Harusnya Agni pulang hari ini. Kembali ke kotanya yang ramai, dan kembali ke kehidupannya yang kadang menyenangkan, kadang juga menyesakkan.
Tapi disinilah dia berada. Masih di desa nelayan kampung halaman mendiang Ibunya yang sepi dan sederhana.Ya, akarnya Agni berasal dari desa ini, dan kini rasanya dia enggan meninggalkan tempat ini juga."Kapan pulang?"Agni menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil pada seorang pria tampan bermata sipit yang menatapnya lembut."Kamu duluan aja ya. Aku rasanya masih mau disini," jawab gadis itu mencoba ramah.Gama tersenyum kecil merasakan hatinya senang. Agninya yang selalu tampak ketus, entah kenapa tampak lebih ramah beberapa hari ini.Mau tidak mau, harapan perlahan bangkit kambali di hatinya yang sudah lama nyaris menyerah.Gama ingin mencoba lagi meraih hati wanita yang sudah bertahun-tahun dicintainya. Jadi dengan nekad, tangannya mengusap rambut gadis itu penuh kelembutan."Kayaknya tempat ini memang bagus ya buat kamu," ucap Gama tiba-tiba.Agni mengernyit kearahnya."Maksudnya?" Tanya gadis itu dengan kernyitan bingung.Gama terkekeh pelan."Tanduk kamu hilang selama disini." Jawabnya dengan senyum ringan pada Agni.Agni mendengkus singkat, meski tak urung tersenyum kecil setelahnya."Aku mau jalan-jalan ke pantai. Pulang sana, Gam!" usir gadis itu halus.Game memutar matanya sebal."Mulai... Baru aku puji loh kamu." Protes laki-laki itu pura-pura kesal.Tawa ringan terurai dari bibir berwarna pink samar itu yang membuat Gama terpaku sepersekian detik karena terpesona menatapnya.Gadisnya biasanya jarang tertawa. Wajah cantik itu selalu terlihat serius kapanpun tampak di depan mata.Biasanya Agni hanya mengernyitkan dahi atau tampak seolah berfikir terus-menerus.Agni adalah seorang salah satu direktur muda di sebuah perusahaan pakaian dan konveksi yang cukup besar dan sudah berskala nasional. Dan belum lama ini, dibuka lagi sebuah pabrik berskala besar beroprasi di bawah pimpinannya.Perusahaan tempat Agni bekerja memproduksi banyak produk pakaian sehari-hari dengan target pasar nyaris semua kalangan masyarakat.Merek hasil produknya bahkan sudah tersebar di berbagai toko dan pusat perbelanjaan dengan akses dan harga yang mudah dijangkau semua orang.Maka dari itu beban berat seolah tampak di setiap hari-hari Agni.Seminggu lalu, Agni mengajukan cuti tahunan yang nyaris jarang dia ambil. Itupun setelah ayahnya yang kebetulan pemilik asli dan juga Direksi perusahaan itu mengamuk dan mengatai anaknya sendiri sebagai robot pekerja dan perawan tua.Gama tersenyum sendiri mengingat bagaimana kesalnya sahabat yang dicintainya itu pada julukan ajaib yang disematkan ayahnya sendiri.Dan disinilah mereka, di sebuah desa nelayan yang gersang namun tampak damai dan indah."Aku ikut!" jawab Gama tegas.Agni mencebik kesal kearahnya, ekspresi yang sudah sangat sering dilihatnya hingga membuat Gama terbiasa dan hanya meresponnya dengan seulas tawa."Bilang aja mau cari mangsa disini," cibir gadis itu.Gama tertawa pelan, andai saja semudah itu baginya."Nggak lah. Udah berhenti di kamu kan akunya." Gama tertawa geli karena ucapannya sendiri.Agni mendengkus pelan seraya menepuk bahu sahabatnya dengan sayang, yang dibalas dengan tawa puas dari lelaki tampan yang memaksa ikut berjalan bersamanya.