Ruang tamu rumah Kyai Baihaki masih memancarkan aura panas. Maklum, sejak beberapa jam yang lalu terjadi perdebatan sengit antara Bunyai Latifah dengan sang kakak. Kyai Baihaki masih mencoba memberi masukan sambil meredam amarahnya, tapi sang adik terlalu egois. Demi egonya dia tak mau mendengar nasehat sang kakak.“Terus maumu apa?” tanya Kyai Baihaki.“Ya mauku, Alwi sembuh, Mas.”“Terus?”“Pokoknya aku gak mau dia sama Galuh. Titik. Anakku terlalu berharga buat gadis miskin dan tanpa nasab gak jelas itu,” sinisnya.“Latifah!” bentak Kyai Baihaki.“Aku ngomong bener kok. Kalau nasabnya gak jadi masalah, Galuh udah nikah sejak dulu, gak jomblo kayak sekarang. Bahkan, kalau nasabnya gak jadi masalah, Mas Baihaki pasti nyuruh Alfa nikahin dia kan? Tapi gak. Alfa milih si Shadiqah yang orang tuanya jelas. Mas juga gak ngelarang. Terus kenapa aku juga gak boleh milih Jauza buat anakku? Yang udah jelas nasabnya dibanding Galuh?”Bunyai Latifah tak menyetujui usul sang kakak untuk menikahk
Galuh menekan dadanya. Rasanya sakit sekali. Niat hati ingin menemui sang ibu angkat karena harus membahas sesuatu. Ternyata dia malah mendengarkan banyak hal yang membuat hatinya sakit. Galuh sebetulnya tidak ingin mencuri dengar. Tapi, sejak dia mendengar namanya disebut terus, mau tak mau dia jadi penasaran dan menguping semua pembicaraan.'Ya Allah sakit,' batin Galuh. Tanpa sadar dia memukul dadanya. 'Kenapa ya Allah? Kenapa aku harus selalu menanggung masalah karena nasabku. Sebenarnya aku siapa? Apakah tidak ada tempat yang bisa menerimaku dengan baik? Bagaimana bisa Abah memberi saran agar aku menikahi Gus Alwi? Bukankah beliau tahu, bagaimana adiknya memeperlakukanku selama ini?'Tak tahan dengan rasa sakit yang dia alami. Galuh segera pergi dari kediaman Kyai Baihaki sebelum ada yang sadar akan keberadaannya. Sayang, baru juga berbalik, Galuh menabrak seseorang."Aduh!" Galuh tanpa sadar memekik. Dia segera menutup mulut dan menoleh ke arah ruang tamu. Tapi, tak ada perger
Shadiqah menatap calon suaminya dengan kekesalan yang sudah memuncak."Mas sama Galuh tadi ngapain? Kenapa deket banget gitu?" semburnya. Dia cemburu karena Alfa tak pernah sedekat itu dengan dirinya. Apalagi sampai pegangan tangan."Cuma ngomong, Sha.""Ngomong kenapa sambil pegangan tangan?""Aku gak pegangan cuma nyekal lengan dia. Itu pun ada kain yang menghalangi.""Aku gak suka Mas. Lagian kamu gak usah ngurusi dia lagi. Cuma anak ha-!""Shadi!" teriak Alfa membuat Shadiqah terdiam. Pasalnya baru kali ini Shadiqah dibentak sama Alfa."Jaga ucapanmu!"Alfa memelototinya dengan tatapan tajam. Shadiqah meneguk ludahnya kasar. Dia mengumpati dirinya karena hampir saja keceplosan."Oke aku minta maaf. Tapi Mas! Mas jangan bela Galuh doang dong. Lihat ini!" Shadiqah memperlihatkan pergelangan tangannya."Aku disakitin Galuh, loh. Lihat ini tanganku." Dia mengadu.Alfa melirik ke arah tangan Shadiqah."Gak ada yang aneh pada tanganmu, Shadi. Dan tolong kamu tunggu di sini. Aku harus ke
"Tapi saya gak cinta!"Kalimat itu bagai petir di siang bolong. Alwi shock. Meski sudah terbiasa ditolak oleh Galuh tapi tidak pernah di depan banyak orang seperti sekarang. Jadi Alwi bingung mau ngomong apa.Sementara itu, Alfa terlihat menghembuskan napas, wajahnya yang tadi terlihat tegang, sudah mulai mengendur. Hanan bahkan sampai ingin tertawa melihatnya tapi dia tahan. Tak elok di saat suasana lagi genting dia malah menertawakan Alfa."Saya gak cinta sama njenengan Gus Alwi. Bagaimana saya bisa menerima njenengan?"Alwi masih diam. Lalu setelah rasa shock-nya sedikit berkurang, Alwi mampu berbicara."Cinta datang karena terbiasa, Galuh." Akhirnya setelah lama diam, Alwi mampu membalas ucapan Galuh."Begitu, ya," ucap Galuh tak yakin."Kamu tahu kehidupan pondok. Banyak orang yang awalnya dijodohkan. Pakdhe, Budhe, dan yang lain juga. Mereka gak masalah dan langgeng kok hubungannya."Galuh tak menjawab. Dia hanya menatap Alwi dengan sorot mata yang tidak bisa diartikan."Kita bi
