Suasana di ruang rawat Alwi masih penuh dengan aura suram. Alfa, Galuh, Alwi bahkan Bu Nyai Khomsah, sama-sama menangis. Kyai Baihaki terlihat lesu. Hanan melirik semua orang bergantian. Dia jadi ikutan sedih. Sementara Bu Nyai Latifah masih terlihat kembang kempis dadanya. Rupanya amarahnya masih bercokol di diri. Tak ada yang berbicara, semua sibuk dengan perasan masing-masing. "Hiks hiks hiks. Aku minta maaf, Luh. Maaf," ucap Alwi setelah keheningan terjadi begitu lama."Tapi demi Allah, Luh. Aku benar-benar mencintaimu. Hanya kamu, dan gak akan ada yang lain."Galuh tak membalas pernyataan Alwi. Dia sibuk menghentikan tangisnya. "Kalau, aku minta kesempatan apa boleh? Aku akan berusaha untuk sembuh. Aku akan bekerja dengan giat. Dan jika aku merasa sudah pantas, aku akan kembali melamarmu."Alwi menatap Galuh dengan sorot penuh permohonan. Galuh lagi-lagi hanya diam. Bu Nyai Latifah yang egois kembali mengeluarkan kata-kata super pedas untuk Galuh.“Ngelamar apa? Gak ada! Umi ga
Malam sudah larut, di ruang rawat Bu Nyai Khomsah hanya ada Galuh dan sang ibu. Alfa dan Kyai Baihaki kembali ke rumah dikarenakan ada santri yang menelepon. Mengatakan kalau Shadiqah katanya sedang sakit. Mau tak mau Alfa harus balik. Tapi demi terjaga dari fitnah, Kyai Baihaki terpaksa ikut pulang. Jadilah hanya Galuh yang menunggu. Sebab, Bu Nyai Khomsah tak ingin ditemani santri lain. Beliau hanya ingin ada Galuh di sampingnya.Galuh dengan penuh perhatian menjaga sang ibu. Meski sesekali harus direcoki oleh Hanan yang tiba-tiba mengetuk pintu gara-gara Alwi yang menyuruhnya."Saya baik, Gus Hanan. Njenengan masuk saja. Istirahat. Sudah jam sepuluh. Tidur.""Tapi Alwi nyruruh aku buat nengokin kamu. Kalau aku gak ke sini, dia tantrum.""Bilang saya sudah tidur.""Dia gak percaya.""Bilang saya akan marah kalau dia gangguin saya terus.""Gak bakalan mempan," desahnya.Galuh tersenyum. Dia tak mengatakan apa pun hingga Hanan memilih keluar dan balik ke ruangan Alwi. Alwi yang sudah
Galuh menatap kamar rawat Alwi. Cukup lama hingga dia meyakinkan diri kalau ini yang terbaik. Galuh mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak berselang lama suara dari dalam meyakinkan Galuh kalau Alwi tidak tidur. Dengan pelan Galuh membuka pintu, tampaklah Alwi yang sedang duduk menyandar di ranjang. Alwi antara kaget dan bahagia melihat Galuh."Galuh! Kamu ke sini? Ada apa?" tanyanya antusias.Sayang Galuh tak menjawab. Tatapan Galuh justru sedang mengedar ke seluruh ruangan hingga tatapan Galuh tertuju ke arah sofa. Di sana, tampak Hanan yang tertidur dengan posisi serabutan. Mana orangnya mendengkur keras lagi. Galuh yakin, andai dia yang berada di kamar ini, dia tidak akan bisa tidur dengan dengkuran super keras Hanan.'Gus Alfa perasaan ngoroknya gak sekenceng itu,' batinnya. Lalu tanpa sadar dia tersenyum.Alwi tak suka melihat Galuh tersenyum untuk Hanan."Kamu kenapa senyumin Hanan, Luh! Orang ngorok juga!" ketus Alwi.Galuh melirik ke arah Alwi lalu kembali melirik ke arah Han