***Mereka berjalan beriringan di pesisir pantai yang mulai terasa akrab bagi Agni.Agni memakai sweater berwarna biru tua dengan celana panjang putih gading sore ini. Rambut panjangnya yang halus terurai berantakkan tertiup angin laut.Dia tampak cantik ditempa cahaya jingga langit yang merayap menuju senja, sehingga Gama beberapa kali menatapnya dengan kagum."Kamu cantik," pujinya pelan.Agni berhenti melangkah, senyum lembut samar melebar di bibirnya yang tampak manis."Emang kapan aku ganteng?" jawabnya santai.Gama terbahak pelan. Agninya yang menyebalkan rupanya masih ada di balik sikap tenangnya beberapa hari ini."Kalau kamu ganteng juga mungkin aku tetep mau." canda pria itu dengan senyum lebar menambah sipit matanya.Agni bergidik sekilas, lalu tertawa ringan."Kamu kalo modus ngeri ya." Ujarnya sambil tertawa kecil.Gama merasakan hatinya mengembang oleh harapan. Dengan senyum lembut, pria itu melangkah lalu menggenggam tangan perempuan yang dicintainya perlahan.Agni terdiam serba salah."Kamu gak pekanya bikin kesel sih. Aku nggak lagi modus loh," protes Gama.Cebikan sebal membuat wajah Agni yang cantik kembali tampak ketus."Kamu ganteng loh, yang mau banyak," ucap gadis itu serius."Aku maunya kamu, atau nggak sama sekali," tegas Gama yang sontak membuat gadis itu diam tak berkutik.Agni cepat-cepat mengalihkan pandangannya kearah lautan.Warna biru, luas dengan ombak menggebu yang sekilas tampak menakutkan bagi mata awamnya.Tapi entah sejak kapan, pemandangan itu menjadi salah satu sumber ketenangannya akhir-akhir ini."Aku mau hati kamu, Agni." gumam Gama yang masih bisa didengarnya.Agni menoleh memandang sahabatnya itu dengan sendu."Kamu salah satu yang paling aku sayang. Apa itu nggak pernah cukup buat kamu?" tanya gadis itu dengan bingung.Gama menghela napas panjang."Kamu tahu hubungan yang aku mau lebih dari ini, kan?" desak laki-laki itu tak ingin lagi mundur.Agni terdiam, dialihkannya sekali lagi perhatiannya kearah laut yang tampak berombak cukup besar.Dalam kediamannya, gadis itu sebenarnya memendam rasa bersalah.Gama sudah mencintainya bertahun-tahun. Sejak mereka kuliah bersama, dan sama-sama meniti impian hingga kini mereka mapan dan sudah cukup dewasa.Tapi pria itu tak pernah lebih dari sahabat untuknya. Sudah ratusan kali dia coba membuka hati dan memikirkan Gama sebagai pasangannya, tapi terus saja berakhir sekedar rasa sayang dan persaudaraan yang sangat besar."Kasih aku satu bulan! Kita pacaran! Kalo selama itu perasaan kamu masih tetap sama, aku coba disamping kamu seperti seharusnya," ujar Gama tiba-tiba.Agni tersentak dan menoleh ke arah sahabatnya dengan mata melebar."Gila kamu! Pacaran buat apa? Kita tetep sama-sama selama ini," ujar gadis itu kesal."Buat kamu mungkin itu cukup. Tapi buatku nggak, Agni. Aku mau lebih, aku mau akses penuh ke segala hal di hidup kamu!" jawab Gama yang tanpa sadar menaikkan nada suaranya.Agni terhenyak, lalu mendelik tampak mulai marah."Kamu mau tidur sama aku? Itu akses penuh yang kamu bilang?" Agni bertanya dengan lantang.Gama tersentak mundur seolah ditampar. Sekilas sorot terluka nampak tajam dimatanya."Iya, salah satunya itu. Kenapa? Gak suka?" sinis laki-laki itu kepalang marah dan sakit hati.Agni membelalak lalu menggeleng lemah."Kamu bukan orang kayak gitu, Gam. Udah ya, tolong berhenti. Aku gak mau kehilangan kamu," ucap gadis itu memilih kalah.Helaan nafas kasar terdengar dari sahabatnya. Gama ikut mengalah.Dia berusaha menelan rasa kecewa yang selalu dia rasakan setiap kali Agni menolaknya.Padahal perasaan cintanya pada gadis itu semakin membesar setiap harinya, tapi persahabatan lama selalu menghalangi segala usahanya membawa gadis itu ke arag masa depan impiannya.Dengan rasa sesak Gama menarik gadis itu kearahnya."Aku mau peluk kamu, ya?" mohon pria itu dengan nada sedih.Agni tersenyum sendu, lalu tangannya terentang menyambut orang yang paling dia sayangi ke dalam pelukan.Gama memeluknya begitu erat. Tubuhnya terasa bergetar hingga membuat Agni selalu merasa sakit karena penolakannya sendiri.Dia frustasi ingin membahagiakan sahabatnya, tapi tahu tak mampu memberi apa yang diinginkannya.Matanya memejam menahan rasa bersalah yang bercampur dengan rasa sayang.Dengan sepenuh hati, dia balas memeluk Gama sambil membisikkan kata sayang yang sangat menenangkan.