Alwi hanya bisa kikuk ketika wanita yang sering dia hindari malah kini berada di depannya. "Mas Alwi lagi di Jogja?""Iya," jawab Alwi mencoba bersikap biasa saja. "Ooooo. Dari kapan?""Kemarin.""Lah kok sama?""Iyakah?"Jauza mengangguk lalu tersenyum. "Kamu sama siapa Jau?" Jauza mengenalkan kedua temannya yang sama-sama menangkupkan kedua tangan pada Alwi. Alwi pun melakukan hal yang sama. "Kalau ini namanya A—""Kalau saya Adi, temannya Alwi. Salam kenal eh assalamu'alaikum." Adi yang asli Jogja dan rumahnya menjadi basecamp Alwi sejak kemarin memperkenalkan diri. Alwi melirik sinis pada sahabatnya. Lewat tatapan mata, dia seakan mencemooh sikap Adi. Adi yang tahu sedang disinisi hanya memasang tampang polos. "Lah, kamu kelamaan ngenalin siapa aku ya aku ngenalin diri sendiri." Adi mengulas senyum manis pada Jauza. "Kamu dalam rangka apa di sini, Jau?" Alwi memcoba berbasa-basi. "Oh, ini. Ikut kajian bareng, Mas. Kajian rutin yang diselenggarakan oleh perkumpulan rutin p
Bu Nyai Khomsah dan Kyai Baihaki hanya bisa saling melirik satu sama lain. Kedua pasangan yang sudah menginjak usia paruh baya terlihat bingung. Pasalnya dua orang yang biasanya tak pernah bertegur sapa kini jadi mesra dan berdebat terus. "Kok bisa?" bisik Kyai Baihaki. "Umi juga bingung, Bah. Sejak dua hari yang lalu begitu." Bu Nyai Khomsah juga ikut-ikutan berbisik. Beliau lalu melirik kembali pada putra kandung dan putri angkatnya yang sejak satu jam yang lalu saling berdebat membahas konsep kegiatan ziarah wali songo yang akan dilaksanakan satu bulan kemudian. "Gak gini, Luh! Kayak biasa aja.""Kayak biasa gimana, Gus? Pengalaman kemarin dan kemarin kita kerepotan. Jangan pakai jasa ini lagi, gak bagus pelayanannya!""Masa? Kata Bulik—""Njenengan percaya?""Ya kan dia—""Njenengan itu belum ada dua bulan di rumah, makanya jadi orang jangan macam tembok rata atau kulkas dua belas pintu. Katanya jauh belajar ke Kairo. Masa gak bisa lihat banyak yang gak setuju dengan biro pili
Sejak perjalanan ziarah ke makam Wali, Alwi tidak bisa jauh dari Galuh. Setiap transit, entah bagaimana caranya, Alwi selalu saja sudah berada di dekat Galuh. Galuh risih, apalagi godaan selalu datang dari Ratna. "Cieee, disambangin itu sama calon suami, hihihihi.""Apaan sih, Na. Jangan bikin fitnah!""Bukan fitnah, Luh. Eh, lihat tuh! Kayaknya bawain kamu minuman deh hihihi."Ratna menunjuk sosok Alwi yang datang ke arah mereka dengan menenteng plastik putih yang sepertinya berisi makanan atau minuman. Dan benar saja, begitu Alwi sudah berada di depan Galuh dan Ratna, Alwi mengulurkan plastik kresek itu pada Galuh. "Nih, minuman boba. Rasa cokelat kesukaan kamu sama matcha buat Mbak Ratna.""Wah, makasih, Gus. Gus Alwi tahu aja, kan saya jadi ikut seneng."Ratna malah yang langsung menerima uluran kresek putih dari Alwi. Galuh sendiri hanya mengucapkan terima kasih saja. Alwi ingin sekali duduk bersama dengan Galuh sambil menikmati es boba rasa coffe kesukaan tapi kedatangan Alfa
