Sebelum Sebastian berhasil menggapai Mia, Julian telah mencengkeram lengannya.
“Jangan ganggu gadis itu,” ucap sang CEO penuh penekanan.
“Kenapa? Kau tahu sendiri bahwa aku paling tidak tahan melihat orang-orang yang sama angkuh dengan adikmu. Dan gadis itu, dia sudah berani bertingkah.” Sedetik kemudian, Sebastian menepis tangan Julian dan kembali berjalan. Akan tetapi, sang CEO lagi-lagi menghentikan langkahnya.
“Kubilang, jangan ganggu gadis itu.”
Sebastian mendengus tak percaya. “Apakah kau benar-benar terlibat cinta segitiga dengannya?”
“Dia milikku.”
Helaan napas kesal sontak berembus dari mulut Amber. Telinganya panas mendengar pernyataan Julian yang tanpa beban itu. “Apa kau sudah gila? Sejak kapan gadis itu menjadi milikmu? Kau sudah terikat denganku,” ucapnya lewat pita suara yang terjepit.
“Bukankah kita sudah putus?”
Gerah dengan keributan yang berlangsung, Sebastian pun berdecak lalu menyentak lengannya. “S
Bola mata Amber bergerak ke kiri dan ke kanan. Sejak keluar dari lift, para pegawai tak henti-henti berbisik sambil melirik ke arahnya.“Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka tidak pernah melihat orang secantik diriku?” batin wanita itu tanpa mengubah ekspresi. Dengan percaya diri, ia mengayunkan kakinya yang jenjang.Namun, semakin banyak pegawai yang ia lewati, semakin banyak pula suara tawa yang ia dengar. Rasa penasaran lambat laun berubah menjadi curiga.“Apa yang mereka tertawakan?” pikir si wanita sinis seraya menahan agar tidak ada kerutan di wajahnya. Selang beberapa saat, ia mengangkat ponsel ke depan. Begitu melihat pantulan yang nyaris sempurna, wanita itu menghela napas samar dan lanjut berjalan.“Mungkin, mereka memang tidak pernah melihat wanita secantik diriku.”Tiba-tiba, dua orang pegawai wanita menghalangi langkahnya. Dengan senyum miring, salah satunya menyapa, “Halo, Nona
“Julian benar-benar bodoh,” gumam Sebastian sembari memutar kunci mobil dengan telunjuknya. “Untuk apa dia memikirkan adik haramnya? Seharusnya, dia memanfaatkan kesempatan emas yang sudah berada dalam genggaman. Kenapa malah membuangnya begitu saja?” Sembari berdecak tak mengerti, pria itu menekan tombol pada kunci. Tanpa terduga, seorang wanita tiba-tiba menabrak bahunya. Kopi yang hendak diminum oleh wanita itu pun tumpah. “Aduh!” pekik sang wanita karena cairan dingin terasa hingga ke dada. Hanya dalam sekejap, mata Sebastian terbuka lebar. Tidak ada kain lain di bawah kemeja putih tipis yang sudah berubah transparan. Dua bulatan kecil kini menjadi titik fokusnya. “Astaga! Saya benar-benar minta maaf, Nona. Saya kurang berhati-hati,” ucap pria itu sambil meraih sapu tangan lalu menyodorkannya kepada sang wanita. “Tidak, Tuan. Saya yang kurang berhati-hati,” sahut wanita itu seraya menerima pemberian sang pria dan mulai menyeka. Ia sama sek
“Kenapa Anda menatap saya seperti itu, Tuan?” tanya Camilla sambil menjatuhkan kemeja di atas lantai. Wanita itu senang karena pria di hadapannya telah terhipnotis oleh keindahan yang sengaja ia pertontonkan. Dengan mata menyipit, Sebastian bertanya, “Apakah Anda ingin membalas budiku?” Camilla spontan tersenyum dan berjalan mendekat. “Tentu saja. Itulah maksud kedatanganku ke sini. Apakah Anda keberatan?” “Tentu saja tidak. Saya justru merasa terhormat karena mendapatkan kesempatan yang sangat berharga ini,” sahut pria yang tidak bisa berpaling dari bulatan yang semakin menantang. Jari-jarinya telah berkedut menahan waktu yang tepat. “Lalu, apa yang Anda tunggu?” bisik sang wanita seraya meraih tangan Sebastian. Sedetik kemudian, Camilla terpejam menikmati kehangatan yang menutupi benda kebanggaannya. Itulah yang ingin ia lakukan sejak pertemuan pertama dengan sang pria. Sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan seorang pere
“Berhentilah menundukkan kepalamu, Gaby. Aku tidak marah padamu,” ucap Max saat memperhatikan wanita yang duduk di sebelahnya masih cemberut. “Tapi, aku merasa bersalah. Bagaimana kalau ucapanmu menjadi kenyataan? Sebastian menyusul ke sini untuk membalas perbuatanku.” Mendengar penyesalan sekaligus kekhawatiran Gabriella, sang pria pun menghela napas dan membelai kepala wanita itu. “Itu tidak akan terjadi. Aku hanya menakutimu saja. Lagipula, dia tidak tahu bahwa kau ikut merancang jebakan itu.” Dengan bibir mengerucut dan alis berkerut, sang wanita mempertimbangkan perkataan suaminya. “Tapi, dia bisa saja menelusuri jejak Camilla yang mengarah kepada Rose, lalu kepada diriku, lalu berakhir dengan dirimu,” jelas Gabriella berbelit-belit. Pikirannya telah dikacaukan oleh bayang-bayang wajah Sebastian yang penuh dengan kebencian. Sedetik kemudian, Max mengecup kening istrinya. “Gaby, bukankah kau sudah berjanji untuk tidak membahas mengenai Que