***Tak jauh dari pesisir, dibawah sebuah reruntuhan warung yang tak terpakai seorang pemuda tampak duduk dan tersenyum kecil.Matanya dengan intens menatap sepasang pria dan wanita yang saling larut dalam pelukan.Hatinya mencelos, dan dia berusaha mati-matian menekan rasa kecewa yang datang tak tahu tempat.Sore ini, kakinya tiba-tiba bergerak begitu saja membawanya ke deket sebuah villa mewah di pinggir pantai.Hatinya entah kenapa terasa tak tenang hari ini.Beberapa kali fokusnya terganggu saat melaut tadi yang membuatnya beberapa kali mendapat teguran karena pekerjaannya melambat.Saat kakinya menginjak daratan, barulah dia tahu sebabnya.Di pantai dekat dermaga kecil yang biasa jadi tempat kapal mereka berhenti, tak ada seseorang yang mendatanginya sejak pagi tadi.Hari ini gadis kota itu tidak datang menyapanya, atau bahkan sekilas bayangannya pun tak nampak di sekitaran pantai.Tiba-tiba dia khawatir, dan keinginan untuk melihat gadis itu mendesak begitu besar. Hingga akhirnya kakinya bergerak begitu saja kearah berlawanan dari jalan rumahnya.Dan saat akhirnya sampai ke sebuah ceruk gelap bekas runtuhan kayu-kayu bekas sebuah kedai, matanya menangkap dua sosok yang tengah berjalan beriringan.Salah satunya adalah gadis yang sejak tadi ingin dilihatnya.Dan sekarang di sinilah dia, menatap hasil kebodohannya sendiri dengan senyum getir beebalut rindu.Hatinya terasa bagai tercubit sesuatu yang menyakitkan, saat rasa tertariknya akhirnya berbuah hadiah pelajaran berharga.Di depannya setelah sekian menitpun tubuh-tubuh itu masih lekat saling memeluk. Jelas mereka dua sepasang manusia dengan perasaan yang saling berbalas.Dia menghela nafas panjang.Pria yang memeluk gadis yang disukainya adalah orang yang seluruh kampungnya kenal dengan cukup baik.Raden Gama Wijaya.Itu sebutan mereka bagi putera tunggal pemilik rumah sakit pertama di kota kecil mereka, dan pendiri tempat pelelangan ikan pertama di desa mereka. Tempatnya dan seluruh nelayan di desa mencari nafkah setiap harinya.Mereka jelas berbeda dunia dengan dirinya yang hanya pencari ikan upahan di laut lepas.Dia terkekeh menertawakan kebodohannya sendiri, hingga akhirnya Tuhan ingin membuka matanya agar jangan sampai terbuai karena kecerobohan.Tuhan membantunya sadar kembali pada kenyataan jika apa yang terlihat indah memang tidak mungkin dia gapai.Dengan menekan segala rasa kecewa dan sakitnya, dia bangkit berdiri dan mau tak mau harus melangkahkan kakinya kearah dua pasangan itu.Kali ini bukan perasaannya yang menggerakannya. Tapi kewajibannyalah melakukan hal yang sebenarnya tak ingin dia lakukan.***Saat mata lentik Agni terbuka, satu sosok yang berjalan mendekat membuatnya menegang seketika."Pasai..." gumam gadis itu tanpa sadar.Gama mematung mendengar bisikan lirih wanita yang sejak tadi dipeluknya, lalu dilihatnya Agni tengah menatap sesuatu di belakangnya tanpa berkedip.Dengan penasaran Gama menoleh kearah yang sama, dan melihat seseorang yang dikenalnya cukup baik tengah berjalan kearah mereka dengan senyum ramah mengembang di wajahnya."Pasai...?" Panggil Gama dengan terkejut.Agni tersentak kaget dan sontak membelalak kearah sahabatnya."Kamu kenal Pasai?" tanya perempuan itu dengan nada suara agak tinggi.Gama mengerjap kaget mendengarnya."Iya, kenal. Dia kebetulan...""Den Gama!" Panggilan ramah Pasai menghentikan ucapan Gama pada Agni.Gama menoleh dan tersenyum ramah ke arah pemuda itu.Lalu secara mengejutkan, Gama maju menerjang pemuda itu dan merangkulnya dengan hangat disertai beberapa kali tepukan di punggung tegap nelayan muda itu.Pasai tertawa lepas dan balas merangkul Gama tanpa terlihat sungkan sama sekali.Di