Angin berdesir pelan. Sejuk sekilas membuai hangat senja hari di Pelabuhan. Rapatan kapal-kapal kayu para nelayan mengisi hening di sela deburan ombak yang mengikis pinggiran.
Bau laut, ombak dan keringnya udara pesisir terasa menyengat setiap indera awam yang mampir di tempat itu. Rasanya nyaman tapi juga menjengahkan.Di antara samudra, langit senja dan deburan ombak sosok itu berdiri diam di atas pasir putih yang kini tampak memucat disapa gelap.Angin membelai rambutnya yang tampak terurai berterbangan. Tatapan matanya lurus menantang lautan. Tangannya terlipat angkuh di dadanya yang berlekuk. Tubuhnya tampak tinggi, sekilas tampak tipis tapi juga tampak berukir indah dibeberapa bagian.Sinar matahari sore membentuk sebentuk wajah bak lukisan antik tanpa cela. Hidung mancung, bibir tebal merekah manis, dan dua iris gelap yang samar terlihat dengan naungan alis tebal alami menambah cantik rupa itu."Agni...."Sapaan lembut bernada ragu membuat sosok yang berdiam diri itu bergerak pada akhirnya."Apa yang kamu mau, Gama?" suara anggun namun terdengar dingin menjawab panggilan itu.Gama menghela napas pelan."Pernikahan," jawab pria itu mantap.Agni diam tak bergeming. Gadis itu malah melirik sekilas dengan senyum tipis pada pria tampan yang kini berdiri bersisian dengannya."Aku nggak akan menikah." ucap Agni pelan.Gama menatapnya diam, "kamu gak pernah punya pacar, dan sekarang kamu bilang gak akan menikah? Jangan gila, Agni! Kamu gak akan bisa hidup sendirian sampai mati nanti!" tukas Gama terdengar kesal.Senyum kecil samar terselip di bibir Agni sebagai balasan."Aku punya banyak teman. Dan mereka setia padaku dua puluh empat jam. Sama sepertimu, Gama," jawabnya dengan tenang.Gama menggelengkan kepala seraya tertawa pelan."Orang-orang yang kamu sebut teman itu cuma akan setia saat tangan kamu dipenuhi kartu kredit dan juga rupiah, Agni. Waktu dua puluh empat jam mereka selalu kamu bayar dengan nominal yang cukup setiap harinya." Gama menekankan dengan ekspresi serius.Agni menoleh, lalu balas menatapnya datar."Apa kamu juga seperti itu?" Gadis itu tersenyum simpul setelah melempar sebuah pertanyaan yang menohok.Gama terdiam sambil menatap perempuan di sisinya itu dengan tajam."Sejak dulu kamu tahu jawabannya," sahut pria itu dengan nada dingin dalam ucapannya."Jangan sayang padaku karena aku cantik. Lima tahun lagi wajahku pasti jelek, Gama." Agni menoleh lagi meski tak menunjukkan banyak ekspresi.Gama terkekeh pelan, "itu urusanku. Bagianmu cukup balas saja perasaanku." Pria itu terdengar mengembuskan napasnya karena kesal.Gadis berambut panjang itu mendengus pelan. Tanpa bicara lagi, dia beranjak pergi meninggalkan Gama yang tetap berdiri diam menatap malam yang mulai datang.***Deritan suara kayu terdengar dari sebuah rumah panggung bilik bambu dengan cat kusen berwarna biru kusam. Rumah bilik dengan penopang batu berlantai kayu yang begitu sederhana tapi tampak hangat.Mungkin dari kilauan cahaya lampu bohlam kemerahan yang terpancar samar dari sela-sela kecil bilik bambu yang sudah cukup banyak yang renggang, atau dari suara-suara tawa dan cekikikan kecil dari dalam rumah tradisional itu."Mas Pasai, tadi Yuning ketemu mbak Ratri. Katanya titip salam buat Mas Pasai yang ganteng." Yuning berceloteh seraya menatap kakaknya dengan seringai jahil.Pasai mendelik gemas pada adik perempuannya yang kini terkikik geli bersama ibu dan adik laki-laki bungsunya.Pemuda itu lalu memutar bola matanya dengan jengah karena malas menimpali godaan adiknya