Galuh menatap kamar rawat Alwi. Cukup lama hingga dia meyakinkan diri kalau ini yang terbaik. Galuh mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak berselang lama suara dari dalam meyakinkan Galuh kalau Alwi tidak tidur. Dengan pelan Galuh membuka pintu, tampaklah Alwi yang sedang duduk menyandar di ranjang. Alwi antara kaget dan bahagia melihat Galuh."Galuh! Kamu ke sini? Ada apa?" tanyanya antusias.Sayang Galuh tak menjawab. Tatapan Galuh justru sedang mengedar ke seluruh ruangan hingga tatapan Galuh tertuju ke arah sofa. Di sana, tampak Hanan yang tertidur dengan posisi serabutan. Mana orangnya mendengkur keras lagi. Galuh yakin, andai dia yang berada di kamar ini, dia tidak akan bisa tidur dengan dengkuran super keras Hanan.'Gus Alfa perasaan ngoroknya gak sekenceng itu,' batinnya. Lalu tanpa sadar dia tersenyum.Alwi tak suka melihat Galuh tersenyum untuk Hanan."Kamu kenapa senyumin Hanan, Luh! Orang ngorok juga!" ketus Alwi.Galuh melirik ke arah Alwi lalu kembali melirik ke arah Han
Shadiqah sama sekali tak bersuara. Hampir delapan jam perjalanan dengan setiap satu jam sekali berhenti untuk beristirahat, tapi putri dari Munajat ini jarang bersuara. Arkan tidak memaksa Shadiqah bersuara. Buat apa? Shadiqah kan memang begitu kalau lagi ngambek. Tapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya, menyadari kalau hubungan Shadiqah dan Alfa sedang di ujung tanduk. Berarti hanya tinggal menunggu momen saja. Dan Arkan tidak akan tinggal diam. Kali ini, dia tidak akan melepas Shadiqah.“Mau berhenti lagi, gak?”"Gak, lanjut aja."“Baiklah.”Arkan meneruskan perjalanan yang hanya butuh beberapa jam lagi untuk sampai. Akhirnya mobil Arkan tepat sampai di halaman rumah Shadiqah menjelang subuh. Sang ibu menyambut kepulangannya. Dia bertanya tentang keadaan sang putri. Sayang, Shadiqah tak mau menjawab malah memilih masuk ke kamarnya, dia malas menjelaskan masalahnya. Sang ibu tentu saja kaget mendapati sang putri terlihat kesal. Dia pun menatap Arkan dengan tatapan bertanya.“Shadi
Baru beberapa jam Galuh kembali ke pondok, Galuh sudah merasa kalau dia kini sedang jadi bahan ghibahan penghuni pondok. Beruntung Galuh sudah terbiasa jadi baginya tak masalah. Galuh hanya sedang berpikir bagaimana caranya bisa meninggalkan pondok ini. Rasanya enggan, karena selama dua puluh lima tahun hidupnya, dia hanya tahu kalau ini rumahnya. Ini tempat yang dia kenal. Meski banyak hal menyedihkan di sini, tapi tak bisa dipungkiri, banyak momen manis dan bahagia Galuh di tempat ini.“Aku gak yakin, bisa ninggalin Al Kausar,” lirih Galuh.“Ninggalin Abah, Umi dan ….” Meski tak bisa menyebut nama Alfa, Galuh tentu saja tidak akan yakin bisa meninggalkan kakak angkatnya yang menyebalkan tapi begitu dia cintai.Meski mereka baru berbaikan belum sampai tiga hari, ada rasa hangat di dada Galuh saat mengingat pelukan Alfa. Hangat hemnusan napasnya. Pokoknya semua tentang Alfa bagi Galuh begitu sempurna meski aslinya sosok Alfa nyebelin. Galuh memeluk tubuhnya sendiri, dia pun menunpu da