dekat mereka, Agni diam membeku dengan wajah pucat dan mata melebar tak percaya."Kalian... Saling kenal?" gugup Agni tiba-tiba.Gama menoleh padanya dan mengernyitkan keningnya heran.Agni jarang gugup karena apapun, tapi kali ini gadisnya itu tampak menatapnya dengan mata sedikit linglung dan...panik?Ada apa?Gama lantas menoleh ke arah teman lama yang masih dirangkulnya."Ini Pasai Atreya. Anaknya pegawai Papaku waktu buka pasar ikan dulu," ujar Gama dengan sumringah.Pasai mengangguk sopan sambil tertawa pelan, tapi teman kecilnya itu tampak beberapa kali membuang pandangannya kearah lautan.Matanya yang biasanya tampak tegas, beberapa kali tampak goyah dan meredup.Namun bukan itu yang membuat Gama tiba-tiba berdebar tak nyaman.Tapi Agni, gadis pujaannya itu terus menatap kearah Pasai dengan tajam. Tak bergerak dan tak bersuara seolah takut Pasai tiba-tiba hilang dari pandangan.Gama tercekat oleh rasa cemburu tiba-tiba.Mata ramahnya berubah kelam seketika.Dengan dingin matanya beralih ke sosok pria yang kini tampak menatap Agni dengan senyum kecil dan tampak sekilas tatapan sedih penuh damba.Rasa marah mendera Gama dengan hebat pada akhirnya. Hatinya yang selalu baik dan lembut, terasa kelam karena rasa terhina."Pasai, ini Agni calon istri saya. Yang berarti kelak jadi atasan kamu juga kedepannya." Gama menarik lengan Agni hingga beranjak ke sisinya.Pasai tampak tersentak sekejap, sebelum berganti dengan sorot patuh dan anggukkan sopan.Gama yang menangkap jelas reaksi teman lamanya itu, lantas tersenyum puas diam-diam. Dia hanya menyadarkan kembali posisi Pasai sebelum pemuda desa itu kebablasan.Tak lama matanya lalu menoleh lagi pada perempuan yang dicintainya, dan Gama langsung bertemu pandang dengan Agni yang menatapnya penuh kemarahan.Agni memandang nyalang ke arah laki-laki yang terlihat sedang menggulung tambang besar di atas kapal nelayannya di pagi buta."Kenapa kamu menghindar? Kita seperti kembali ke awal?" Agni nyaris berteriak frustasi karena sikap diam orang yang kini seolah tak kenal dengannya."Pulanglah, kembali ke tempatmu." Pasai tidak harus bicara apapun lagi, dia tahu Agni akan paham maksudnya.Agni melangkah maju. Tanpa gentar, kakinya perlahan menaiki kapal nelayan yang masih tertambat di ujung salah satu dari beberapa dermaga kecil yang ada di pesisir pantai.Dia menghampiri Pasai yang sengaja membelakanginya kali ini."Bukannya sikap kamu terlalu kasar pada orang yang mau kenal kamu lebih dekat?" Agni tak bisa menghentikan nada muram di kalimat yang diucapakannya.Pasai adalah laki-laki pertama yang menarik minatnya sebagai wanita. Bukankah dia berhak menunjukkan minat pada siapapun yang diinginkannya?"Bisa tidak kamu jadikan aku teman? Seperti Ratri," pinta Agni pelan.Suara deburan ombak di p
"Kok aku nangis?" Agni menatap putus asa ke arah bayangannya di cermin.Mata sembab, hidung memerah disertai suara serak menjadi tanda jika dia memang tidak baik-baik saja."Pasai." gumamnya dengan mata melamun sendu.'Baru satu hari, tapi hati aku sudah sesakit ini. Dosaku apa sampai harus jatuh cinta sama dia, Ya Tuhan,' dalam hati Agni mengeluhkan perasaannya yang tak berbalas.Tidak, Pasai jelas menyukainya juga. Hanya takdir yang jelas tidak menyukai mereka berdua.Tok! Tok!"Agnisha Aryatama!" Suara seruan lantang yang familiar di telinganya membuat Agni seolah membeku tak percaya."Ayah?" gumam gadis itu kebingungan.Dengan ragu-ragu dia bangkit dan berjalan untuk membuka pintu kamar villa yang disewanya."Ayah?" Agni berhadapan dengan Ayahnya yang tampak mengernyit kesal ke arah putri semata wayangnya itu."Kenapa sewa villa kecil begini sih kamu? Villa keluarga sendiri juga ada." Danureja Aryatama berkacak pinggang dengan ekpresi kesal.Agni meringis salah tingkah mendengar p
