Hanya dalam sekejap, Amber terkesiap. Darahnya mendidih dan hampir menguap. Sekujur tubuhnya bergetar mengimbangi gemuruh napas yang tak terkendali. Ia tidak terima jika dirinya dianggap lebih rendah daripada anak seorang pelayan.
“Julian!” pekiknya mencoba menyadarkan pria itu.
Namun, bukannya menoleh, sang pria malah menyeret Mia kembali ke dalam lift. Tidak sedetik pun ia mengalihkan wajah dari gadis itu. Ciuman tetap berlangsung sampai pintu tertutup.
Setelah merasakan pergerakan pada lantai yang dipijak, Julian akhirnya menghentikan aksi spontannya. Sambil menyangga tangan pada dinding, ia mengurung gadis yang mematung dengan mata bulat dan minim kedipan.
“Maaf,” desah sang pria sembari berusaha meredakan deru napas. “Maaf karena aku lancang menciummu. Kau boleh menampar atau memukulku sekarang.”
Selang beberapa detik, sang gadis menurunkan pundak yang sebelumnya terangkat naik. Setelah otaknya berhasil mengumpulkan cukup oksigen
Sambil meraih cangkir tinggi dari meja, Herbert mendengus sinis. “Kemarin, Sebastian membawakan buku harian Max kecil kepadaku. Dari situ, aku tahu bahwa sejak dulu, dia sering menghabiskan waktu bersama ibu dan ayah kandungnya.” Sedetik kemudian, sebelah alis pria tua itu meninggi meminta konfirmasi. “Bukankah itu berarti, dia mengetahui perselingkuhan ibunya sejak awal?” “Aku tidak yakin, Tuan. Seorang anak kecil tidak akan mengerti apa itu perselingkuhan,” sahut Mia jujur. Mendengar pembelaan tersebut, Herbert berdecak kesal. “Max itu jenius. Tentu saja dia tahu apa itu perselingkuhan. Aku yakin, dia juga tahu bahwa laki-laki berengsek itu adalah ayah kandungnya. Tapi lihat! Sampai saat ini, anak itu masih saja memasang tampang manis seolah aku memang ayah kandungnya. Sungguh munafik.” “Kenapa Tuan begitu yakin kalau Tuan Max bukanlah anak kandung Anda? Padahal menurut saya, kalian sangatlah mirip,” celetuk sang gadis yang masih terus memegang tase
“Untuk apa helm ini?” tanya Max ketika Gabriella memakaikan sebuah pelindung kepala padanya. “Apa kau tidak ingat? Dokter bilang kau harus berhati-hati agar kepalamu tidak terbentur lagi,” terang sang wanita dengan tampang serius. “Tapi, aku sudah sembuh, Gaby. Helm ini malah akan menghambat pergerakanku,” protes Max memelas. Tanpa berpikir ulang, Gabriella menggeleng. “Kau sudah berjanji untuk menuruti semua perintahku jika mau ikut dalam misi ini.” Sedetik kemudian, sang pria menghela napas pasrah. “Dulu, aku sempat ingin membakar kotak itu. Tidak kusangka, sekarang aku malah mau menyelamatkannya.” “Berhentilah menggerutu! Ayo beraksi! Paman John, doakan kami,” ucap wanita yang telah mengepalkan tangan ke udara. Pria paruh baya di balik kemudi pun mengangguk dengan senyum tipis. “Apa kau sadar bahwa ide ini sangat konyol?” bisik Max saat mengendap-endap dalam kegelapan bersama istrinya dan dua buah senter kecil yang redup. “Y
“Aku terlalu takut akan dibuang. Karena itu, aku mengarang cerita,” ujar Julian dengan suara tercekik. “Sesungguhnya, Mama memberikan kalung untuk kami berdua. Tapi, aku tidak terima.” Pria yang bercerita itu mulai mengusap wajahnya yang basah. Suaranya telah disamarkan oleh desah napas yang terdengar sesak. “Aku kesal karena Mama langsung memasangkan kalung di leher Max, sedangkan aku diminta untuk menyimpannya rapat-rapat. Aku marah karena kalungnya berisi foto dirimu dan Mama, sedangkan milikku ... seorang pria yang tidak kukenal.” Mendengar pernyataan yang tak terduga itu, napas Herbert mulai putus-putus. Dengan tangan yang bergetar hebat, ia memegang kedua pundak Julian dan mengguncangnya. “Katakan bahwa itu tidak benar. Kau sedang menceritakan sesuatu untuk menghindar dari hakmu. Benar, ‘kan?” Tawa si pria tua mulai terdengar tak waras. “Kau memang anak pengecut dan bodoh, Julian. Untuk apa mengarang cerita semacam itu? Sungguh tidak masuk akal.
