Alwi menatap sang kakak dengan mata yang memerah. Alfa sebetulnya bingung sang adik kenapa. Tapi dia memilih tidak bertanya. Justru Hanan lah yang kepo."Kamu kenapa, Wi? Masih kena sawan rumah sakit ya? Melototin Alfa kayak gitu."Alwi melirik Hanan kesal lalu kembali menatap Alfa dengan kebencian yang sudah taraf tingkat tinggi. Alfa menghela napas. "Kalau mau marah sama aku, luapin aja, Wi? Aku gak ngerti kamu marah sama aku gara-gara apa? Tapi kalau kamu cerita, mungkin aku jadi paham masalahmu apa.""Mas Alfa kenapa gak segera lamar Shadi sih?"Alfa menaikkan alisnya. Hanan sendiri hanya membentuk huruf 'O' dengan mulutnya tanpa suara. Rupanya masalah lamaran Alfa dan kalau dirunut pasti menyangkut urusan Galuh juga yang lagi diributin sama Alwi."Kenapa kamu tanyakan hal itu?""Karena Mas Alfa kelamaan jadi Galuh yang kena!" ketusnya."Gara-gara Mas Alfa plin plan dan gak cepet-cepet lamar Shadi, sekarang nama Galuh jadi rusak. Galuh dikatain pelakor. Mana dia yang harus pergi
Alwi meminta ketemu Galuh. Sayang, Galuh tak mau. Dia bahkan hanya mengirim sebuah chat yang isinya mengingatkan tentang kesepakatan mereka berdua.[Ingat kesepakatan kita, Gus. Dua tahun. Saya beri waktu njenengan dua tahun untuk berusaha]Alwi kesal. Dia melempar ponselnya dan jatuh di lantai. Alwi makin kesal karena dengan tidak adanya ponsel di tangan, dia jadi semakin bosan menunggu hingga hari besok. Besok Galuh akan berpamitan pada semua penghuni An-Nur. Alwi ingin dia bertemu hanya berdua saja sebelum dia pergi. Alwi ingin meyakinkan Galuh sekali lagi. Alwi ingin berjuang, sayang Galuh tak memberi kesempatan.“Aku pengen ketemu, Luh. Aku pengen yakinin kamu lagi. Aku kangen. Aku gak bisa begini, Luh.” Alwi tampak menderita akibat rasa rindunya pada Galuh. Dia menangis.“Aku yakin kamu pasti sedang bersiap-siap, kan? Aku ingin bantu kamu, Luh.”Alwi terus merasa nelangsa, tanpa dia sadari pintu kamarnya terbuka menampilkan sang ibu. Bu Nyai Latifah kesal melihat kondisi Alwi.“
Galuh sedang berdiri di hadapan para santri putri sekaligus siswi di SMK An-Nur yang dia ajar. Hari ini adalah perpisahan terakhir dengan para keluarga besar An-Nur. Setelah perpisahan dengan para santri, dia akan langsung ke Malang.Di sana, ada juga para ustazah dan santriwati senior termasuk Bu Nyai Khomsah, Kyai Baihaki, Alfa, Alwi dan Bu Nyai Latifah. Jauza, Hanan dan Nabila juga ada. Terlihat sekali masih ada santri yang terlihat kurang respek saat nama Galuh disebut oleh Kyai Baihaki untuk maju ke depan. Tetapi beberapa dari mereka terutama yang diberi hadiah oleh Galuh sudah kembali seperti biasa. Mereka justru menyemangati Galuh dengan memberi tepuk tangan yang meriah.Galuh memberikan senyumnya pada mereka sebelum maju menuju ke podium. Saat sudah naik podium, Galuh tidak kaget mendapati masih ada penghuni pondok yang menatapnya penuh celaan. Galuh yakin, mereka yang masih tak menyukainya, mau berkumpul itu pun pasti karena rasa hormat pada kedua orang tua angkatnya.Galuh