yang itu-itu saja.Tangannya yang tampak kasar dan penuh kapalan bergerak cepat memperbaiki bolong di jaring lebar yang biasa di gunakannya. Jaring lebar dari benang transparan yang lazim di pakai sebagai penjerat ikan itu di gantung dikawat yang menjuntai kuat di sela atap bilik rumahnya.Hari ini hasil tangkapan dia dan beberapa pria lainnya cukup banyak. Dan tentu saja jaring andalannya itu juga jadi harus bekerja ekstra. Akibatnya, beberapa robek dan bolong di sana-sini terpaksa harus dia perbaiki setelahnya."Mas, kata Mbak Ratri lagi tadi ya, katanya Mas Pasai itu mirip laki-laki yang di iklan-iklan susu otot itu loh," celetuk adiknya lagi sambil tersenyum geli ke arahnya.Kali ini mau tak mau pria bernama Pasai itu tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan adiknya. Dia lantas geleng-geleng sambil tersenyum geli kearah ibu mereka yang kini tampak sedang memijat-mijat kakinya yang mulai renta.Pasai yang melihatnya, lantas meletakkan pekerjaannya begitu saja."Kaki Ibu sakit lagi? Mau Mas pijitin, Bu?" Tanyanya sembari tersenyum penuh sayang pada wanita paruh baya di hadapannya.Rahayu tersenyum penuh terima kasih pada putra sulungnya itu."Gak usah, Mas. Ibu Cuma pegel kok. Nanti habis isya langsung tidur juga ilang pegelnya," jawab wanita itu lembut.Pasai mengangguk pelan. Pekerjaannya hampir selesai, jaringnya sudah cukup bagus untuk dipakai lagi besok.Tubuhnya juga sudah sama lelah. Mengangkat peti ikan yang berat berkali-kali tentu saja menguras habis tenaganya. Tapi, tak sekalipun dia merasa ingin mengeluh.Dia pria dewasa satu-satunya di keluarganya. Takdirnya jelas, berjuang untuk hidup ibu dan masa depan kedua adiknya. Sekali tubuhnya dimanja, maka rasa malaslah yang akan segera menyambutnya."Pasai, kamu memang gak tertarik sama Ratri?" Rahayu bertanya dengan hati-hati.Pasai terdiam, wajahnya tampak berpikir serius."Nanti ya, Bu. Belum sekarang." Jawabnya sambil tersenyum menenangkan sang ibu."Kamu sudah mau dua puluh sembilan tahun, Mas. Masa gak pengen menikah?" tanya ibunya lagi dengan gusar.Pasai menghela napas pelan. Diletakkannya seluruh pekerjaannya di lantai, lalu beranjak perlahan kearah sang ibu yang tampak kelelahan."Ibu, Mas akan menikah, itu pasti. Tapi nanti, setelah Ranggi selesai sekolah." Jawab pemuda itu sambil memijat pelan kaki sang ibu yang sudah tampak tua dan kurus.Rahayu menatap putranya nanar. Matanya berkaca-kaca dengan hati perih dan ngilu.Putra sulungnya mati-matian menyekolahkan kedua adiknya sampai tinggi, tapi Pasai sendiri hanya sekolah hingga kelas tiga SD karena suami pertamanya sekaligus ayah Pasai dan Yuning meninggal tenggelam bersama kapal penangkap ikannya dulu.Meski tak lama Rahayu menikah lagi dengan nelayan lain sahabat suaminya, tapi takdir belum bersahabat bagi mereka. Suami keduanya meninggal karena serangan jantung hanya berselang satu tahun setelah dia melahirkan Ranggi, putera bungsunya.Jadilah Pasai yang harus menjadi tulang punggung bagi mereka."Do'aku, Nak. Semoga kelak Tuhan memberi jodoh terbaik dari yang terbaik buatmu. Ridho ibu ada di setiap nafas yang kamu tarik. Do'a ibu ada di setiap kedipan mata kamu. Semoga bahagia lekas menjemputmu, Nak." Ucap Rahayu dengan mata berkaca-kaca.Pasai menatap ibunya penuh terima kasih, lalu mengangguk sambil mengaminkan do'a ibunya dalam hati.