Alfa sedang duduk di sofa ruang tengah sambil menunggui sang ibu yang masih berdandan. Sementara gadis cantik yang sejak lima belas menit yang lalu datang ke ndalem, tengah duduk di lantai beralaskan tikar. Sang gadis sejak tadi menunduk saja. Sesekali Alfa melirik pada Galuh yang bagai patung cantik yang sayang kalau tidak dilirik. Sesekali pula setelah memandang Galuh, Alfa terlihat menghembuskan napasnya. Keras. Membuat Galuh sering ikutan melirik ke Alfa. Kening Galuh mengernyit, bingung dia dengan tingkah laku gusnya yang aneh. "Njenengan kena asma?" Galuh akhirnya memilih bertanya saja daripada penasaran. Alfa menoleh ke arahnya lalu menggeleng. "Oh! Kirain. Habis Guse sejak tadi kayak narik napas terus, kayak orang asma."Alfa tak menjawab. Galuh pun kembali diam. Sibuk nunduk sambil memainkan kedua tangan. Bosan dia menunggu ibu angkatnya yang tumben dandannya lama. Keheningan terus melanda membuat Galuh semakin bosan sementara asma bohongannya Alfa kian menjadi. Galuh se
Shadiqah masih memandangi kepergian Alfa dengan dada sesak. Dia tak menyadari jika Arkan tengah menatapnya dengan kekesalan yang tak terhingga. Lama keduanya dalam posisi diam sambil berdiri. Shadiqah masih menatap ke arah perginya Alfa sementara Arkan masih menatap Shadiqah dengan tatapan tajam. Shadiqah mendesah pasrah. Dia lelah dengan hubungan yang tanpa kejelasan. Suara desahannya terdengar oleh Arkan yang dibalas dengan suara sinis. "Jadi! Dia lelaki yang kamu pilih?" sinisnya.Shadiqah menatap ke arah sang mantan dengan tatapan sedikit bingung. Setelah beberapa detik dalam kebingungan, akhirnya dia sadar akan maksud dari Arkan. "Iya, dia Mas Alfa. Calon suamiku," sahut Shadiqah tegas."Jadi, kapan kalian nikah?" tanya Arkan.Arkan menatap Shadiqah, menuntut jawaban. Shadiqah masih diam. Bingung mau menjawab apa. Pikirannya kacau. Tidak mungkin dia mengatakan kalau mereka belum sampai tahap kapan menikah. Boro-boro nikah, lamaran saja belum. Dan ini semua tak lain karena kein
Kyai Baihaki terlihat menghela napasnya sementara Alfa dan Bu Nyai Khomsah terlihat diam. Bu Nyai Khomsah sudah menceritakan semua kejadian tadi siang saat bertemu dengan Shadiqah. Tanpa ada satu pun yang ditutupi. Kyai Baihaki tidak langsung merespon, namun dilihat dari gurat wajahnya, tampak sekali beliau sedang mempertimbangkan sesuatu sebelum mengutarakannya. Alfa yang paham dengan karakter sang abah, bersuara. "Ngomong aja, Bah. Jangan cuma dipendem." Kyai Baihaki terkekeh, "kamu yakin? Meski tutur kata Abah santai dan lembut, seringnya nyelekit, loh." "Gak papa, Bah. Udah biasa banget digituin sama Abah. Justru kalau Abah diem, itu baru masalah." "Hehehe, baiklah." Kyai Baihaki memperbaiki posisi duduknya menjadi sedikit merebahkan punggung di sofa. Kebetulan, ketiga orang tersebut kini berada di ruang tengah. "Dari awal, abah sudah ngomong, kamu yakin sama Nak Shadi? Dan jawaban kamu, yakin. Padahal kamu tahu, dunia kalian berbeda." Alfa diam, namun dia mendengark
Setelah terbangun dari tidurnya, Alfa sama sekali tak bisa tidur hingga azan subuh berkumandang. Dia pun memutuskan ke masjid saja. Di ruang tengah, Alfa bertemu dengan kedua orang tuanya."Kamu pindah jam berapa ke kamar, Nang? Semalam kan umi suruh pindah katanya mager mau tiduran di sofa dulu.""Jam dua-an Umi.""Oooo."Bu nyai Khomsah lalu mengajak suami dan putranya untuk segera menuju ke masjid. Sampai di sana, bu nyai Khomsah memisahkan diri menuju ke bagian putri. Puji-pujian berkumandang dalam lantun merdu. Membuat hati para manusia menjadi tenang bagi yang hatinya dengan lapang percaya akan adanya Tuhan dan ingin menjadi hamba yang taat.Pukul lima kurang lima belas menit, sholat subuh pun dilaksanakan dengan Kyai Baihaki sebagai imam. Sehabis sholat, dilanjutkan dengan wiridan lalu kultum. Alfa terus berada di masjid hingga sampai pukul enam."Bah, Alfa duluan."Alfa berpamitan pada sang abah yang masih asik bercengkrama dengan para jamaah yang seumuran dengan beliau. "Oh
