Galuh menerima hadiah dari Alfa dengan kikuk, sementara sang kakak angkat hanya memamerkan senyum tipisnya. Beruntung Alfa memiliki karakter cool, irit ngomong dan segala sifat yang dimiliki oleh kulkas dua pintu, sehingga menyamarkan ketidaksukaan Alfa pada Galuh.
“Makasih, Gus,” ucap Galuh lirih. Dia menatap kerudung motif segi empat berwarna hijau toska pemberian sang kakak angkat. Ada keharuan yang menyelimuti hati Galuh. Meski sikap Alfa padanya memang bisa dikatakan kurang bersahabat, tapi kakak angkatnya memang selalu memberinya hadiah kemana pun dia berada. Dan bagi Galuh itu sudah cukup, dia tak akan meminta lebih.“Buatku mana Mas?” rajuk Alwi.Alfa menatap adik sepupunya, “Bukannya sudah tak kasih banyak?”“Kurang.”“Kamu gak minta aku beliin jilbab kayak Galuh kan?”“Astaghfirullah, ya gak gitu juga ngasih hadiahnya, Mas!” pekik Alwi sementara yang lain hanya tertawa mendengar celetukan Alfa yang lucu. Ya lucu karena saat mengatakannya, ekspresi muka Alfa adalah tanpa ekspresi cenderung datar dengan suara yang datar juga.“Aih nyebelin sumpah.”Alwi memanyunkan bibir dan memilih memakan kacang rebus yang ada di meja ruang tengah. Sementara itu, Kyai Baihaki, Bu Nyai Khomsah dan Bu Nyai Latifah terus mengobrol. Alfa sendiri hanya sesekali ikutan ngobrol, selebihnya dia hanya menyimak. Alwi sendiri kadang-kadang ikut nimbrung obrolan namun mulutnya tak berhenti mengunyah makanan. Galuh? Dia lebih banyak diam dan menunduk.Kehangatan keluarga Kyai Baihaki terinterupsi dengan kehadiran Jauza dan kedua orang tuanya. Kyai Baihaki menyambut hangat keluarga adik sepupunya. Mereka pun mengobrol bersama, Galuh dengan sigap menyiapkan tambahan minuman dan setelah itu undur diri dari ndalem, karena dia merasa tugasnya sudah selesai.Sampai di kamarnya, Galuh menatap kerudung yang diberikan Alfa dengan air mata berlinang. Hatinya terasa sakit menyadari rasa yang sejak remaja dia sadari telah tumbuh untuk Alfa kembali menguncup dan mulai bersemi. Padahal Galuh sudah mencoba melupakan cinta pertamanya kepada sang kakak angkat, ternyata? Dia gagal total.“Lupakan cinta ini, Galuh. Lelaki itu tak mencintaimu, bahkan keberadaanmu saja tak ia sukai. Semua yang ada padamu tak ia sukai. Sudahlah Luh, jangan mewek, lupakan cinta ini. Cinta itu kata haram buat kamu.”Setetes air mata Galuh jatuh menimpa ujung jilbabnya. Galuh mendongak, berharap air matanya tak jatuh lebih banyak. Dia tak mau menangis, baginya tangis adalah kekalahan. Dan dia tak mau kalah. Meski seluruh dunia mengacuhkannya, menghinanya dan menganggap keberadaannya tak penting, dia tak mau hancur lebur. Tidak!Galuh mengusap bekas air mata yang masih membekas di area mata dan pipi. Dia segera membuka sebuah koper kecil, lalu memasukkan kerudung pemberian Alfa di sana. Galuh menatap banyak kerudung yang lain, yang semuanya adalah pemberian Alfa juga. Total ada lebih dari dua puluh belum lagi ada tasbih, sajadah dan lain-lain. Galuh tersenyum miris, menyadari dia tak pernah memakai pemberian sang kakak.