Setelah terbangun dari tidurnya, Alfa sama sekali tak bisa tidur hingga azan subuh berkumandang. Dia pun memutuskan ke masjid saja. Di ruang tengah, Alfa bertemu dengan kedua orang tuanya."Kamu pindah jam berapa ke kamar, Nang? Semalam kan umi suruh pindah katanya mager mau tiduran di sofa dulu.""Jam dua-an Umi.""Oooo."Bu nyai Khomsah lalu mengajak suami dan putranya untuk segera menuju ke masjid. Sampai di sana, bu nyai Khomsah memisahkan diri menuju ke bagian putri. Puji-pujian berkumandang dalam lantun merdu. Membuat hati para manusia menjadi tenang bagi yang hatinya dengan lapang percaya akan adanya Tuhan dan ingin menjadi hamba yang taat.Pukul lima kurang lima belas menit, sholat subuh pun dilaksanakan dengan Kyai Baihaki sebagai imam. Sehabis sholat, dilanjutkan dengan wiridan lalu kultum. Alfa terus berada di masjid hingga sampai pukul enam."Bah, Alfa duluan."Alfa berpamitan pada sang abah yang masih asik bercengkrama dengan para jamaah yang seumuran dengan beliau. "Oh
Jauza merasakan tatapan ketidaksukaan yang begitu kentara dari tatapan Alwi. Dia yang memiliki hati begitu sensitif sampai terdiam untuk waktu yang lama. Namun, keterdiaman Jauza terkikis oleh suara Bu Nyai Latifah yang terus saja mengajaknya ngobrol."Jauza.""Ya, Budhe.""Aku udah minta Mas Baihaki buat nerima kamu ngajar di sini. Nanti kamu tinggal di sini aja ya? Sama Budhe."Jauza hendak bersuara tapi dicegah oleh Alwi."Ya gak bisa dong Umi. Terus Alwi mau tidur dimana kalau Jauza di sini? Kami bukan muhrim. Tadi malam saja Alwi mesti nginep di pondok gara-gara Jauza datang mendadak lah ini Alwi suruh nginep sana lagi?" Suara Alwi terdengar sangat ketus membuat Jauza tak enak hati."Ya bareng juga gak papa. Kan kalian masih sepupu.""Sepupu bukan mahram, Umi.""Ya udah nikah aja, kalian. Gampang," celetuk Bu Nyai Latifah santai."Moh!" Alwi menjawab spontan dengan suara lantang. Membuat Jauza merasakan sakit di dada. 'Mas Alwi langsung nolak aku terang-terangan,' batinnya.'Ter
Alfa sedang berlari menuju ke ruang IGD di rumah sakit Sigap Medika. Dia baru saja dihubungi oleh seseorang yang mengatakan kalau Alwi mengalami kecelakaan. Sampai ruang IGD, Alwi segera menuju ke bagian administrasi. "Maaf Mbak. Pasien atas nama Alwi, yang kecelakaan tadi pagi, dimana ya?""Oh, anda siapa?""Saya kakak sepupunya.""Mari ikut saya."Salah seorang petugas mengantar Alfa ke tempat Alwi. Sampai di sana, Alwi baru saja mendapat pertolongan pertama. Dokter yang menangani Alwi memberitahu Alfa apa yang terjadi."Luka serius di kepala dan tungkai kanan bawah patah. Kami harus segera melakukan tindakan operasi. Kami butuh persetujuan keluarga korban.""Lakukan apa saja yang terbaik, Dok.""Baiklah."Alfa segera diminta mengurusi administrasi dan menandatangani persetujuan operasi. Begitu selesai, dia langsung menengok sang adik. Hati Alfa terasa tercabik-cabik melihat kondisi Alwi yang begitu mengenaskan."Kamu kenapa jadi begini, Wi? Astaghfirullah. Padahal paginya kamu ma
