Sore ini, Silvana izin pulang cepat. Tujuannya bukan ke rumah sakit, melainkan mencari Marco. Pria itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seenaknya sudah menanamkan benih ke rahim Yesslyn, tetapi tak acuh setelahnya.
Tidak banyak informasi yang Silvana tahu tentang Marco. Yang dia tahu, pria itu selalu mengunjungi Dastille Club setiap malam. Mungkin itulah yang membuat dia bisa menjalin hubungan dengan Yesslyn karena Yesslyn bekerja di sana. Satu-satunya cara untuk menemukan keberadaan Marco adalah dengan mencari informasi ke klub tersebut. Namun, dia tidak mungkin menunggu klub itu buka dan duduk di depan klub seperti orang bodoh karena kafe itu baru dibuka setelah pukul 07.00 malam.
Silvana tidak menyerah begitu saja. Dia pergi menyusuri deretan klub, mencoba mencari petunjuk tentang Marco. Sepanjang jalan, dia menanyakan kepada orang yang lalu-lalang sambil menunjukkan foto Marco yang dia dapat dari media sosial Yesslyn. Namun, tidak seorang pun yang mengenal Marco.
Hari mulai agak gelap. Silvana masih belum menemukan Marco. Akhirnya, dia memilih istirahat sejenak di bangku kafe bagian luar. Sembari menunggu pesanan datang, dia mengedar tatapan ke sekitar. Tidak disangka, usahanya membuahkan hasil. Dia melihat Marco sedang duduk di dalam kafe dari dinding kaca yang membatasi bagian luar dan dalam.
Tidak ingin membuat kericuhan di dalam kafe, Silvana menunggu Marco sampai keluar sendiri dari kafe. Mata birunya terus mengawasi Marco sambil menikmati makanan yang dia pesan. Sesekali dia juga menunduk saat Marco menoleh.
Sekitar lima belas menit kemudian, Marco keluar. Pria itu belum menyadari ada seseorang yang mengekorinya. Ketika di belokan, terlintas bayangan seseorang yang terpantul dari dinding kaca pertokoan yang dia lewati. Makin jauh melangkah, dia makin merasakan ada seseorang yang mengikutinya. Akhirnya, dia mempercepat langkah.
Silvana pun ikut mempercepat langkah agar tidak kehilangan jejak Marco. Ketika di pertigaan, Silvana bingung arah mana yang diambil Marco. Jalan lurus, belok ke kanan, atau belok ke kiri? Tatapannya yang fokus ke jalanan hingga tidak sadar saat Marco sudah berada di belakangnya.
Marco mengayunkan sepotong kayu, yang dia temukan di tempat sampah pinggir toko, ke atas. Dia mengarahkan kayu tersebut ke kepala Silvana. Belum sempat kayu itu mendarat ke arah yang dituju, dari sebelah kiri ada seseorang yang menendang pinggang Marco. Kayu yang dipegangnya pun terjatuh.
Di waktu yang sama, terdengar ada suara gaduh di belakang. Silvana menoleh. Spontan dia mundur untuk menjaga jarak dengan Marco. Dia juga melihat Arthur, pria yang sudah menolongnya semalam, ada di sana. Itu artinya Arthur yang sudah melumpuhkan aksi Marco.
Arthur mendekati Silvana yang sedang menatapnya. "Kau baik-baik saja? Apa ada yang terluka?"
Silvana hanya menggeleng sebagai isyarat bahwa dia tidak terluka. Tubuhnya sangat gemetar hingga tak sanggup bersuara. Seketika dia membayangkan nasibnya jika Arthur tidak menolongnya tepat waktu. Bisa jadi dia celaka, terluka parah, atau mungkin tewas. Dia bergidik saat bayangan mengerikan itu terlintas dalam pikirannya. Dia pun menepis jauh-jauh.
Marco terkapar di sudut toko. Rasa sakit di pinggangnya karena tendangan Arthur benar-benar meresap ke tulang hingga serasa remuk redam. Tatapannya begitu tajam ke arah Arthur. Dia paling tidak suka ada orang yang
menggagalkan rencananya. Padahal, sedikit lagi dia bisa melenyapkan Silvana agar tidak mengganggu kehidupannya lagi.