Shadiqah sama sekali tak bersuara. Hampir delapan jam perjalanan dengan setiap satu jam sekali berhenti untuk beristirahat, tapi putri dari Munajat ini jarang bersuara. Arkan tidak memaksa Shadiqah bersuara. Buat apa? Shadiqah kan memang begitu kalau lagi ngambek. Tapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya, menyadari kalau hubungan Shadiqah dan Alfa sedang di ujung tanduk. Berarti hanya tinggal menunggu momen saja. Dan Arkan tidak akan tinggal diam. Kali ini, dia tidak akan melepas Shadiqah.“Mau berhenti lagi, gak?”"Gak, lanjut aja."“Baiklah.”Arkan meneruskan perjalanan yang hanya butuh beberapa jam lagi untuk sampai. Akhirnya mobil Arkan tepat sampai di halaman rumah Shadiqah menjelang subuh. Sang ibu menyambut kepulangannya. Dia bertanya tentang keadaan sang putri. Sayang, Shadiqah tak mau menjawab malah memilih masuk ke kamarnya, dia malas menjelaskan masalahnya. Sang ibu tentu saja kaget mendapati sang putri terlihat kesal. Dia pun menatap Arkan dengan tatapan bertanya.“Shadi
Baru beberapa jam Galuh kembali ke pondok, Galuh sudah merasa kalau dia kini sedang jadi bahan ghibahan penghuni pondok. Beruntung Galuh sudah terbiasa jadi baginya tak masalah. Galuh hanya sedang berpikir bagaimana caranya bisa meninggalkan pondok ini. Rasanya enggan, karena selama dua puluh lima tahun hidupnya, dia hanya tahu kalau ini rumahnya. Ini tempat yang dia kenal. Meski banyak hal menyedihkan di sini, tapi tak bisa dipungkiri, banyak momen manis dan bahagia Galuh di tempat ini.“Aku gak yakin, bisa ninggalin Al Kausar,” lirih Galuh.“Ninggalin Abah, Umi dan ….” Meski tak bisa menyebut nama Alfa, Galuh tentu saja tidak akan yakin bisa meninggalkan kakak angkatnya yang menyebalkan tapi begitu dia cintai.Meski mereka baru berbaikan belum sampai tiga hari, ada rasa hangat di dada Galuh saat mengingat pelukan Alfa. Hangat hemnusan napasnya. Pokoknya semua tentang Alfa bagi Galuh begitu sempurna meski aslinya sosok Alfa nyebelin. Galuh memeluk tubuhnya sendiri, dia pun menunpu da
Galuh menatap ponselnya dengan intens. Pasalnya ada sebuah nomor asing yang sejak beberapa menit yang lalu selalu menghubunginya. Hanya saja belum sempat dia angkat karena Galuh sedang sibuk.Ponselnya kembali bergetar. Nomer yang sama. Galuh pun segera mengangkatnya. Dia mengucap salam tapi tidak ada balasan salam. Justru suara laki-laki yang terdengar penuh kemarahan yang dia dengar."Kamu Galuh?""Iya, saya. Anda siapa?""Munajat. Ayah Shadi," balas si penelepon dingin.Galuh tersenyum. Dalam pikirannya dia sudah memiliki gambaran akan apa yang kira-kira Munajat katakan padanya."Ooooo, ada urusan apa Anda menelepon saya?""Jauhi Alfa!"Kan? Sudah jelas apa tujuan Munajat meneleponnya."Pergi yang jauh. Jangan coba ganggu hubungan Shadi dengan Alfa dan keluarganya. Jika kamu tak mengindahkan ucapanku, terima akibatnya. Akan kupastikan kamu, Alfa bahkan An-Nur sengsara! Aku tidak main-main. Jangankan kamu, si anak tak punya orang tua, orang penting yang berani menggangguku dan kelua
Alwi menatap sang kakak dengan mata yang memerah. Alfa sebetulnya bingung sang adik kenapa. Tapi dia memilih tidak bertanya. Justru Hanan lah yang kepo."Kamu kenapa, Wi? Masih kena sawan rumah sakit ya? Melototin Alfa kayak gitu."Alwi melirik Hanan kesal lalu kembali menatap Alfa dengan kebencian yang sudah taraf tingkat tinggi. Alfa menghela napas. "Kalau mau marah sama aku, luapin aja, Wi? Aku gak ngerti kamu marah sama aku gara-gara apa? Tapi kalau kamu cerita, mungkin aku jadi paham masalahmu apa.""Mas Alfa kenapa gak segera lamar Shadi sih?"Alfa menaikkan alisnya. Hanan sendiri hanya membentuk huruf 'O' dengan mulutnya tanpa suara. Rupanya masalah lamaran Alfa dan kalau dirunut pasti menyangkut urusan Galuh juga yang lagi diributin sama Alwi."Kenapa kamu tanyakan hal itu?""Karena Mas Alfa kelamaan jadi Galuh yang kena!" ketusnya."Gara-gara Mas Alfa plin plan dan gak cepet-cepet lamar Shadi, sekarang nama Galuh jadi rusak. Galuh dikatain pelakor. Mana dia yang harus pergi