Pasai membeku merasakan sentuhan hangat nan lembut di bibirnya. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan memanas yang muncul ke permukaan. Tangannya tanpa sadar terulur dan balas mendekap tubuh Agni yang memeluknya begitu dekat Keduanya tenggelam dalam sentuhan sederhana namun terasa begitu mengikat. Mereka seakan lupa pada segala alasan yang menghalangi perasaan satu sama lain.Sebuah kesadaran tiba-tiba menelusup di benak Pasai. Pemuda itu perlahan melepas ciuman hangat yang tak seharusnya mereka lakukan."Agni," Pasai berbisik di bibir gadis yang masih mendekapnya begitu erat.Agni membuka matanya perlahan. Sepasang mata jernih meredup menatap Pasai penuh kesedihan."Itu ciuman pertamaku, milik kita." Gadis itu balas berbisik dengan senyum sendu terukir di bibirnya yang terlihat sedikit bengkak kemerahan.Pasai terhenyak seolah kembali disadarkan pada kenyataan, sekelumit sesal perlahan mulai mengganggu nuraninya. Dia tidak pernah menyentuh wanita manapun terlalu dekat selain k
Agni terpaku menatap sesosok pria yang kini tampak duduk dengan wajah pucat. Tanpa terasa, kakinya yang jenjang melangkah ke arah tempat orang itu beristirahat."Kok bisa gini?" Kecemasan gadis cantik itu membuat Pasai yang masih menunduk seraya memegangi kepalanya mendongak seketika.Tak ada jawaban dari nelayan muda yang kabarnya tengah terluka itu. Hanya saja sorot kaget dan kesal sudah cukup membuat Agni tahu jika Pasai tidak terluka parah."Kecelakaan, Mbak." Ujar Pasai singkat dan nyaris tanpa ekspresi.Mata cantik Agni meredup mendengar sebutan Mbak yang kembali disematkan oleh laki-laki itu. Kemudian dia sadar tidak datang kesana sendirian. Gama bersamanya, bergandengan dengan rasa cemas yang bisa saja sama meski tak setara. "Kalian akrab?" Suara bernada dingin membuat Agni sedikit terperanjat.Gama baru saja masuk ke kamar tamu Haji Baron tempat Pasai berbaring."Enggak, aku cuma nyapa. Gimanapun kami pernah melaut bareng seharian," jawab Agni dengan tegas.Hatinya berjengit
Wedari Suryadiningrat memeluk ponsel di dadanya dengan tangan nyaris gemetaran. Air mata haru bahkan terus mengalir di pipinya yang sudah keriput termakan usia.Kabar bahagia yang dinantikannya selama lebih dari 20 tahun membuat perasaannya membuncah tak percaya."Oma?" Suara bariton terdengar cemas memasuki ruang pribadi Wedari.Jendra, salah satu cucu dari anak angkatnya itu lalu duduk dengan perlahan di kursi beludru yang berhadapan dengan neneknya itu."Oma kenapa? Ada yang sakit?" Raut khawatir Jendra bahkan begitu terlihat di wajah tampannya.Sekilas, rasa takut dan ragu hinggap di benak Wedari. Firman dan Jendra sudah belasan tahun membantunya mengelola seluruh aset keluarga mereka yang cukup banyak. Dan sekarang, kehadiran tiba-tiba orang yang seharusnya mewarisi seluruh aset itu justru dirasa akan mengerikan. Wedari takut cucu kandungnya itu celaka, karena bagaimanapun Firman memang sangat berjasa bagi keluarganya meski dia bukan darah dagingnya sendiri.Wedari, yang tahun i
"Dia apa kabarnya, Tuhan?" gumaman lembut Agni memecah keheningan malam.Dia berbaring telentang di sofa yang berada di ruang kantornya yang berada di lantai 4 sebuah gedung perkantoran besar.Sudah sebulan sejak dia meninggalkan desa nelayan dan Pasai beserta kenangan mereka. Tapi rasa rindunya masih berdenyut perih seperti baru kemarin saja mereka berpisah. Yah, seharusnya perasaan sesaat tidak berlangsung selama ini, bukan?'Aku emang bodoh, bisa-bisanya naksir sama orang asing,' Agni membatin menyesali nasibnya sendiri.Sekarang malam-malamnya sering terisi lamunan tentang sosok tegap yang pernah mendekapnya begitu erat, namun semu dan tak mungkin dia dapat."Ah, sial! Sama aja kayak aku jatuh cinta sama hantu kalau kayak gini," rutuk Agni kesal sendiri."Agni!" Tiba-tiba suara Danureja, sang ayah menerobos ruang kerjanya dengan nada kesal.Agni tersentak dan langsung duduk dengan waspada. "Kamu sudah dua hari tidur di kantor. Ayah sampai bolak-balik periksa kamar kamu di rumah