Marco bangkit berdiri sambil memegang dinding kaca sebagai penopang tubuhnya dengan susah payah. Tekad yang begitu membara ingin membalas Arthur seakan melenyapkan rasa sakit di pinggangnya. Marco bergerak maju dan melayangkan pukulan ke wajah Arthur.
Untung saja, saat sekolah dulu, Arthur pernah berlatih bela diri sehingga bisa menghindar dari pukulan Marco dengan mudah. Bahkan, Arthur yang balik memukul wajah Marco berkali-kali hingga lebam.
Silvana yang panik dengan perkelahian mereka, berteriak meminta pertolongan kepada orang-orang di sekitar. Sementara itu, Marco dan Arthur masih saling baku hantam.
Arthur melentikkan punggung ke belakang saat kepalan tangan Marco mengarah wajahnya. Dia tidak diam saja. Dia meninju perut Marco, lalu beralih ke bibir.
Marco tidak peduli lagi dengan rasa pedih yang luar biasa pada wajahnya. Dia terus menyerang Arthur dari berbagai arah. Namun, Arthur selalu lolos dari serangan Marco. Gerak-gerik pria itu sangat mudah dibaca.
"Ayo, serang aku lagi! Kau bukanlah lawan yang sepadan denganku," ucap Arthur dengan senyum meremehkan.
Arthur cukup senang dengan perkelahian ini. Akhirnya, dia bisa mempraktekkan ilmu bela diri yang dia pelajari saat masih bersekolah. Dia sengaja mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bela diri karena tidak ingin ada orang yang berbuat jahat kepada kakaknya. Tidak disangka, ilmu tersebut tidak sia-sia dia kuasai dan bisa digunakan untuk menolong orang lain.
Meski berulang kali lolos dari serangan lawan, ada kalanya jatuh juga. Saat Arthur terfokus dengan gerak-gerik Marco, Marco justru memanfaatkan kelengahan Arthur dengan menendang betis hingga terjerembap ke emperan toko. Memiliki peluang untuk menyerang, Marco cepat-cepat melayangkan bogem mentah ke wajah Arthur.
Silvana yang tidak bisa berbuat banyak, hanya berdiri melihat Arthur terluka karena pukulan Marco.
Arthur tidak menyerah. Dia segera bangkit dan membalas tendangan Marco hingga membuat Marco kembali terkapar. Marco mengerang hingga tak mampu untuk berdiri. Dia akui kemampuan bela diri Arthur sangat tinggi.
Arthur sedikit berjongkok di samping Marco. Dia menyeringai miring. "Segitu saja? Mau kutambah satu pukulan lagi?"
Marco memohon ampun dan mengatakan bahwa dia menyerah.
Arthur merasa menang dalam perkelahian sengit itu. Dia beranjak, menghampiri Silvana. "Kau sudah aman. Pria itu tidak akan melukaimu lagi. Kau bisa pulang sekarang."
"Terima kasih. Kau sudah dua kali menolongku dari Marco. Kalau kau tidak ada, entah bagaimana nasibku tadi. Sekali lagi, terima kasih, ya."
Arthur tersenyum ramah. "Sama-sama."
Silvana tidak langsung pulang. Dia mendekati Marco yang tampak tidak berdaya. "Kau tidak bisa berkelit lagi, Marco. Yesslyn sudah menceritakan semuanya padaku. Kau yang sudah menghamili Yesslyn. Itu artinya kau harus bertanggung jawab, Marco! Yesslyn sedang mengandung anakmu!"
Marco mengatur napasnya yang terengah-engah. "Dia hamil atau tidak, itu bukan urusanku! Salah dia juga mengapa dia begitu mudah dirayu. Lagi pula, kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Tanpa paksaan sedikit pun. Jadi, kau tidak bisa memaksaku!"
"Terserah apa katamu! Yang jelas, kau yang sudah menghamili Yesslyn. Dia sangat terpuruk. Kau, kan, kekasihnya. Temani dia."
"Aku tegaskan padamu bahwa dia bukan kekasihku! Aku juga tidak pernah mencintainya. Hubungan kami hanya sebatas kesenangan. Tidak lebih dari itu. Mulai sekarang, berhenti mencariku!"
Silvana mengepalkan tangan. Bibirnya mengatup seiring emosinya yang siap meledak seperti bom. "Kau sangat keterlaluan! Setelah kau merenggut masa depan Yesslyn, sekarang kau tidak mau bertanggung jawab! Di mana hati nuranimu, hah?" Nada suaranya makin tinggi membuat orang-orang di sekitar melihat mereka.
