Silvana sudah lama bersahabat dengan Yesslyn sehingga tidak ada rahasia di antara mereka. Tentunya, dia tidak akan tinggal diam jika ada yang membuat Yesslyn terluka atau sedih. Bahkan, setelah tahu Yesslyn hamil, dia mencoba mencari tahu siapa yang telah menghamili Yesslyn. Satu-satunya pria yang dia curigai adalah Marco, pria yang dekat dengan Yesslyn dua bulan terakhir ini, yang diakui Yesslyn sebagai kekasihnya.
Seakan tahu kebiasaan Marco, Silvana langsung mencarinya di Dastille Club, tempat Yesslyn bekerja. Baru tiba di pintu masuk, hentakan musik disko yang keras sudah terdengar. Bahkan, tampak para kawula muda, seakan tidak peduli dengan larutnya malam, keluar-masuk ke klub malam itu.
Ketika akan masuk ke klub, Silvana dicegat oleh salah satu petugas keamanan. "Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk sebelum menunjukkan kartu anggota."
"Aku tidak punya kartu anggota."
"Dengan berat hati, silakan Anda pulang! Anda tidak bisa masuk tanpa kartu anggota."
Silvana menghela napas panjang. Dia gagal menemui Marco. Namun, dia tidak mau menyerah begitu saja. "Aku temannya Yesslyn. Dia bekerja di sini. Kumohon, izinkan aku masuk sebentar saja! Aku hanya ingin menemui seseorang. Setelah itu, aku janji akan pergi dari sini."
"Maaf, Nona. Anda tetap tidak bisa masuk. Ini semua sudah menjadi persyaratan sebelum masuk."
Kali ini, usahanya benar-benar gagal total. Niatnya ingin mencari keadilan untuk Yesslyn, harus berbuah kekecewaan. Meski gagal menemui Marco di klub malam tersebut, dia masih bisa mencari Marco di tempat lain. Saat dia berbalik untuk pulang, ada yang menabraknya dari belakang sehingga tanpa sengaja dia terhuyung ke depan. Untung saja, dia tidak sampai mencium aspal karena ditangkap cepat oleh seorang pria yang kebetulan akan masuk ke mobilnya.
"Anda tidak apa-apa, Nona?"
Silvana membenarkan posisinya. "Tidak apa-apa. Terima kasih."
Pria itu tersenyum samar. "Sama-sama."
Silvana menoleh ke belakang untuk memarahi orang yang hampir membuatnya terjatuh. Matanya terbelalak saat tahu siapa orang itu. "Marco." Akhirnya, pria yang sejak tadi dicarinya muncul tanpa harus pusing-pusing mencari ke tempat lain.
Silvana menarik tangan Marco. "Aku harus bicara denganmu!"
Wanita seksi yang berada di samping Marco, menepis tangan Silvana. "Jangan rebut milikku!" serunya, penuh ketegasan.
Silvana berdecak. "Siapa yang mau merebut milikmu? Dia adalah kekasih temanku. Seharusnya, kau yang tidak boleh merebut dia dari temanku."
Marco segera menengahi perdebatan. "Kau ini siapa, hah? Aku tidak mengenalimu!"
"Kau memang tidak mengenaliku, tetapi kau pasti tahu siapa Yesslyn."
Kericuhan antara Silvana dan Marco mengundang atensi para pengunjung klub, termasuk pria yang menolong Silvana tadi. Pria itu hanya melihat sekilas. Merasa tidak berkepentingan dan mengenal mereka, dia masuk ke mobil dan meninggalkan tempat itu. Cekcok antara keduanya pun masih berlanjut. Mereka seakan tidak peduli dengan orang-orang di sekitar.
Marco, yang sedang dalam keadaan mabuk, terhuyung-huyung ke arah Silvana. "Yesslyn? Siapa dia? Aku tidak kenal!"
Silvana geram. Tamparan keras pun mendarat mulus di pipi Marco. "Dasar pria tidak bertanggung jawab! Pasti kau yang sudah menghamili Yesslyn, kan? Aku tidak akan membiarkanmu pergi sebelum kau mengakuinya."
Rasa panas yang membekas di pipi sedikit menyadarkan Marco. "Aku tidak kenal siapa Yesslyn! Jadi, bukan aku yang menghamili dia! Kau salah orang!"
Silvana makin geram. Sikap tak acuh Marco membuat emosinya membara. "Kau sudah berbuat, kau juga harus bertanggung jawab, Marco! Yesslyn adalah kekasihmu. Dia sedang hamil anakmu dan sangat butuh kau ada di sampingnya."