Suasana di ruang rawat Alwi masih penuh dengan aura suram. Alfa, Galuh, Alwi bahkan Bu Nyai Khomsah, sama-sama menangis. Kyai Baihaki terlihat lesu. Hanan melirik semua orang bergantian. Dia jadi ikutan sedih. Sementara Bu Nyai Latifah masih terlihat kembang kempis dadanya. Rupanya amarahnya masih bercokol di diri. Tak ada yang berbicara, semua sibuk dengan perasan masing-masing. "Hiks hiks hiks. Aku minta maaf, Luh. Maaf," ucap Alwi setelah keheningan terjadi begitu lama."Tapi demi Allah, Luh. Aku benar-benar mencintaimu. Hanya kamu, dan gak akan ada yang lain."Galuh tak membalas pernyataan Alwi. Dia sibuk menghentikan tangisnya. "Kalau, aku minta kesempatan apa boleh? Aku akan berusaha untuk sembuh. Aku akan bekerja dengan giat. Dan jika aku merasa sudah pantas, aku akan kembali melamarmu."Alwi menatap Galuh dengan sorot penuh permohonan. Galuh lagi-lagi hanya diam. Bu Nyai Latifah yang egois kembali mengeluarkan kata-kata super pedas untuk Galuh.“Ngelamar apa? Gak ada! Umi ga
Malam sudah larut, di ruang rawat Bu Nyai Khomsah hanya ada Galuh dan sang ibu. Alfa dan Kyai Baihaki kembali ke rumah dikarenakan ada santri yang menelepon. Mengatakan kalau Shadiqah katanya sedang sakit. Mau tak mau Alfa harus balik. Tapi demi terjaga dari fitnah, Kyai Baihaki terpaksa ikut pulang. Jadilah hanya Galuh yang menunggu. Sebab, Bu Nyai Khomsah tak ingin ditemani santri lain. Beliau hanya ingin ada Galuh di sampingnya.Galuh dengan penuh perhatian menjaga sang ibu. Meski sesekali harus direcoki oleh Hanan yang tiba-tiba mengetuk pintu gara-gara Alwi yang menyuruhnya."Saya baik, Gus Hanan. Njenengan masuk saja. Istirahat. Sudah jam sepuluh. Tidur.""Tapi Alwi nyruruh aku buat nengokin kamu. Kalau aku gak ke sini, dia tantrum.""Bilang saya sudah tidur.""Dia gak percaya.""Bilang saya akan marah kalau dia gangguin saya terus.""Gak bakalan mempan," desahnya.Galuh tersenyum. Dia tak mengatakan apa pun hingga Hanan memilih keluar dan balik ke ruangan Alwi. Alwi yang sudah
Galuh menatap kamar rawat Alwi. Cukup lama hingga dia meyakinkan diri kalau ini yang terbaik. Galuh mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak berselang lama suara dari dalam meyakinkan Galuh kalau Alwi tidak tidur. Dengan pelan Galuh membuka pintu, tampaklah Alwi yang sedang duduk menyandar di ranjang. Alwi antara kaget dan bahagia melihat Galuh."Galuh! Kamu ke sini? Ada apa?" tanyanya antusias.Sayang Galuh tak menjawab. Tatapan Galuh justru sedang mengedar ke seluruh ruangan hingga tatapan Galuh tertuju ke arah sofa. Di sana, tampak Hanan yang tertidur dengan posisi serabutan. Mana orangnya mendengkur keras lagi. Galuh yakin, andai dia yang berada di kamar ini, dia tidak akan bisa tidur dengan dengkuran super keras Hanan.'Gus Alfa perasaan ngoroknya gak sekenceng itu,' batinnya. Lalu tanpa sadar dia tersenyum.Alwi tak suka melihat Galuh tersenyum untuk Hanan."Kamu kenapa senyumin Hanan, Luh! Orang ngorok juga!" ketus Alwi.Galuh melirik ke arah Alwi lalu kembali melirik ke arah Han
