Silvana sudah bangun sejak pukul 05.00 pagi. Setelah selesai membereskan apartemen, dia lanjut memasak sup ayam. Rencananya, dia akan membawa masakan itu untuk Yesslyn sebelum berangkat kerja.
Aroma rempah dan kaldu ayam menguar ke sekeliling dapur saat Silvana membuka penutup panci. Setelah memastikan daging ayam sudah lunak, dia memasukkan potongan wortel dan kentang ke dalam panci. Bibirnya tersenyum sambil mengaduk-aduk. "Semoga Yesslyn suka dan mau menikmati sup buatanku."
Di tengah kesibukan memasak sup, suara deringan ponsel memecahkan keheningan. Silvana meninggalkan masakan, lalu beralih ke meja makan. Dia segera menjawab panggilan itu tanpa melihat nama si penelepon.
Belum sempat Silvana mengatakan apa pun, si penelepon langsung berkoar-koar tanpa sebab. Silvana sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Sil, cepat datang sekarang! Miss Emi terus menanyakan bajunya kapan bisa selesai, sedangkan hasil desainnya pun belum kauselesaikan. Dia mau mengambilnya."
Silvana memutar mata. Lilac, rekan kerjanya, selalu saja mendesak Silvana untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Padahal, Elsa selaku pemilik butik saja tidak pernah mempermasalahkan kinerja Silvana. Beda dengan Lilac yang bertingkah seperti bos membuat Silvana dan semua pegawai lainnya muak dan kesal.
"Iya, aku akan datang sebentar lagi." Silvana langsung menutup telepon. Suasana hatinya akan memburuk jika terus meladeni omongan Lilac. Dia kembali melanjutkan memasak dan mengabaikan ucapan Lilac.
***
Sarah tiba di kediaman Caroussell dengan menenteng sebuah paper bag berisi bekal makanan. Setelah diberi tahu oleh asisten rumah tangga, Sarah melangkah ke ruang makan. Dia sudah hafal bagian demi bagian rumah mewah ini karena sering datang ke sana.
"Pagi, Uncle, Aunty," sapa Sarah sembari mengecup pipi orang tua Arthur, Arlando dan Angela. "Aku datang bawakan bekal untuk kalian, juga Arthur."
"Wah, terima kasih, Sar! Kau sampai repot-repot membawa sarapan untuk kami. Kau sudah sarapan?" Angela membuka paper bag yang dibawa Sarah.
Sarah mengangguk. "Sudah, Aunty." Matanya bergerak ke kanan dan kiri.
Seolah tahu maksud tatapan Sarah, Arlando tersenyum kecil. "Kau mencari Arthur? Dia sudah pergi pagi-pagi sekali. Katanya, pagi ini ada klien besar dari London yang mau datang. Kau bisa menemuinya langsung ke kantor."
"Baik, Uncle." Sarah tersenyum kecut. Dia tahu Arthur masih kesal padanya karena semalam dia sudah membatalkan acara makan malam mereka. Dia yakin Arthur hanya beralasan bahwa ada klien besar di kantornya. Padahal, itu cuma pengalihan supaya tidak bertemu dengannya pagi ini.
"Akhir-akhir ini, Aunty perhatikan kalian jarang bersama." Angela memotong roti sandwich yang dibawa Sarah, lalu memasukkan ke mulutnya. "Apa kalian sedang bertengkar?"
"Tidak, Aunty. Hubungan kami baik-baik saja. Kebetulan, kami berdua sedang sibuk dengan pekerjaan kami."
Arlando menambahkan, "Seharusnya, kalian bisa meluangkan sedikit waktu untuk bicara berdua. Sudah waktunya, hubungan kalian ke arah yang lebih serius. Mungkin pertunangan dulu, baru menikah."
Sarah tetap menunjukkan senyum meski terpaksa. "Iya, Uncle. Nanti aku akan bicarakan masalah ini dengan Arthur."
"Uncle benar, Sar. Kami justru menginginkan kalian segera menikah agar kami bisa memiliki cucu." Tatapan Angela beralih ke suaminya. "Bukan begitu, Sayang?"