Arthur tidak tahu masalah apa yang terjadi di antara Silvana dan Marco, tetapi dia yakin masalah mereka cukup serius. Dia pun berusaha menengahi perdebatan mereka agar tidak makin jadi pusat perhatian orang-orang.
"Hei, Bung! Maaf jika aku mencampuri urusanmu. Menurutku, kau akui saja perbuatanmu. Itu lebih terkesan gentle daripada terus mengelak dari kenyataan!"
"Kau tidak tahu apa-apa tentang masalah kami. Jadi, sebaiknya kau tidak perlu ikut campur!" Marco berusaha untuk berdiri, kemudian meninggalkan Silvana dan Arthur dengan langkah yang tertatih-tatih.
"Marco, jangan pergi! Bagaimana dengan Yesslyn?" teriak Silvana.
Marco terus melangkah tanpa menggubris teriakan Silvana, sedangkan Silvana merasa tidak berguna sebagai teman karena gagal membujuk Marco. Bagaimana nasib Yesslyn dan calon bayinya kelak?
"Setiap hidup pasti dipenuhi berbagai masalah. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Kau harus yakin itu meski sesulit apa pun masalah yang sedang kauhadapi." Arthur memberi nasihat panjang lebar. Namun, Silvana justru mendekat ke wajahnya.
"Hei, ini tempat umum! Kau mau menciumku, heh?"
Silvana melotot dengan tuduhan Arthur. Padahal, dia sedang memperhatikan luka di wajah Arthur. Ada sedikit darah di ujung bibir dan wajah Arthur tampak agak memerah. Dia menyentuh luka itu. Seketika dia merasa sangat bersalah. Gara-gara menyelamatkan nyawanya dari Marco, pria itu harus merelakan wajah tampannya terluka. "Ini harus segera diobati."
Sentuhan Silvana yang begitu lembut membuat hati Arthur yang hampir membeku, perlahan mencair kembali. Perhatian kecil yang sudah lama tidak dia dapatkan dari Sarah, kini dia dapatkan dari Silvana. Ada apa ini? Apakah posisi Sarah mulai tergeser oleh Silvana?
Tak ingin makin terbawa perasaan, Arthur menepis tangan Silvana. Dia tersenyum kecil seolah mengisyaratkan kepada Silvana bahwa dia baik-baik saja meski sebenarnya agak pedih. "Ini bukan luka yang serius. Tidak masalah."
Baru kali ini, Arthur berkelahi, apalagi demi menolong seorang wanita yang baru bertemu dua kali. Dia pun tidak tahu apa alasan dia mau menolong Silvana. Padahal, dia sama sekali tidak mengenal wanita itu.
"Luka sekecil apa pun harus segera diobati. Kalau tidak, bisa infeksi dan bertambah parah. Kau mau seperti itu?"
Arthur terdiam. Tentu saja dia tidak mau wajahnya jadi tidak tampan lagi. Namun, dia tetap menolak.
Silvana tetap bersikukuh ingin mengobati luka Arthur untuk membalas utang budi. Dia menghadang Arthur saat pria itu mau masuk ke mobil. "Apa di dalam mobilmu ada obat luka?"
Arthur menggeleng. "Tidak ada."
"Di apartemenku ada, tetapi cukup memakan waktu jika harus mengambilnya ke apartemenku. Bagaimana jika kita pergi ke apotek untuk membeli obat?"
"Tidak perlu. Aku bisa mengobatinya sendiri."
Lagi-lagi, Silvana menahan langkah Arthur. "Kumohon, biarkan aku mengobati lukamu sebagai ucapan terima kasihku."
Arthur menghela napas pelan. "Baiklah, kita ke apotek. Masuklah!"
Silvana tersenyum lebar karena berhasil membujuk Arthur. Dia segera masuk ke mobil. Sesaat kemudian, mobil itu melaju ke apotek terdekat.
Di sepanjang perjalanan, tidak ada yang berbicara. Sesekali Arthur menoleh ke samping. Dia melihat Silvana terus memandangi deretan gedung dan pertokoan yang mereka lewati dari kaca jendela mobil.