Bu Nyai Latifah menatap pasangan Arkan dan Shadiqah dengan tatapan kebencian. Bagi ibunya Alwi, keduanya adalah penyebab sang putra kecelakaan. Beliau bahkan meminta pada sang kakak untuk memanggil polisi agar memenjarakan Arkan. Tentu saja Arkan tersulut emosi dan melemparkan fakta-fakta serta bukti rekaman yang sudah dia peroleh akibat bantuan sahabatnya. Dalam rekaman itu jelas Alwi lah yang salah. Mobil yang dikendarai Arkan hanya 'nampani' motor Alwi yang mencoba menghindari truk besar."Mau adu pendapat di kantor polisi ayok Bu Nyai, saya berani. Orang saya tidak salah kok." Arkan dengan santai memprovokasi Bu Nyai Laila.Kyai Baihaki mencoba menenangkan sang adik."Latifah, ini bukan saatnya salah-salahan. Sekarang yang terpenting kita harus mendoakan Alwi."Bu Nyai Latifah ingin memprotes tapi tak jadi. Mau ngeyel juga percuma. Tatapan tajam sang kakak membuat nyalinya menciut. Bu Nyai Latifah kini diam. Tapi terlihat sekali masih memendam kesal. Bukannya mendoakan sang anak y
disambut banyak keingintahuan serta gosip dari para penghuni pondok. Statusnya yang adalah calon Alfa sudah tersebar ke penjuru pondok. Para santri baik putra dan putri serta para pengajar pun penasaran akan sosoknya. Mereka berlomba-lomba untuk melihatnya. Bagi yang sudah melihat, tak jarang pujian terlontar dari mereka untuk Shadiqah."Cantik, sih! Makanya Guse kesengsem.""Lah, wong cantik makanya Guse demen.""Anak mantan dubes, pantes Guse mau.""Bukan santri tapi gak papa sih, penting cantik. Anak orang kaya, mana mantan dubes lagi."Itu hanyalah beberapa kalimat pujian yang ditujukan untuk Shadiqah. Masih banyak kalimat pujian yang lain. Padahal belum ada satu hari, tapi ketenaran Shadiqah sudah ke seluruh area pondok hingga para tetangga di sekitar. Shadiqah yang mudah akrab dan supel makin disenangi oleh semua orang.Shadiqah tentu juga ikut senang. Dia diterima itu artinya satu jalan menuju istri Alfa sudah terbuka lebar. Shadiqah sudah berniat tidak akan melepaskan Alfa. Cu
Pak Munajat dan sang istri akhirnya meninggalkan pondok milik Alfa pada malam hari. Beliau tidak berkenan untuk menginap meski sang Putri sudah membujuknya. Alasannya, beliau dan sang istri harus menghadiri pertemuan penting dengan para petinggi pemerintahan. Mesti enggan, Shadiqah membiarkan kedua orang tuanya pulang sementara dirinya tetap berada di pondok.Sebelum meninggalkan pondok, Pak Munajat dengan antusias mencari-cari sosok gadis yang tadi sempat dia lihat. Pasalnya sosok gadis itu sangat mirip dengan sosok wanita yang pernah dia cintai dulu. Sayang, mereka tidak berjodoh. Tapi, mau dicari bagaimana pun, sosok si gadis tak juga terlihat. Membuat Pak Munajat memilih segera masuk mobil. Dia tak ingin terlalu menarik perhatian terutama untuk istri dan anaknya.Pak Munajat dan sang istri segera meninggalkan halaman pesantren dengan mobil mewahnya, meninggalkan jejak kekaguman pada beberapa santri yang lewat atau turut membantu di ndalem.Tepat ketika mobil Pak Munajat tidak ada
Shadiqah sedang menatap Galuh dengan intens. Bibirnya sesekali tersenyum sinis. 'Anak terbuang rupanya? Hah! Gak bisa disandingin sama aku.' Shadiqah membatin.Dengan sifatnya yang mudah berbaur, Shadiqah langsung bisa mencari info tentang Galuh. Para santri atau ustazah dengan mudahnya menceritakan siapa Galuh itu. Dan info yang Shadiqah dapat membuatnya makin meradang karena dia merasa harga dirinya tercoreng karena harus dibandingkan dengan gadis yatim piatu tanpa asal asul yang jelas. Padahal dia anak orang kaya, mantan dubes lagi. Galuh sih apa, begitu pikirnya. Untuk itu, Shadiqah bertekad akan mempermalukan sang gadis. Membuatnya menyadari betapa berbeda kelas antara dia dan Galuh. 'Lihat saja! Akan kutunjukan seperti apa itu seorang calon ratu. Dan betapa rendahnya seorang babu.'Shadiqah berjalan dengan santai menuju ke arah Galuh yang sedang sibuk melipat pakaian kedua orang tua angkatnya. "Mbak Galuh, sendirian?" tanya Shadiqah. Dia ikut duduk di sisi tikar yang lain.Ga