"Kami sudah tua. Rumah ini juga sepi. Hanya kehadiran cucu yang bisa meramaikan suasana. Kami hanya mengharapkan cucu dari kalian, Sar. Kalau menunggu Andrew, entah sampai kapan keinginan kami baru terkabul."
Sarah memilih menjadi pendengar. Percakapan Arlando dan Angela sudah ke arah yang sama sekali belum terlintas di pikirannya. Dia masih ingin memantapkan karier sebelum memasuki jenjang pernikahan. Dia ingin lebih dulu membanggakan keluarga dan suaminya bahwa dia wanita karier yang sukses.
Sementara itu, Andrew yang sejak tadi berdiri di pinggir pintu ruang makan, hanya diam. Dia memang belum memiliki kekasih. Bukan karena tidak ada yang mau, justru karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Seperti semalam, dia bisa saja ditelepon mendadak oleh pihak rumah sakit. Bahkan, dia pernah juga hanya istirahat satu jam karena banyaknya pasien.
Tak ingin mengganggu acara sarapan orang tuanya, Andrew melangkah menuju tangga. Tubuhnya sangat membutuhkan istirahat. Menenangkan pasien seperti Yesslyn tidak sembarangan. Butuh trik-trik khusus agar pasien tenang dan bisa istirahat dengan baik.
***
Silvana pergi ke rumah sakit dengan membawa rantang yang berisi sup ayam. Dia menyusuri koridor dengan langkah yang berirama. Sesampai di depan ruang rawat, dia membuka pintu dan mendapati Yesslyn sedang duduk termenung menghadap jendela.
"Pagi, Yes."
Yesslyn menoleh sekilas, melihat Silvana sedang berjalan menghampirinya. "Hai, Sil! Kau tidak berangkat kerja?"
Silvana meletakkan rantang ke nakas yang ada di samping brankar. "Nanti setelah pulang dari sini, aku akan langsung ke tempat kerja. Oh, ya. Bagaimana keadaanmu pagi ini? Apa tidurmu nyenyak semalam?"
Yesslyn menghela napas pelan. Matanya kembali menatap jendela. Meski dia berada dalam ruangan yang serba tertutup dengan jendela yang tidak bisa dibuka, setidaknya dia masih bisa melihat pemandangan kota Paris dari kaca jendela. Hal itu sedikit mengobati rasa sedihnya. "Aku tidak bisa tidur."
Silvana mendekati Yesslyn. Dia tahu Yesslyn sedang tidak baik-baik saja jika sudah termenung seperti sekarang. "Mengapa kau tidak bisa tidur? Ada yang sedang kaupikirkan? Mungkin kau mau berbagi cerita denganku, Yes."
Yesslyn hanya diam. Tidak sedikit pun terbit senyuman. Wajahnya pun tampak pucat dan sendu.
Silvana bisa merasakan kepiluan yang dialami Yesslyn. Pastinya sangat berat menjalani semua ini seorang diri. Dia memeluk Yesslyn dari samping seolah memberi kekuatan kepada sahabatnya itu bahwa dia tidak hidup sendiri.
"Kita bersahabat sudah sejak lama, Yes. Bahkan, kita sudah seperti saudara. Maafkan aku yang tidak tahu masalah yang sedang kauhadapi sekarang. Aku bukannya tidak peduli padamu. Akan tetapi, akhir-akhir ini aku harus lembur demi menyelesaikan desainku. Meski begitu, aku tetap menyayangimu dan akan terus menemanimu dalam keadaan apa pun. Masalahmu adalah masalahku. Kita hadapi sama-sama, apalagi kau sedang hamil. Itu artinya kita akan tinggal bertiga." Silvana berusaha menghibur Yesslyn meski tidak tahu akan membuat suasana hati Yesslyn makin membaik atau sebaliknya.
Yesslyn terenyuh hingga meneteskan air mata. Kata demi kata yang diucapkan Silvana telah melemahkan hatinya. Ditambah lagi, sentuhan tangan Silvana pada perutnya makin membuat dia menangis sekencang-kencangnya. Menumpahkan segala kepiluan yang dia pendam seorang diri.