“Gimana bisa aku pakai, kalau kamu ngasihnya aja kayak gak ikhlas, Gus,” lirihnya.Galuh menutup kembali koper miliknya, kini dia memilih duduk sambil menyandar di tembok. Berpikir bagaimana caranya bisa segera pergi dari tempat ini. Dia sudah merasa tak nyaman. Entahlah, sejak dulu, menatap Alfa hanya akan membuatnya berdebar, gelisah dan takut menjadi satu rasa.“Entah bagaimana nasibku kelak, aku pasrah ya Allah.”Jika Galuh sedang merenung di kamarnya, Jauza justru sedang khawatir dengan tema obrolan sang abah dan Kyai Baihaki yang sudah menjurus ke pasal jodoh. Ayahnya bahkan terang-terangan menanyakan pada Alfa apakah Alfa sudah punya calon apa belum. Pertanyaan yang langsung membuat Jauza diam karena kaget dan juga rasa takut yang mendominasi. Jauza melirik pada Alwi yang dalam mode giling kacang rebus. Alwi tampak cuek dan fokus makan. Jauza melirik ibunya yang terlihat antusias juga, Jauza jadi memilih menunduk dan berdoa semoga saja kakak sepupunya sudah punya calon.Sejalan dengan Jauza, Bu Nyai Latifah juga terlihat khawatir. Karena dia juga sangat berharap Jauza menjadi menantunya.“Alhamdulillah, Alfa sudah punya Pak Lik, doakan bulan depan mau melamar.” Ucapan Alfa bagai oase bagi Jauza. Dia tersenyum simpul, Bu Nyai Latifah juga terlihat lega.Hal yang berbanding terbalik dengan wajah kedua orang tua Jauza.“Oh, begitu, selamat ya Alfa,” ucap Ayahnya Jauza seakan ada nada tak rela, pria yang dia harapkan ada jodoh dengan sang putri malah melipir ke lain hati.“Makasih, Pak Lik.”Setelah ungkapan Alfa kalau dia sudah punya calon, membuat suasana yang tadinya terlihat hangat jadi sedikit kaku. Kyai Baihaki dan Bu Nyai Khomsah sadar jika kedua orang tua Jauza jadi lebih banyak diam dan tak sehangat ketika pertama kali datang. Alfa pun merasakan demikian namun dia cuek, ya mau gimana lagi orang dia gak suka sama Jauza kok dipaksa.Setelah dirasa cukup bertandang, keluarga Jauza pamit. Sebelum pamit, Kyai Baihaki membisiki telinga sang adik dan mengucap kata maaf karena tidak bisa menyambung tali kekeluargaan lebih erat lagi dengan adik sepupunya.Ayah Jauza yang paham pun hanya mengatakan ‘tidak apa-apa, mungkin belum jodoh’ membuat dua bersaudara sepupu saling tersenyum sebagai tanda pemahaman.Keluarga Kyai Baihaki mengantar keluarga Jauza hingga mobil mereka menghilang di balik pagar. Bu Nyai Latifah langsung pamit dan menyeret sang anak.“Umi, Alwi masih betah di sini, mau ngobrol sama Mas Alfa.”“Halah, besok lagi, temani umi.”Dengan sedikit menyeret sang putra, Bu Nyai Latifah berhasil membuat Alwi memutar kunci motor, membonceng ibunya dan mereka pun pamit pulang setelah sebelumnya mengucap salam. Ketiga anggota keluarga pun segera masuk ke dalam rumah.“Kamu sudah yakin mau melamar Nak Shadiqah bulan depan, Al?” tanya Kyai Baihaki serius begitu mereka sudah berada di dalam rumah, duduk nyaman di ruang tengah.“Insya Allah Bah.”“Sudah sholat?”“Sudah.”“Hasilnya?” cecar Kyai Baihaki.Alfa diam, dia tak langsung menjawab.“Alfa.” Sang Abah kembali bertanya pada putranya, pandangannya terasa menghujam hingga menembus jantung Alfa.“Kalau Alfa gak yakin, Alfa gak mungkin melamar, Bah," ucap Alfa dengan sorot keyakinan.“Baiklah, abah pegang keyakinan dan tekad kamu. Asal apa pun hasilnya, kamu harus berani tanggung resiko.”Alfa mengangguk dan berusaha tersenyum. Namun ketika sang abah dan sang umi sedang berbincang-bincang, tatapan Alfa terlihat kelam. Dan beberapa detik kemudian menjadi semacam amarah.