Alfa sedang menderas Alqur'an di samping ranjang sang adik. Tiba-tiba rintihan pelan terdengar. Alfa kaget dan langsung menutup mushaf kecil yang sedang ia baca kemudian dia berdiri. Dia dekati sang adik."Masya Allah. Wi! Alwi, kamu dengar Mas?"Suara erangan terdengar. Alfa mengucap syukur. Dia bahkan bersujud di lantai. Rasa haru bercampur tangis mencuat di diri Alfa. Dia segera menghapus air matanya, tak mau sampai orang tahu kalau dia menangis. Apalagi Alwi, bisa bibully tujuh turunan nanti."Wi! Kamu dengar suaraku?" Alfa kembali memanggil nama sang adik.Suara erang kesakitan kembali terdengar sebagai respon. Alfa kembali mengucap syukur. Lalu dia segera menekan tombol emergency. Tak berselang lama seorang perawat datang dan lima belas menit dari kedatangan perawat, dokter jaga pun datang diikuti satu perawat lagi. Alfa sendiri segera menelepon Bunyai Latifah, mengabarkan jika Alwi sudah siuman. Beliau sedang makan siang bersama Jauza.Ucapan hamdallah Alfa lantunkan lagi begit
"Dasar wanita bodoh. Keturunan najis. Cih! Kamu selain bodoh punya kelebihan apa hah? Kamu pakai pelet apa sih, sampai Umar anakku kesengsem sama kamu. Kenapa dia gak mau sama Bibah yang sempurna? Eh eh eh, malah nangis. Bisanya cuma nangis, dasar tolol! Sana kamu ke kamar saja. Sepet mataku lihat kamu. Jangan pernah nongol di sini. Perkumpulan ini hanya untuk keluarga Al Hilabi, sama orang-orang terhormat seperti Bibah. Orang miskin kayak kamu gak pantes di sini. Gak pantes jadi istrinya Umar. Gak pantes jadi mantuku!" ucap Umi Lutfiyah sambil menatap Anjani jijik dan penuh kebencian.Bayangan demi bayangan kian berlarian dalam ingatan Habiba. Habiba seakan ditarik paksa dari kisah lampau. Kisah dimana dia dulu dipuja, dibela dan bisa sombong. Kini dia malah tersiakan, tak dilirik, tak diinginkan.Habiba sedikit terhuyung. Bayang-bayang masa silam masih begitu kentara dalam pikirannya. Dulu dia selalu dibela oleh Umi Lutfiyah dan menyebabkan keluarga Al Hilabi juga mendukungnya. Tapi
“Cerai?” ucap Syakib. Meski dia sudah sadar kalau suatu hari nanti Habiba akan meminta cerai darinya, namun ketika mendengar langsung, terasa ada tusukan pisau yang menembus ke jantungnya. Syakib rupanya belum siap mendengar ajakan cerai Habiba. Hal ini terbukti, tanpa aba-aba air matanya turun. Yara dan Amira sendiri terlalu shock, keduanya belum mampu merespon ucapan Habiba. “Cerai?” ulang Syakib. “Ya cerai. Aku sudah tidak tahan menikah denganmu. Bahkan aku merasa kalau selama ini aku sudah banyak melewatkan masa mudaku cuma buat status gak penting ini. Sekarang … aku mau bahagia. Aku mau meraih masa depanku dan itu bukan kamu!” teriak Habiba. Syakib diam. Dia terlalu shock mendengar kata ‘cerai’ dari mulut Habiba. Namun, beberapa saat kemudian, Syakib bisa mengendalikan diri. Yara dan Amira juga. Tapi keduanya memilih tak mengatakan apapun. Tak mau ikut campur. Amira memilih untuk melihat saja, apa yang akan suaminya putuskan. “Jadi, akhirnya hanya sampai di sini saja,”