Alwi meminta ketemu Galuh. Sayang, Galuh tak mau. Dia bahkan hanya mengirim sebuah chat yang isinya mengingatkan tentang kesepakatan mereka berdua.[Ingat kesepakatan kita, Gus. Dua tahun. Saya beri waktu njenengan dua tahun untuk berusaha]Alwi kesal. Dia melempar ponselnya dan jatuh di lantai. Alwi makin kesal karena dengan tidak adanya ponsel di tangan, dia jadi semakin bosan menunggu hingga hari besok. Besok Galuh akan berpamitan pada semua penghuni An-Nur. Alwi ingin dia bertemu hanya berdua saja sebelum dia pergi. Alwi ingin meyakinkan Galuh sekali lagi. Alwi ingin berjuang, sayang Galuh tak memberi kesempatan.“Aku pengen ketemu, Luh. Aku pengen yakinin kamu lagi. Aku kangen. Aku gak bisa begini, Luh.” Alwi tampak menderita akibat rasa rindunya pada Galuh. Dia menangis.“Aku yakin kamu pasti sedang bersiap-siap, kan? Aku ingin bantu kamu, Luh.”Alwi terus merasa nelangsa, tanpa dia sadari pintu kamarnya terbuka menampilkan sang ibu. Bu Nyai Latifah kesal melihat kondisi Alwi.“
Semua orang kini duduk di ruang keluarga. Namun sejak setengah jam yang lalu, tidak ada yang membahas apapun. Hanya Alfa yang mondar-mandir memanggil mantri lalu mengurusi Faris yang terluka. Begitu Faris sudah diberikan pertolongan pertama kini Kyai Baihaki mengumpulkan semua orang dalam satu ruangan. Fairuz sendiri kini berada dalam asuhan para mbak santri di pondok. Bu Nyai Latifah sendiri ikutan gabung karena kepo. Tak ada yang mempermasalahkan kehadirannya bahkan seperti kehadirannya dianggap tak ada."Baiklah. Kita selesaikan masalah hari ini juga."Kyai Baihaki menatap kepada Faris yang mengangguk lalu kepada Aiman yang terlihat masih emosional."Iman. Aku minta, kamu tahan emosimu. Biarkan Faris bercerita terlebih dahulu."Aiman tak bicara apapun tapi Kyai Baihaki tahu kalau Aiman mengerti akan maksudnya."Faris. Ceritakan semuanya."Faris mengangguk. Dia pun bercerita bagaimana dia sadar, dan bagaimana dia selalu menanyakan dimana Anjani. Tapi jawaban kedua orang tuanya selal
Faris terus menarik tangan Anjani. Keduanya entah pergi kemana, mereka pun tak tahu. Pokoknya saat itu, Faris hanya berpikir yang penting mereka menjauh sejauh-jauhnya dari si nenek sihir."Lepas! Lepas! Aku bilang lepas!" teriak Anjani. Dia mencoba melepaskan cekalan Faris dengan kasar. Tapi sulit hingha akhirnya bisa terlepas saat Anjani menggigit lengan kanan Faris."Aaaa!" teriak Faris.Cekalan Faris pun terlepas. Anjani menatap Faris dengan linangan air mata. Dia lalu berbalik hendak pergi meningalkan Faris. Dia berlari secepat mungkin namun Faris mengejarnya."Tunggu Anjani!"Anjani terus berlari tapi Faris berhasil menyusul dan secepat kilat meraih tangan Anjani menyebabkan Anjani sedikit tertarik hingga menubruk dada Faris yang meski sudah tua masih terasa bidang."Tunggu dulu. Jangan pergi.""Lepas!""Gak. Gak akan aku lepas lagi."Anjani berontak. Faris tak mau kehilangan sang istri lagi."Lepas! Lepas brengsek!" teriak Anjani."Gak akan Sayang. Mas gak akan lepasin kamu lag