Galuh menatap ponselnya dengan intens. Pasalnya ada sebuah nomor asing yang sejak beberapa menit yang lalu selalu menghubunginya. Hanya saja belum sempat dia angkat karena Galuh sedang sibuk.Ponselnya kembali bergetar. Nomer yang sama. Galuh pun segera mengangkatnya. Dia mengucap salam tapi tidak ada balasan salam. Justru suara laki-laki yang terdengar penuh kemarahan yang dia dengar."Kamu Galuh?""Iya, saya. Anda siapa?""Munajat. Ayah Shadi," balas si penelepon dingin.Galuh tersenyum. Dalam pikirannya dia sudah memiliki gambaran akan apa yang kira-kira Munajat katakan padanya."Ooooo, ada urusan apa Anda menelepon saya?""Jauhi Alfa!"Kan? Sudah jelas apa tujuan Munajat meneleponnya."Pergi yang jauh. Jangan coba ganggu hubungan Shadi dengan Alfa dan keluarganya. Jika kamu tak mengindahkan ucapanku, terima akibatnya. Akan kupastikan kamu, Alfa bahkan An-Nur sengsara! Aku tidak main-main. Jangankan kamu, si anak tak punya orang tua, orang penting yang berani menggangguku dan kelua
Alwi menatap sang kakak dengan mata yang memerah. Alfa sebetulnya bingung sang adik kenapa. Tapi dia memilih tidak bertanya. Justru Hanan lah yang kepo."Kamu kenapa, Wi? Masih kena sawan rumah sakit ya? Melototin Alfa kayak gitu."Alwi melirik Hanan kesal lalu kembali menatap Alfa dengan kebencian yang sudah taraf tingkat tinggi. Alfa menghela napas. "Kalau mau marah sama aku, luapin aja, Wi? Aku gak ngerti kamu marah sama aku gara-gara apa? Tapi kalau kamu cerita, mungkin aku jadi paham masalahmu apa.""Mas Alfa kenapa gak segera lamar Shadi sih?"Alfa menaikkan alisnya. Hanan sendiri hanya membentuk huruf 'O' dengan mulutnya tanpa suara. Rupanya masalah lamaran Alfa dan kalau dirunut pasti menyangkut urusan Galuh juga yang lagi diributin sama Alwi."Kenapa kamu tanyakan hal itu?""Karena Mas Alfa kelamaan jadi Galuh yang kena!" ketusnya."Gara-gara Mas Alfa plin plan dan gak cepet-cepet lamar Shadi, sekarang nama Galuh jadi rusak. Galuh dikatain pelakor. Mana dia yang harus pergi
Alwi meminta ketemu Galuh. Sayang, Galuh tak mau. Dia bahkan hanya mengirim sebuah chat yang isinya mengingatkan tentang kesepakatan mereka berdua.[Ingat kesepakatan kita, Gus. Dua tahun. Saya beri waktu njenengan dua tahun untuk berusaha]Alwi kesal. Dia melempar ponselnya dan jatuh di lantai. Alwi makin kesal karena dengan tidak adanya ponsel di tangan, dia jadi semakin bosan menunggu hingga hari besok. Besok Galuh akan berpamitan pada semua penghuni An-Nur. Alwi ingin dia bertemu hanya berdua saja sebelum dia pergi. Alwi ingin meyakinkan Galuh sekali lagi. Alwi ingin berjuang, sayang Galuh tak memberi kesempatan.“Aku pengen ketemu, Luh. Aku pengen yakinin kamu lagi. Aku kangen. Aku gak bisa begini, Luh.” Alwi tampak menderita akibat rasa rindunya pada Galuh. Dia menangis.“Aku yakin kamu pasti sedang bersiap-siap, kan? Aku ingin bantu kamu, Luh.”Alwi terus merasa nelangsa, tanpa dia sadari pintu kamarnya terbuka menampilkan sang ibu. Bu Nyai Latifah kesal melihat kondisi Alwi.“
Galuh sedang berdiri di hadapan para santri putri sekaligus siswi di SMK An-Nur yang dia ajar. Hari ini adalah perpisahan terakhir dengan para keluarga besar An-Nur. Setelah perpisahan dengan para santri, dia akan langsung ke Malang.Di sana, ada juga para ustazah dan santriwati senior termasuk Bu Nyai Khomsah, Kyai Baihaki, Alfa, Alwi dan Bu Nyai Latifah. Jauza, Hanan dan Nabila juga ada. Terlihat sekali masih ada santri yang terlihat kurang respek saat nama Galuh disebut oleh Kyai Baihaki untuk maju ke depan. Tetapi beberapa dari mereka terutama yang diberi hadiah oleh Galuh sudah kembali seperti biasa. Mereka justru menyemangati Galuh dengan memberi tepuk tangan yang meriah.Galuh memberikan senyumnya pada mereka sebelum maju menuju ke podium. Saat sudah naik podium, Galuh tidak kaget mendapati masih ada penghuni pondok yang menatapnya penuh celaan. Galuh yakin, mereka yang masih tak menyukainya, mau berkumpul itu pun pasti karena rasa hormat pada kedua orang tua angkatnya.Galuh