Marco pun ikut geram karena terus-menerus didesak Silvana atas kehamilan Yesslyn. Dia tidak segan mendorong pundak Silvana. Untung saja, gadis itu bisa mempertahankan posisi sehingga tidak jatuh.
"Sudah kubilang, bukan aku yang menghamili dia! Aku juga tidak mengenal wanita yang kausebut tadi! Mau berulang kali kau menuduhku, aku tetap akan bilang bukan aku pelakunya! Paham?" Marco menggandeng tangan wanita seksi yang sejak tadi bersamanya. "Ayo, kita pergi dari sini! Malam kita jadi tertunda gara-gara wanita bar-bar ini."
Wanita seksi itu memeluk lengan Marco. "Ayo, Sayang! Aku sudah tidak sabar menghabiskan malam ini bersamamu," ucapnya dengan tingkah manja.
Silvana mengalihkan tatapan. Pemandangan kedua orang itu benar-benar menjijikkan. Seketika dia jadi bingung antara harus percaya atau tidak dengan pernyataan Marco. Namun, ada segelintir rasa yakin bahwa Marco yang sudah menghamili Yesslyn. Kalaupun memang benar bukan Marco pelakunya, dia akan merasa bersalah karena sudah mempermalukan dan menampar Marco. Satu-satunya kebenaran adalah menanyakan langsung kepada Yesslyn.
"Semoga saja besok keadaan Yesslyn sudah membaik. Jadi, aku bisa bantu cari pelakunya." Silvana memutuskan pulang dan kembali ke rumah sakit besok pagi.
***
Arthur menenteng tas laptop masuk ke rumah. Langkahnya yang begitu lemas sampai-sampai mau ke kamarnya yang berada di lantai dua pun serasa berat. Pada akhirnya, dia memilih ke ruang keluarga. Tas laptopnya diletakkan ke sofa, sementara jas yang dipakai seharian ini sudah dia lepas dari tubuh tegapnya.
Di ruang itu sudah tidak tampak siapa pun lagi. Wajar saja. Ini sudah tengah malam. Pastinya semua penghuni rumah sedang terlelap. Suasana hening seperti inilah yang dia butuhkan saat ini. Lelah tubuhnya tidak sebanding dengan lelah di hatinya. Pikirannya sedikit tenang saat matanya terpejam. Posisi kepalanya bersandar di punggung sofa.
"Mau kubuatkan susu hangat?"
Arthur sangat mengenal pemilik suara itu. Dia terpaksa membuka mata dan menatap malas ke arah lawan bicaranya yang sudah duduk di dekatnya. Niatnya ingin menyendiri jadi terganggu oleh kakaknya. Suasana hatinya makin tidak karuan. "Tidak perlu, Ndrew. Aku akan ke kamarku." Arthur beranjak dari sofa, lalu mengambil jas dan tas laptopnya.
"Bertengkar lagi dengan Sarah?" tebak Andrew. Sebagai seorang kakak, dia sudah hafal dengan watak Arthur. Jika sedang punya masalah dengan Sarah, adiknya pasti akan murung.
Seketika langkah Arthur terjeda. Dia sedikit menoleh ke belakang. "Bukan urusanmu!" Dia benar-benar sedang tidak mau membahas soal Sarah saat ini. Dia kembali melanjutkan langkah, lalu menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Andrew tersenyum tipis. Dia sangat tahu seperti apa perjalanan cinta antara Arthur dan Sarah. Mereka sudah berpacaran selama dua tahun. Namun, kisah asmara mereka kerap kali diwarnai adu mulut. Sama-sama keras kepala sehingga tidak ada yang mau mengalah. Ujung-ujungnya, keduanya jadi saling diam. Tingkah mereka layaknya anak remaja yang masih labil. Mungkin karena itulah, sampai detik ini mereka belum bertunangan.
Saat Andrew akan beranjak dan menyusul langkah Arthur ke lantai dua, ponselnya berdering. Di layar ponsel tertera nomor rumah sakit, tempat dia bekerja. Dia segera menjawab panggilan tersebut. "Halo! Ada apa?"
"Maaf, mengganggu waktu istirahat Dokter Andrew. Ini sangat darurat, Dok. Pasien yang bernama Yesslyn mengamuk lagi. Kami kewalahan mengatasinya. Apa Dokter bisa datang ke sini sekarang? Kami khawatir dia nekat bunuh diri, Dok."