***Tepat dini hari Pasai berjalan menuju pantai mengikuti ketiga nelayan senior yang akan bekerja bersamanya.Di bahunya menjuntai jaring yang biasa dibawanya.Mereka memang tidak akan langsung melaut, karena sebelumnya setiap peralatan dan perbekalan harus dipersiapkan dengan teliti. Termasuk kondisi perahu kayu tua yang akan mereka gunakan melaut.Dari mulai mesin hingga bahan bakar dan kondisi kayunya sendiri harus diperiksa terlebih dahulu kelayakannya. Jangan sampai kecerobohan kecil kelak membawa mereka kearah celaka.Karena bagi para nelayan, selain sebagai ladang rezeki, lautan bisa juga berarti kuburan untuk mereka."Pasai! Kau bagian tengah hari ini!" Baron, pemilik kapal sekaligus pemimpin tim mereka membagi tugasnya hari ini.Pemuda itu mengangguk dalam diam. Bersyukur karena dia punya senior yang pengertian. Pasti Baron tahu kalau tangannya masih pegal setelah mengangkat banyak barang kemarin. Hingga dia kebagian tugas memasukkan dan membereskan ikan ke wadah atau kotak khusus dibagian lambung perahu mereka.Mereka hanya berempat hari ini, satu nelayan tak ikut melaut karena sudah tiga hari sakit muntaber."Pak Haji Baron!"Seorang wanita paruh baya memakai daster panjang dan jilbab hitam berlari tergopoh-gopoh kearah mereka. Keempat pria yang tengah sibuk itu langsung menoleh penasaran."Ada apa Mbak Uwi?" tanya Baron keheranan."Itu... ada orang dari villa mewah sana yang katanya mau ikutan melaut?" kata ibu itu antusias."Hah?!"Keempat nelayan itu serempak terbengong-bengong tak percaya.Karena di setiap villa disekitar pantai mereka jelas sudah menyediakan fasilitas kapal yang lebih dari layak untuk berwisata. Jadi tentu saja wacana wisatawan untuk ikut berjubel bersama bau ikan di perahu jelek kontan membuat mereka cukup kaget.Baron menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pria paruh baya itu bingung harus mengizinkan atau tidak permintaan tak biasa itu.Karena bisa saja wisatawan itu nanti malah muntah-muntah karena jijik dengan bau amis dan lembab perahu mereka."Aduh, gimana ya Mbak," gumam Baron seraya menimbang.Pria berkumis tipis itu lalu melirik ketiga rekannya yang lain.Dilihatnya Karim yang malah tersenyum miring kearahnya, Yono yang hanya diam dan Pasai yang mengangkat bahunya teserah."Kata orangnya dia mau bayar kok, Ji!" ujar ibu itu.Baron mendesah pasrah."Yah bukan soal duitnya sih, Mbak. Tapi ya sudah lah, suruh cepat kesini saja orangnya! Bentar lagi kami berangkat!" jawab Baron pada akhirnya.Mbak Uwi itu langsung berlari entah kemana. Meninggalkan para nelayan itu yang kini masih ragu-ragu juga meski sudah mengizinkan.Para nelayan itu sudah kembali sibuk saat wiasatawan yang di tunggu akhirnya datang."Pak Haji! Ini orangnya!"Keempatnya serempak menoleh, lalu terbelalak ngeri.Di hadapan mereka kini berdiri seorang wanita cantik bergaun pantai merah selutut tanpa tali bahu yang hanya ditutupi sweater rajut berwarna hitam- tengah tersenyum manis kearah mereka."Penumpangnya perempuan?" cicit haji Baron, duda paling tua di tim itu sambil melirik cemas kearah tiga rekannya.Dan perasaannya malah tampak semakin ngeri sendiri saat sadar seluruh kru kapal isinya adalah para pria yang belum punya istri.'Aduh!'Agni berdiri di samping perahu nelayan yang kata penjaga villanya dimiliki oleh salah satu nelayan senior terbaik di kampung itu. Perahu itu terbuat dari kayu bercat biru tua dan masih berbentuk perahu nelayan tradisional. Ini akan jadi pengalaman pertamanya menaiki perahu kecil seperti itu.Sejak datang liburan ke daerah ini, dia langsung tertarik saat melihat barisan kapal nelayan yang tertambat di pesisir tak jauh dari villanya. Padahal biasanya, dia selalu menggunakan fasilitas kapal wisata yang sudah lebih modern meski tidak mewah. Tapi, kapal-kapal kecil itu begitu menarik minatnya di liburan kali ini.Diperhatikannya satu-persatu para nelayan yang sedang sibuk mempersiapkan perjalanan mereka. Dua dari mereka mungkin berusia pertengahan tiga puluhan, bertubuh sama-sama kurus meski yang satu tampak lebih berisi dan mempunyai jenggot.Pria yang ketiga, tampak sebagai pemimpinnya jelas lebih tua bernama Haji Baron tadi.Dan yang terakhir yang diperhatikan oleh gadis itu, pria yang