***Galuh sedang sibuk menyusun agenda kegiatan untuk perayaan ulang tahun MA Al Kautsar di perpustakaan sekolah. Dia tampak fokus sekali sampai tak menyadari di depannya ada sosok Alfa yang menatapnya dengan tatapan tajam.“Ekhem!”Suara deheman membuat Galuh kaget dan refleks mendongak.“Gus. Ada apa?"“Ikut saya!”Alfa berbalik dan menuju ke luar perpus dan menuju ke ruang pertemuan, Galuh menghembuskan napasnya pelan. Dia sudah yakin kalau dia pasti akan terkena semprot dari Alfa. Dan benar saja, begitu dia duduk di depan Alfa dan terhalang meja, Alfa sudah mencecarnya dengan banyak pertanyaan dan juga omelan tentang rancangan kegiatan yang dia susun untuk acara ulang tahun MA. Galuh hanya mengucap maaf berkali-kali dan mendengarkan saja semua omelan yang keluar dari mulut Alfa.‘Anggap saja burung sedang berkicau, Luh. Mau kamu jadi bidadari bagi Gus Alfa kamu tuh kayak Memedi, Kunti, Setan, Nini Lampir, udah jangan masukin hati.’“Ngerti apa yang saya maksud kan?”“Nggih Gus, semoga saya gak salah lagi.”“Harus! Masak ustazah gak mudeng-mudeng?”“Ya mau gimana lagi, Gus. Mungkin karena saya lulusan UT, makanya gak pinter gak kayak ustazah yang lain,” jawab Galuh kalem.“Jadi besok-besok kan Gus Alfa yang sudah ngambil alih semua lini di pondok dan sekolah, sudah bisa memulai perombakan dengan mendelete saya dari semua lini. Dari kurikulum, kepanitiaan, PMR, Pramuka dan Olimpiade Sains. Saya kan kata guse, gak punya kemampuan, jadi buat apa dipertahankan. Ya kan Gus? Saya kan bodoh!” lanjut Galuh, menyerang Alfa balik namun dengan tutur kata lembut namun menusuk.Glek. Alfa diam saja, dia tak bisa bersuara. Alfa menatap gadis di depannya dengan tatapan nyalang sementara Galuh balas menatap dengan tatapan sayunya.“Saya kan bukan murid berprestasi jadi gak akan bisa menghasilkan anak-anak berprestasi, jadi singkirkan saya saja Gus, gampang kok!”Galuh kembali tersenyum. Alfa membanting proposal di depannya dengan keras, dia pergi begitu saja tanpa bisa membalas ucapan Galuh. Galuh sendiri masih duduk diam di kursinya. Semalaman merenung, membuatnya berpikir untuk tidak mau lagi ditindas. Tidak! Jika pun dia akan terusir dari Al Kaustar, akan dia pastikan dia tak akan ditindas dan diperlakukan semena-mena oleh Gus Alfa, tidak akan pernah.Alfa sendiri keluar dari gedung MA dengan kemarahan luar biasa. Dia berdiri diam agar kemarahannya tak kentara. Namun justru tatapannya jadi tertuju pada deretan pohon angsana di sekitar lapangan MA. Bayangan sekelebat wanita berkerudung hijau toska kembali mampir di kepalanya. Alfa menggelengkan kepala.“Bukan dia! Bukan,” desis Alfa.Alfa memilih segera meninggalkan halaman MA namun lagi-lagi Alfa menoleh ke arah rimbunan pohon angsana.