Langkah Silvana sangat tergesa-gesa memasuki lobi American Hospital of Paris, salah satu rumah sakit terbaik di dunia. Dia menanyakan keberadaan Yesslyn, sahabatnya, kepada perawat yang berada di bagian resepsionis.
"Baiklah, tunggu sebentar, Nona." Resepsionis tersebut mencari nama Yesslyn di komputer. Setelah menemukan informasi, dia langsung memberi tahu nomor ruangan Yesslyn dirawat dan letak ruangan tersebut.
"Terima kasih." Silvana bergegas menuju ruangan yang dimaksud resepsionis. Dia melewati satu per satu koridor. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah kondisi Yesslyn sehingga tidak fokus dengan keadaan sekitar. Dia menyerobot orang-orang yang lewat. Saat beberapa orang yang disenggolnya mengumpat kasar, dia tidak peduli. Dia tetap meneruskan langkah ke tempat tujuan.
Langkah Silvana berhenti ketika sudah sampai di depan pintu ruangan yang berwarna cokelat. Dia mendongak ke papan nama yang terpasang di atas pintu untuk memastikan bahwa ruangan tersebut sesuai dengan informasi yang diberikan resepsionis tadi. Benar, dia tidak salah ruangan.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan Yesslyn yang begitu histeris dari dalam.
Deg!
Apa yang terjadi dengan Yesslyn? Mengapa dia bisa berteriak seperti itu?
Silvana langsung membuka pintu dan mendapati Yesslyn sedang memberontak dengan kedua tangan yang dipegang erat oleh dua orang perawat. Mengapa Yesslyn diperlakukan kasar seperti itu?
Silvana tidak terima. Meski Yesslyn bukan keluarganya, dia sudah menganggap Yesslyn seperti saudaranya sendiri. Melihat Yesslyn tersiksa dan berteriak histeris, jiwa Silvana bergejolak marah. Dia bergegas menghampiri Yesslyn dan dua orang perawat itu, kemudian menarik tangan kedua perawat agar menjauh dari Yesslyn. "Lepaskan Yesslyn! Dia bukan penjahat!"
"Sil, cepat bawa aku pergi dari sini! Aku," Yesslyn menggeleng kuat. Nada suaranya menjadi lirih, "mau pulang."
"Anda siapa? Tolong, jaga ketenangan di dalam ruangan ini!" seru pria yang berpakaian serba putih.
Silvana melirik pria yang berdiri di sebelahnya. "Justru saya mau menyelamatkan teman saya dari kalian! Dia wanita baik-baik. Mengapa kalian tega menyiksa dia?"
Dokter itu mengabaikan protes Silvana. Dia mengarahkan suntik yang sudah berisi cairan obat ke lengan Yesslyn. Dengan cepat, Silvana menahan lengan sang dokter.
"Dokter mau mencelakai sahabat saya?"
Dokter itu menghela napas. Sejak tadi, gadis itu terus-menerus mengeluarkan tuduhan negatif kepada mereka. Padahal, mereka melakukan hal demikian untuk menenangkan jiwa Yesslyn yang terpuruk akibat masalah yang sedang dihadapinya.
"Tidak ada dokter yang mau mencelakai pasiennya, Nona. Tolong, jangan ganggu kami! Percayalah, kami tahu apa yang terbaik untuk pasien. Silakan tunggu di luar! Saya perlu bicara serius dengan Anda."
Melihat kejujuran dari sorot mata sang dokter, Silvana akhirnya setuju. Dia mengangguk kecil, lalu berjalan ke arah pintu. Namun, sebelum benar-benar keluar dari ruangan tersebut, dia menoleh ke belakang. Saat melihat Yesslyn disuntik oleh dokter, hatinya begitu pedih seperti teriris pisau.
Maafkan aku, Yes. Aku tidak bisa membawamu pergi. Aku yakin mereka melakukan hal ini demi kebaikanmu, ujar Silvana dalam hati.
Setelah memastikan keadaan Yesslyn tenang, dokter itu keluar menemui Silvana yang sedang duduk di ruang tunggu. "Sebaiknya, kita bicara di ruangan saya."
Silvana berjalan mengekori dokter itu menuju ruangannya. Degup jantungnya mulai tidak menentu. Kira-kira apa yang akan dibicarakan dokter itu kepadanya? Apa yang terjadi dengan Yesslyn sebenarnya?
