“Maafkan aku, Max. Maafkan aku,” bisik Gabriella meski sempat tersedak. Matanya yang terpejam telah mengubah makna tangis. Wanita itu tidak lagi meratapi. Hati yang sempat hampa telah terisi oleh kehangatan sang suami.
Sambil membelai rambut sang istri, Max menarik napas panjang. Udara berat tidak lagi membebani paru-parunya. Pria itu tidak pernah tahu bahwa sebuah pelukan bisa membebaskannya dari penderitaan.
“Aku sangat merindukanmu, Gaby. Jangan pernah menghilang lagi dariku.”
Selang beberapa saat, pasangan itu kembali menyatukan pandangan. Sekali lagi, sang pria mengeringkan wajah istrinya. “Sekarang, berhentilah menangis.”
“Maafkan aku, Max. Kupikir, dengan kepergianku, kau bisa lebih mudah untuk melangkah. Kukira kau bisa menyelamatkan jabatan dan hidup tanpa beban. Aku tidak tahu kalau kenyataannya malah jadi seperti ini,” ucap sang wanita di antara jeda tarikan napas.
“Karena itu, jangan pernah mengulangi hal bodoh seperti itu lagi. Me
“Apakah kau marah padaku?” tanya Gabriella ketika hanya tersisa dirinya dan sang suami di dalam ruangan. “Kenapa aku harus marah? Aku tahu, kau melakukan itu karena sayang kepadaku,” timpal Max sembari menatap wanita yang duduk di sisi ranjang dengan hangat. “Tapi, kau tampak tidak memercayai omonganku,” timpal Gabriella dengan bibir mengerucut. Melihat tampang menggemaskan itu, sang pria otomatis tersenyum. “Memangnya, kenapa kau bisa berpikir begitu tentang Julian?” Bola mata Gabriella mulai berputar-putar mencari kalimat awal untuk menjelaskan. “Apakah kau tahu bahwa di rumah ayahmu, ada piano dan piala-piala ibuku?” Max spontan mengangkat alis dan berkedip datar. “Benarkah? Aku sudah lama tidak pergi ke sana.” Gabriella menjawab lewat anggukan. “Menurutmu, apakah mungkin Julian tidak curiga saat melihat barang-barang itu?” “Jika mengingat sikap pria tua yang licik itu, dia bisa saja membohongi Julian dengan mengarang alasan
“Bisakah kalian menceritakan kronologinya? Apa yang dilakukan oleh pasien sebelum mimisan?” tanya seorang dokter sembari memasukkan senter kecilnya ke dalam saku. Max dan Gabriella sontak saling menatap. Setelah meringis kecil, sang wanita memberanikan diri untuk bicara. “Itu terjadi setelah kami melakukan ... itu.” Pria berjas putih otomatis menaikkan alis. “Maaf?” “Melakukan itu, Dok. Suami ... istri,” jawab Gabriella dengan suara pelan. Wajahnya agak tertunduk menyembunyikan pipi yang merona. Mengerti apa yang dimaksud oleh sang wanita, dokter itu mengangguk-angguk. “Sebenarnya, mimisan memang sering terjadi pada pasien gegar otak, sama seperti mual-mual. Tapi, kalau bisa dihindari, bukankah akan lebih baik? Jadi, cobalah untuk menahannya sampai pasien benar-benar pulih.” Melihat senyum tertahan di wajah sang dokter, Gabriella langsung tertunduk maksimal. Max terpaksa menahan geli melihat tingkah sang istri. “Terima kasih, Dok. Kami
Hanya dalam sekejap, Amber terkesiap. Darahnya mendidih dan hampir menguap. Sekujur tubuhnya bergetar mengimbangi gemuruh napas yang tak terkendali. Ia tidak terima jika dirinya dianggap lebih rendah daripada anak seorang pelayan. “Julian!” pekiknya mencoba menyadarkan pria itu. Namun, bukannya menoleh, sang pria malah menyeret Mia kembali ke dalam lift. Tidak sedetik pun ia mengalihkan wajah dari gadis itu. Ciuman tetap berlangsung sampai pintu tertutup. Setelah merasakan pergerakan pada lantai yang dipijak, Julian akhirnya menghentikan aksi spontannya. Sambil menyangga tangan pada dinding, ia mengurung gadis yang mematung dengan mata bulat dan minim kedipan. “Maaf,” desah sang pria sembari berusaha meredakan deru napas. “Maaf karena aku lancang menciummu. Kau boleh menampar atau memukulku sekarang.” Selang beberapa detik, sang gadis menurunkan pundak yang sebelumnya terangkat naik. Setelah otaknya berhasil mengumpulkan cukup oksigen