Galuh dan Alfa sudah menunggu di stasiun Kebumen tepatnya di daerah Panjer. Keduanya sejak tadi hanya diam saja. Mereka sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Hanan dan Nabila yang menemani hanya bisa menatap sedih dua pasangan di depan mereka.“Mas Hanan.”“Iya, Bil.”“Kasihan mereka. Aku yakin aslinya pada suka tapi terhalang kasta dan realita.”"Sama sifat plin plan Alfa.""Betul. Aih, coba Mas Alfa sat-set gak bakalan begini dramanya."Hanan hanya menghela napas. “Mau gimana lagi, Bil. Wis kadung begini. Mau dibenerin justru akan banyak hati yang terluka.” Hanan mencoba bersikap bijak. “Iya juga.”Kedua calon pasangan suami istri yang akan segera melangsungkan pernikahan dalam beberapa bulan ke depan, hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk sahabat serta saudara mereka. Sementara itu, baik Alfa dan Galuh masih sama-sama diam. Alfa yang akhirnya memecah keheningan di antara keduanya.“Luh, nanti kalau sudah sampai Malang, kamu rencananya mau ngapain?”“Gak tahu, Mas. Bel
Tere Liye Hum Hain Jiyeh, Honthon Ko Siye-Demi kamu, aku kan hidup dengan mulut tertutupTere Liye Hum Hain Jiye, Har Aansoo Piye-Demi kamu, aku hidup dengan menahan semua air matakuDil Mein Magar, Jalte Rahe, Chaahat Ke Diye-Tapi di dalam hatiku, cahaya cinta kan terus menyalaTere Liye, Tere Liye– Demi kamu, demi kamuTiba-tiba suara alunan musik India terdengar entah lewat ponsel siapa. Tapi lirik itu seakan menjadi isi hati dari seorang Muhammad Alfaraz Baihaki. Dia menatap ke seluruh area yang bisa dia jangkau. Dia mencari dan terus mencari tapi tak dia temukan yang dia cari. Alfa kembali berjalan, melongok ke kiri, kanan, ruko atau setiap bagian sudut yang bisa dia jangkau. Bahkan yang lebih tidak masuk akal, dia masuk ke salah satu gerbong kereta. Menyisiri setiap kursi satu per satu. Mencari sesosok wajah yang begitu dia rindukan. Padahal semalaman mereka bersama. Duduk berdua, sesekali berbicara dan bisa mendengarkan deru napas masing-masing ketika tidur. Sosok itu kini
Alfa sedang duduk melamun di ranjang salah satu kamar tamu di rumah Kyai Nabhan, ayah Nabila. Dia sudah menunaikan sholat dhuhur tapi belum mau makan. Hanan sudah memaksanya, bahkan Kyai Nabhan sampai turun tangan, tapi tak berhasil membujuk putra tunggal Kyai Baihaki itu untuk makan. Mereka pun membiarkan karena merasa Alfa akan bak-baik saja. Yang dibutuhkan Alfa saat ini adalah kesendirian dan waktu.Alfa bergeming karena ponselnya berdering. Dia segera mengambil ponselnya. Berharap kalau yang menghubungi adalah Galuh. Ternyata nama Shadiqah yang muncul.Alfa menaruh ponselnya di ranjang. Dia kembali bersandar. Alfa memejamkan mata. Ponselnya terus berdering tapi dia tak peduli. Alfa membuka matanya lalu tatapannya tertuju pada koper Galuh. Alfa sontak bangun dan menuju ke koper.Dia mencoba membuka koper Galuh. Rupanya dikunci dengan angka. Dia mencoba membuka dengan berbagai angka yang dia pikir akan Galuh gunakan. Ternyata tak bisa. Beruntung Alfa pernah kelupaan angka sandi ko
Iklas memeluk sahabatnya dengan erat. "Alhamdulillah, Ane bisa ketemu Ente lagi. Kirain bakalan lama ketemunya."Iklas menyalami Hanan. Dia pun mengajak kedua tamunya ke kontrakannya."Maaf ya, cuma kontrakan kecil. Habis ngapain ane ngontrak rumah, hidup cuma sendirian pula.""Ya cari bini, Mas," celetuk Hanan."OTW Mas Hanan.""Udah ada?""Belum sih.""Ah elah. Kirain udah ada."Iklas dan Hanan tertawa. Hanya Alfa yang merespon lewat senyum tipis saja. Iklas melirik sahabatnya. Dia mengawasi Alfa dari atas hingga ke bawah. Sedikit kaget melihat penampilan sahabatnya yang tampak kurus, tidak rapi dan rambut awut-awutan. Padahal dia tahu, Alfa yang dia kenal selalu berpenampilan rapi dengan rambut cepak bukannya agak gondrong dan awut-awutan."Ente sakit, Fa?" tanya Iklas penasaran. Dia juga sedikit khawatir dengan kondisi Alfa."Malarindu dia." Hanan yang menjawab. Iklas tentu saja langsung menggoda sahabatnya. Menyuruh sang sahabat nyamperin calon bini."Oooo. Sama anak mantan dube