Sejak tahu hamil, Yesslyn berusaha menutupi dari semua orang. Dia berusaha mencari cara untuk menggugurkan kandungannya agar tidak seorang pun yang tahu, termasuk keluarganya yang berada di desa. Apa kata keluarga, kerabat, dan tetangganya jika tahu dia hamil di luar nikah? Mereka pasti akan makin mencemooh dan merendahkan harga dirinya. Selain itu, dia juga belum siap untuk menjadi seorang ibu. Masih banyak hal yang ingin dia lakukan dan impian yang belum terwujud. Masa depannya hancur dalam satu malam yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidup.
"Menangislah sampai hatimu tenang, Yes." Silvana mengusap pundak Yesslyn.
"Terima kasih, Sil. Kau sahabat terbaikku. Jika kau tidak ada, entah bagaimana aku menjalani hidup ini sendirian," balas Yesslyn di sela tangisannya.
"Itulah gunanya sahabat, Yes. Akan selalu ada saat suka dan duka." Silvana tersenyum sambil mengusap air mata Yesslyn.
Tatapan Yesslyn turun ke perut, lalu tangannya bergerak pelan mengusap perut yang masih rata. Ada nyawa yang tidak berdosa di dalam rahimnya dan hampir lenyap karena keegoisannya sendiri. Tangisnya pecah lagi sambil mengutuk dirinya sendiri. Seharusnya, dia melindungi nyawa kecil itu, bukan melenyapkannya. Itu sama saja dia seperti pembunuh.
Maafkan Mommy. Sebenarnya, ini bukan kesalahanmu, melainkan sepenuhnya kesalahan Mommy yang mudah tertipu oleh mulut manis pria bejat itu! Mommy janji akan menjagamu dan melindungimu.
Setelah menumpahkan segala kepiluannya, hati Yesslyn jadi lega. Setidaknya, tidak ada lagi beban berat yang dua minggu terakhir ini dia pikul sendiri karena tidak ingin semua orang tahu dan membuat Silvana khawatir saat itu.
"Terima kasih, Sil. Aku tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu, apalagi keadaanku sekarang sedang hamil. Bosku pasti akan memecatku setelah tahu aku hamil. Aku akan jadi pengangguran dan pastinya akan lebih merepotkanmu."
"Aku tidak pernah merasa direpotkan olehmu, Yes. Aku senang bisa membantumu. Kau tidak perlu memikirkan hal itu. Gajiku masih cukup untuk kita berdua." Jeda sejenak. Setelah memastikan hati Yesslyn tenang, Silvana menanyakan perihal kemarin, "Yes, boleh aku tanya sesuatu?"
Yesslyn tersenyum tipis sembari menghapus jejak-jejak air mata di pipinya. "Mau tanya apa?"
"Sebenarnya, siapa yang telah menghamilimu?"
Yesslyn menghela napas panjang. Ingatannya kembali ke waktu malam di mana saat itu dia mau pulang bersama Marco. Akan tetapi, kepalanya sangat pusing. Setelah itu, dia tidak tahu apa-apa lagi hingga terbangun tanpa busana besok paginya. Hari itu benar-benar menghancurkan segalanya karena ulah bejat Marco.
Rahang di wajah Yesslyn mengeras. "Marco. Dia yang sudah melakukannya!" ucapnya dengan sorotan mata yang menajam saat nama itu keluar dari mulutnya.
Silvana menggeram dalam hati. Ternyata, dugaannya benar. Marco adalah pelakunya. Dia yang sudah menyebabkan Yesslyn menderita. Dia pula yang sudah berbuat, tetapi Yesslyn yang menanggung akibatnya. Pria itu harus membayar semua kesedihan Yesslyn.
"Aku tadi bawakan sup ayam untukmu. Nanti kau makan, ya, supaya kau dan calon keponakanku sehat." Silvana meletakkan rantang yang dibawanya ke atas brankar.
Yesslyn segera membuka penutup rantang. Aroma sup langsung masuk ke indera penciumannya. "Terima kasih, Sil. Aku pasti akan menghabiskannya."
"Kalau begitu, aku pamit pulang, ya. Nanti malam, aku akan datang lagi. Aku mau pergi kerja dulu."
