Home / Romansa / Cinta CEO dalam Jebakan / 100. Pelajaran untuk Amber

Share

100. Pelajaran untuk Amber

Author: Pixie
last update Last Updated: 2021-08-10 15:25:19

Bola mata Amber bergerak ke kiri dan ke kanan. Sejak keluar dari lift, para pegawai tak henti-henti berbisik sambil melirik ke arahnya.

“Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka tidak pernah melihat orang secantik diriku?” batin wanita itu tanpa mengubah ekspresi. Dengan percaya diri, ia mengayunkan kakinya yang jenjang.

Namun, semakin banyak pegawai yang ia lewati, semakin banyak pula suara tawa yang ia dengar. Rasa penasaran lambat laun berubah menjadi curiga.

“Apa yang mereka tertawakan?” pikir si wanita sinis seraya menahan agar tidak ada kerutan di wajahnya. Selang beberapa saat, ia mengangkat ponsel ke depan. Begitu melihat pantulan yang nyaris sempurna, wanita itu menghela napas samar dan lanjut berjalan.

“Mungkin, mereka memang tidak pernah melihat wanita secantik diriku.”

Tiba-tiba, dua orang pegawai wanita menghalangi langkahnya. Dengan senyum miring, salah satunya menyapa, “Halo, Nona

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Cinta CEO dalam Jebakan   101. Perangkap untuk Sebastian

    “Julian benar-benar bodoh,” gumam Sebastian sembari memutar kunci mobil dengan telunjuknya. “Untuk apa dia memikirkan adik haramnya? Seharusnya, dia memanfaatkan kesempatan emas yang sudah berada dalam genggaman. Kenapa malah membuangnya begitu saja?” Sembari berdecak tak mengerti, pria itu menekan tombol pada kunci. Tanpa terduga, seorang wanita tiba-tiba menabrak bahunya. Kopi yang hendak diminum oleh wanita itu pun tumpah. “Aduh!” pekik sang wanita karena cairan dingin terasa hingga ke dada. Hanya dalam sekejap, mata Sebastian terbuka lebar. Tidak ada kain lain di bawah kemeja putih tipis yang sudah berubah transparan. Dua bulatan kecil kini menjadi titik fokusnya. “Astaga! Saya benar-benar minta maaf, Nona. Saya kurang berhati-hati,” ucap pria itu sambil meraih sapu tangan lalu menyodorkannya kepada sang wanita. “Tidak, Tuan. Saya yang kurang berhati-hati,” sahut wanita itu seraya menerima pemberian sang pria dan mulai menyeka. Ia sama sek

    Last Updated : 2021-08-10
  • Cinta CEO dalam Jebakan   102. Pelajaran untuk Sebastian

    “Kenapa Anda menatap saya seperti itu, Tuan?” tanya Camilla sambil menjatuhkan kemeja di atas lantai. Wanita itu senang karena pria di hadapannya telah terhipnotis oleh keindahan yang sengaja ia pertontonkan. Dengan mata menyipit, Sebastian bertanya, “Apakah Anda ingin membalas budiku?” Camilla spontan tersenyum dan berjalan mendekat. “Tentu saja. Itulah maksud kedatanganku ke sini. Apakah Anda keberatan?” “Tentu saja tidak. Saya justru merasa terhormat karena mendapatkan kesempatan yang sangat berharga ini,” sahut pria yang tidak bisa berpaling dari bulatan yang semakin menantang. Jari-jarinya telah berkedut menahan waktu yang tepat. “Lalu, apa yang Anda tunggu?” bisik sang wanita seraya meraih tangan Sebastian. Sedetik kemudian, Camilla terpejam menikmati kehangatan yang menutupi benda kebanggaannya. Itulah yang ingin ia lakukan sejak pertemuan pertama dengan sang pria. Sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan seorang pere