"Mas Alfa," lirih Shadiqah. Alfa tak menjawab. Dia hanya menatap tajam sosok Shadiqah tanpa berkedip. Pak Eko yang baru datang melirik ke arah Shadiqah, Alfa, Shadiqah lagi lalu ke Alfa dan kini ke arah duo Hanan-Iklas yang terlihat sedang berbisik-bisik."Gila, udah mahir, Bro. Aku aja yang mau nikah masih deg-degan, bingung gimana besok nyium biniku pertama kali," bisik Hanan."Binimu masih segel kan?" bisik Iklas juga."Segel lah. Santri tahu. Dididik agama dengan baik insya Allah.""Good job, Bro. Wah, besok aku kudu pinter nyari calon bini, Alfa aja yang perfeksionis sampai ketipu.""Harus, Mas Bro. Harus!"Hanan dan Iklas terus berkasak-kusuk. Shadiqah sendiri fokus menatap Alfa. Dia jujur takut, Alfa melihat semua yang dia lakukan."Ma-""Pakai baju yang sopan dulu, Sha. Saya tunggu. Dan ... kalau tak ingin memakai kerudung, tak masalah. Penting bajumu sopan dan terutama ... tutupi lehermu!" ucap Alfa dingin. Ada ketegasan juga dalam suara Alfa.Shadiqah meneguk ludahnya kasar
Semua orang kini duduk di ruang keluarga. Namun sejak setengah jam yang lalu, tidak ada yang membahas apapun. Hanya Alfa yang mondar-mandir memanggil mantri lalu mengurusi Faris yang terluka. Begitu Faris sudah diberikan pertolongan pertama kini Kyai Baihaki mengumpulkan semua orang dalam satu ruangan. Fairuz sendiri kini berada dalam asuhan para mbak santri di pondok. Bu Nyai Latifah sendiri ikutan gabung karena kepo. Tak ada yang mempermasalahkan kehadirannya bahkan seperti kehadirannya dianggap tak ada."Baiklah. Kita selesaikan masalah hari ini juga."Kyai Baihaki menatap kepada Faris yang mengangguk lalu kepada Aiman yang terlihat masih emosional."Iman. Aku minta, kamu tahan emosimu. Biarkan Faris bercerita terlebih dahulu."Aiman tak bicara apapun tapi Kyai Baihaki tahu kalau Aiman mengerti akan maksudnya."Faris. Ceritakan semuanya."Faris mengangguk. Dia pun bercerita bagaimana dia sadar, dan bagaimana dia selalu menanyakan dimana Anjani. Tapi jawaban kedua orang tuanya selal
Faris terus menarik tangan Anjani. Keduanya entah pergi kemana, mereka pun tak tahu. Pokoknya saat itu, Faris hanya berpikir yang penting mereka menjauh sejauh-jauhnya dari si nenek sihir."Lepas! Lepas! Aku bilang lepas!" teriak Anjani. Dia mencoba melepaskan cekalan Faris dengan kasar. Tapi sulit hingha akhirnya bisa terlepas saat Anjani menggigit lengan kanan Faris."Aaaa!" teriak Faris.Cekalan Faris pun terlepas. Anjani menatap Faris dengan linangan air mata. Dia lalu berbalik hendak pergi meningalkan Faris. Dia berlari secepat mungkin namun Faris mengejarnya."Tunggu Anjani!"Anjani terus berlari tapi Faris berhasil menyusul dan secepat kilat meraih tangan Anjani menyebabkan Anjani sedikit tertarik hingga menubruk dada Faris yang meski sudah tua masih terasa bidang."Tunggu dulu. Jangan pergi.""Lepas!""Gak. Gak akan aku lepas lagi."Anjani berontak. Faris tak mau kehilangan sang istri lagi."Lepas! Lepas brengsek!" teriak Anjani."Gak akan Sayang. Mas gak akan lepasin kamu lag