Sepanjang perjalanan Alfa menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia sedang mencari keberadaan ayah mertuanya. Sama dengan Alfa, Kyai Baihaki dan Hanan juga ikut mengedarkan pandang. Hanan malah sudah mengkode sepupunya itu.“Bapak mertuamu, mana?” bisiknya.“Aku juga lagi nyari.” Alfa juga berbisik.Sampai di rumah, sosok Faris tetap saja tak ketahuan rimbanya. Nomer telepon Faris juga tidak aktif. Bahkan, ketika Alfa menelepon salah satu ustaz yang tinggal di sebelah rumah yang ditinggali Faris, sang ustaz mengatakan kalau Faris sudah tak terlihat sejak dia keluar dari rumah.Alfa ingin mencari tapi dia tak bisa karena ada beberapa urusan pekerjaan yang harus dia urus. Hanan sendiri malah sudah disuruh balik pagi itu juga, karena mau ada tamu sementara sang abah belum bisa pulang karena ada suatu urusan mendesak. Kyai Baihaki juga sama, beliau sibuk dengan jadwal ngajarnya yang padat pun Bu Nyai Khomsah. Galuh bahkan sudah kembali sibuk mengurusi sekolah. Zahra sendiri memilih menghabiskan w
Galuh menggerakkan tubuhnya. Dia kaget dan segera bangun. Galuh mengucek-ngucek matanya. "Mas Alfa?!" pekik Galuh mendapati sang suami sudah di kamar dan tidur di sebelah kirinya seperti biasa. "Mas Alfa. Mas." Galuh mengguncang bahu sang suami, pelan. Alfa seperti tidak merespon. Jadilah Galuh mengguncang lebih keras "Hem." Alfa hanya bergumam dan malah kembali tidur tak lupa dia menarik sang istri agar rebahan lagi. Galuh sedikit memekik tapi dia rebahan juga. Galuh memiringkan badan ke sang suami. Kini keduanya tidur berhadapan. Dia mengguncang bahu Alfa lagi. "Mas. Mas kapan pulang? Kata Abah Mas Alfa mungkin baliknya besok baru OTW dari Tegal. Kok sudah di sini?" Galuh menatap jam di dinding yang menunjuk pukul setengah tiga pagi. Dia lalu menoleh ke arah Fairuz yang masih bobo anteng sambil memeluk gulingnya. "Mas, ish. Jangan tidur, kamu belum jawab pertanyaanku. Mas pulangnya kapan?" Alfa sedikit membuka matanya lalu kembali merem. Lagi, Alfa mengeratkan pelukannya pad
Galuh dan Anjani masih berpelukan. Lalu Galuh tiba-tiba ingat sesuatu."Ibu.""Iya, Nduk.""Bu, berarti Galuh bukan anak hasil zina, kan? Galuh bukan anak haram, kan?" tanya Galuh dengan binar mata penuh ketakutan.Anjani menggeleng. Dia meraih kedua pipi sang putri."Bukan. Ibu menikah saat usia ibu sembilan belas tahun lebih satu bulan. Ibu dan ayahmu menikah resmi, Sayang. Di rumah kakekmu dari pihak ibu. Ada saksi ada buku nikahnya juga. Hanya saja bukunya hilang saat ibu dalam pelarian." Ada raut sedih di wajah Anjani. Galuh jadi ikutan sedih."Bu."Anjani mencoba tersenyum. "Tidak apa. Semua luka dan kesedihan ibu sudah terganti dengan kamu yang tumbuh baik seperti sekarang. Itu sudah cukup."Galuh mengangguk. Lalu antara rasa ragu dan rasa penasaran, rasa penasarannya lebih besar. Jadilah dia bertanya saja perihal ayahnya."Lalu, siapa ayahku?"Senyum yang sejak tadi sudah mulai Anjani keluarkan terganti dengan raut sedih. Galuh merasa bersalah sekali. "Bu, maaf. Galuh cuma ..
Anjani terlihat gelisah. Dia menatap ke seluruh ruangan hingga matanya tertuju pada lemari berkaca bening dengan setumpuk album foto di sana. Anjani menoleh ke kanan kiri. Dia penasaran tapi dia takut dikira tidak sopan. Tangannya tetulur memegang gagang pintu. Dia dilema diantara harus membuka atau meminta ijin.Diantara kebimbangannya, Bu Nyai Khomsah kembali masuk rumah. "Bu Anjani.""Ya," jawab Anjani kaget."Ada apa?""Maaf. Saya cuma ...." Anjani melirik ke arah lemari penuh album foto. Dia malu ketahuan tidak sopan tapi dia juga penasaran. Bu Nyai Khomsah tersenyum. "Diambil saja. Di sana banyak fotonya Galuh. Saya tahu, njenengan katanya sayang banget sama itu anak.""Nggih Bu Nyai. Saya sayang banget sama Lulu. Bahkan saya sudah menganggap Lulu anak saya."Bu Nyai Khomsah terkekeh. "Ya gimana gak sayang ya? Anaknya cantik, gemesin gitu. Saya juga begitu Bu Anjani. Uh, apalagi pas Galuh masih kecil. Nggemesine puol. Lihat aja foto-fotonya.""Apa saya boleh lihat, Bu Nyai?""