Jauza merasakan tatapan ketidaksukaan yang begitu kentara dari tatapan Alwi. Dia yang memiliki hati begitu sensitif sampai terdiam untuk waktu yang lama. Namun, keterdiaman Jauza terkikis oleh suara Bu Nyai Latifah yang terus saja mengajaknya ngobrol."Jauza.""Ya, Budhe.""Aku udah minta Mas Baihaki buat nerima kamu ngajar di sini. Nanti kamu tinggal di sini aja ya? Sama Budhe."Jauza hendak bersuara tapi dicegah oleh Alwi."Ya gak bisa dong Umi. Terus Alwi mau tidur dimana kalau Jauza di sini? Kami bukan muhrim. Tadi malam saja Alwi mesti nginep di pondok gara-gara Jauza datang mendadak lah ini Alwi suruh nginep sana lagi?" Suara Alwi terdengar sangat ketus membuat Jauza tak enak hati."Ya bareng juga gak papa. Kan kalian masih sepupu.""Sepupu bukan mahram, Umi.""Ya udah nikah aja, kalian. Gampang," celetuk Bu Nyai Latifah santai."Moh!" Alwi menjawab spontan dengan suara lantang. Membuat Jauza merasakan sakit di dada. 'Mas Alwi langsung nolak aku terang-terangan,' batinnya.'Ter
Faris terus menarik tangan Anjani. Keduanya entah pergi kemana, mereka pun tak tahu. Pokoknya saat itu, Faris hanya berpikir yang penting mereka menjauh sejauh-jauhnya dari si nenek sihir."Lepas! Lepas! Aku bilang lepas!" teriak Anjani. Dia mencoba melepaskan cekalan Faris dengan kasar. Tapi sulit hingha akhirnya bisa terlepas saat Anjani menggigit lengan kanan Faris."Aaaa!" teriak Faris.Cekalan Faris pun terlepas. Anjani menatap Faris dengan linangan air mata. Dia lalu berbalik hendak pergi meningalkan Faris. Dia berlari secepat mungkin namun Faris mengejarnya."Tunggu Anjani!"Anjani terus berlari tapi Faris berhasil menyusul dan secepat kilat meraih tangan Anjani menyebabkan Anjani sedikit tertarik hingga menubruk dada Faris yang meski sudah tua masih terasa bidang."Tunggu dulu. Jangan pergi.""Lepas!""Gak. Gak akan aku lepas lagi."Anjani berontak. Faris tak mau kehilangan sang istri lagi."Lepas! Lepas brengsek!" teriak Anjani."Gak akan Sayang. Mas gak akan lepasin kamu lag
Sepanjang perjalanan Alfa menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia sedang mencari keberadaan ayah mertuanya. Sama dengan Alfa, Kyai Baihaki dan Hanan juga ikut mengedarkan pandang. Hanan malah sudah mengkode sepupunya itu.“Bapak mertuamu, mana?” bisiknya.“Aku juga lagi nyari.” Alfa juga berbisik.Sampai di rumah, sosok Faris tetap saja tak ketahuan rimbanya. Nomer telepon Faris juga tidak aktif. Bahkan, ketika Alfa menelepon salah satu ustaz yang tinggal di sebelah rumah yang ditinggali Faris, sang ustaz mengatakan kalau Faris sudah tak terlihat sejak dia keluar dari rumah.Alfa ingin mencari tapi dia tak bisa karena ada beberapa urusan pekerjaan yang harus dia urus. Hanan sendiri malah sudah disuruh balik pagi itu juga, karena mau ada tamu sementara sang abah belum bisa pulang karena ada suatu urusan mendesak. Kyai Baihaki juga sama, beliau sibuk dengan jadwal ngajarnya yang padat pun Bu Nyai Khomsah. Galuh bahkan sudah kembali sibuk mengurusi sekolah. Zahra sendiri memilih menghabiskan w