Shadiqah sama sekali tak bersuara. Hampir delapan jam perjalanan dengan setiap satu jam sekali berhenti untuk beristirahat, tapi putri dari Munajat ini jarang bersuara. Arkan tidak memaksa Shadiqah bersuara. Buat apa? Shadiqah kan memang begitu kalau lagi ngambek. Tapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya, menyadari kalau hubungan Shadiqah dan Alfa sedang di ujung tanduk. Berarti hanya tinggal menunggu momen saja. Dan Arkan tidak akan tinggal diam. Kali ini, dia tidak akan melepas Shadiqah.“Mau berhenti lagi, gak?”"Gak, lanjut aja."“Baiklah.”Arkan meneruskan perjalanan yang hanya butuh beberapa jam lagi untuk sampai. Akhirnya mobil Arkan tepat sampai di halaman rumah Shadiqah menjelang subuh. Sang ibu menyambut kepulangannya. Dia bertanya tentang keadaan sang putri. Sayang, Shadiqah tak mau menjawab malah memilih masuk ke kamarnya, dia malas menjelaskan masalahnya. Sang ibu tentu saja kaget mendapati sang putri terlihat kesal. Dia pun menatap Arkan dengan tatapan bertanya.“Shadi
Semua orang kini duduk di ruang keluarga. Namun sejak setengah jam yang lalu, tidak ada yang membahas apapun. Hanya Alfa yang mondar-mandir memanggil mantri lalu mengurusi Faris yang terluka. Begitu Faris sudah diberikan pertolongan pertama kini Kyai Baihaki mengumpulkan semua orang dalam satu ruangan. Fairuz sendiri kini berada dalam asuhan para mbak santri di pondok. Bu Nyai Latifah sendiri ikutan gabung karena kepo. Tak ada yang mempermasalahkan kehadirannya bahkan seperti kehadirannya dianggap tak ada."Baiklah. Kita selesaikan masalah hari ini juga."Kyai Baihaki menatap kepada Faris yang mengangguk lalu kepada Aiman yang terlihat masih emosional."Iman. Aku minta, kamu tahan emosimu. Biarkan Faris bercerita terlebih dahulu."Aiman tak bicara apapun tapi Kyai Baihaki tahu kalau Aiman mengerti akan maksudnya."Faris. Ceritakan semuanya."Faris mengangguk. Dia pun bercerita bagaimana dia sadar, dan bagaimana dia selalu menanyakan dimana Anjani. Tapi jawaban kedua orang tuanya selal
Faris terus menarik tangan Anjani. Keduanya entah pergi kemana, mereka pun tak tahu. Pokoknya saat itu, Faris hanya berpikir yang penting mereka menjauh sejauh-jauhnya dari si nenek sihir."Lepas! Lepas! Aku bilang lepas!" teriak Anjani. Dia mencoba melepaskan cekalan Faris dengan kasar. Tapi sulit hingha akhirnya bisa terlepas saat Anjani menggigit lengan kanan Faris."Aaaa!" teriak Faris.Cekalan Faris pun terlepas. Anjani menatap Faris dengan linangan air mata. Dia lalu berbalik hendak pergi meningalkan Faris. Dia berlari secepat mungkin namun Faris mengejarnya."Tunggu Anjani!"Anjani terus berlari tapi Faris berhasil menyusul dan secepat kilat meraih tangan Anjani menyebabkan Anjani sedikit tertarik hingga menubruk dada Faris yang meski sudah tua masih terasa bidang."Tunggu dulu. Jangan pergi.""Lepas!""Gak. Gak akan aku lepas lagi."Anjani berontak. Faris tak mau kehilangan sang istri lagi."Lepas! Lepas brengsek!" teriak Anjani."Gak akan Sayang. Mas gak akan lepasin kamu lag