“Gak! Gak boleh! Masa dia, gak mungkin. Ini cuma bujukan setan, bukan. Bukan dia,” gumamnya.Alfa segera melajukan motornya meninggalkan halaman MA.Galuh tak dapat menahan senyum lebarnya begitu acara yang dia ketua berakhir dengan begitu sangat meriah. Dia bahkan mendapat banyak ucapan selamat dari para Ustazah dan yang spesial dari Abah Baihaki dan Umi Khomsah.Alfa sendiri hanya diam saja, tak mengucap selamat atau apa pun. Alfa lebih memilih menyibukkan diri dengan ponselnya saat sang ibu mengajak Galuh bercengkrama di rumah. Bahkan dia pura-pura harus menelepon sahabatnya agar bisa meninggalkan ruang keluarga. Bukannya sedih, Galuh malah senang jika Alfa tak berada satu ruangan dengannya. Dia bisa lebih banyak berekspresi dan bisa ngobrol santai dengan ibu angkatnya. Obrolan yang lama kelamaan jadi makin serius karena Umi Khomsah memang mengajak Galuh bicara serius."Luh.""Nggih Umi.""Ada lamaran dari Kyai Basroni, kamu ...." Bu Nyai Khomsah diam. Ada mendung di wajahnya."Saya tahu Umi, istri beliau sudah matur ke saya. Tapi mohon maaf Umi, Galuh menolak permintaan beliau. Pantang bagi Galuh jadi yang kedua. Meski Galuh
Alfa menatap ponselnya dalam diam. Keningnya terlihat berkerut. Tampak sekali sedang berpikir keras. Alfa lalu menghembuskan napasnya dengan kasar. Ditaruhnya ponsel itu di atas nakas dekat ranjang lalu Alfa memilih rebahan. Sambil rebahan, tatapan mata Alfa tertuju pada langit-langit kamarnya. Suara kipas angin di dinding pun terdengar keras. Alfa berbalik, menutup matanya sebentar, membuka mata lagi dan berbalik lagi menatap langit kamar. Posisinya kembali terentang. Beberapa kali embusan napasnya terdengar berat bahkan terkesan lelah."Kenapa perasaanku kok kayak ada yang salah ya? Tapi apa?" gumamnya."Tau ah, gelap. Mending tidur!" Alfa memilih tidur siang. Siapa tahu habis tidur perasaannya jadi lebih baik. Sayangnya Alfa kembali membuka mata. Dia tak bisa tidur. "Ish! Kenapa susah sekali buat merem sih?"Alfa memilih berdiri. Kebiasaan di Kairo yang jarang tidur siang, kebablasan hingga di rumah. Alfa yang masih dalam tahap adaptasi kesulitan mencari aktivitas yang bisa membu
Alwi menatap Galuh dengan tatapan penuh pemujaan dari lantai dua MA Al Kautsar untuk siswa putra. Sementara yang dipandangi tidak sadar dan fokus dengan kegiatannya bersama anak-anak PMR. MA Al Kautsar memang dibagi menjadi dua kompleks berhadapan yang satu untuk santri putra sementara yang satu untuk santri putri. Pengelolaan ini ditujukan agar siswa dan siswi yang hampir sembilan puluh persen adalah santri, mampu menjaga pandangan dengan lawan jenis. Meski sudah diatur sedemikian rupa, tetap saja ada yang mbeler dan melakukan pertemuan dengan lawan jenis. Semua tergantung pribadi masing-masing. Alwi masih asik menatap wajah ayu gadis pujaan hatinya. Sejak dulu, sejak dia masih kecil, Alwi memang sudah menyukai Galuh. Gimana gak suka, Galuh itu paling berbeda. Wajah khas gadis Arab dengan hidung mancung, mata hitam bulat, alis lebat yang melengkung indah di atas kedua mata, serta kulit putihnya begitu kentara. Sangat membedakan dirinya dengan orang lain yang rata-rata berkulit sawo