Habiba tersenyum penuh kemenangan menatap Faris yang hanya bisa terdiam. Hari ini, dia datang ke Andalusia bersama dua orang polisi dengan tujuan untuk menangkap Anjani. Habiba memberikan beberapa bukti seperti hasil visum dan foto dirinya yang terluka. Dia juga membawa tiga orang saksi yang merupakan santri Andalusia yang bisa dia suap agar bisa memberikan keterangan terjadinya pemukulan yang dia terima dari Anjani. Dalam hati, Habiba yakin kalau rencananya saat ini akan berhasil.“Kami memberi kesempatan Anda untuk menyiapkan pengacara, tapi sebelumnya, kami harus membawa Nyonya Anjani ke kantor polisi,” ucap salah satu polisi.Faris menghela napas dia menatap sedih pada Anjani. Dia pun membawa tangan Anjani pada genggaman jemari tangannya.“Kamu ikut dulu ya? Galuh yang akan temani kamu ke sana sama Alfa. Mas akan hubungi salah satu pengacara kenalan Mas. Semoga dia bisa bantu buat bebasin kamu. Kamu jangan khawatir ya Sayang. Mas akan lakukan apapun untuk menyelamatkan kamu.”Anja
"Apa kamu bilang? Buktinya sudah dihancurkan? Oleh siapa?" Habiba yang baru saja dilapori oleh anak buahnya terkejut, ketika diberitahu bahwa bukti foto dan video yang sudah didapatkan oleh anak buahnya, hilang. “Gak tahu, nyonya.” “Kenapa bisa gak tahu? Emangnya kamu gak lihat wajahnya?” “Mereka pake masker, Nyonya?.” “Apa?” “Iya Nyonya. Kejadiannya begitu cepat. Intinya begitu saya mendapatkan bukti, saya langsung pergi, biar gak ada yang curiga. Begitu sampai keluar dari pondok, saya dicegat, Nyonya. Badan mereka gede-gede.” “Terus?” "Mereka menghentikan saya. Saya mau kabur tadi dihadang oleh salah satu dari mereka. Yang lainnya meminta HP saya. Gak tak kasih. Malah saya dicekal, dipukuli dan semua yang saya foto dan rekam, mereka hapus. Bukan itu saja, ponsel saya direset semua. Gak ada apa-apa jadinya," terang Abdul. Orang suruhan Habiba yang dia tugasi memvideo perdebatan antara dirinya dan Anjani. Kejadian hari ini, memang sengaja dia lakukan untuk menjebak Anjani. Se
Anjani yang sedang sibuk menata tanaman di kebun pondok bersama beberapa santriwati kaget mendapati kedatangan Habiba. "Kamu!" "Ya ini aku." "Ada apa?" Habiba tak menjawab. Dia justru menarik paksa cadar yang dipakai oleh Anjani. Membuat wajahnya yang buruk terlihat oleh para santri. Mereka menjerit, Anjani mencoba menutupi dengan kerudungnya. Habiba tertawa puas. "Hahaha. Ternyata benar. Wajahmu jadi buruk rupa. Buruk sekali macam monster. Hai kalian semua. Lihat istri Kyai Kalian, dia jelek. Kayak monster. Hahaha. Lihat dia. Hahaha. Masa kalian mau punya Bu Nyai kayak dia?" teriak Habiba. Para santri menatap keduanya dengan bingung lalu berubah kaget saat cadar Anjani terbuka. Para santri memamerkan banyak ekspresi. Dari kaget, takut hingga ekspresi jijik ketika melihat wajah Anjani. Beberapa bahkan menjerit ketakutan dan mengatainya monster. "Hahaha. Lihat. Orang kayak gini jadi istri seorang Umar? Gak pantes. Gak pantes sosok begitu sempurna punya istri kayak dia. Gak pan
Galuh dan Alfa sedang duduk bersama dengan kerabat lain menikmati sarapan pagi. Ada beberapa menu khas wilayah Timur Tengah yang menjadi sajian di meja makan."Kenapa?" tanya Alfa melihat sang istri yang terlihat tidak terlalu bernapsu makannya."Hehehe." Galuh hanya tertawa dan kembali menyuapi Fairuz."Gak suka?""Gak sih, cuma ... gak terbiasa aja. Biasa lihatnya nasi, lalapan sama sambel terasi."Alfa terkekeh lalu kembali menyuapkan makanan ke mulut."Untung aku pernah bertahun-tahun di Kairo. Jadi gak kerasa aneh di lidah," bisik Alfa. "Aku yang merasa aneh, Mas. Sama Fay. Soalnya lidahnya sudah Jawa semua. Ini aja Fay mintanya telor dadar."Alfa terkekeh, Galuh juga."Nanti juga terbiasa.""Moga aja."Di sudut lain, tampak Anjani sedang meladeni suaminya dengan telaten. Pun dengan para istri dari Abu Hasan, Syafiq dan Syakib. Ulfa dan Amira dengan telaten menghidangkan sarapan untuk para suami. Bahkan keduanya makan dalam satu piring bersama suami masing-masing. Khodijah pun s