Agni langsung membawanya pergi ke tempat yang agak jauh dari gudang itu. Mereka kini berdua di depan sebuah ruangan pribadi milik seorang petugas gudang yang memang sudah Agni kenal sejak kecil. Saat pria seusia Danureja itu melihat Agni datang dengan terburu-buru diikuti seorang pemuda tampan, helaan napas iba terlihat di wajah pria itu."Om Bimo, ini temen Agni. Aku mau bicara penting sama dia," Agni separuh berbisik pada pria bertubuh agak tambun itu.Bimo menghela napas panjang, lalu diam-diam mengamati pemuda itu. Bertubuh tinggi tegap, dengan kulit kecoklatan dan paras tegas yang terlihat gagah dan rupawan. Yah, selera yang unggul, namun akan sulit untuk diperjuangkan sepertinya.Bimo mengernyit iba melihat keduanya. Setidaknya, jika tak berakhir baik. Dia bisa memberi mereka kenangan untuk mereka simpan."Ya sudah, masuk aja. Om mau ambil kopi dulu. Kuncinya ada di pintu." Ujar Bimo. Dia percaya pada kemampuan Agni menjaga diri dan kehormatannya karena sudah sedari gadis itu k
"Sejak kapan hubunganmu dengan Agni Aryatama?" David melontarkan pertanyaan yang membuat Pasai berjengit diam-diam."Kami nggak ada hubungan apa-apa, Pak," elak pemuda desa itu dengan ekspresi keras.David menarik nafas panjang melihat pemuda itu terus menghindari tatapannya.David, Ihsan dan Pasai sedang berada di restoran hotel Green Orion milik keluarga Agni untuk makan siang setelah kejadian mengejutkan ketiganya di ruang staf hotel itu. Tentu saja David yang nyaris harus menyeret dua orang desa nelayan itu agar mau ikut makan di tempat yang tergolong mewah itu."Pasai, saya bertanya serius. Tolong dijawab, apa arti gadis itu untuk kamu?" tanya David membuat Pasai mengernyit bingung."Bukan urusan Pak David. Saya tidak wajib mengungkapkan hal pribadi pada orang yang baru saya kenal," jawab pemuda itu dengan tegas.David mengembuskan nafas kasar. Entah kenapa dia tidak kaget dengan sikap defensif dan keras kepala keponakan kandungnya itu, karena mendiang ayah Pasai juga keras kepa
"Sejak kapan hubunganmu dengan Agni Aryatama?" David melontarkan pertanyaan yang membuat Pasai berjengit diam-diam."Kami nggak ada hubungan apa-apa, Pak," elak pemuda desa itu dengan ekspresi keras.David menarik nafas panjang melihat pemuda itu terus menghindari tatapannya.David, Ihsan dan Pasai sedang berada di restoran hotel Green Orion milik keluarga Agni untuk makan siang setelah kejadian mengejutkan ketiganya di ruang staf hotel itu. Tentu saja David yang nyaris harus menyeret dua orang desa nelayan itu agar mau ikut makan di tempat yang tergolong mewah itu."Pasai, saya bertanya serius. Tolong dijawab, apa arti gadis itu untuk kamu?" tanya David membuat Pasai mengernyit bingung."Bukan urusan Pak David. Saya tidak wajib mengungkapkan hal pribadi pada orang yang baru saya kenal," jawab pemuda itu dengan tegas.David mengembuskan nafas kasar. Entah kenapa dia tidak kaget dengan sikap defensif dan keras kepala keponakan kandungnya itu, karena mendiang ayah Pasai juga keras kepa