Sepanjang perjalanan Alfa menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia sedang mencari keberadaan ayah mertuanya. Sama dengan Alfa, Kyai Baihaki dan Hanan juga ikut mengedarkan pandang. Hanan malah sudah mengkode sepupunya itu.“Bapak mertuamu, mana?” bisiknya.“Aku juga lagi nyari.” Alfa juga berbisik.Sampai di rumah, sosok Faris tetap saja tak ketahuan rimbanya. Nomer telepon Faris juga tidak aktif. Bahkan, ketika Alfa menelepon salah satu ustaz yang tinggal di sebelah rumah yang ditinggali Faris, sang ustaz mengatakan kalau Faris sudah tak terlihat sejak dia keluar dari rumah.Alfa ingin mencari tapi dia tak bisa karena ada beberapa urusan pekerjaan yang harus dia urus. Hanan sendiri malah sudah disuruh balik pagi itu juga, karena mau ada tamu sementara sang abah belum bisa pulang karena ada suatu urusan mendesak. Kyai Baihaki juga sama, beliau sibuk dengan jadwal ngajarnya yang padat pun Bu Nyai Khomsah. Galuh bahkan sudah kembali sibuk mengurusi sekolah. Zahra sendiri memilih menghabiskan w
Galuh menggerakkan tubuhnya. Dia kaget dan segera bangun. Galuh mengucek-ngucek matanya. "Mas Alfa?!" pekik Galuh mendapati sang suami sudah di kamar dan tidur di sebelah kirinya seperti biasa. "Mas Alfa. Mas." Galuh mengguncang bahu sang suami, pelan. Alfa seperti tidak merespon. Jadilah Galuh mengguncang lebih keras "Hem." Alfa hanya bergumam dan malah kembali tidur tak lupa dia menarik sang istri agar rebahan lagi. Galuh sedikit memekik tapi dia rebahan juga. Galuh memiringkan badan ke sang suami. Kini keduanya tidur berhadapan. Dia mengguncang bahu Alfa lagi. "Mas. Mas kapan pulang? Kata Abah Mas Alfa mungkin baliknya besok baru OTW dari Tegal. Kok sudah di sini?" Galuh menatap jam di dinding yang menunjuk pukul setengah tiga pagi. Dia lalu menoleh ke arah Fairuz yang masih bobo anteng sambil memeluk gulingnya. "Mas, ish. Jangan tidur, kamu belum jawab pertanyaanku. Mas pulangnya kapan?" Alfa sedikit membuka matanya lalu kembali merem. Lagi, Alfa mengeratkan pelukannya pad
Galuh dan Anjani masih berpelukan. Lalu Galuh tiba-tiba ingat sesuatu."Ibu.""Iya, Nduk.""Bu, berarti Galuh bukan anak hasil zina, kan? Galuh bukan anak haram, kan?" tanya Galuh dengan binar mata penuh ketakutan.Anjani menggeleng. Dia meraih kedua pipi sang putri."Bukan. Ibu menikah saat usia ibu sembilan belas tahun lebih satu bulan. Ibu dan ayahmu menikah resmi, Sayang. Di rumah kakekmu dari pihak ibu. Ada saksi ada buku nikahnya juga. Hanya saja bukunya hilang saat ibu dalam pelarian." Ada raut sedih di wajah Anjani. Galuh jadi ikutan sedih."Bu."Anjani mencoba tersenyum. "Tidak apa. Semua luka dan kesedihan ibu sudah terganti dengan kamu yang tumbuh baik seperti sekarang. Itu sudah cukup."Galuh mengangguk. Lalu antara rasa ragu dan rasa penasaran, rasa penasarannya lebih besar. Jadilah dia bertanya saja perihal ayahnya."Lalu, siapa ayahku?"Senyum yang sejak tadi sudah mulai Anjani keluarkan terganti dengan raut sedih. Galuh merasa bersalah sekali. "Bu, maaf. Galuh cuma ..
Anjani terlihat gelisah. Dia menatap ke seluruh ruangan hingga matanya tertuju pada lemari berkaca bening dengan setumpuk album foto di sana. Anjani menoleh ke kanan kiri. Dia penasaran tapi dia takut dikira tidak sopan. Tangannya tetulur memegang gagang pintu. Dia dilema diantara harus membuka atau meminta ijin.Diantara kebimbangannya, Bu Nyai Khomsah kembali masuk rumah. "Bu Anjani.""Ya," jawab Anjani kaget."Ada apa?""Maaf. Saya cuma ...." Anjani melirik ke arah lemari penuh album foto. Dia malu ketahuan tidak sopan tapi dia juga penasaran. Bu Nyai Khomsah tersenyum. "Diambil saja. Di sana banyak fotonya Galuh. Saya tahu, njenengan katanya sayang banget sama itu anak.""Nggih Bu Nyai. Saya sayang banget sama Lulu. Bahkan saya sudah menganggap Lulu anak saya."Bu Nyai Khomsah terkekeh. "Ya gimana gak sayang ya? Anaknya cantik, gemesin gitu. Saya juga begitu Bu Anjani. Uh, apalagi pas Galuh masih kecil. Nggemesine puol. Lihat aja foto-fotonya.""Apa saya boleh lihat, Bu Nyai?""