Dokter itu membuka pintu ruangannya dan mempersilakan Silvana masuk. Sebelum menyusul langkah dokter, Silvana mendongak ke papan nama pada bagian atas pintu yang tertulis Dokter Kandungan.
"Jadi, dia adalah dokter kandungan? Lalu, mengapa dia yang memeriksa Yesslyn?" Pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan.
"Silakan duduk!" ucap dokter itu mempersilakan Silvana untuk duduk di salah satu kursi yang ada di depan mejanya sembari tersenyum ramah.
"Terima kasih." Silvana menarik kursi, lalu duduk. Kini posisi mereka berhadapan. Senyumnya yang ramah sedikit membuat hati Silvana tenang meski dia belum tahu apa yang akan dibicarakan dokter itu.
"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Andrew. Kalau saya boleh tahu, apa Anda ada hubungan keluarga dengan pasien tadi?"
Silvana menggeleng. "Tidak ada, Dok. Yesslyn adalah sahabat saya. Kami hanya tinggal berdua di Paris, sedangkan keluarga Yesslyn berada di desa Riquewihr. Sebenarnya, bagaimana kondisi Yesslyn, Dok? Dia sakit apa sampai-sampai harus dirawat di rumah sakit?"
"Dia tidak sakit, Nona. Hanya kondisi kejiwaannya saat ini yang agak memprihatinkan. Hal ini akan memengaruhi perkembangan janin yang dikandungnya."
Silvana mendelik. "Janin? Maksud Dokter, Yesslyn … hamil?" ucapnya, terbata-bata. Mata birunya berubah sayu. Seketika dia merasa dirinya sangat bodoh sampai-sampai tidak tahu sama sekali tentang kehamilan Yesslyn. Padahal, mereka tinggal bersama dalam satu apartemen.
Silvana akui mereka memang jarang berbincang karena jam kerja mereka berbeda. Silvana bekerja dari pagi sampai sore di Elsa Boutique, sedangkan Yesslyn bekerja dari sore sampai tengah malam di Dastille Club. Saat Silvana mau berangkat kerja, Yesslyn masih tidur. Namun, sesekali keduanya bisa berbincang walau sebentar. Itu pun kalau Silvana pulang cepat dan Yesslyn belum berangkat kerja. Sayangnya, akhir-akhir ini Silvana sering lembur sehingga mereka tidak punya waktu untuk berbincang.
Andrew tersenyum tipis. "Ya, dia hamil. Usia kandungannya sudah memasuki minggu kelima. Sayangnya, sudah dua kali dia mau menggugurkan kandungannya, termasuk tadi. Untuk itulah, saya menyuntikkan obat penenang supaya pasien bisa istirahat. Saya rasa dia punya masalah yang begitu berat. Mungkin Anda sebagai sahabatnya mengetahui sesuatu?"
"Maaf, Dok. Saya tidak tahu apa-apa," jawab Silvana, pelan.
"Baik, saya tulis resep berupa vitamin dan obat penguat kandungan untuk pasien." Andrew menyodorkan secarik kertas kepada Silvana. "Tolong, pastikan pasien meminumnya secara rutin!"
"Baik, Dok. Terima kasih." Silvana bangkit dari kursi. "Saya permisi dulu."
"Ya, silakan!"
Silvana melangkah gontai menyusuri koridor. Dia meratapi kebodohannya. Menganggap Yesslyn sebagai saudara, kenyataannya sekarang tidak demikian. Apakah ini definisi seorang sahabat? Di saat sahabat sedang memiliki masalah, tetapi dia tidak tahu apa-apa seakan dia tidak peduli dengan sahabatnya.
Silvana menghentikan langkah, lalu bersandar pada dinding. "Maafkan aku, Yes! Maafkan aku!" Kedua tangannya menutup mulut agar tidak ada yang mendengar suara tangisannya meski tanpa mendengar pun, orang-orang bisa melihat air mata Silvana.
Setelah menyendiri di tengah lalu-lalang orang, Silvana menghapus air matanya. "Kasihan Yesslyn. Masa depannya hancur karena ulah pria yang tidak bertanggung jawab. Kira-kira siapa yang sudah menghamili Yesslyn? Ada baiknya, aku tunggu kondisi Yesslyn benar-benar stabil dulu. Setelah itu, baru menanyakannya."