"Baiklah, saya segera ke sana. Sebisa mungkin kalian tetap jaga dia sampai saya datang."
"Baik, Dok."
Andrew mengusap wajahnya. Sudah bertahun-tahun dia menjadi dokter kandungan, baru kali ini dia menangani pasien yang mengalami depresi berat, seperti Yesslyn.
Andrew bergegas mengambil kunci mobil di laci ruang tengah dan melangkah pergi menuju mobilnya. Bahkan, dia tidak sempat untuk mengganti baju. Dia juga melupakan waktu istirahat demi menjalani tanggung jawab sebagai dokter.
Silvana sudah bangun sejak pukul 05.00 pagi. Setelah selesai membereskan apartemen, dia lanjut memasak sup ayam. Rencananya, dia akan membawa masakan itu untuk Yesslyn sebelum berangkat kerja. Aroma rempah dan kaldu ayam menguar ke sekeliling dapur saat Silvana membuka penutup panci. Setelah memastikan daging ayam sudah lunak, dia memasukkan potongan wortel dan kentang ke dalam panci. Bibirnya tersenyum sambil mengaduk-aduk. "Semoga Yesslyn suka dan mau menikmati sup buatanku." Di tengah kesibukan memasak sup, suara deringan ponsel memecahkan keheningan. Silvana meninggalkan masakan, lalu beralih ke meja makan. Dia segera menjawab panggilan itu tanpa melihat nama si penelepon. Belum sempat Silvana mengatakan apa pun, si penelepon langsung berkoar-koar tanpa sebab. Silv
Sore ini, Silvana izin pulang cepat. Tujuannya bukan ke rumah sakit, melainkan mencari Marco. Pria itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seenaknya sudah menanamkan benih ke rahim Yesslyn, tetapi tak acuh setelahnya.Tidak banyak informasi yang Silvana tahu tentang Marco. Yang dia tahu, pria itu selalu mengunjungi Dastille Club setiap malam. Mungkin itulah yang membuat dia bisa menjalin hubungan dengan Yesslyn karena Yesslyn bekerja di sana. Satu-satunya cara untuk menemukan keberadaan Marco adalah dengan mencari informasi ke klub tersebut. Namun, dia tidak mungkin menunggu klub itu buka dan duduk di depan klub seperti orang bodoh karena kafe itu baru dibuka setelah pukul 07.00 malam.Silvana tidak menyerah begitu saja. Dia pergi menyusuri deretan klub, mencoba mencari petunjuk tentang Marco. Sepanjang jalan, dia menanyakan k
"Aunty, apa Arthur benar-benar akan makan malam bersama kita?"Setelah apa yang terjadi di antara mereka beberapa hari terakhir, Sarah tiba-tiba merasa ragu Arthur akan menuruti permintaan ibunya untuk makan malam bersama. Apalagi, Arthur sudah tahu dia ada di rumah.Sarah sadar akan kesalahannya yang sering menomorsatukan pekerjaan dibandingkan dengan menghabiskan waktu bersama . Wajar saja sikap Arthur berubah dingin. Sekarang Sarah butuh usaha yang sangat besar untuk memperbaiki hubungan mereka meski Arthur terus menghindarinya. Kali ini, dia menggunakan cara dengan melibatkan ibunya Arthur sebagai perantara dalam hubungan mereka. Dia berharap cara ini bisa berhasil mendekatkan Arthur dengannya lagi.Angela memegang punggung tangan Sarah. Ibu dua anak itu bisa merasak
Langkah Silvana sangat tergesa-gesa memasuki lobi American Hospital of Paris, salah satu rumah sakit terbaik di dunia. Dia menanyakan keberadaan Yesslyn, sahabatnya, kepada perawat yang berada di bagian resepsionis."Baiklah, tunggu sebentar, Nona." Resepsionis tersebut mencari nama Yesslyn di komputer. Setelah menemukan informasi, dia langsung memberi tahu nomor ruangan Yesslyn dirawat dan letak ruangan tersebut."Terima kasih." Silvana bergegas menuju ruangan yang dimaksud resepsionis. Dia melewati satu per satu koridor. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah kondisi Yesslyn sehingga tidak fokus dengan keadaan sekitar. Dia menyerobot orang-orang yang lewat. Saat beberapa orang yang disenggolnya mengumpat kasar, dia tidak peduli. Dia tetap meneruskan langkah ke tempat tujuan.