Yara sedang mengamati Galuh dengan intens, dia penasaran akan sosok sepupunya. Dan yang paling membuatnya penasaran adalah kenapa Galuh bisa menarik hati Alfa sementara dia yang juga punya wajah turunan Arab tidak bisa menarik hati Alfa.“Suami orang gak usah dilihat segitunya, Kak Yara. Ingat Kak Rafi loh," bisik Yesha sengaja menggoda sang kakak.“Apaain, sih. Cuma penasaran aja.”“Penasaran sih penasaran. Tapi jangan kelihatan banget, Kak.” Lagi, Yesha menggoda sang kakak.Yara sekali lagi meminta sang adik untuk tidak menggodanya. Kedua saudara masih asik beradu pendapat. Tanpa sengaja, tatapan mata keduanya bertubrukan dengan tatapan Galuh. Galuh mengulas senyum ramahnya dan dibalas oleh kedua bersaudara dengan sedikit kikuk.Lalu baik Yara dan Yesha memilih pura-pura membahas hal lainnya. Galuh yang sadar, dua bersaudara baru saja membicarakan dirinya dan Alfa memilih cuek. Semenjak kabur dari An-Nur, Galuh sudah bisa lebih berekspresi. Dia sudah tidak manutan dan minderan, poko
Alfa baru saja memarkirkan motornya lalu diikuti Zahra yang parkir di sebelah kirinya. Tak berapa lama, mobil yang dinaiki Faris CS juga sampai di halaman ndalem Pondok Pesantren Andalusia. Abu Yasin yang sejak kemarin diberitahu sang keponakan kalau dia akan pulang bersama anak, istri, menantu, cucu, keponakan serta iparnya tentu sudah menunggu sejak pagi. Syafiq dan Syakib juga ikut menunggu.Maka tak heran, begitu mendengar suara motor dan mobil di halaman, mereka segera keluar. Tampaklah di mata mereka, Faris dan yang lain sedang sibuk menuruni koper-koper sementara Alfa dan Galuh sedang sibuk membangunkan Fairuz.“Sudah sampai Abah, Umi?”“Sudah.”“Hoaam.”Fairuz menguap, Galuh terkekeh lalu segera membawa sang putri dalam gendongan. Sementara Alfa membantu mengambil koper.“Assalamu'alaikum, Ami!” teriak Faris.“Wa'alaikumsalam. Kamu sudah sampai, Umar?”“Iya, Ami. Lihat yang kubawa, ada istri, anak, menantu, cucu, keponakan sama kedua iparku," ucap Faris dengan raut wajah gembi
Alfa sedang menepuk-nepuk paha Fairuz dengan pelan. Lama-kelamaan putri angkatnya tertidur juga. Galuh yang baru keluar dari kamar mandi tersenyum. Dia pun mendekat ke arah ranjang."Sudah tidur?""Gak sampai lima menit, udah tidur dia." Alfa memberi tempat untuk sang istriGaluh pun merebahkan diri di tengah seperti biasa. Alfa segera memeluk sang istri, erat. Sesekali dia mengecup kening sang istri."Belum ada hasil ya? Gus Alwi masih belum nerima?""Iya."Galuh melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mungkin biarkan saja. Sama seperti Mas yang selalu cuek sama Bu Nyai Latifah, kini Mas Alfa juga kudu begitu sama Gus Alwi.""Entahlah. Mas merasa bersalah. Tapi di satu sisi, Mas juga bersyukur memiliki kamu.""Galuh juga, Mas. Galuh bersyukur suami Galuh itu kamu. Pas memutuskan pergi dari sini, dan yakin kalau Mas akan menikahi Mbak Shadi, Galuh sudah memutuskan mau hidup sendirian saja."“Gak mau nikah?”“Gak pengen.”“Karena suamimu bukan aku?”Galuh mengangguk, Alfa menge