Silvana termenung memikirkan masalah yang Yesslyn jalani begitu berat. Kasihan Yesslyn. Dia harus menanggung akibat dari perbuatan pria yang sama sekali tidak mencintainya. Bahkan, pria itu sama sekali tidak peduli dengan kehamilan Yesslyn.
"Kalau aku boleh tahu, apa namamu? Kita sudah mengobrol panjang lebar, tetapi tidak tahu nama masing-masing. Kedengarannya sangat lucu, bukan?" Setelah hening lama, Arthur membuka percakapan.
"Silvana, itu namaku. Bagaimana denganmu?"
"Arthur." Tatapan Arthur kembali fokus ke jalanan. Tak lama kemudian, mobilnya menepi dan berhenti di depan apotek. "Kita sudah sampai."
"Tunggu sebentar." Silvana turun dari mobil, lalu masuk ke apotek.
Berselang dua menit, ponsel Arthur berdering. Di layar ponsel tertera nama Mommy. Dia langsung menjawab panggilan itu, "Halo, Mom!"
"Akhirnya, aku bisa menghubungimu, Sayang. Mengapa kau tidak menjawab panggilanku?"
Bukannya menjawab pertanyaan Sarah, Arthur justru balik melempar pertanyaan. "Mengapa kau menelepon dengan ponsel ibuku?"
"Aku terpaksa meminjam ponsel ibumu karena kau tidak menjawab telepon dariku. Sebenarnya, aku ingin mengajakmu makan malam sebagai ganti semalam yang tidak jadi."
Arthur mendengkus. "Bukankah kau selalu sibuk?" Arthur sengaja menyinggung Sarah karena Sarah selalu beralasan banyak pekerjaan setiap Arthur mengajaknya makan malam atau jalan-jalan berdua. Akibatnya, pertemuan di antara mereka pun makin berkurang.
"Arthur, jangan bicara seperti itu! Cepatlah pulang! Sarah sudah menunggumu di sini sejak sore. Kasihan dia. Dia sangat ingin makan malam denganmu. Karena kita sudah lama tidak berkumpul, Mommy ajak dia untuk makan malam bersama kita. Mommy tunggu." Suara Sarah tergantikan dengan Angela, ibu Arthur.
Tanpa menunggu respons dari Arthur, sang ibu langsung menutup telepon. Arthur menyimpan ponsel di dalam jas, lalu menyandarkan kepala ke bulatan setir. Seketika dia malas untuk pulang karena tidak ingin bertemu dengan Sarah. Namun, mendengar keinginan sang ibu, Arthur tidak bisa menolak.
Setelah selesai membeli obat, Silvana duduk di samping Arthur. Dia mengeluarkan cairan obat dan menuangkan ke kapas, kemudian mengobati wajah Arthur pelan-pelan.
Dengan jarak yang begitu dekat, Arthur bisa melihat ketulusan di mata Silvana. Wanita itu begitu telaten mengobati luka Arthur. Seketika Arthur merasakan darah dalam tubuhnya berdesir hangat. Dia sering kali berdekatan dengan Sarah, tetapi mengapa sensasinya berbeda?
"Sudah selesai." Silvana merapikan kapas dan obat, lalu memasukkannya ke dalam plastik.
"Terima kasih, Silvana. Lukaku pasti cepat sembuh setelah diobati olehmu."
"Sama-sama. Ini belum sepadan dengan pertolonganmu padaku."
"Maaf, aku tidak bisa mengantarmu. Aku harus segera pulang karena ada makan malam keluarga. Kau pulang dengan taksi saja. Tidak apa, kan?"
"It's okay! Tidak masalah." Silvana segera keluar dari mobil dan menunggu taksi lewat di pinggir jalan, sedangkan Arthur mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi agar ibunya terlalu lama menunggu.
Silvana menatap mobil Arthur yang melesat jauh dari pandangannya. Dia menengok ke kanan, tetapi tidak tampak satu pun taksi yang lewat. Lelah berdiri, Silvana berniat menelepon taksi online untuk mengantarnya ke apartemen. Namun, saat mencari ponsel di dalam saku, seketika dia jadi panik karena tidak ada. Dia memeriksa isi tas. Hasilnya tetap sama.
"Apa terjatuh di depan kafe tadi atau," Silvana berusaha mengingat-ingat serangkaian kejadian tadi, "di dalam mobil Arthur?"