Sepanjang perjalanan Alfa menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia sedang mencari keberadaan ayah mertuanya. Sama dengan Alfa, Kyai Baihaki dan Hanan juga ikut mengedarkan pandang. Hanan malah sudah mengkode sepupunya itu.“Bapak mertuamu, mana?” bisiknya.“Aku juga lagi nyari.” Alfa juga berbisik.Sampai di rumah, sosok Faris tetap saja tak ketahuan rimbanya. Nomer telepon Faris juga tidak aktif. Bahkan, ketika Alfa menelepon salah satu ustaz yang tinggal di sebelah rumah yang ditinggali Faris, sang ustaz mengatakan kalau Faris sudah tak terlihat sejak dia keluar dari rumah.Alfa ingin mencari tapi dia tak bisa karena ada beberapa urusan pekerjaan yang harus dia urus. Hanan sendiri malah sudah disuruh balik pagi itu juga, karena mau ada tamu sementara sang abah belum bisa pulang karena ada suatu urusan mendesak. Kyai Baihaki juga sama, beliau sibuk dengan jadwal ngajarnya yang padat pun Bu Nyai Khomsah. Galuh bahkan sudah kembali sibuk mengurusi sekolah. Zahra sendiri memilih menghabiskan w
Galuh menggerakkan tubuhnya. Dia kaget dan segera bangun. Galuh mengucek-ngucek matanya. "Mas Alfa?!" pekik Galuh mendapati sang suami sudah di kamar dan tidur di sebelah kirinya seperti biasa. "Mas Alfa. Mas." Galuh mengguncang bahu sang suami, pelan. Alfa seperti tidak merespon. Jadilah Galuh mengguncang lebih keras "Hem." Alfa hanya bergumam dan malah kembali tidur tak lupa dia menarik sang istri agar rebahan lagi. Galuh sedikit memekik tapi dia rebahan juga. Galuh memiringkan badan ke sang suami. Kini keduanya tidur berhadapan. Dia mengguncang bahu Alfa lagi. "Mas. Mas kapan pulang? Kata Abah Mas Alfa mungkin baliknya besok baru OTW dari Tegal. Kok sudah di sini?" Galuh menatap jam di dinding yang menunjuk pukul setengah tiga pagi. Dia lalu menoleh ke arah Fairuz yang masih bobo anteng sambil memeluk gulingnya. "Mas, ish. Jangan tidur, kamu belum jawab pertanyaanku. Mas pulangnya kapan?" Alfa sedikit membuka matanya lalu kembali merem. Lagi, Alfa mengeratkan pelukannya pad
Galuh dan Anjani masih berpelukan. Lalu Galuh tiba-tiba ingat sesuatu."Ibu.""Iya, Nduk.""Bu, berarti Galuh bukan anak hasil zina, kan? Galuh bukan anak haram, kan?" tanya Galuh dengan binar mata penuh ketakutan.Anjani menggeleng. Dia meraih kedua pipi sang putri."Bukan. Ibu menikah saat usia ibu sembilan belas tahun lebih satu bulan. Ibu dan ayahmu menikah resmi, Sayang. Di rumah kakekmu dari pihak ibu. Ada saksi ada buku nikahnya juga. Hanya saja bukunya hilang saat ibu dalam pelarian." Ada raut sedih di wajah Anjani. Galuh jadi ikutan sedih."Bu."Anjani mencoba tersenyum. "Tidak apa. Semua luka dan kesedihan ibu sudah terganti dengan kamu yang tumbuh baik seperti sekarang. Itu sudah cukup."Galuh mengangguk. Lalu antara rasa ragu dan rasa penasaran, rasa penasarannya lebih besar. Jadilah dia bertanya saja perihal ayahnya."Lalu, siapa ayahku?"Senyum yang sejak tadi sudah mulai Anjani keluarkan terganti dengan raut sedih. Galuh merasa bersalah sekali. "Bu, maaf. Galuh cuma ..
Anjani terlihat gelisah. Dia menatap ke seluruh ruangan hingga matanya tertuju pada lemari berkaca bening dengan setumpuk album foto di sana. Anjani menoleh ke kanan kiri. Dia penasaran tapi dia takut dikira tidak sopan. Tangannya tetulur memegang gagang pintu. Dia dilema diantara harus membuka atau meminta ijin.Diantara kebimbangannya, Bu Nyai Khomsah kembali masuk rumah. "Bu Anjani.""Ya," jawab Anjani kaget."Ada apa?""Maaf. Saya cuma ...." Anjani melirik ke arah lemari penuh album foto. Dia malu ketahuan tidak sopan tapi dia juga penasaran. Bu Nyai Khomsah tersenyum. "Diambil saja. Di sana banyak fotonya Galuh. Saya tahu, njenengan katanya sayang banget sama itu anak.""Nggih Bu Nyai. Saya sayang banget sama Lulu. Bahkan saya sudah menganggap Lulu anak saya."Bu Nyai Khomsah terkekeh. "Ya gimana gak sayang ya? Anaknya cantik, gemesin gitu. Saya juga begitu Bu Anjani. Uh, apalagi pas Galuh masih kecil. Nggemesine puol. Lihat aja foto-fotonya.""Apa saya boleh lihat, Bu Nyai?""