Galuh menggerakkan tubuhnya. Dia kaget dan segera bangun. Galuh mengucek-ngucek matanya. "Mas Alfa?!" pekik Galuh mendapati sang suami sudah di kamar dan tidur di sebelah kirinya seperti biasa. "Mas Alfa. Mas." Galuh mengguncang bahu sang suami, pelan. Alfa seperti tidak merespon. Jadilah Galuh mengguncang lebih keras "Hem." Alfa hanya bergumam dan malah kembali tidur tak lupa dia menarik sang istri agar rebahan lagi. Galuh sedikit memekik tapi dia rebahan juga. Galuh memiringkan badan ke sang suami. Kini keduanya tidur berhadapan. Dia mengguncang bahu Alfa lagi. "Mas. Mas kapan pulang? Kata Abah Mas Alfa mungkin baliknya besok baru OTW dari Tegal. Kok sudah di sini?" Galuh menatap jam di dinding yang menunjuk pukul setengah tiga pagi. Dia lalu menoleh ke arah Fairuz yang masih bobo anteng sambil memeluk gulingnya. "Mas, ish. Jangan tidur, kamu belum jawab pertanyaanku. Mas pulangnya kapan?" Alfa sedikit membuka matanya lalu kembali merem. Lagi, Alfa mengeratkan pelukannya pad
Galuh dan Anjani masih berpelukan. Lalu Galuh tiba-tiba ingat sesuatu."Ibu.""Iya, Nduk.""Bu, berarti Galuh bukan anak hasil zina, kan? Galuh bukan anak haram, kan?" tanya Galuh dengan binar mata penuh ketakutan.Anjani menggeleng. Dia meraih kedua pipi sang putri."Bukan. Ibu menikah saat usia ibu sembilan belas tahun lebih satu bulan. Ibu dan ayahmu menikah resmi, Sayang. Di rumah kakekmu dari pihak ibu. Ada saksi ada buku nikahnya juga. Hanya saja bukunya hilang saat ibu dalam pelarian." Ada raut sedih di wajah Anjani. Galuh jadi ikutan sedih."Bu."Anjani mencoba tersenyum. "Tidak apa. Semua luka dan kesedihan ibu sudah terganti dengan kamu yang tumbuh baik seperti sekarang. Itu sudah cukup."Galuh mengangguk. Lalu antara rasa ragu dan rasa penasaran, rasa penasarannya lebih besar. Jadilah dia bertanya saja perihal ayahnya."Lalu, siapa ayahku?"Senyum yang sejak tadi sudah mulai Anjani keluarkan terganti dengan raut sedih. Galuh merasa bersalah sekali. "Bu, maaf. Galuh cuma ..
Anjani terlihat gelisah. Dia menatap ke seluruh ruangan hingga matanya tertuju pada lemari berkaca bening dengan setumpuk album foto di sana. Anjani menoleh ke kanan kiri. Dia penasaran tapi dia takut dikira tidak sopan. Tangannya tetulur memegang gagang pintu. Dia dilema diantara harus membuka atau meminta ijin.Diantara kebimbangannya, Bu Nyai Khomsah kembali masuk rumah. "Bu Anjani.""Ya," jawab Anjani kaget."Ada apa?""Maaf. Saya cuma ...." Anjani melirik ke arah lemari penuh album foto. Dia malu ketahuan tidak sopan tapi dia juga penasaran. Bu Nyai Khomsah tersenyum. "Diambil saja. Di sana banyak fotonya Galuh. Saya tahu, njenengan katanya sayang banget sama itu anak.""Nggih Bu Nyai. Saya sayang banget sama Lulu. Bahkan saya sudah menganggap Lulu anak saya."Bu Nyai Khomsah terkekeh. "Ya gimana gak sayang ya? Anaknya cantik, gemesin gitu. Saya juga begitu Bu Anjani. Uh, apalagi pas Galuh masih kecil. Nggemesine puol. Lihat aja foto-fotonya.""Apa saya boleh lihat, Bu Nyai?""