Sudah beberapa kali Mia mengetuk pintu, tetapi sang CEO tidak kunjung menyahut. Dengan alis berkerut samar, gadis mengulangi teriakan. “Tuan Julian?” Malangnya, lima detik berlalu, suasana di balik pintu masih juga hening. “Apa yang dia lakukan di dalam sana?” gerutu gadis itu sebelum mengangkat ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan baru saja muncul di layarnya. “Bagaimana, Mia? Bagaimana respon Julian?” Sang sekretaris mendesah membaca pertanyaan dari Gabriella. Setelah berpikir cepat, ia pun memasukkan ponsel ke dalam saku lalu menempelkan kartu akses ke sensor. Hanya dalam sekejap, pintu dapat dibuka. Melihat seorang gadis masuk tanpa izin, Julian sama sekali tidak bersuara. Ia tetap duduk di kursi CEO dengan tampang datar dan tatapan menerawang. “Maaf, Tuan. Saya terpaksa membuka pintu karena Anda tidak merespon,” ucap Mia yang berdiri di dekat pintu. Sekali lagi, ia disambut oleh diamnya sang CEO. Tak ingin waktu terbuang
Sebelum Sebastian berhasil menggapai Mia, Julian telah mencengkeram lengannya. “Jangan ganggu gadis itu,” ucap sang CEO penuh penekanan. “Kenapa? Kau tahu sendiri bahwa aku paling tidak tahan melihat orang-orang yang sama angkuh dengan adikmu. Dan gadis itu, dia sudah berani bertingkah.” Sedetik kemudian, Sebastian menepis tangan Julian dan kembali berjalan. Akan tetapi, sang CEO lagi-lagi menghentikan langkahnya. “Kubilang, jangan ganggu gadis itu.” Sebastian mendengus tak percaya. “Apakah kau benar-benar terlibat cinta segitiga dengannya?” “Dia milikku.” Helaan napas kesal sontak berembus dari mulut Amber. Telinganya panas mendengar pernyataan Julian yang tanpa beban itu. “Apa kau sudah gila? Sejak kapan gadis itu menjadi milikmu? Kau sudah terikat denganku,” ucapnya lewat pita suara yang terjepit. “Bukankah kita sudah putus?” Gerah dengan keributan yang berlangsung, Sebastian pun berdecak lalu menyentak lengannya. “S
Bola mata Amber bergerak ke kiri dan ke kanan. Sejak keluar dari lift, para pegawai tak henti-henti berbisik sambil melirik ke arahnya.“Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka tidak pernah melihat orang secantik diriku?” batin wanita itu tanpa mengubah ekspresi. Dengan percaya diri, ia mengayunkan kakinya yang jenjang.Namun, semakin banyak pegawai yang ia lewati, semakin banyak pula suara tawa yang ia dengar. Rasa penasaran lambat laun berubah menjadi curiga.“Apa yang mereka tertawakan?” pikir si wanita sinis seraya menahan agar tidak ada kerutan di wajahnya. Selang beberapa saat, ia mengangkat ponsel ke depan. Begitu melihat pantulan yang nyaris sempurna, wanita itu menghela napas samar dan lanjut berjalan.“Mungkin, mereka memang tidak pernah melihat wanita secantik diriku.”Tiba-tiba, dua orang pegawai wanita menghalangi langkahnya. Dengan senyum miring, salah satunya menyapa, “Halo, Nona
“Julian benar-benar bodoh,” gumam Sebastian sembari memutar kunci mobil dengan telunjuknya. “Untuk apa dia memikirkan adik haramnya? Seharusnya, dia memanfaatkan kesempatan emas yang sudah berada dalam genggaman. Kenapa malah membuangnya begitu saja?” Sembari berdecak tak mengerti, pria itu menekan tombol pada kunci. Tanpa terduga, seorang wanita tiba-tiba menabrak bahunya. Kopi yang hendak diminum oleh wanita itu pun tumpah. “Aduh!” pekik sang wanita karena cairan dingin terasa hingga ke dada. Hanya dalam sekejap, mata Sebastian terbuka lebar. Tidak ada kain lain di bawah kemeja putih tipis yang sudah berubah transparan. Dua bulatan kecil kini menjadi titik fokusnya. “Astaga! Saya benar-benar minta maaf, Nona. Saya kurang berhati-hati,” ucap pria itu sambil meraih sapu tangan lalu menyodorkannya kepada sang wanita. “Tidak, Tuan. Saya yang kurang berhati-hati,” sahut wanita itu seraya menerima pemberian sang pria dan mulai menyeka. Ia sama sek
“Kenapa Anda menatap saya seperti itu, Tuan?” tanya Camilla sambil menjatuhkan kemeja di atas lantai. Wanita itu senang karena pria di hadapannya telah terhipnotis oleh keindahan yang sengaja ia pertontonkan. Dengan mata menyipit, Sebastian bertanya, “Apakah Anda ingin membalas budiku?” Camilla spontan tersenyum dan berjalan mendekat. “Tentu saja. Itulah maksud kedatanganku ke sini. Apakah Anda keberatan?” “Tentu saja tidak. Saya justru merasa terhormat karena mendapatkan kesempatan yang sangat berharga ini,” sahut pria yang tidak bisa berpaling dari bulatan yang semakin menantang. Jari-jarinya telah berkedut menahan waktu yang tepat. “Lalu, apa yang Anda tunggu?” bisik sang wanita seraya meraih tangan Sebastian. Sedetik kemudian, Camilla terpejam menikmati kehangatan yang menutupi benda kebanggaannya. Itulah yang ingin ia lakukan sejak pertemuan pertama dengan sang pria. Sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan seorang pere