Galuh kaget, mau ngerem juga percuma. Cara jalannya yang jauh dari kata putri Solo kini menjadi bumerang. Galuh sedang berjalan tergesa melewati lorong kelas dan saat berbelok dia kurang waspada. Bukannya memelankan kecepatan berjalan, malah Galuh main belok saja. Dan ternyata ada Alfa yang sedang berjalan dari arah lorong yang lain. Alfa juga terlihat tergesa. Jadilah keduanya sama-sama kaget, tidak bisa ngerem dan bruk! Tubuh keduanya jadi bertubrukan. Galuh hampir jatuh namun refleks dia mencengkeram koko kakak angkatnya. Alfa sendiri refleks menarik pinggang Galuh. Akibatnya tubuh keduanya saling membentur lagi namun kini jadi saling merapat. Karena Galuh berpegangan pada koko sang kakak angkat, sementara Alfa dengan sigap merangkap sang adik angkat dengan kedua lengan kokohnya.Galuh deg-degan. Pipinya merona. Alfa? Jangan tanya, wajah kakak angkatnya terlihat kesal. Wajah Alfa terlihat memerah menahan malu atau marah. Entah, Galuh tak tahu. Yang jelas, Galuh segera melepaskan t
Galuh tak menyangka dengan apa yang dilakukan oleh Alwi. Dia celingukan ke kanan dan ke kiri. Galuh menutup matanya sebentar lalu kembali menatap Alwi. Ternyata sosok yang dia harap hanya hayalan atau halusinasi memang dia. Galuh kesal. Tanpa peduli mau dikatain judes, Galuh berkata ketus pada Alwi. "Gus! Gus apa-apaan sih?" desis Galuh. Dia kembali melirik ke kiri dan kanan. "Lah, aku emangnya ngapain?" tanya Alwi balik. Bahkan sambil cengengesan. "Kenapa Gus Alwi bisa di sini?" "Terserah aku lah, duit juga duitku sendiri." "Memangnya njenengan gak ngajar?" "Ada ustaz piket, kok." Alwi lagi-lagi menjawab cuek.Galuh kembali menutup mata sebentar lalu beristighfar. Menghadapi Alwi memang butuh kesabaran dan kewarasan. Galuh memilih tak memperpanjang urusan. Meski dia yakin, kalau Alwi sengaja membuntutinya, tapi Galuh ta punya kuasa untuk menolak kehadiran Alwi. Galuh yakin, lelaki slengekan dan suka semaunya sendiri itu punya seribu satu macam alasan. Dan sayangnya diantara sem
Alwi hanya bisa meluapkan kekesalannya pada Galuh dengan cara menendang kerikil-kerikil yang dia temui sepanjang jalan. Atau pada angin yang dia tinju tapi tak ada reaksi apa pun atau rasa sakit apapun di kepalan tangannya. Tapi rasa sakit di hati? Jelas. Alwi merasa lagi-lagi Galuh tidak ingin tersentuh oleh perhatiannya, kebaikannya dan rasa cintanya. "Kenapa kamu nolak aku terus sih Luh? Aku tuh tulus sama kamu. Sejak kecil loh. Sejak kecil kamu selalu saja nolak keberadaanku. Padahal aku sayang sama kamu."Alwi duduk ndoprok di lantai yang ada di stasiun Jogja. Padahal ada banyak kursi tapi dia memilih menyiksa diri. "Aku kudu gimana sih Luh, buat melunakkan hatimu? Cuma aku? Aku yang nerima kamu apa adanya. Gak ada cowok mana pun yang mau sama kamu. Kamu tuh siapa sih?" kesal Alwi. "Bapakmu aja gak jelas!" ucapnya ketus. Tepat saat kalimat terakhir yang Alwi ucapkan, bunyi kereta lain yang baru datang mengagetkan dirinya. Alwi diam termenung hingga kalimat istighfar terucap da
"Mau kemana, Fa?" tanya Bu Nyai Khomsah pada sang putra. Alfa terlihat menggunakan celana jeans dan jaket warna hitam. Tak hanya itu, tas gendong besar sudah bertengger di punggungnya."Alfa ijin mau ke tempat Hamish, Umi. Alfa sama Hamish kan ada kerja sama mau bikin buku, Hamish yang nulis terus Alfa yang bagian editing.""Lah bukannya kalau kamu bantuin temen kamu ngedit naskah biasanya cuma kirim email?""Sekalian main, Umi. Semenjak Alfa kuliah lagi belum pernah ketemu Hamish. Sama Mila juga. Terus katanya udah punya anak lagi, kan Alfa penasaran sama anak kedua mereka.""Ah iya, kamu belum pernah ketemu. Tapi, kudu berangkat sekarang? Nggak nunggu besok pagi?""Sekarang aja Umi. Kalau perjalanan sore sampai malam lebih sepi, tenang dan adem.""Oh ya sudah."Alfa menunggu sang abah untuk pamitan. Kyai Baihaki yang kembali dari masjid setelah bakda ashar, menatap putranya heran. "Lah, dolan dalam rangka apa?""Kerjaan sama bosen di rumah, Bah. Butuh refreshing.""Oooo, ya sudah