Langit kelam kebiruan menaungi laut dan debur ombak.Angin terasa lebih dingin dari biasa. Bertiup cukup kencang menghempas gelombang yang datang semakin pasang.Di sana, di antara kelip bintang yang tak banyak dan remang cahaya bulan yang muncul sebagian, lagi-lagi gadis itu berdiam diri.Benaknya kosong. Tak pernah ada hal berarti yang mampir di kepalanya. Hanya laut, ombak dan langit yang tampak indah di pelupuk matanya. Tapi tak lebih.Karena tak pernah ada yang menggugah hatinya yang kerap terasa hampa dan kosong.Tak lama, kakinya berjalan. Jauh. Memutari pesisir lalu menapak di antara deretan rumah sederhana. Berkeliling dengan langkah pelan dengan kecantikan samar yang terterpa cahaya bulan.Gadis itu mengamati satu persatu rumah tradisional di sekelilingnya. Binar penasaran terpercik perlahan di kedua matanya yang cantik.Senyum kecil tersungging puas saat matanya tertumbuk pada sebuah rumah panggung bergaya paling kuno di sana.Rumah itu tampak berdinding bilik hias dengan a
Laut dan fajar. Kawan setia Pasai sudah sejak lama, jauh sejak dia ditakdirkan jadi tumpuan hidup ketiga keluarganya.Jalan yang berat tapi tak habis dia syukuri setiap waktu. Karena baginya kebahagiaan ibu dan adik-adiknyalah tujuan utama dari segala rasa lelahnya.Pagi ini seperti biasa, pemuda desa nelayan itu tengah membenahi kapal yang hendak membawa mereka ke laut.Badan dan tangannya sibuk bekerja, tapi fikirannya tidak.Fokusnya terusik sejak semalam oleh objek yang tidak seharusnya mampir ke sudut manapun di hidupnya.Pasai tahu, rasa tertariknya pada gadis kota itu manusiawi. Hanya status dan nasib mereka yang membuat rasa tertarik itu menjadi suatu hal yang sangat salah dan nyaris terlarang.Di dunia ini salah satu lautan yang terlalu sulit untuk disebrangi adalah lautan materi. Karena sudah banyak kapal karam bahkan sebelum menatap ujung daratan yang ditujunya."Serius banget Mas pagi ini mukanya."Suara lembut bernada ringan membuat Pasai tersentak tak kepalang."Ya Tuhan
Harusnya Agni pulang hari ini. Kembali ke kotanya yang ramai, dan kembali ke kehidupannya yang kadang menyenangkan, kadang juga menyesakkan.Tapi disinilah dia berada. Masih di desa nelayan kampung halaman mendiang Ibunya yang sepi dan sederhana.Ya, akarnya Agni berasal dari desa ini, dan kini rasanya dia enggan meninggalkan tempat ini juga."Kapan pulang?"Agni menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil pada seorang pria tampan bermata sipit yang menatapnya lembut."Kamu duluan aja ya. Aku rasanya masih mau disini," jawab gadis itu mencoba ramah.Gama tersenyum kecil merasakan hatinya senang. Agninya yang selalu tampak ketus, entah kenapa tampak lebih ramah beberapa hari ini.Mau tidak mau, harapan perlahan bangkit kambali di hatinya yang sudah lama nyaris menyerah.Gama ingin mencoba lagi meraih hati wanita yang sudah bertahun-tahun dicintainya. Jadi dengan nekad, tangannya mengusap rambut gadis itu penuh kelembutan."Kayaknya tempat ini memang bagus ya buat kamu," ucap Gama tiba-tiba.