Bu Nyai Khomsah terlihat menautkan dua alisnya. Kabar yang dibawa sang suami lewat sambungan telepon membuatnya kaget. Rupanya bukan hanya Bu Nyai Khomsah, Galuh juga sudah menerima berita itu dari sang suami."Iya Mas. Aku gak papa. Tenang aja. Mas selesaikan urusan Mas di sana."Galuh mengangguk beberapa kali lalu menimpali ucapan sang suami. Sambungan pun berakhir setengah jam kemudian. Galuh terlihat menghela napas, dia kembali ke ruang tengah dimana sang umi rupanya baru juga selesai menelepon."Ada apa Bu Nyai? Kok kelihatan sedih begitu?" pancing Zainab. Jujur saja dia penasaran tentang kabar dari Andalusia tapi dia mencoba bermain cantik."Lulu juga kelihatannya habis denger berita yang gak bagus."Galuh yang baru duduk di samping ibu Anjani bercerita kabar yang dia dengar dari sang suami."Astaghfirullah, bisa begitu?""Iya Budhe. Kata Mas Alfa ini bukan yang pertama, tapi pas Bu Nyai Sepuh meninggal juga begini. Putranya bahkan sampai menelepon dan menghubungi banyak orang,
“Dasar anak yatim, anak haram, bisa-bisanya dia balik lagi ke sini. Mana jadi istrinya Alfa lagi, huh! Sebel, sebel!” Bu Nyai Latifah ngomel-ngomel sambil berjalan keluar dari rumah sang kakak. “Huh, padahal sudah bagus dia pergi. Malah balik lagi. Tapi … setidaknya dia gak bakalan bisa gangguin Alwi lagi. Cih, si Alfa ngelepas anak dubes demi anak haram jad---aw!” Bu Nyai Latifah tanpa sengaja menabrak sosok Zahra yang sedang berdiri diam karena menunggu Fairuz. Mereka baru pulang dari arah minimarket. Fairuz minta membeli jajan. “Maaf, Bu Nyai saya tidak se--” “Heh, kau! Punya mata gak sih?!” bentak Bu Nyai Latifah. Zahra yang hendak meminta maaf tak jadi melanjutkan kalimatnya. “Matamu buta ya?!” Zahra yang awalnya ingin menggunakan sikap sopan santunnya jadi terpancing emosi. “Saya sudah meminta maaf, loh Bu Nyai. Lagian Bu Nyai juga salah kok, intinya kita sama-sama salah. sama-sama gak lihat jalan.” “E e e, kamu ya?! Anak muda gak ada sopan santun, berani kamu?
"Kak Umar," panggil seorang lelaki berusia tepat lima puluh tahun pada sosok lain yang usianya dua tahun di atasnya. Sosok itu tidak langsung menjawab tapi terlihat menyelesaikan dzikir dan doanya baru dia berbalik menghadap ke arah sepupunya. "Ada apa Syakib?" "Ami (paman) memanggilmu, Kak." Sosok yang dipanggil Umar mengangguk. Dia bangkit berdiri, meninggalkan masjid rumah sakit untuk menuju ke kamar rawat sang ayah. Sampai di ruang rawat nomer 12, sosok itu langsung mengucap salam dan duduk di kursi dekat brankar sang ayah. "Aba panggil Umar?" Sosok lelaki tua yang diperkirakan berusia hampir delapan puluh tahun mengangguk. "Aba mau minta apa? Nanti Umar cariin," ucap sang lelaki lembut. Sang ayah menggeleng. Dia hendak mengulurkan tangan, demi menggapai sang putra. Umar yang melihat, menangkap tangan sang ayah dan menggenggamnya dengan lembut. "M-maaf. Ma-afin aba, maafin umi kamu juga," ucap sang pria paruh baya. "Umar sudah maafin Aba, mendiang Umi juga. Aba