Bu Nyai Khomsah terlihat menautkan dua alisnya. Kabar yang dibawa sang suami lewat sambungan telepon membuatnya kaget. Rupanya bukan hanya Bu Nyai Khomsah, Galuh juga sudah menerima berita itu dari sang suami."Iya Mas. Aku gak papa. Tenang aja. Mas selesaikan urusan Mas di sana."Galuh mengangguk beberapa kali lalu menimpali ucapan sang suami. Sambungan pun berakhir setengah jam kemudian. Galuh terlihat menghela napas, dia kembali ke ruang tengah dimana sang umi rupanya baru juga selesai menelepon."Ada apa Bu Nyai? Kok kelihatan sedih begitu?" pancing Zainab. Jujur saja dia penasaran tentang kabar dari Andalusia tapi dia mencoba bermain cantik."Lulu juga kelihatannya habis denger berita yang gak bagus."Galuh yang baru duduk di samping ibu Anjani bercerita kabar yang dia dengar dari sang suami."Astaghfirullah, bisa begitu?""Iya Budhe. Kata Mas Alfa ini bukan yang pertama, tapi pas Bu Nyai Sepuh meninggal juga begini. Putranya bahkan sampai menelepon dan menghubungi banyak orang,
“Dasar anak yatim, anak haram, bisa-bisanya dia balik lagi ke sini. Mana jadi istrinya Alfa lagi, huh! Sebel, sebel!” Bu Nyai Latifah ngomel-ngomel sambil berjalan keluar dari rumah sang kakak. “Huh, padahal sudah bagus dia pergi. Malah balik lagi. Tapi … setidaknya dia gak bakalan bisa gangguin Alwi lagi. Cih, si Alfa ngelepas anak dubes demi anak haram jad---aw!” Bu Nyai Latifah tanpa sengaja menabrak sosok Zahra yang sedang berdiri diam karena menunggu Fairuz. Mereka baru pulang dari arah minimarket. Fairuz minta membeli jajan. “Maaf, Bu Nyai saya tidak se--” “Heh, kau! Punya mata gak sih?!” bentak Bu Nyai Latifah. Zahra yang hendak meminta maaf tak jadi melanjutkan kalimatnya. “Matamu buta ya?!” Zahra yang awalnya ingin menggunakan sikap sopan santunnya jadi terpancing emosi. “Saya sudah meminta maaf, loh Bu Nyai. Lagian Bu Nyai juga salah kok, intinya kita sama-sama salah. sama-sama gak lihat jalan.” “E e e, kamu ya?! Anak muda gak ada sopan santun, berani kamu?
"Kak Umar," panggil seorang lelaki berusia tepat lima puluh tahun pada sosok lain yang usianya dua tahun di atasnya. Sosok itu tidak langsung menjawab tapi terlihat menyelesaikan dzikir dan doanya baru dia berbalik menghadap ke arah sepupunya. "Ada apa Syakib?" "Ami (paman) memanggilmu, Kak." Sosok yang dipanggil Umar mengangguk. Dia bangkit berdiri, meninggalkan masjid rumah sakit untuk menuju ke kamar rawat sang ayah. Sampai di ruang rawat nomer 12, sosok itu langsung mengucap salam dan duduk di kursi dekat brankar sang ayah. "Aba panggil Umar?" Sosok lelaki tua yang diperkirakan berusia hampir delapan puluh tahun mengangguk. "Aba mau minta apa? Nanti Umar cariin," ucap sang lelaki lembut. Sang ayah menggeleng. Dia hendak mengulurkan tangan, demi menggapai sang putra. Umar yang melihat, menangkap tangan sang ayah dan menggenggamnya dengan lembut. "M-maaf. Ma-afin aba, maafin umi kamu juga," ucap sang pria paruh baya. "Umar sudah maafin Aba, mendiang Umi juga. Aba
Alfa sedang mengusap-usap kedua telinganya yang kini tampak memerah. Rasa sakit akibat jeweran dari kedua orang tuanya juga masih terasa. Bahkan Hanan mau ikut-ikutan jewer tapi tak jadi gara-gara pelototan Alfa yang terlihat mengerikan kayak Memedi. “Kamu, ya. Bisa-bisanya gak bilang, bojomu si Galuh.” “Biar surprise.” “Tapi beneran kaget loh,” ucap Nabila yang ikut nimbrung obrolan dua lelaki dewasa. Galuh sendiri masih temu kangen dengan kedua orang tua angkatnya dengan Fairuz yang langsung nemplok di pangkuan Galuh. “Ah elah, bahkan si Fay sampai ngelendot gitu.” “Kan Fay anaknya, ya nempel sama emak dia lah,” celetuk Alfa. "Halah, dulu aja Galuh kau sia-siain. Kini dengan bangganya kau bilang dia ibu anakmu, dih! Sok amnesia dia, Bibil.” “Iya Mas. Sok banget ya Mas. Sok banget jadi suami paling penyayang. Padahal dulu---" "Edan! Sampai keblinger sama Shadiqah setan." "Hahaha." Tiga orang tertawa lalu sama-sama melirik ke arah Galuh dan kedua orang tua Alfa ya