Agni langsung membawanya pergi ke tempat yang agak jauh dari gudang itu. Mereka kini berdua di depan sebuah ruangan pribadi milik seorang petugas gudang yang memang sudah Agni kenal sejak kecil. Saat pria seusia Danureja itu melihat Agni datang dengan terburu-buru diikuti seorang pemuda tampan, helaan napas iba terlihat di wajah pria itu."Om Bimo, ini temen Agni. Aku mau bicara penting sama dia," Agni separuh berbisik pada pria bertubuh agak tambun itu.Bimo menghela napas panjang, lalu diam-diam mengamati pemuda itu. Bertubuh tinggi tegap, dengan kulit kecoklatan dan paras tegas yang terlihat gagah dan rupawan. Yah, selera yang unggul, namun akan sulit untuk diperjuangkan sepertinya.Bimo mengernyit iba melihat keduanya. Setidaknya, jika tak berakhir baik. Dia bisa memberi mereka kenangan untuk mereka simpan."Ya sudah, masuk aja. Om mau ambil kopi dulu. Kuncinya ada di pintu." Ujar Bimo. Dia percaya pada kemampuan Agni menjaga diri dan kehormatannya karena sudah sedari gadis itu k
"Dia apa kabarnya, Tuhan?" gumaman lembut Agni memecah keheningan malam.Dia berbaring telentang di sofa yang berada di ruang kantornya yang berada di lantai 4 sebuah gedung perkantoran besar.Sudah sebulan sejak dia meninggalkan desa nelayan dan Pasai beserta kenangan mereka. Tapi rasa rindunya masih berdenyut perih seperti baru kemarin saja mereka berpisah. Yah, seharusnya perasaan sesaat tidak berlangsung selama ini, bukan?'Aku emang bodoh, bisa-bisanya naksir sama orang asing,' Agni membatin menyesali nasibnya sendiri.Sekarang malam-malamnya sering terisi lamunan tentang sosok tegap yang pernah mendekapnya begitu erat, namun semu dan tak mungkin dia dapat."Ah, sial! Sama aja kayak aku jatuh cinta sama hantu kalau kayak gini," rutuk Agni kesal sendiri."Agni!" Tiba-tiba suara Danureja, sang ayah menerobos ruang kerjanya dengan nada kesal.Agni tersentak dan langsung duduk dengan waspada. "Kamu sudah dua hari tidur di kantor. Ayah sampai bolak-balik periksa kamar kamu di rumah
Wedari Suryadiningrat memeluk ponsel di dadanya dengan tangan nyaris gemetaran. Air mata haru bahkan terus mengalir di pipinya yang sudah keriput termakan usia.Kabar bahagia yang dinantikannya selama lebih dari 20 tahun membuat perasaannya membuncah tak percaya."Oma?" Suara bariton terdengar cemas memasuki ruang pribadi Wedari.Jendra, salah satu cucu dari anak angkatnya itu lalu duduk dengan perlahan di kursi beludru yang berhadapan dengan neneknya itu."Oma kenapa? Ada yang sakit?" Raut khawatir Jendra bahkan begitu terlihat di wajah tampannya.Sekilas, rasa takut dan ragu hinggap di benak Wedari. Firman dan Jendra sudah belasan tahun membantunya mengelola seluruh aset keluarga mereka yang cukup banyak. Dan sekarang, kehadiran tiba-tiba orang yang seharusnya mewarisi seluruh aset itu justru dirasa akan mengerikan. Wedari takut cucu kandungnya itu celaka, karena bagaimanapun Firman memang sangat berjasa bagi keluarganya meski dia bukan darah dagingnya sendiri.Wedari, yang tahun i
Agni terpaku menatap sesosok pria yang kini tampak duduk dengan wajah pucat. Tanpa terasa, kakinya yang jenjang melangkah ke arah tempat orang itu beristirahat."Kok bisa gini?" Kecemasan gadis cantik itu membuat Pasai yang masih menunduk seraya memegangi kepalanya mendongak seketika.Tak ada jawaban dari nelayan muda yang kabarnya tengah terluka itu. Hanya saja sorot kaget dan kesal sudah cukup membuat Agni tahu jika Pasai tidak terluka parah."Kecelakaan, Mbak." Ujar Pasai singkat dan nyaris tanpa ekspresi.Mata cantik Agni meredup mendengar sebutan Mbak yang kembali disematkan oleh laki-laki itu. Kemudian dia sadar tidak datang kesana sendirian. Gama bersamanya, bergandengan dengan rasa cemas yang bisa saja sama meski tak setara. "Kalian akrab?" Suara bernada dingin membuat Agni sedikit terperanjat.Gama baru saja masuk ke kamar tamu Haji Baron tempat Pasai berbaring."Enggak, aku cuma nyapa. Gimanapun kami pernah melaut bareng seharian," jawab Agni dengan tegas.Hatinya berjengit