Agni memandang nyalang ke arah laki-laki yang terlihat sedang menggulung tambang besar di atas kapal nelayannya di pagi buta."Kenapa kamu menghindar? Kita seperti kembali ke awal?" Agni nyaris berteriak frustasi karena sikap diam orang yang kini seolah tak kenal dengannya."Pulanglah, kembali ke tempatmu." Pasai tidak harus bicara apapun lagi, dia tahu Agni akan paham maksudnya.Agni melangkah maju. Tanpa gentar, kakinya perlahan menaiki kapal nelayan yang masih tertambat di ujung salah satu dari beberapa dermaga kecil yang ada di pesisir pantai.Dia menghampiri Pasai yang sengaja membelakanginya kali ini."Bukannya sikap kamu terlalu kasar pada orang yang mau kenal kamu lebih dekat?" Agni tak bisa menghentikan nada muram di kalimat yang diucapakannya.Pasai adalah laki-laki pertama yang menarik minatnya sebagai wanita. Bukankah dia berhak menunjukkan minat pada siapapun yang diinginkannya?"Bisa tidak kamu jadikan aku teman? Seperti Ratri," pinta Agni pelan.Suara deburan ombak di p
"Kok aku nangis?" Agni menatap putus asa ke arah bayangannya di cermin.Mata sembab, hidung memerah disertai suara serak menjadi tanda jika dia memang tidak baik-baik saja."Pasai." gumamnya dengan mata melamun sendu.'Baru satu hari, tapi hati aku sudah sesakit ini. Dosaku apa sampai harus jatuh cinta sama dia, Ya Tuhan,' dalam hati Agni mengeluhkan perasaannya yang tak berbalas.Tidak, Pasai jelas menyukainya juga. Hanya takdir yang jelas tidak menyukai mereka berdua.Tok! Tok!"Agnisha Aryatama!" Suara seruan lantang yang familiar di telinganya membuat Agni seolah membeku tak percaya."Ayah?" gumam gadis itu kebingungan.Dengan ragu-ragu dia bangkit dan berjalan untuk membuka pintu kamar villa yang disewanya."Ayah?" Agni berhadapan dengan Ayahnya yang tampak mengernyit kesal ke arah putri semata wayangnya itu."Kenapa sewa villa kecil begini sih kamu? Villa keluarga sendiri juga ada." Danureja Aryatama berkacak pinggang dengan ekpresi kesal.Agni meringis salah tingkah mendengar p
Pasai membeku merasakan sentuhan hangat nan lembut di bibirnya. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan memanas yang muncul ke permukaan. Tangannya tanpa sadar terulur dan balas mendekap tubuh Agni yang memeluknya begitu dekat Keduanya tenggelam dalam sentuhan sederhana namun terasa begitu mengikat. Mereka seakan lupa pada segala alasan yang menghalangi perasaan satu sama lain.Sebuah kesadaran tiba-tiba menelusup di benak Pasai. Pemuda itu perlahan melepas ciuman hangat yang tak seharusnya mereka lakukan."Agni," Pasai berbisik di bibir gadis yang masih mendekapnya begitu erat.Agni membuka matanya perlahan. Sepasang mata jernih meredup menatap Pasai penuh kesedihan."Itu ciuman pertamaku, milik kita." Gadis itu balas berbisik dengan senyum sendu terukir di bibirnya yang terlihat sedikit bengkak kemerahan.Pasai terhenyak seolah kembali disadarkan pada kenyataan, sekelumit sesal perlahan mulai mengganggu nuraninya. Dia tidak pernah menyentuh wanita manapun terlalu dekat selain k
