan saatnya salah-salahan. Sekarang yang terpenting kita harus mendoakan Alwi."Bu Nyai Latifah ingin memprotes tapi tak jadi. Mau ngeyel juga percuma. Tatapan tajam sang kakak membuat nyalinya menciut. Bu Nyai Latifah kini diam. Tapi terlihat sekali masih memendam kesal. Bukannya mendoakan sang anak y
disambut banyak keingintahuan serta gosip dari para penghuni pondok. Statusnya yang adalah calon Alfa sudah tersebar ke penjuru pondok. Para santri baik putra dan putri serta para pengajar pun penasaran akan sosoknya. Mereka berlomba-lomba untuk melihatnya. Bagi yang sudah melihat, tak jarang pujian terlontar dari mereka untuk Shadiqah."Cantik, sih! Makanya Guse kesengsem.""Lah, wong cantik makanya Guse demen.""Anak mantan dubes, pantes Guse mau.""Bukan santri tapi gak papa sih, penting cantik. Anak orang kaya, mana mantan dubes lagi."Itu hanyalah beberapa kalimat pujian yang ditujukan untuk Shadiqah. Masih banyak kalimat pujian yang lain. Padahal belum ada satu hari, tapi ketenaran Shadiqah sudah ke seluruh area pondok hingga para tetangga di sekitar. Shadiqah yang mudah akrab dan supel makin disenangi oleh semua orang.Shadiqah tentu juga ikut senang. Dia diterima itu artinya satu jalan menuju istri Alfa sudah terbuka lebar. Shadiqah sudah berniat tidak akan melepaskan Alfa. Cu
Pak Munajat dan sang istri akhirnya meninggalkan pondok milik Alfa pada malam hari. Beliau tidak berkenan untuk menginap meski sang Putri sudah membujuknya. Alasannya, beliau dan sang istri harus menghadiri pertemuan penting dengan para petinggi pemerintahan. Mesti enggan, Shadiqah membiarkan kedua orang tuanya pulang sementara dirinya tetap berada di pondok.Sebelum meninggalkan pondok, Pak Munajat dengan antusias mencari-cari sosok gadis yang tadi sempat dia lihat. Pasalnya sosok gadis itu sangat mirip dengan sosok wanita yang pernah dia cintai dulu. Sayang, mereka tidak berjodoh. Tapi, mau dicari bagaimana pun, sosok si gadis tak juga terlihat. Membuat Pak Munajat memilih segera masuk mobil. Dia tak ingin terlalu menarik perhatian terutama untuk istri dan anaknya.Pak Munajat dan sang istri segera meninggalkan halaman pesantren dengan mobil mewahnya, meninggalkan jejak kekaguman pada beberapa santri yang lewat atau turut membantu di ndalem.Tepat ketika mobil Pak Munajat tidak ada
Alfa sedang duduk sambil menikmati es buah di salah satu meja bersama teman-temannya yang lain. Sesekali mereka bercerita dan tertawa. Di sebelahnya ada hijab yang menghalangi dan tanpa bertanya pun Alfa paham kalau di seberang hijab adalah para tamu wanita termasuk teman-teman Syifa di sana.“Sssst, lihat cowok yang tadi sama Teuku Rafly, kan?”“Yang cowok dari Jawa itu, kan?”“Iya.”“Ganteng ya?”“Banget.”“Hihihi, udah punya istri belum ya?”“Aku udah tanya Bang Rafly, masih munfarid tapi udah ada anak cewek satu?”“Anak?!” pekik semua gadis. Lalu mereka menutup mulut, takut dimarahi para tetua karena berisik.“Anak angkat.”“Oooo.”Para wanita yang tadi kaget kini bisa menghela napas lega termasuk gadis bercadar yang sedang duduk sendirian. Pasalnya tiga rekannya yang bercadar juga, sedang meng-ASI-hi anak mereka masing-masing. Ya, dari mereka berlima, hanya Lulu alias Galuh yang masih single. Galuh yang tidak ada teman ngobrol malah jadi ikutan mendengarkan gosip.Tak berapa jauh