Pasai membeku merasakan sentuhan hangat nan lembut di bibirnya. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan memanas yang muncul ke permukaan. Tangannya tanpa sadar terulur dan balas mendekap tubuh Agni yang memeluknya begitu dekat Keduanya tenggelam dalam sentuhan sederhana namun terasa begitu mengikat. Mereka seakan lupa pada segala alasan yang menghalangi perasaan satu sama lain.Sebuah kesadaran tiba-tiba menelusup di benak Pasai. Pemuda itu perlahan melepas ciuman hangat yang tak seharusnya mereka lakukan."Agni," Pasai berbisik di bibir gadis yang masih mendekapnya begitu erat.Agni membuka matanya perlahan. Sepasang mata jernih meredup menatap Pasai penuh kesedihan."Itu ciuman pertamaku, milik kita." Gadis itu balas berbisik dengan senyum sendu terukir di bibirnya yang terlihat sedikit bengkak kemerahan.Pasai terhenyak seolah kembali disadarkan pada kenyataan, sekelumit sesal perlahan mulai mengganggu nuraninya. Dia tidak pernah menyentuh wanita manapun terlalu dekat selain k
"Kok aku nangis?" Agni menatap putus asa ke arah bayangannya di cermin.Mata sembab, hidung memerah disertai suara serak menjadi tanda jika dia memang tidak baik-baik saja."Pasai." gumamnya dengan mata melamun sendu.'Baru satu hari, tapi hati aku sudah sesakit ini. Dosaku apa sampai harus jatuh cinta sama dia, Ya Tuhan,' dalam hati Agni mengeluhkan perasaannya yang tak berbalas.Tidak, Pasai jelas menyukainya juga. Hanya takdir yang jelas tidak menyukai mereka berdua.Tok! Tok!"Agnisha Aryatama!" Suara seruan lantang yang familiar di telinganya membuat Agni seolah membeku tak percaya."Ayah?" gumam gadis itu kebingungan.Dengan ragu-ragu dia bangkit dan berjalan untuk membuka pintu kamar villa yang disewanya."Ayah?" Agni berhadapan dengan Ayahnya yang tampak mengernyit kesal ke arah putri semata wayangnya itu."Kenapa sewa villa kecil begini sih kamu? Villa keluarga sendiri juga ada." Danureja Aryatama berkacak pinggang dengan ekpresi kesal.Agni meringis salah tingkah mendengar p
Agni memandang nyalang ke arah laki-laki yang terlihat sedang menggulung tambang besar di atas kapal nelayannya di pagi buta."Kenapa kamu menghindar? Kita seperti kembali ke awal?" Agni nyaris berteriak frustasi karena sikap diam orang yang kini seolah tak kenal dengannya."Pulanglah, kembali ke tempatmu." Pasai tidak harus bicara apapun lagi, dia tahu Agni akan paham maksudnya.Agni melangkah maju. Tanpa gentar, kakinya perlahan menaiki kapal nelayan yang masih tertambat di ujung salah satu dari beberapa dermaga kecil yang ada di pesisir pantai.Dia menghampiri Pasai yang sengaja membelakanginya kali ini."Bukannya sikap kamu terlalu kasar pada orang yang mau kenal kamu lebih dekat?" Agni tak bisa menghentikan nada muram di kalimat yang diucapakannya.Pasai adalah laki-laki pertama yang menarik minatnya sebagai wanita. Bukankah dia berhak menunjukkan minat pada siapapun yang diinginkannya?"Bisa tidak kamu jadikan aku teman? Seperti Ratri," pinta Agni pelan.Suara deburan ombak di p
Harusnya Agni pulang hari ini. Kembali ke kotanya yang ramai, dan kembali ke kehidupannya yang kadang menyenangkan, kadang juga menyesakkan.Tapi disinilah dia berada. Masih di desa nelayan kampung halaman mendiang Ibunya yang sepi dan sederhana.Ya, akarnya Agni berasal dari desa ini, dan kini rasanya dia enggan meninggalkan tempat ini juga."Kapan pulang?"Agni menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil pada seorang pria tampan bermata sipit yang menatapnya lembut."Kamu duluan aja ya. Aku rasanya masih mau disini," jawab gadis itu mencoba ramah.Gama tersenyum kecil merasakan hatinya senang. Agninya yang selalu tampak ketus, entah kenapa tampak lebih ramah beberapa hari ini.Mau tidak mau, harapan perlahan bangkit kambali di hatinya yang sudah lama nyaris menyerah.Gama ingin mencoba lagi meraih hati wanita yang sudah bertahun-tahun dicintainya. Jadi dengan nekad, tangannya mengusap rambut gadis itu penuh kelembutan."Kayaknya tempat ini memang bagus ya buat kamu," ucap Gama tiba-tiba.