Agni terpaku menatap sesosok pria yang kini tampak duduk dengan wajah pucat. Tanpa terasa, kakinya yang jenjang melangkah ke arah tempat orang itu beristirahat."Kok bisa gini?" Kecemasan gadis cantik itu membuat Pasai yang masih menunduk seraya memegangi kepalanya mendongak seketika.Tak ada jawaban dari nelayan muda yang kabarnya tengah terluka itu. Hanya saja sorot kaget dan kesal sudah cukup membuat Agni tahu jika Pasai tidak terluka parah."Kecelakaan, Mbak." Ujar Pasai singkat dan nyaris tanpa ekspresi.Mata cantik Agni meredup mendengar sebutan Mbak yang kembali disematkan oleh laki-laki itu. Kemudian dia sadar tidak datang kesana sendirian. Gama bersamanya, bergandengan dengan rasa cemas yang bisa saja sama meski tak setara. "Kalian akrab?" Suara bernada dingin membuat Agni sedikit terperanjat.Gama baru saja masuk ke kamar tamu Haji Baron tempat Pasai berbaring."Enggak, aku cuma nyapa. Gimanapun kami pernah melaut bareng seharian," jawab Agni dengan tegas.Hatinya berjengit
"Sejak kapan hubunganmu dengan Agni Aryatama?" David melontarkan pertanyaan yang membuat Pasai berjengit diam-diam."Kami nggak ada hubungan apa-apa, Pak," elak pemuda desa itu dengan ekspresi keras.David menarik nafas panjang melihat pemuda itu terus menghindari tatapannya.David, Ihsan dan Pasai sedang berada di restoran hotel Green Orion milik keluarga Agni untuk makan siang setelah kejadian mengejutkan ketiganya di ruang staf hotel itu. Tentu saja David yang nyaris harus menyeret dua orang desa nelayan itu agar mau ikut makan di tempat yang tergolong mewah itu."Pasai, saya bertanya serius. Tolong dijawab, apa arti gadis itu untuk kamu?" tanya David membuat Pasai mengernyit bingung."Bukan urusan Pak David. Saya tidak wajib mengungkapkan hal pribadi pada orang yang baru saya kenal," jawab pemuda itu dengan tegas.David mengembuskan nafas kasar. Entah kenapa dia tidak kaget dengan sikap defensif dan keras kepala keponakan kandungnya itu, karena mendiang ayah Pasai juga keras kepa
Agni langsung membawanya pergi ke tempat yang agak jauh dari gudang itu. Mereka kini berdua di depan sebuah ruangan pribadi milik seorang petugas gudang yang memang sudah Agni kenal sejak kecil. Saat pria seusia Danureja itu melihat Agni datang dengan terburu-buru diikuti seorang pemuda tampan, helaan napas iba terlihat di wajah pria itu."Om Bimo, ini temen Agni. Aku mau bicara penting sama dia," Agni separuh berbisik pada pria bertubuh agak tambun itu.Bimo menghela napas panjang, lalu diam-diam mengamati pemuda itu. Bertubuh tinggi tegap, dengan kulit kecoklatan dan paras tegas yang terlihat gagah dan rupawan. Yah, selera yang unggul, namun akan sulit untuk diperjuangkan sepertinya.Bimo mengernyit iba melihat keduanya. Setidaknya, jika tak berakhir baik. Dia bisa memberi mereka kenangan untuk mereka simpan."Ya sudah, masuk aja. Om mau ambil kopi dulu. Kuncinya ada di pintu." Ujar Bimo. Dia percaya pada kemampuan Agni menjaga diri dan kehormatannya karena sudah sedari gadis itu k
"Dia apa kabarnya, Tuhan?" gumaman lembut Agni memecah keheningan malam.Dia berbaring telentang di sofa yang berada di ruang kantornya yang berada di lantai 4 sebuah gedung perkantoran besar.Sudah sebulan sejak dia meninggalkan desa nelayan dan Pasai beserta kenangan mereka. Tapi rasa rindunya masih berdenyut perih seperti baru kemarin saja mereka berpisah. Yah, seharusnya perasaan sesaat tidak berlangsung selama ini, bukan?'Aku emang bodoh, bisa-bisanya naksir sama orang asing,' Agni membatin