Ning Mila mengerucutkan bibirnya. Sengaja bahkan itu bibir diputer-puter, manyun ke kanan kiri atas bawah. Wes lah pokokmen mencucu. Bahkan gerutuannya terdengar jelas hingga ke ruang tamu dimana suami dan kedua orang tuanya sedang berkumpul."Sopo Mil?" tanya Bu Nyai Khomariyah, adik Bu Nyai Khomsah."Bu Nyai Latifah, Umi. Biasa nyariin balitanya," sinis Ning Mila."Tapi gak gitu juga kali mimik wajahmu, Dek. Sampai bibir meleyat-leyot gitu," gurau sang suami, Gus Hamish."Habis nyebelin banget sumpah Mas, makanya sejak dulu aku tuh gak bestie-an sama Alwi, soal rasa cintanya sama Galuh. Kasihan aku sama Galuh. Ish, sebel."Ning Mila masih saja misah-misuh. Tingkahnya menggemaskan sekali."Wes to, ojo nesu. Sini duduk saja," titah Kyai Badawi pada sang putri semata wayang.Ning Mila menghembuskan napasnya."Mila sama Galuh sama Haidar aja deh. Mau kasih support buat bestie-nya aku."Ning Mila berbalik dan menuju ke taman belakang, sementara suami dan kedua orang tuanya tetap bertahan
Faris terus menarik tangan Anjani. Keduanya entah pergi kemana, mereka pun tak tahu. Pokoknya saat itu, Faris hanya berpikir yang penting mereka menjauh sejauh-jauhnya dari si nenek sihir."Lepas! Lepas! Aku bilang lepas!" teriak Anjani. Dia mencoba melepaskan cekalan Faris dengan kasar. Tapi sulit hingha akhirnya bisa terlepas saat Anjani menggigit lengan kanan Faris."Aaaa!" teriak Faris.Cekalan Faris pun terlepas. Anjani menatap Faris dengan linangan air mata. Dia lalu berbalik hendak pergi meningalkan Faris. Dia berlari secepat mungkin namun Faris mengejarnya."Tunggu Anjani!"Anjani terus berlari tapi Faris berhasil menyusul dan secepat kilat meraih tangan Anjani menyebabkan Anjani sedikit tertarik hingga menubruk dada Faris yang meski sudah tua masih terasa bidang."Tunggu dulu. Jangan pergi.""Lepas!""Gak. Gak akan aku lepas lagi."Anjani berontak. Faris tak mau kehilangan sang istri lagi."Lepas! Lepas brengsek!" teriak Anjani."Gak akan Sayang. Mas gak akan lepasin kamu lag
Sepanjang perjalanan Alfa menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia sedang mencari keberadaan ayah mertuanya. Sama dengan Alfa, Kyai Baihaki dan Hanan juga ikut mengedarkan pandang. Hanan malah sudah mengkode sepupunya itu.“Bapak mertuamu, mana?” bisiknya.“Aku juga lagi nyari.” Alfa juga berbisik.Sampai di rumah, sosok Faris tetap saja tak ketahuan rimbanya. Nomer telepon Faris juga tidak aktif. Bahkan, ketika Alfa menelepon salah satu ustaz yang tinggal di sebelah rumah yang ditinggali Faris, sang ustaz mengatakan kalau Faris sudah tak terlihat sejak dia keluar dari rumah.Alfa ingin mencari tapi dia tak bisa karena ada beberapa urusan pekerjaan yang harus dia urus. Hanan sendiri malah sudah disuruh balik pagi itu juga, karena mau ada tamu sementara sang abah belum bisa pulang karena ada suatu urusan mendesak. Kyai Baihaki juga sama, beliau sibuk dengan jadwal ngajarnya yang padat pun Bu Nyai Khomsah. Galuh bahkan sudah kembali sibuk mengurusi sekolah. Zahra sendiri memilih menghabiskan w