Bu Nyai Khomsah terlihat menautkan dua alisnya. Kabar yang dibawa sang suami lewat sambungan telepon membuatnya kaget. Rupanya bukan hanya Bu Nyai Khomsah, Galuh juga sudah menerima berita itu dari sang suami."Iya Mas. Aku gak papa. Tenang aja. Mas selesaikan urusan Mas di sana."Galuh mengangguk beberapa kali lalu menimpali ucapan sang suami. Sambungan pun berakhir setengah jam kemudian. Galuh terlihat menghela napas, dia kembali ke ruang tengah dimana sang umi rupanya baru juga selesai menelepon."Ada apa Bu Nyai? Kok kelihatan sedih begitu?" pancing Zainab. Jujur saja dia penasaran tentang kabar dari Andalusia tapi dia mencoba bermain cantik."Lulu juga kelihatannya habis denger berita yang gak bagus."Galuh yang baru duduk di samping ibu Anjani bercerita kabar yang dia dengar dari sang suami."Astaghfirullah, bisa begitu?""Iya Budhe. Kata Mas Alfa ini bukan yang pertama, tapi pas Bu Nyai Sepuh meninggal juga begini. Putranya bahkan sampai menelepon dan menghubungi banyak orang,
“Dasar anak yatim, anak haram, bisa-bisanya dia balik lagi ke sini. Mana jadi istrinya Alfa lagi, huh! Sebel, sebel!” Bu Nyai Latifah ngomel-ngomel sambil berjalan keluar dari rumah sang kakak. “Huh, padahal sudah bagus dia pergi. Malah balik lagi. Tapi … setidaknya dia gak bakalan bisa gangguin Alwi lagi. Cih, si Alfa ngelepas anak dubes demi anak haram jad---aw!” Bu Nyai Latifah tanpa sengaja menabrak sosok Zahra yang sedang berdiri diam karena menunggu Fairuz. Mereka baru pulang dari arah minimarket. Fairuz minta membeli jajan. “Maaf, Bu Nyai saya tidak se--” “Heh, kau! Punya mata gak sih?!” bentak Bu Nyai Latifah. Zahra yang hendak meminta maaf tak jadi melanjutkan kalimatnya. “Matamu buta ya?!” Zahra yang awalnya ingin menggunakan sikap sopan santunnya jadi terpancing emosi. “Saya sudah meminta maaf, loh Bu Nyai. Lagian Bu Nyai juga salah kok, intinya kita sama-sama salah. sama-sama gak lihat jalan.” “E e e, kamu ya?! Anak muda gak ada sopan santun, berani kamu?
"Kak Umar," panggil seorang lelaki berusia tepat lima puluh tahun pada sosok lain yang usianya dua tahun di atasnya. Sosok itu tidak langsung menjawab tapi terlihat menyelesaikan dzikir dan doanya baru dia berbalik menghadap ke arah sepupunya. "Ada apa Syakib?" "Ami (paman) memanggilmu, Kak." Sosok yang dipanggil Umar mengangguk. Dia bangkit berdiri, meninggalkan masjid rumah sakit untuk menuju ke kamar rawat sang ayah. Sampai di ruang rawat nomer 12, sosok itu langsung mengucap salam dan duduk di kursi dekat brankar sang ayah. "Aba panggil Umar?" Sosok lelaki tua yang diperkirakan berusia hampir delapan puluh tahun mengangguk. "Aba mau minta apa? Nanti Umar cariin," ucap sang lelaki lembut. Sang ayah menggeleng. Dia hendak mengulurkan tangan, demi menggapai sang putra. Umar yang melihat, menangkap tangan sang ayah dan menggenggamnya dengan lembut. "M-maaf. Ma-afin aba, maafin umi kamu juga," ucap sang pria paruh baya. "Umar sudah maafin Aba, mendiang Umi juga. Aba