Galuh dan Alfa sudah menunggu di stasiun Kebumen tepatnya di daerah Panjer. Keduanya sejak tadi hanya diam saja. Mereka sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Hanan dan Nabila yang menemani hanya bisa menatap sedih dua pasangan di depan mereka.“Mas Hanan.”“Iya, Bil.”“Kasihan mereka. Aku yakin aslinya pada suka tapi terhalang kasta dan realita.”"Sama sifat plin plan Alfa.""Betul. Aih, coba Mas Alfa sat-set gak bakalan begini dramanya."Hanan hanya menghela napas. “Mau gimana lagi, Bil. Wis kadung begini. Mau dibenerin justru akan banyak hati yang terluka.” Hanan mencoba bersikap bijak. “Iya juga.”Kedua calon pasangan suami istri yang akan segera melangsungkan pernikahan dalam beberapa bulan ke depan, hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk sahabat serta saudara mereka. Sementara itu, baik Alfa dan Galuh masih sama-sama diam. Alfa yang akhirnya memecah keheningan di antara keduanya.“Luh, nanti kalau sudah sampai Malang, kamu rencananya mau ngapain?”“Gak tahu, Mas. Bel
"Dasar wanita bodoh. Keturunan najis. Cih! Kamu selain bodoh punya kelebihan apa hah? Kamu pakai pelet apa sih, sampai Umar anakku kesengsem sama kamu. Kenapa dia gak mau sama Bibah yang sempurna? Eh eh eh, malah nangis. Bisanya cuma nangis, dasar tolol! Sana kamu ke kamar saja. Sepet mataku lihat kamu. Jangan pernah nongol di sini. Perkumpulan ini hanya untuk keluarga Al Hilabi, sama orang-orang terhormat seperti Bibah. Orang miskin kayak kamu gak pantes di sini. Gak pantes jadi istrinya Umar. Gak pantes jadi mantuku!" ucap Umi Lutfiyah sambil menatap Anjani jijik dan penuh kebencian.Bayangan demi bayangan kian berlarian dalam ingatan Habiba. Habiba seakan ditarik paksa dari kisah lampau. Kisah dimana dia dulu dipuja, dibela dan bisa sombong. Kini dia malah tersiakan, tak dilirik, tak diinginkan.Habiba sedikit terhuyung. Bayang-bayang masa silam masih begitu kentara dalam pikirannya. Dulu dia selalu dibela oleh Umi Lutfiyah dan menyebabkan keluarga Al Hilabi juga mendukungnya. Tapi
“Cerai?” ucap Syakib. Meski dia sudah sadar kalau suatu hari nanti Habiba akan meminta cerai darinya, namun ketika mendengar langsung, terasa ada tusukan pisau yang menembus ke jantungnya. Syakib rupanya belum siap mendengar ajakan cerai Habiba. Hal ini terbukti, tanpa aba-aba air matanya turun. Yara dan Amira sendiri terlalu shock, keduanya belum mampu merespon ucapan Habiba. “Cerai?” ulang Syakib. “Ya cerai. Aku sudah tidak tahan menikah denganmu. Bahkan aku merasa kalau selama ini aku sudah banyak melewatkan masa mudaku cuma buat status gak penting ini. Sekarang … aku mau bahagia. Aku mau meraih masa depanku dan itu bukan kamu!” teriak Habiba. Syakib diam. Dia terlalu shock mendengar kata ‘cerai’ dari mulut Habiba. Namun, beberapa saat kemudian, Syakib bisa mengendalikan diri. Yara dan Amira juga. Tapi keduanya memilih tak mengatakan apapun. Tak mau ikut campur. Amira memilih untuk melihat saja, apa yang akan suaminya putuskan. “Jadi, akhirnya hanya sampai di sini saja,”