    Last Updated : 2021-08-11
  • Cinta CEO dalam Jebakan   103. Ancaman Baru

    “Berhentilah menundukkan kepalamu, Gaby. Aku tidak marah padamu,” ucap Max saat memperhatikan wanita yang duduk di sebelahnya masih cemberut. “Tapi, aku merasa bersalah. Bagaimana kalau ucapanmu menjadi kenyataan? Sebastian menyusul ke sini untuk membalas perbuatanku.” Mendengar penyesalan sekaligus kekhawatiran Gabriella, sang pria pun menghela napas dan membelai kepala wanita itu. “Itu tidak akan terjadi. Aku hanya menakutimu saja. Lagipula, dia tidak tahu bahwa kau ikut merancang jebakan itu.” Dengan bibir mengerucut dan alis berkerut, sang wanita mempertimbangkan perkataan suaminya. “Tapi, dia bisa saja menelusuri jejak Camilla yang mengarah kepada Rose, lalu kepada diriku, lalu berakhir dengan dirimu,” jelas Gabriella berbelit-belit. Pikirannya telah dikacaukan oleh bayang-bayang wajah Sebastian yang penuh dengan kebencian. Sedetik kemudian, Max mengecup kening istrinya. “Gaby, bukankah kau sudah berjanji untuk tidak membahas mengenai Que

    Last Updated : 2021-08-11
  • Cinta CEO dalam Jebakan   104. Rumah Baru

    “Astaga, Max! Ini rumah baru kita? Indah sekali,” seru Gabriella saat ia memasuki rumah kecil dengan dinding kaca yang didirikan di atas laut. Melihat sang istri tertawa bahagia, Max pun ikut menaikkan sudut bibirnya. “Ya. Apa kau suka?” Wanita yang semula memutar pandangan ke sekeliling sontak membalas tatapan suaminya. Sembari mengangguk, ia menghambur ke dalam dekapan sang pria. “Terima kasih, Max. Aku tidak pernah menduga akan tinggal di rumah seindah ini,” bisiknya dengan mata berkaca-kaca, menyebarkan perasaan hangat dalam hati suaminya. “Aku akan melakukan apa pun untukmu, Gaby,” bisik Max lembut. Sedetik kemudian, sang wanita kembali mempertemukan pandangan. “Aku juga akan melakukan apa pun demi kebahagiaanmu,” balasnya sambil tetap mengalungkan tangan di leher sang suami. “Lalu, apakah itu berarti ... kau mau berganti mengenakan bikini sekarang?” goda Max sambil menyipitkan mata. Tawa Gabriella seketika terdengar renyah.

    Last Updated : 2021-08-11
  • Cinta CEO dalam Jebakan   105. Bulan Madu yang Sesungguhnya

    Gabriella menutup piano putihnya dengan senyum semringah. Setelah menarik napas sambil menatap birunya lautan, ia menoleh ke arah sang suami yang masih sibuk dengan dokumen dan laptopnya. “Apakah pekerjaanmu masih belum selesai?” tanya wanita itu seraya berjalan menghampiri. Sang pria sontak mengangkat pandangan dan membalas senyuman. “Sedikit lagi,” sahutnya sambil menyambut sang istri ke pangkuan. “Apa yang sedang kau kerjakan?” selidik Gabriella seraya mengamati sketsa bangunan yang mirip dengan rumah barunya. Dengan sebelah tangan, Max menyebar kertas-kertas di atas meja. “Aku mencoba merancang desain yang cocok untuk lingkungan ini.” Sang wanita spontan meninggikan sudut bibir dan mengangguk-angguk. “Bagus. Aku yakin, kau pasti akan cepat mendapat klien.” Sedetik kemudian, Max meluruskan pandangan ke wajah cantik istrinya. Setelah membelai rambut yang menutupi kening wanita itu, ia menyipitkan mata. “Apakah kau mau berjalan-jalan