Galuh menggerakkan tubuhnya. Dia kaget dan segera bangun. Galuh mengucek-ngucek matanya. "Mas Alfa?!" pekik Galuh mendapati sang suami sudah di kamar dan tidur di sebelah kirinya seperti biasa. "Mas Alfa. Mas." Galuh mengguncang bahu sang suami, pelan. Alfa seperti tidak merespon. Jadilah Galuh mengguncang lebih keras "Hem." Alfa hanya bergumam dan malah kembali tidur tak lupa dia menarik sang istri agar rebahan lagi. Galuh sedikit memekik tapi dia rebahan juga. Galuh memiringkan badan ke sang suami. Kini keduanya tidur berhadapan. Dia mengguncang bahu Alfa lagi. "Mas. Mas kapan pulang? Kata Abah Mas Alfa mungkin baliknya besok baru OTW dari Tegal. Kok sudah di sini?" Galuh menatap jam di dinding yang menunjuk pukul setengah tiga pagi. Dia lalu menoleh ke arah Fairuz yang masih bobo anteng sambil memeluk gulingnya. "Mas, ish. Jangan tidur, kamu belum jawab pertanyaanku. Mas pulangnya kapan?" Alfa sedikit membuka matanya lalu kembali merem. Lagi, Alfa mengeratkan pelukannya pad
Galuh dan Anjani masih berpelukan. Lalu Galuh tiba-tiba ingat sesuatu."Ibu.""Iya, Nduk.""Bu, berarti Galuh bukan anak hasil zina, kan? Galuh bukan anak haram, kan?" tanya Galuh dengan binar mata penuh ketakutan.Anjani menggeleng. Dia meraih kedua pipi sang putri."Bukan. Ibu menikah saat usia ibu sembilan belas tahun lebih satu bulan. Ibu dan ayahmu menikah resmi, Sayang. Di rumah kakekmu dari pihak ibu. Ada saksi ada buku nikahnya juga. Hanya saja bukunya hilang saat ibu dalam pelarian." Ada raut sedih di wajah Anjani. Galuh jadi ikutan sedih."Bu."Anjani mencoba tersenyum. "Tidak apa. Semua luka dan kesedihan ibu sudah terganti dengan kamu yang tumbuh baik seperti sekarang. Itu sudah cukup."Galuh mengangguk. Lalu antara rasa ragu dan rasa penasaran, rasa penasarannya lebih besar. Jadilah dia bertanya saja perihal ayahnya."Lalu, siapa ayahku?"Senyum yang sejak tadi sudah mulai Anjani keluarkan terganti dengan raut sedih. Galuh merasa bersalah sekali. "Bu, maaf. Galuh cuma ..
Anjani terlihat gelisah. Dia menatap ke seluruh ruangan hingga matanya tertuju pada lemari berkaca bening dengan setumpuk album foto di sana. Anjani menoleh ke kanan kiri. Dia penasaran tapi dia takut dikira tidak sopan. Tangannya tetulur memegang gagang pintu. Dia dilema diantara harus membuka atau meminta ijin.Diantara kebimbangannya, Bu Nyai Khomsah kembali masuk rumah. "Bu Anjani.""Ya," jawab Anjani kaget."Ada apa?""Maaf. Saya cuma ...." Anjani melirik ke arah lemari penuh album foto. Dia malu ketahuan tidak sopan tapi dia juga penasaran. Bu Nyai Khomsah tersenyum. "Diambil saja. Di sana banyak fotonya Galuh. Saya tahu, njenengan katanya sayang banget sama itu anak.""Nggih Bu Nyai. Saya sayang banget sama Lulu. Bahkan saya sudah menganggap Lulu anak saya."Bu Nyai Khomsah terkekeh. "Ya gimana gak sayang ya? Anaknya cantik, gemesin gitu. Saya juga begitu Bu Anjani. Uh, apalagi pas Galuh masih kecil. Nggemesine puol. Lihat aja foto-fotonya.""Apa saya boleh lihat, Bu Nyai?""