Habiba tersenyum penuh kemenangan menatap Faris yang hanya bisa terdiam. Hari ini, dia datang ke Andalusia bersama dua orang polisi dengan tujuan untuk menangkap Anjani. Habiba memberikan beberapa bukti seperti hasil visum dan foto dirinya yang terluka. Dia juga membawa tiga orang saksi yang merupakan santri Andalusia yang bisa dia suap agar bisa memberikan keterangan terjadinya pemukulan yang dia terima dari Anjani. Dalam hati, Habiba yakin kalau rencananya saat ini akan berhasil.“Kami memberi kesempatan Anda untuk menyiapkan pengacara, tapi sebelumnya, kami harus membawa Nyonya Anjani ke kantor polisi,” ucap salah satu polisi.Faris menghela napas dia menatap sedih pada Anjani. Dia pun membawa tangan Anjani pada genggaman jemari tangannya.“Kamu ikut dulu ya? Galuh yang akan temani kamu ke sana sama Alfa. Mas akan hubungi salah satu pengacara kenalan Mas. Semoga dia bisa bantu buat bebasin kamu. Kamu jangan khawatir ya Sayang. Mas akan lakukan apapun untuk menyelamatkan kamu.”Anja
"Apa kamu bilang? Buktinya sudah dihancurkan? Oleh siapa?" Habiba yang baru saja dilapori oleh anak buahnya terkejut, ketika diberitahu bahwa bukti foto dan video yang sudah didapatkan oleh anak buahnya, hilang. “Gak tahu, nyonya.” “Kenapa bisa gak tahu? Emangnya kamu gak lihat wajahnya?” “Mereka pake masker, Nyonya?.” “Apa?” “Iya Nyonya. Kejadiannya begitu cepat. Intinya begitu saya mendapatkan bukti, saya langsung pergi, biar gak ada yang curiga. Begitu sampai keluar dari pondok, saya dicegat, Nyonya. Badan mereka gede-gede.” “Terus?” "Mereka menghentikan saya. Saya mau kabur tadi dihadang oleh salah satu dari mereka. Yang lainnya meminta HP saya. Gak tak kasih. Malah saya dicekal, dipukuli dan semua yang saya foto dan rekam, mereka hapus. Bukan itu saja, ponsel saya direset semua. Gak ada apa-apa jadinya," terang Abdul. Orang suruhan Habiba yang dia tugasi memvideo perdebatan antara dirinya dan Anjani. Kejadian hari ini, memang sengaja dia lakukan untuk menjebak Anjani. Se
Anjani yang sedang sibuk menata tanaman di kebun pondok bersama beberapa santriwati kaget mendapati kedatangan Habiba. "Kamu!" "Ya ini aku." "Ada apa?" Habiba tak menjawab. Dia justru menarik paksa cadar yang dipakai oleh Anjani. Membuat wajahnya yang buruk terlihat oleh para santri. Mereka menjerit, Anjani mencoba menutupi dengan kerudungnya. Habiba tertawa puas. "Hahaha. Ternyata benar. Wajahmu jadi buruk rupa. Buruk sekali macam monster. Hai kalian semua. Lihat istri Kyai Kalian, dia jelek. Kayak monster. Hahaha. Lihat dia. Hahaha. Masa kalian mau punya Bu Nyai kayak dia?" teriak Habiba. Para santri menatap keduanya dengan bingung lalu berubah kaget saat cadar Anjani terbuka. Para santri memamerkan banyak ekspresi. Dari kaget, takut hingga ekspresi jijik ketika melihat wajah Anjani. Beberapa bahkan menjerit ketakutan dan mengatainya monster. "Hahaha. Lihat. Orang kayak gini jadi istri seorang Umar? Gak pantes. Gak pantes sosok begitu sempurna punya istri kayak dia. Gak pan
Galuh dan Alfa sedang duduk bersama dengan kerabat lain menikmati sarapan pagi. Ada beberapa menu khas wilayah Timur Tengah yang menjadi sajian di meja makan."Kenapa?" tanya Alfa melihat sang istri yang terlihat tidak terlalu bernapsu makannya."Hehehe." Galuh hanya tertawa dan kembali menyuapi Fairuz."Gak suka?""Gak sih, cuma ... gak terbiasa aja. Biasa lihatnya nasi, lalapan sama sambel terasi."Alfa terkekeh lalu kembali menyuapkan makanan ke mulut."Untung aku pernah bertahun-tahun di Kairo. Jadi gak kerasa aneh di lidah," bisik Alfa. "Aku yang merasa aneh, Mas. Sama Fay. Soalnya lidahnya sudah Jawa semua. Ini aja Fay mintanya telor dadar."Alfa terkekeh, Galuh juga."Nanti juga terbiasa.""Moga aja."Di sudut lain, tampak Anjani sedang meladeni suaminya dengan telaten. Pun dengan para istri dari Abu Hasan, Syafiq dan Syakib. Ulfa dan Amira dengan telaten menghidangkan sarapan untuk para suami. Bahkan keduanya makan dalam satu piring bersama suami masing-masing. Khodijah pun s