    Last Updated : 2021-08-12
  • Cinta CEO dalam Jebakan   106. Pukulan Keras

    “Max ...” desah Gabriella dengan wajah yang sangat merah. Mulutnya yang sedikit terbuka kesulitan mengucap kata. Udara sedang berebut keluar masuk, berlomba-lomba mengirimkan oksigen yang terbakar dengan sangat cepat. Sekali lagi, sang wanita berusaha memanggil suaminya. “Max ...!” Akan tetapi, pria itu sama sekali tidak berniat untuk mengurangi desakan. Ia terlalu bersemangat untuk mengantar istrinya ke puncak tertinggi. Air yang sudah mencapai kaki mereka sama sekali tidak dipedulikan, begitu pula dengan percikan biru yang berkilauan setiap kali ia menyentak. Tak mampu menahan gejolak dalam tubuhnya, erangan Gabriella semakin melengking. Sambil mencengkeram pasir yang berubah kebiruan, ia mendongak menyambut serbuan pasukan Max yang hangat. Bintang-bintang di depan matanya seketika berpendar dan menghilang. Sambil mengatur napas, wanita itu melepas pasir yang tidak lagi sebiru sebelumnya. Para plankton seolah tahu bahwa pesta telah usai. “Ak

    Last Updated : 2021-08-12
  • Cinta CEO dalam Jebakan   107. Pengorbanan Gabriella

    “Tidak ...!” Tanpa menghiraukan air mata yang menghalangi pandangan, Gabriella berlari dan menyerang kepala si pria bertopeng. Ia tidak sempat memikirkan cara lain untuk menggagalkan pukulan kedua. Dengan sekuat tenaga, wanita itu menarik si penjahat agar menjauh dari Max. “Jangan sakiti suamiku!” erangnya hampir putus asa. Malangnya, pria bertubuh besar itu terlalu kuat. Dengan mudahnya, ia mendorong sang wanita hingga tersungkur di lantai bersama topeng hitam dalam cengkeraman. Sadar bahwa wajahnya telah terekspos, penjahat itu pun mendengus. Namun, bukannya mengurus sang wanita, ia malah kembali menargetkan Max. Tanpa menyia-nyiakan waktu, si penyerang kembali mengangkat tongkat ke udara. Menyaksikan hal itu, napas Gabriella semakin pendek dan cepat. “Jangan!” Tanpa berpikir panjang, wanita itu melempar diri untuk melindungi sang suami. Sedetik kemudian, pukulan keras mendarat di punggungnya. Ia langsung mengerang dan bertum

    Last Updated : 2021-08-13
  • Cinta CEO dalam Jebakan   108. Pilu

    Sesaat sebelumnya, Max dapat merasakan sesuatu yang berat menimpa kepalanya. Selang beberapa kedipan, pria itu mulai mendeteksi nyeri di tengkorak belakang. Mau tidak mau, pelupuknya kembali merapat. Tak lama kemudian, beban berat itu bergeser. Sayup-sayup, Max mulai mengenali suara para kurir. Bersamaan dengan pendengarannya, pandangan pria itu berangsur normal. Dinding-dinding tidak lagi berputar. Mereka diam, sama seperti tubuh Gabriella yang tergeletak di dekatnya. “Gaby?” Sambil memegang kepala dan menyipitkan mata, sang pria bangkit lalu memeriksa. Begitu menemukan kondisi sang istri yang memilukan, desah tak percaya langsung lolos dari mulutnya. “Gaby?” Tanpa membuang satu detik pun, Max mengangkat tubuh yang tak berdaya itu ke dalam dekapan. Rasa sakit di kepalanya telah terlupakan, berganti dengan ketakutan yang luar biasa. Dengan air mata menggantung di pelupuk, Max memandangi wajah pucat sang wanita. “Gabriella, bangunlah,”

    Last Updated : 2021-08-13

Latest chapter

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 20. Bahagia Selama-lamanya

    “Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 19. Ayo Kita Pulang

    “Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 18. Aku Lebih Baik Menghilang

    “Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 17. Kau Seharusnya Bersyukur

    “Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 16. Aku Akan Meminta Maaf

    Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 15. Sudah Keterlaluan

    “Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 14. Penyesalan Tuan Hunt

    “Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 13. Keputusasaan Seorang Ayah

    Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 12. Grace dan sang Kakek

    Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb

DMCA.com Protection Status