***
"Aunty, apa Arthur benar-benar akan makan malam bersama kita?"Setelah apa yang terjadi di antara mereka beberapa hari terakhir, Sarah tiba-tiba merasa ragu Arthur akan menuruti permintaan ibunya untuk makan malam bersama. Apalagi, Arthur sudah tahu dia ada di rumah.Sarah sadar akan kesalahannya yang sering menomorsatukan pekerjaan dibandingkan dengan menghabiskan waktu bersama . Wajar saja sikap Arthur berubah dingin. Sekarang Sarah butuh usaha yang sangat besar untuk memperbaiki hubungan mereka meski Arthur terus menghindarinya. Kali ini, dia menggunakan cara dengan melibatkan ibunya Arthur sebagai perantara dalam hubungan mereka. Dia berharap cara ini bisa berhasil mendekatkan Arthur dengannya lagi.Angela memegang punggung tangan Sarah. Ibu dua anak itu bisa merasak
Langkah Silvana sangat tergesa-gesa memasuki lobi American Hospital of Paris, salah satu rumah sakit terbaik di dunia. Dia menanyakan keberadaan Yesslyn, sahabatnya, kepada perawat yang berada di bagian resepsionis."Baiklah, tunggu sebentar, Nona." Resepsionis tersebut mencari nama Yesslyn di komputer. Setelah menemukan informasi, dia langsung memberi tahu nomor ruangan Yesslyn dirawat dan letak ruangan tersebut."Terima kasih." Silvana bergegas menuju ruangan yang dimaksud resepsionis. Dia melewati satu per satu koridor. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah kondisi Yesslyn sehingga tidak fokus dengan keadaan sekitar. Dia menyerobot orang-orang yang lewat. Saat beberapa orang yang disenggolnya mengumpat kasar, dia tidak peduli. Dia tetap meneruskan langkah ke tempat tujuan.
Silvana sudah lama bersahabat dengan Yesslyn sehingga tidak ada rahasia di antara mereka. Tentunya, dia tidak akan tinggal diam jika ada yang membuat Yesslyn terluka atau sedih. Bahkan, setelah tahu Yesslyn hamil, dia mencoba mencari tahu siapa yang telah menghamili Yesslyn. Satu-satunya pria yang dia curigai adalah Marco, pria yang dekat dengan Yesslyn dua bulan terakhir ini, yang diakui Yesslyn sebagai kekasihnya.Seakan tahu kebiasaan Marco, Silvana langsung mencarinya di Dastille Club, tempat Yesslyn bekerja. Baru tiba di pintu masuk, hentakan musik disko yang keras sudah terdengar. Bahkan, tampak para kawula muda, seakan tidak peduli dengan larutnya malam, keluar-masuk ke klub malam itu.Ketika akan masuk ke klub, Silvana dicegat oleh salah satu petugas keamanan. "Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk sebelum menunjukkan kartu anggo
Silvana sudah bangun sejak pukul 05.00 pagi. Setelah selesai membereskan apartemen, dia lanjut memasak sup ayam. Rencananya, dia akan membawa masakan itu untuk Yesslyn sebelum berangkat kerja. Aroma rempah dan kaldu ayam menguar ke sekeliling dapur saat Silvana membuka penutup panci. Setelah memastikan daging ayam sudah lunak, dia memasukkan potongan wortel dan kentang ke dalam panci. Bibirnya tersenyum sambil mengaduk-aduk. "Semoga Yesslyn suka dan mau menikmati sup buatanku." Di tengah kesibukan memasak sup, suara deringan ponsel memecahkan keheningan. Silvana meninggalkan masakan, lalu beralih ke meja makan. Dia segera menjawab panggilan itu tanpa melihat nama si penelepon. Belum sempat Silvana mengatakan apa pun, si penelepon langsung berkoar-koar tanpa sebab. Silv
"Aunty, apa Arthur benar-benar akan makan malam bersama kita?"Setelah apa yang terjadi di antara mereka beberapa hari terakhir, Sarah tiba-tiba merasa ragu Arthur akan menuruti permintaan ibunya untuk makan malam bersama. Apalagi, Arthur sudah tahu dia ada di rumah.Sarah sadar akan kesalahannya yang sering menomorsatukan pekerjaan dibandingkan dengan menghabiskan waktu bersama . Wajar saja sikap Arthur berubah dingin. Sekarang Sarah butuh usaha yang sangat besar untuk memperbaiki hubungan mereka meski Arthur terus menghindarinya. Kali ini, dia menggunakan cara dengan melibatkan ibunya Arthur sebagai perantara dalam hubungan mereka. Dia berharap cara ini bisa berhasil mendekatkan Arthur dengannya lagi.Angela memegang punggung tangan Sarah. Ibu dua anak itu bisa merasak