Zalina sesekali melirik ke arah Alfa. Dia benar-benar mengagumi wajah Alfa yang tampan. Mana perawakan Alfa mirip sekali seperti kakak pertamanya yang tinggi besar. Jadi terlihat gagah. Kulit Alfa yang tidak terlalu putih juga menunjukkan pesona khas lelaki Jawa yang membuat Zalina betah memandang Alfa."Kamu bisa gak sih, gak kelihatan ganjen gitu, Lin," bisik Zami. Dia tentu saja sejak tadi bisa melihat tingkah genit sang adik yang sebentar-sebentar melirik Alfa."Ganteng, Bang. Mana gagah lagi.""Cih, gantengan aku.""Apaain sih, Abang mah kerempeng, noh Bang Rafly itu baru gagah bin ganteng. Kayak Bang Alfa juga."Zalina kembali tersenyum saat menatap Alfa. Sebetulnya sudah sejak tadi Zalina mencoba mencari perhatian Alfa. Sayang, si kanebo kering lebih banyak menunduk selama pengajian dan jarang menatap lawan jenis. Hal itu membuat Zalina merasa tertantang. Pasalnya di desa ini dia terkenal paling cantik dan jadi idaman banyak pria. Jadi kalau ada pria yang tidak melirik dirinya,
“Dedek Faaaaay, Abah mertuamu datang!” teriak Hanan menggema. Fairuz yang sedang bermain di halaman belakang langsung melempar mainannya dan berlari menuju Hanan.“Masya Allah, mantuku yang cantik, giimana kabarmu, Sayang?” Hanan membopong Fairuz lalu mencium gemas kedua pipi Fairuz.“Woi! Lepasin anakku gak!” “Gak mau ya, orang Fay calon mantuku ya Nak ya."“Iya.”“Tuh, weeee.”Hanan kini memutar-mutar tubuh Fairuz. Bukannya takut, Fairuz malah minta lebih tinggi. Tak berselang lama Nabila dan sang putra yang kini berusia delapan belas bulan juga datang.“Fay Sayang? Peluk Umi, Nak?”“Umiii.”“Aaaaa, calon mantuku.”Nabila mengulurkan dua tangannya. Fairuz minta turun dari gendongan Hanan. Si gadis cilik berlari ke arah Nabila lalu keduanya berpelukan.“Masya Allah kamu tambah cantik, Nak.” Tak lupa Nabila mengecup pipi gembul Fairuz saking gemasnya.“Kim Kim Kim peyuk.” Bocah lelaki berusia delapan belas bulan bernama Hakim, menarik-narik baju Fairuz. Fairuz tertawa. Dia memeluk ge
Alwi sedang asik makan siang di ruang tamu sambil sesekali ngobrol dengan Fairuz. Kyai Baihaki dan Bu Nyai Khomsah sedang berada di pondok. Alfa sendiri sedang menemui dua pengurus pondok putra, membahas beberapa hal penting di ruang perpus merangkap ruang kerjanya."Fay.""Ya Om.""Pengen punya ibu gak? Cari sana, bapakmu kan banyak yang naksir.""Fay udah punya Umi.""Siapa?""Umi Galuh. Kan kita sama wajahnya."Fairuz menunjuk kedua pipinya dengan kedua jari telunjuk. Tak lupa matanya dia kedip-kedipkan."Dih! Bukan ya! Galuh itu calon istri masa depan om.""Umi aku weee.""Istriku.""Umiku!"“Istriku.”“Umiku Umiku Umiku!”"Istriku istriku istriku!"Alwi tak mau kalah ngotot dengan Fairuz. Mereka berdua bagai kucing dan anjing. Meski Fairuz suka diledekin sama Alfa, tapi ledekan Alfa hanya akan membuat Fairuz jengkel sebentar lalu tertawa karena Alfa pintar menjungkir-balik hati sang anak yang jatuhnya tidak akan bisa betah lama-lama marah pada sang abah. Sementara Alwi, polahnya
2 Tahun 4 Bulan KemudianAlfa masih bergelung nyaman di kasurnya. Maklum dia baru saja sampai rumah mendekati subuh. Setelah sholat subuh, Alfa memutuskan untuk tidur karena rasa lelah dan kantuk yang tak tertahankan. Rasanya baru saja dia terlelap, gedoran di pintu kamarnya terdengar menggema.Alfa bukannya bangun, malah mempererat pelukannya pada bantal guling kesayangan. Aksi yang membuat si penggedor jadi tidak sabaran dan memilih masuk setelah mengucap salam.“Assalamu'alaikum, Abaaaaah!” teriakan gadis cilik berusia tiga tahun menggema di seluruh kamar.Bukannya bangun, Alfa malah makin mengeratkan pelukan pada guling. Sang gadis cilik kesal, dia menggelembungkan kedua pipinya.“Abaaah, banguuuun!” teriaknya.Fairuz langsung saja menuju ke ranjang. Tak lupa dia menduduki punggung Alfa sambil berteriak membuat Alfa kaget dan sontak membuka matanya.“Abaah, bangun bangun bangun. Abah kok tidur mulu, ih! Bangun!” teriak Fairuz.Alfa masih ngelag, dia membuka matanya. Awalnya kurang