Yara sedang mengamati Galuh dengan intens, dia penasaran akan sosok sepupunya. Dan yang paling membuatnya penasaran adalah kenapa Galuh bisa menarik hati Alfa sementara dia yang juga punya wajah turunan Arab tidak bisa menarik hati Alfa.“Suami orang gak usah dilihat segitunya, Kak Yara. Ingat Kak Rafi loh," bisik Yesha sengaja menggoda sang kakak.“Apaain, sih. Cuma penasaran aja.”“Penasaran sih penasaran. Tapi jangan kelihatan banget, Kak.” Lagi, Yesha menggoda sang kakak.Yara sekali lagi meminta sang adik untuk tidak menggodanya. Kedua saudara masih asik beradu pendapat. Tanpa sengaja, tatapan mata keduanya bertubrukan dengan tatapan Galuh. Galuh mengulas senyum ramahnya dan dibalas oleh kedua bersaudara dengan sedikit kikuk.Lalu baik Yara dan Yesha memilih pura-pura membahas hal lainnya. Galuh yang sadar, dua bersaudara baru saja membicarakan dirinya dan Alfa memilih cuek. Semenjak kabur dari An-Nur, Galuh sudah bisa lebih berekspresi. Dia sudah tidak manutan dan minderan, poko
Alfa baru saja memarkirkan motornya lalu diikuti Zahra yang parkir di sebelah kirinya. Tak berapa lama, mobil yang dinaiki Faris CS juga sampai di halaman ndalem Pondok Pesantren Andalusia. Abu Yasin yang sejak kemarin diberitahu sang keponakan kalau dia akan pulang bersama anak, istri, menantu, cucu, keponakan serta iparnya tentu sudah menunggu sejak pagi. Syafiq dan Syakib juga ikut menunggu.Maka tak heran, begitu mendengar suara motor dan mobil di halaman, mereka segera keluar. Tampaklah di mata mereka, Faris dan yang lain sedang sibuk menuruni koper-koper sementara Alfa dan Galuh sedang sibuk membangunkan Fairuz.“Sudah sampai Abah, Umi?”“Sudah.”“Hoaam.”Fairuz menguap, Galuh terkekeh lalu segera membawa sang putri dalam gendongan. Sementara Alfa membantu mengambil koper.“Assalamu'alaikum, Ami!” teriak Faris.“Wa'alaikumsalam. Kamu sudah sampai, Umar?”“Iya, Ami. Lihat yang kubawa, ada istri, anak, menantu, cucu, keponakan sama kedua iparku," ucap Faris dengan raut wajah gembi
Alfa sedang menepuk-nepuk paha Fairuz dengan pelan. Lama-kelamaan putri angkatnya tertidur juga. Galuh yang baru keluar dari kamar mandi tersenyum. Dia pun mendekat ke arah ranjang."Sudah tidur?""Gak sampai lima menit, udah tidur dia." Alfa memberi tempat untuk sang istriGaluh pun merebahkan diri di tengah seperti biasa. Alfa segera memeluk sang istri, erat. Sesekali dia mengecup kening sang istri."Belum ada hasil ya? Gus Alwi masih belum nerima?""Iya."Galuh melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mungkin biarkan saja. Sama seperti Mas yang selalu cuek sama Bu Nyai Latifah, kini Mas Alfa juga kudu begitu sama Gus Alwi.""Entahlah. Mas merasa bersalah. Tapi di satu sisi, Mas juga bersyukur memiliki kamu.""Galuh juga, Mas. Galuh bersyukur suami Galuh itu kamu. Pas memutuskan pergi dari sini, dan yakin kalau Mas akan menikahi Mbak Shadi, Galuh sudah memutuskan mau hidup sendirian saja."“Gak mau nikah?”“Gak pengen.”“Karena suamimu bukan aku?”Galuh mengangguk, Alfa menge