Sore ini, Silvana izin pulang cepat. Tujuannya bukan ke rumah sakit, melainkan mencari Marco. Pria itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seenaknya sudah menanamkan benih ke rahim Yesslyn, tetapi tak acuh setelahnya.Tidak banyak informasi yang Silvana tahu tentang Marco. Yang dia tahu, pria itu selalu mengunjungi Dastille Club setiap malam. Mungkin itulah yang membuat dia bisa menjalin hubungan dengan Yesslyn karena Yesslyn bekerja di sana. Satu-satunya cara untuk menemukan keberadaan Marco adalah dengan mencari informasi ke klub tersebut. Namun, dia tidak mungkin menunggu klub itu buka dan duduk di depan klub seperti orang bodoh karena kafe itu baru dibuka setelah pukul 07.00 malam.Silvana tidak menyerah begitu saja. Dia pergi menyusuri deretan klub, mencoba mencari petunjuk tentang Marco. Sepanjang jalan, dia menanyakan k
Silvana sudah bangun sejak pukul 05.00 pagi. Setelah selesai membereskan apartemen, dia lanjut memasak sup ayam. Rencananya, dia akan membawa masakan itu untuk Yesslyn sebelum berangkat kerja. Aroma rempah dan kaldu ayam menguar ke sekeliling dapur saat Silvana membuka penutup panci. Setelah memastikan daging ayam sudah lunak, dia memasukkan potongan wortel dan kentang ke dalam panci. Bibirnya tersenyum sambil mengaduk-aduk. "Semoga Yesslyn suka dan mau menikmati sup buatanku." Di tengah kesibukan memasak sup, suara deringan ponsel memecahkan keheningan. Silvana meninggalkan masakan, lalu beralih ke meja makan. Dia segera menjawab panggilan itu tanpa melihat nama si penelepon. Belum sempat Silvana mengatakan apa pun, si penelepon langsung berkoar-koar tanpa sebab. Silv
Silvana sudah lama bersahabat dengan Yesslyn sehingga tidak ada rahasia di antara mereka. Tentunya, dia tidak akan tinggal diam jika ada yang membuat Yesslyn terluka atau sedih. Bahkan, setelah tahu Yesslyn hamil, dia mencoba mencari tahu siapa yang telah menghamili Yesslyn. Satu-satunya pria yang dia curigai adalah Marco, pria yang dekat dengan Yesslyn dua bulan terakhir ini, yang diakui Yesslyn sebagai kekasihnya.Seakan tahu kebiasaan Marco, Silvana langsung mencarinya di Dastille Club, tempat Yesslyn bekerja. Baru tiba di pintu masuk, hentakan musik disko yang keras sudah terdengar. Bahkan, tampak para kawula muda, seakan tidak peduli dengan larutnya malam, keluar-masuk ke klub malam itu.Ketika akan masuk ke klub, Silvana dicegat oleh salah satu petugas keamanan. "Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk sebelum menunjukkan kartu anggo
Langkah Silvana sangat tergesa-gesa memasuki lobi American Hospital of Paris, salah satu rumah sakit terbaik di dunia. Dia menanyakan keberadaan Yesslyn, sahabatnya, kepada perawat yang berada di bagian resepsionis."Baiklah, tunggu sebentar, Nona." Resepsionis tersebut mencari nama Yesslyn di komputer. Setelah menemukan informasi, dia langsung memberi tahu nomor ruangan Yesslyn dirawat dan letak ruangan tersebut."Terima kasih." Silvana bergegas menuju ruangan yang dimaksud resepsionis. Dia melewati satu per satu koridor. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah kondisi Yesslyn sehingga tidak fokus dengan keadaan sekitar. Dia menyerobot orang-orang yang lewat. Saat beberapa orang yang disenggolnya mengumpat kasar, dia tidak peduli. Dia tetap meneruskan langkah ke tempat tujuan.