Alfa menatap sendu nisan bertuliskan 'Melati Anggraini binti Fulan'. Dengan bantuan Aidan, mereka bisa mencari panti asuhan tempat Melati dulu dirawat. Sehingga Melati bisa dimakamkan di pemakaman dekat panti asuhan "Kasih Bunda" tempat Melati dibesarkan dari bayi.Jamilah, sang pemimpin panti serta beberapa penghuni panti yang mengenal Melati sangat terpukul dengan kematian Melati. Bagi mereka, Melati adalah orang baik yang ramah, penuh kasih sayang dan menyenangkan.Jamilah, mencoba tegar. Dia mengusap air matanya lalu menatap ke arah Alfa dan Aidan."Terima kasih, karena sudah mau mengurusi jenazah Melati dan membawanya kemari."Jamilah menghela napas. "Anak itu sangat cantik dan baik. Makanya Amer jatuh cinta padanya. Sayang, kedua orang tua Amer menentang. Tapi dasarnya Amer keras kepala dia tetap nekat. Melati juga sudah terlalu bucin. Sudah saya larang, tapi dia tetap nekat."Jamilah tersenyum lemah. "Meski tanpa restu mereka tetap menikah. Meski banyak ujian terutama dari kelu
"Astaghfirullah!""Ya Allah!""Allahu akbar!""Aaah!"Bruk! Brak! Jeder!Dentuman demi dentuman, teriakan demi teriakan, takbir hingga ucapan istighfar menggema jadi satu. Suasana di sekitar Tol Calarang tepatnya di kilometer 82 benar-benar kacau. Ada sekitar 17 mobil pribadi yang ikut menjadi korban tabrakan beruntun yang disebabkan oleh truk pembawa kardus. Jeritan dan teriakan terus menggema. Beberapa mobil yang berada di depan atau belakang lokasi mobil yang bertumpuk, berhenti. Beberapa dari mereka ada yang keluar dari mobil untuk membantu para korban. Beberapa dari korban yang selamat, mencoba menyelamatkan diri.Alfa merasakan rasa sakit di bahu dan pelipisnya. Dia melirik ke arah belakang tempat kedua temannya berada."Hanan! Iklas!" teriaknya.Alfa mencoba melepaskan diri dari himpitan. Dia tak bisa keluar dari kanan, sehingga Alfa mencoba keluar dari pintu samping kiri. Meski merasakan sakit yang luar biasa, Alfa segera menuju ke bagian belakang, tampak Hanan dan Iklas yang
Tiga anggota keluarga Munajat masih berada di ruang tamu bersama Eko. Keempatnya tidak ada yang bersuara, semua diam dengan pikiran masing-masing. Ponsel Munajat berbunyi.“Bagaimana?”“Penyadapan. Ada seseorang yang bisa masuk ke sosmed Arkan dan penyimpanan foto beserta video Arkan yang tersimpan di gdrive.” Suara seseorang terdengar di seberang telepon.Munajat tertawa keras sekali. “Kamu mau bilang, si bedebah Alfa punya backingan orang yang tidak biasa?”“Betul. Tapi, kami tidak bisa melacak siapa orangnya, Tuan."“Hahaha, tidak usah dilacak. Percuma, aku yakin dia pasti orang cerdas nan cerdik. Mainnya halus.”"Iya Tuan.""Gadis itu bagaimana?""Sama Tuan. Hilang jejak."Lagi, Munajat tertawa. "Baiklah. Baiklah."Munajat memberi beberapa perintah untuk anak buahnya lalu dia menutup sambungan. Munajat menyandarkan punggung di sofa. Dia memijit pelipisnya. Pikirannya kemana-mana.Lama, keheningan kembali melanda hingga Yunita, istri dari Munajat memberanikan diri untuk mendekati s
"Mas Alfa," lirih Shadiqah. Alfa tak menjawab. Dia hanya menatap tajam sosok Shadiqah tanpa berkedip. Pak Eko yang baru datang melirik ke arah Shadiqah, Alfa, Shadiqah lagi lalu ke Alfa dan kini ke arah duo Hanan-Iklas yang terlihat sedang berbisik-bisik."Gila, udah mahir, Bro. Aku aja yang mau nikah masih deg-degan, bingung gimana besok nyium biniku pertama kali," bisik Hanan."Binimu masih segel kan?" bisik Iklas juga."Segel lah. Santri tahu. Dididik agama dengan baik insya Allah.""Good job, Bro. Wah, besok aku kudu pinter nyari calon bini, Alfa aja yang perfeksionis sampai ketipu.""Harus, Mas Bro. Harus!"Hanan dan Iklas terus berkasak-kusuk. Shadiqah sendiri fokus menatap Alfa. Dia jujur takut, Alfa melihat semua yang dia lakukan."Ma-""Pakai baju yang sopan dulu, Sha. Saya tunggu. Dan ... kalau tak ingin memakai kerudung, tak masalah. Penting bajumu sopan dan terutama ... tutupi lehermu!" ucap Alfa dingin. Ada ketegasan juga dalam suara Alfa.Shadiqah meneguk ludahnya kasar