menyesali nasibnya sendiri.Sekarang malam-malamnya sering terisi lamunan tentang sosok tegap yang pernah mendekapnya begitu erat, namun semu dan tak mungkin dia dapat."Ah, sial! Sama aja kayak aku jatuh cinta sama hantu kalau kayak gini," rutuk Agni kesal sendiri."Agni!" Tiba-tiba suara Danureja, sang ayah menerobos ruang kerjanya dengan nada kesal.Agni tersentak dan langsung duduk dengan waspada. "Kamu sudah dua hari tidur di kantor. Ayah sampai bolak-balik periksa kamar kamu di rumah
Wedari Suryadiningrat memeluk ponsel di dadanya dengan tangan nyaris gemetaran. Air mata haru bahkan terus mengalir di pipinya yang sudah keriput termakan usia.Kabar bahagia yang dinantikannya selama lebih dari 20 tahun membuat perasaannya membuncah tak percaya."Oma?" Suara bariton terdengar cemas memasuki ruang pribadi Wedari.Jendra, salah satu cucu dari anak angkatnya itu lalu duduk dengan perlahan di kursi beludru yang berhadapan dengan neneknya itu."Oma kenapa? Ada yang sakit?" Raut khawatir Jendra bahkan begitu terlihat di wajah tampannya.Sekilas, rasa takut dan ragu hinggap di benak Wedari. Firman dan Jendra sudah belasan tahun membantunya mengelola seluruh aset keluarga mereka yang cukup banyak. Dan sekarang, kehadiran tiba-tiba orang yang seharusnya mewarisi seluruh aset itu justru dirasa akan mengerikan. Wedari takut cucu kandungnya itu celaka, karena bagaimanapun Firman memang sangat berjasa bagi keluarganya meski dia bukan darah dagingnya sendiri.Wedari, yang tahun i
Agni terpaku menatap sesosok pria yang kini tampak duduk dengan wajah pucat. Tanpa terasa, kakinya yang jenjang melangkah ke arah tempat orang itu beristirahat."Kok bisa gini?" Kecemasan gadis cantik itu membuat Pasai yang masih menunduk seraya memegangi kepalanya mendongak seketika.Tak ada jawaban dari nelayan muda yang kabarnya tengah terluka itu. Hanya saja sorot kaget dan kesal sudah cukup membuat Agni tahu jika Pasai tidak terluka parah."Kecelakaan, Mbak." Ujar Pasai singkat dan nyaris tanpa ekspresi.Mata cantik Agni meredup mendengar sebutan Mbak yang kembali disematkan oleh laki-laki itu. Kemudian dia sadar tidak datang kesana sendirian. Gama bersamanya, bergandengan dengan rasa cemas yang bisa saja sama meski tak setara. "Kalian akrab?" Suara bernada dingin membuat Agni sedikit terperanjat.Gama baru saja masuk ke kamar tamu Haji Baron tempat Pasai berbaring."Enggak, aku cuma nyapa. Gimanapun kami pernah melaut bareng seharian," jawab Agni dengan tegas.Hatinya berjengit
Pasai membeku merasakan sentuhan hangat nan lembut di bibirnya. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan memanas yang muncul ke permukaan. Tangannya tanpa sadar terulur dan balas mendekap tubuh Agni yang memeluknya begitu dekat Keduanya tenggelam dalam sentuhan sederhana namun terasa begitu mengikat. Mereka seakan lupa pada segala alasan yang menghalangi perasaan satu sama lain.Sebuah kesadaran tiba-tiba menelusup di benak Pasai. Pemuda itu perlahan melepas ciuman hangat yang tak seharusnya mereka lakukan."Agni," Pasai berbisik di bibir gadis yang masih mendekapnya begitu erat.Agni membuka matanya perlahan. Sepasang mata jernih meredup menatap Pasai penuh kesedihan."Itu ciuman pertamaku, milik kita." Gadis itu balas berbisik dengan senyum sendu terukir di bibirnya yang terlihat sedikit bengkak kemerahan.Pasai terhenyak seolah kembali disadarkan pada kenyataan, sekelumit sesal perlahan mulai mengganggu nuraninya. Dia tidak pernah menyentuh wanita manapun terlalu dekat selain k