Tiba-tiba terlintas sosok pria, yang sedang dekat dengan Yesslyn, dalam pikirannya. Meski masih menduga-duga, nama pria itu memiliki peluang besar sebagai orang yang dicurigai.
"Aku harus menemuinya sekarang!"
Silvana sudah lama bersahabat dengan Yesslyn sehingga tidak ada rahasia di antara mereka. Tentunya, dia tidak akan tinggal diam jika ada yang membuat Yesslyn terluka atau sedih. Bahkan, setelah tahu Yesslyn hamil, dia mencoba mencari tahu siapa yang telah menghamili Yesslyn. Satu-satunya pria yang dia curigai adalah Marco, pria yang dekat dengan Yesslyn dua bulan terakhir ini, yang diakui Yesslyn sebagai kekasihnya.Seakan tahu kebiasaan Marco, Silvana langsung mencarinya di Dastille Club, tempat Yesslyn bekerja. Baru tiba di pintu masuk, hentakan musik disko yang keras sudah terdengar. Bahkan, tampak para kawula muda, seakan tidak peduli dengan larutnya malam, keluar-masuk ke klub malam itu.Ketika akan masuk ke klub, Silvana dicegat oleh salah satu petugas keamanan. "Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk sebelum menunjukkan kartu anggo
Silvana sudah bangun sejak pukul 05.00 pagi. Setelah selesai membereskan apartemen, dia lanjut memasak sup ayam. Rencananya, dia akan membawa masakan itu untuk Yesslyn sebelum berangkat kerja. Aroma rempah dan kaldu ayam menguar ke sekeliling dapur saat Silvana membuka penutup panci. Setelah memastikan daging ayam sudah lunak, dia memasukkan potongan wortel dan kentang ke dalam panci. Bibirnya tersenyum sambil mengaduk-aduk. "Semoga Yesslyn suka dan mau menikmati sup buatanku." Di tengah kesibukan memasak sup, suara deringan ponsel memecahkan keheningan. Silvana meninggalkan masakan, lalu beralih ke meja makan. Dia segera menjawab panggilan itu tanpa melihat nama si penelepon. Belum sempat Silvana mengatakan apa pun, si penelepon langsung berkoar-koar tanpa sebab. Silv
Sore ini, Silvana izin pulang cepat. Tujuannya bukan ke rumah sakit, melainkan mencari Marco. Pria itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seenaknya sudah menanamkan benih ke rahim Yesslyn, tetapi tak acuh setelahnya.Tidak banyak informasi yang Silvana tahu tentang Marco. Yang dia tahu, pria itu selalu mengunjungi Dastille Club setiap malam. Mungkin itulah yang membuat dia bisa menjalin hubungan dengan Yesslyn karena Yesslyn bekerja di sana. Satu-satunya cara untuk menemukan keberadaan Marco adalah dengan mencari informasi ke klub tersebut. Namun, dia tidak mungkin menunggu klub itu buka dan duduk di depan klub seperti orang bodoh karena kafe itu baru dibuka setelah pukul 07.00 malam.Silvana tidak menyerah begitu saja. Dia pergi menyusuri deretan klub, mencoba mencari petunjuk tentang Marco. Sepanjang jalan, dia menanyakan k
"Aunty, apa Arthur benar-benar akan makan malam bersama kita?"Setelah apa yang terjadi di antara mereka beberapa hari terakhir, Sarah tiba-tiba merasa ragu Arthur akan menuruti permintaan ibunya untuk makan malam bersama. Apalagi, Arthur sudah tahu dia ada di rumah.Sarah sadar akan kesalahannya yang sering menomorsatukan pekerjaan dibandingkan dengan menghabiskan waktu bersama . Wajar saja sikap Arthur berubah dingin. Sekarang Sarah butuh usaha yang sangat besar untuk memperbaiki hubungan mereka meski Arthur terus menghindarinya. Kali ini, dia menggunakan cara dengan melibatkan ibunya Arthur sebagai perantara dalam hubungan mereka. Dia berharap cara ini bisa berhasil mendekatkan Arthur dengannya lagi.Angela memegang punggung tangan Sarah. Ibu dua anak itu bisa merasak