Bu Nyai Khomsah terlihat menautkan dua alisnya. Kabar yang dibawa sang suami lewat sambungan telepon membuatnya kaget. Rupanya bukan hanya Bu Nyai Khomsah, Galuh juga sudah menerima berita itu dari sang suami."Iya Mas. Aku gak papa. Tenang aja. Mas selesaikan urusan Mas di sana."Galuh mengangguk beberapa kali lalu menimpali ucapan sang suami. Sambungan pun berakhir setengah jam kemudian. Galuh terlihat menghela napas, dia kembali ke ruang tengah dimana sang umi rupanya baru juga selesai menelepon."Ada apa Bu Nyai? Kok kelihatan sedih begitu?" pancing Zainab. Jujur saja dia penasaran tentang kabar dari Andalusia tapi dia mencoba bermain cantik."Lulu juga kelihatannya habis denger berita yang gak bagus."Galuh yang baru duduk di samping ibu Anjani bercerita kabar yang dia dengar dari sang suami."Astaghfirullah, bisa begitu?""Iya Budhe. Kata Mas Alfa ini bukan yang pertama, tapi pas Bu Nyai Sepuh meninggal juga begini. Putranya bahkan sampai menelepon dan menghubungi banyak orang,
“Dasar anak yatim, anak haram, bisa-bisanya dia balik lagi ke sini. Mana jadi istrinya Alfa lagi, huh! Sebel, sebel!” Bu Nyai Latifah ngomel-ngomel sambil berjalan keluar dari rumah sang kakak. “Huh, padahal sudah bagus dia pergi. Malah balik lagi. Tapi … setidaknya dia gak bakalan bisa gangguin Alwi lagi. Cih, si Alfa ngelepas anak dubes demi anak haram jad---aw!” Bu Nyai Latifah tanpa sengaja menabrak sosok Zahra yang sedang berdiri diam karena menunggu Fairuz. Mereka baru pulang dari arah minimarket. Fairuz minta membeli jajan. “Maaf, Bu Nyai saya tidak se--” “Heh, kau! Punya mata gak sih?!” bentak Bu Nyai Latifah. Zahra yang hendak meminta maaf tak jadi melanjutkan kalimatnya. “Matamu buta ya?!” Zahra yang awalnya ingin menggunakan sikap sopan santunnya jadi terpancing emosi. “Saya sudah meminta maaf, loh Bu Nyai. Lagian Bu Nyai juga salah kok, intinya kita sama-sama salah. sama-sama gak lihat jalan.” “E e e, kamu ya?! Anak muda gak ada sopan santun, berani kamu?
"Kak Umar," panggil seorang lelaki berusia tepat lima puluh tahun pada sosok lain yang usianya dua tahun di atasnya. Sosok itu tidak langsung menjawab tapi terlihat menyelesaikan dzikir dan doanya baru dia berbalik menghadap ke arah sepupunya. "Ada apa Syakib?" "Ami (paman) memanggilmu, Kak." Sosok yang dipanggil Umar mengangguk. Dia bangkit berdiri, meninggalkan masjid rumah sakit untuk menuju ke kamar rawat sang ayah. Sampai di ruang rawat nomer 12, sosok itu langsung mengucap salam dan duduk di kursi dekat brankar sang ayah. "Aba panggil Umar?" Sosok lelaki tua yang diperkirakan berusia hampir delapan puluh tahun mengangguk. "Aba mau minta apa? Nanti Umar cariin," ucap sang lelaki lembut. Sang ayah menggeleng. Dia hendak mengulurkan tangan, demi menggapai sang putra. Umar yang melihat, menangkap tangan sang ayah dan menggenggamnya dengan lembut. "M-maaf. Ma-afin aba, maafin umi kamu juga," ucap sang pria paruh baya. "Umar sudah maafin Aba, mendiang Umi juga. Aba
Alfa sedang mengusap-usap kedua telinganya yang kini tampak memerah. Rasa sakit akibat jeweran dari kedua orang tuanya juga masih terasa. Bahkan Hanan mau ikut-ikutan jewer tapi tak jadi gara-gara pelototan Alfa yang terlihat mengerikan kayak Memedi. “Kamu, ya. Bisa-bisanya gak bilang, bojomu si Galuh.” “Biar surprise.” “Tapi beneran kaget loh,” ucap Nabila yang ikut nimbrung obrolan dua lelaki dewasa. Galuh sendiri masih temu kangen dengan kedua orang tua angkatnya dengan Fairuz yang langsung nemplok di pangkuan Galuh. “Ah elah, bahkan si Fay sampai ngelendot gitu.” “Kan Fay anaknya, ya nempel sama emak dia lah,” celetuk Alfa. "Halah, dulu aja Galuh kau sia-siain. Kini dengan bangganya kau bilang dia ibu anakmu, dih! Sok amnesia dia, Bibil.” “Iya Mas. Sok banget ya Mas. Sok banget jadi suami paling penyayang. Padahal dulu---" "Edan! Sampai keblinger sama Shadiqah setan." "Hahaha." Tiga orang tertawa lalu sama-sama melirik ke arah Galuh dan kedua orang tua Alfa ya