"Kok aku nangis?" Agni menatap putus asa ke arah bayangannya di cermin.Mata sembab, hidung memerah disertai suara serak menjadi tanda jika dia memang tidak baik-baik saja."Pasai." gumamnya dengan mata melamun sendu.'Baru satu hari, tapi hati aku sudah sesakit ini. Dosaku apa sampai harus jatuh cinta sama dia, Ya Tuhan,' dalam hati Agni mengeluhkan perasaannya yang tak berbalas.Tidak, Pasai jelas menyukainya juga. Hanya takdir yang jelas tidak menyukai mereka berdua.Tok! Tok!"Agnisha Aryatama!" Suara seruan lantang yang familiar di telinganya membuat Agni seolah membeku tak percaya."Ayah?" gumam gadis itu kebingungan.Dengan ragu-ragu dia bangkit dan berjalan untuk membuka pintu kamar villa yang disewanya."Ayah?" Agni berhadapan dengan Ayahnya yang tampak mengernyit kesal ke arah putri semata wayangnya itu."Kenapa sewa villa kecil begini sih kamu? Villa keluarga sendiri juga ada." Danureja Aryatama berkacak pinggang dengan ekpresi kesal.Agni meringis salah tingkah mendengar p
Agni memandang nyalang ke arah laki-laki yang terlihat sedang menggulung tambang besar di atas kapal nelayannya di pagi buta."Kenapa kamu menghindar? Kita seperti kembali ke awal?" Agni nyaris berteriak frustasi karena sikap diam orang yang kini seolah tak kenal dengannya."Pulanglah, kembali ke tempatmu." Pasai tidak harus bicara apapun lagi, dia tahu Agni akan paham maksudnya.Agni melangkah maju. Tanpa gentar, kakinya perlahan menaiki kapal nelayan yang masih tertambat di ujung salah satu dari beberapa dermaga kecil yang ada di pesisir pantai.Dia menghampiri Pasai yang sengaja membelakanginya kali ini."Bukannya sikap kamu terlalu kasar pada orang yang mau kenal kamu lebih dekat?" Agni tak bisa menghentikan nada muram di kalimat yang diucapakannya.Pasai adalah laki-laki pertama yang menarik minatnya sebagai wanita. Bukankah dia berhak menunjukkan minat pada siapapun yang diinginkannya?"Bisa tidak kamu jadikan aku teman? Seperti Ratri," pinta Agni pelan.Suara deburan ombak di p
Harusnya Agni pulang hari ini. Kembali ke kotanya yang ramai, dan kembali ke kehidupannya yang kadang menyenangkan, kadang juga menyesakkan.Tapi disinilah dia berada. Masih di desa nelayan kampung halaman mendiang Ibunya yang sepi dan sederhana.Ya, akarnya Agni berasal dari desa ini, dan kini rasanya dia enggan meninggalkan tempat ini juga."Kapan pulang?"Agni menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil pada seorang pria tampan bermata sipit yang menatapnya lembut."Kamu duluan aja ya. Aku rasanya masih mau disini," jawab gadis itu mencoba ramah.Gama tersenyum kecil merasakan hatinya senang. Agninya yang selalu tampak ketus, entah kenapa tampak lebih ramah beberapa hari ini.Mau tidak mau, harapan perlahan bangkit kambali di hatinya yang sudah lama nyaris menyerah.Gama ingin mencoba lagi meraih hati wanita yang sudah bertahun-tahun dicintainya. Jadi dengan nekad, tangannya mengusap rambut gadis itu penuh kelembutan."Kayaknya tempat ini memang bagus ya buat kamu," ucap Gama tiba-tiba.