"Baiklah, hati-hati, Sil."
Dengan berat hati, Silvana meninggalkan Yesslyn. Kalau saja tidak bekerja, dia ingin sekali menemani Yesslyn seharian agar tidak bosan berada di dalam ruang serba putih itu.
Sore ini, Silvana izin pulang cepat. Tujuannya bukan ke rumah sakit, melainkan mencari Marco. Pria itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seenaknya sudah menanamkan benih ke rahim Yesslyn, tetapi tak acuh setelahnya.Tidak banyak informasi yang Silvana tahu tentang Marco. Yang dia tahu, pria itu selalu mengunjungi Dastille Club setiap malam. Mungkin itulah yang membuat dia bisa menjalin hubungan dengan Yesslyn karena Yesslyn bekerja di sana. Satu-satunya cara untuk menemukan keberadaan Marco adalah dengan mencari informasi ke klub tersebut. Namun, dia tidak mungkin menunggu klub itu buka dan duduk di depan klub seperti orang bodoh karena kafe itu baru dibuka setelah pukul 07.00 malam.Silvana tidak menyerah begitu saja. Dia pergi menyusuri deretan klub, mencoba mencari petunjuk tentang Marco. Sepanjang jalan, dia menanyakan k
"Aunty, apa Arthur benar-benar akan makan malam bersama kita?"Setelah apa yang terjadi di antara mereka beberapa hari terakhir, Sarah tiba-tiba merasa ragu Arthur akan menuruti permintaan ibunya untuk makan malam bersama. Apalagi, Arthur sudah tahu dia ada di rumah.Sarah sadar akan kesalahannya yang sering menomorsatukan pekerjaan dibandingkan dengan menghabiskan waktu bersama . Wajar saja sikap Arthur berubah dingin. Sekarang Sarah butuh usaha yang sangat besar untuk memperbaiki hubungan mereka meski Arthur terus menghindarinya. Kali ini, dia menggunakan cara dengan melibatkan ibunya Arthur sebagai perantara dalam hubungan mereka. Dia berharap cara ini bisa berhasil mendekatkan Arthur dengannya lagi.Angela memegang punggung tangan Sarah. Ibu dua anak itu bisa merasak
Langkah Silvana sangat tergesa-gesa memasuki lobi American Hospital of Paris, salah satu rumah sakit terbaik di dunia. Dia menanyakan keberadaan Yesslyn, sahabatnya, kepada perawat yang berada di bagian resepsionis."Baiklah, tunggu sebentar, Nona." Resepsionis tersebut mencari nama Yesslyn di komputer. Setelah menemukan informasi, dia langsung memberi tahu nomor ruangan Yesslyn dirawat dan letak ruangan tersebut."Terima kasih." Silvana bergegas menuju ruangan yang dimaksud resepsionis. Dia melewati satu per satu koridor. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah kondisi Yesslyn sehingga tidak fokus dengan keadaan sekitar. Dia menyerobot orang-orang yang lewat. Saat beberapa orang yang disenggolnya mengumpat kasar, dia tidak peduli. Dia tetap meneruskan langkah ke tempat tujuan.
Silvana sudah lama bersahabat dengan Yesslyn sehingga tidak ada rahasia di antara mereka. Tentunya, dia tidak akan tinggal diam jika ada yang membuat Yesslyn terluka atau sedih. Bahkan, setelah tahu Yesslyn hamil, dia mencoba mencari tahu siapa yang telah menghamili Yesslyn. Satu-satunya pria yang dia curigai adalah Marco, pria yang dekat dengan Yesslyn dua bulan terakhir ini, yang diakui Yesslyn sebagai kekasihnya.Seakan tahu kebiasaan Marco, Silvana langsung mencarinya di Dastille Club, tempat Yesslyn bekerja. Baru tiba di pintu masuk, hentakan musik disko yang keras sudah terdengar. Bahkan, tampak para kawula muda, seakan tidak peduli dengan larutnya malam, keluar-masuk ke klub malam itu.Ketika akan masuk ke klub, Silvana dicegat oleh salah satu petugas keamanan. "Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk sebelum menunjukkan kartu anggo