Bu Nyai Khomsah terlihat menautkan dua alisnya. Kabar yang dibawa sang suami lewat sambungan telepon membuatnya kaget. Rupanya bukan hanya Bu Nyai Khomsah, Galuh juga sudah menerima berita itu dari sang suami."Iya Mas. Aku gak papa. Tenang aja. Mas selesaikan urusan Mas di sana."Galuh mengangguk beberapa kali lalu menimpali ucapan sang suami. Sambungan pun berakhir setengah jam kemudian. Galuh terlihat menghela napas, dia kembali ke ruang tengah dimana sang umi rupanya baru juga selesai menelepon."Ada apa Bu Nyai? Kok kelihatan sedih begitu?" pancing Zainab. Jujur saja dia penasaran tentang kabar dari Andalusia tapi dia mencoba bermain cantik."Lulu juga kelihatannya habis denger berita yang gak bagus."Galuh yang baru duduk di samping ibu Anjani bercerita kabar yang dia dengar dari sang suami."Astaghfirullah, bisa begitu?""Iya Budhe. Kata Mas Alfa ini bukan yang pertama, tapi pas Bu Nyai Sepuh meninggal juga begini. Putranya bahkan sampai menelepon dan menghubungi banyak orang,
“Dasar anak yatim, anak haram, bisa-bisanya dia balik lagi ke sini. Mana jadi istrinya Alfa lagi, huh! Sebel, sebel!” Bu Nyai Latifah ngomel-ngomel sambil berjalan keluar dari rumah sang kakak. “Huh, padahal sudah bagus dia pergi. Malah balik lagi. Tapi … setidaknya dia gak bakalan bisa gangguin Alwi lagi. Cih, si Alfa ngelepas anak dubes demi anak haram jad---aw!” Bu Nyai Latifah tanpa sengaja menabrak sosok Zahra yang sedang berdiri diam karena menunggu Fairuz. Mereka baru pulang dari arah minimarket. Fairuz minta membeli jajan. “Maaf, Bu Nyai saya tidak se--” “Heh, kau! Punya mata gak sih?!” bentak Bu Nyai Latifah. Zahra yang hendak meminta maaf tak jadi melanjutkan kalimatnya. “Matamu buta ya?!” Zahra yang awalnya ingin menggunakan sikap sopan santunnya jadi terpancing emosi. “Saya sudah meminta maaf, loh Bu Nyai. Lagian Bu Nyai juga salah kok, intinya kita sama-sama salah. sama-sama gak lihat jalan.” “E e e, kamu ya?! Anak muda gak ada sopan santun, berani kamu?
"Kak Umar," panggil seorang lelaki berusia tepat lima puluh tahun pada sosok lain yang usianya dua tahun di atasnya. Sosok itu tidak langsung menjawab tapi terlihat menyelesaikan dzikir dan doanya baru dia berbalik menghadap ke arah sepupunya. "Ada apa Syakib?" "Ami (paman) memanggilmu, Kak." Sosok yang dipanggil Umar mengangguk. Dia bangkit berdiri, meninggalkan masjid rumah sakit untuk menuju ke kamar rawat sang ayah. Sampai di ruang rawat nomer 12, sosok itu langsung mengucap salam dan duduk di kursi dekat brankar sang ayah. "Aba panggil Umar?" Sosok lelaki tua yang diperkirakan berusia hampir delapan puluh tahun mengangguk. "Aba mau minta apa? Nanti Umar cariin," ucap sang lelaki lembut. Sang ayah menggeleng. Dia hendak mengulurkan tangan, demi menggapai sang putra. Umar yang melihat, menangkap tangan sang ayah dan menggenggamnya dengan lembut. "M-maaf. Ma-afin aba, maafin umi kamu juga," ucap sang pria paruh baya. "Umar sudah maafin Aba, mendiang Umi juga. Aba