“Astaga, Max! Ini rumah baru kita? Indah sekali,” seru Gabriella saat ia memasuki rumah kecil dengan dinding kaca yang didirikan di atas laut. Melihat sang istri tertawa bahagia, Max pun ikut menaikkan sudut bibirnya. “Ya. Apa kau suka?” Wanita yang semula memutar pandangan ke sekeliling sontak membalas tatapan suaminya. Sembari mengangguk, ia menghambur ke dalam dekapan sang pria. “Terima kasih, Max. Aku tidak pernah menduga akan tinggal di rumah seindah ini,” bisiknya dengan mata berkaca-kaca, menyebarkan perasaan hangat dalam hati suaminya. “Aku akan melakukan apa pun untukmu, Gaby,” bisik Max lembut. Sedetik kemudian, sang wanita kembali mempertemukan pandangan. “Aku juga akan melakukan apa pun demi kebahagiaanmu,” balasnya sambil tetap mengalungkan tangan di leher sang suami. “Lalu, apakah itu berarti ... kau mau berganti mengenakan bikini sekarang?” goda Max sambil menyipitkan mata. Tawa Gabriella seketika terdengar renyah.
Gabriella menutup piano putihnya dengan senyum semringah. Setelah menarik napas sambil menatap birunya lautan, ia menoleh ke arah sang suami yang masih sibuk dengan dokumen dan laptopnya. “Apakah pekerjaanmu masih belum selesai?” tanya wanita itu seraya berjalan menghampiri. Sang pria sontak mengangkat pandangan dan membalas senyuman. “Sedikit lagi,” sahutnya sambil menyambut sang istri ke pangkuan. “Apa yang sedang kau kerjakan?” selidik Gabriella seraya mengamati sketsa bangunan yang mirip dengan rumah barunya. Dengan sebelah tangan, Max menyebar kertas-kertas di atas meja. “Aku mencoba merancang desain yang cocok untuk lingkungan ini.” Sang wanita spontan meninggikan sudut bibir dan mengangguk-angguk. “Bagus. Aku yakin, kau pasti akan cepat mendapat klien.” Sedetik kemudian, Max meluruskan pandangan ke wajah cantik istrinya. Setelah membelai rambut yang menutupi kening wanita itu, ia menyipitkan mata. “Apakah kau mau berjalan-jalan
“Max ...” desah Gabriella dengan wajah yang sangat merah. Mulutnya yang sedikit terbuka kesulitan mengucap kata. Udara sedang berebut keluar masuk, berlomba-lomba mengirimkan oksigen yang terbakar dengan sangat cepat. Sekali lagi, sang wanita berusaha memanggil suaminya. “Max ...!” Akan tetapi, pria itu sama sekali tidak berniat untuk mengurangi desakan. Ia terlalu bersemangat untuk mengantar istrinya ke puncak tertinggi. Air yang sudah mencapai kaki mereka sama sekali tidak dipedulikan, begitu pula dengan percikan biru yang berkilauan setiap kali ia menyentak. Tak mampu menahan gejolak dalam tubuhnya, erangan Gabriella semakin melengking. Sambil mencengkeram pasir yang berubah kebiruan, ia mendongak menyambut serbuan pasukan Max yang hangat. Bintang-bintang di depan matanya seketika berpendar dan menghilang. Sambil mengatur napas, wanita itu melepas pasir yang tidak lagi sebiru sebelumnya. Para plankton seolah tahu bahwa pesta telah usai. “Ak
“Tidak ...!” Tanpa menghiraukan air mata yang menghalangi pandangan, Gabriella berlari dan menyerang kepala si pria bertopeng. Ia tidak sempat memikirkan cara lain untuk menggagalkan pukulan kedua. Dengan sekuat tenaga, wanita itu menarik si penjahat agar menjauh dari Max. “Jangan sakiti suamiku!” erangnya hampir putus asa. Malangnya, pria bertubuh besar itu terlalu kuat. Dengan mudahnya, ia mendorong sang wanita hingga tersungkur di lantai bersama topeng hitam dalam cengkeraman. Sadar bahwa wajahnya telah terekspos, penjahat itu pun mendengus. Namun, bukannya mengurus sang wanita, ia malah kembali menargetkan Max. Tanpa menyia-nyiakan waktu, si penyerang kembali mengangkat tongkat ke udara. Menyaksikan hal itu, napas Gabriella semakin pendek dan cepat. “Jangan!” Tanpa berpikir panjang, wanita itu melempar diri untuk melindungi sang suami. Sedetik kemudian, pukulan keras mendarat di punggungnya. Ia langsung mengerang dan bertum