Sambil meraih cangkir tinggi dari meja, Herbert mendengus sinis. “Kemarin, Sebastian membawakan buku harian Max kecil kepadaku. Dari situ, aku tahu bahwa sejak dulu, dia sering menghabiskan waktu bersama ibu dan ayah kandungnya.” Sedetik kemudian, sebelah alis pria tua itu meninggi meminta konfirmasi. “Bukankah itu berarti, dia mengetahui perselingkuhan ibunya sejak awal?” “Aku tidak yakin, Tuan. Seorang anak kecil tidak akan mengerti apa itu perselingkuhan,” sahut Mia jujur. Mendengar pembelaan tersebut, Herbert berdecak kesal. “Max itu jenius. Tentu saja dia tahu apa itu perselingkuhan. Aku yakin, dia juga tahu bahwa laki-laki berengsek itu adalah ayah kandungnya. Tapi lihat! Sampai saat ini, anak itu masih saja memasang tampang manis seolah aku memang ayah kandungnya. Sungguh munafik.” “Kenapa Tuan begitu yakin kalau Tuan Max bukanlah anak kandung Anda? Padahal menurut saya, kalian sangatlah mirip,” celetuk sang gadis yang masih terus memegang tase
“Untuk apa helm ini?” tanya Max ketika Gabriella memakaikan sebuah pelindung kepala padanya. “Apa kau tidak ingat? Dokter bilang kau harus berhati-hati agar kepalamu tidak terbentur lagi,” terang sang wanita dengan tampang serius. “Tapi, aku sudah sembuh, Gaby. Helm ini malah akan menghambat pergerakanku,” protes Max memelas. Tanpa berpikir ulang, Gabriella menggeleng. “Kau sudah berjanji untuk menuruti semua perintahku jika mau ikut dalam misi ini.” Sedetik kemudian, sang pria menghela napas pasrah. “Dulu, aku sempat ingin membakar kotak itu. Tidak kusangka, sekarang aku malah mau menyelamatkannya.” “Berhentilah menggerutu! Ayo beraksi! Paman John, doakan kami,” ucap wanita yang telah mengepalkan tangan ke udara. Pria paruh baya di balik kemudi pun mengangguk dengan senyum tipis. “Apa kau sadar bahwa ide ini sangat konyol?” bisik Max saat mengendap-endap dalam kegelapan bersama istrinya dan dua buah senter kecil yang redup. “Y
“Aku terlalu takut akan dibuang. Karena itu, aku mengarang cerita,” ujar Julian dengan suara tercekik. “Sesungguhnya, Mama memberikan kalung untuk kami berdua. Tapi, aku tidak terima.” Pria yang bercerita itu mulai mengusap wajahnya yang basah. Suaranya telah disamarkan oleh desah napas yang terdengar sesak. “Aku kesal karena Mama langsung memasangkan kalung di leher Max, sedangkan aku diminta untuk menyimpannya rapat-rapat. Aku marah karena kalungnya berisi foto dirimu dan Mama, sedangkan milikku ... seorang pria yang tidak kukenal.” Mendengar pernyataan yang tak terduga itu, napas Herbert mulai putus-putus. Dengan tangan yang bergetar hebat, ia memegang kedua pundak Julian dan mengguncangnya. “Katakan bahwa itu tidak benar. Kau sedang menceritakan sesuatu untuk menghindar dari hakmu. Benar, ‘kan?” Tawa si pria tua mulai terdengar tak waras. “Kau memang anak pengecut dan bodoh, Julian. Untuk apa mengarang cerita semacam itu? Sungguh tidak masuk akal.
Sudah beberapa kali Mia mengetuk pintu, tetapi sang CEO tidak kunjung menyahut. Dengan alis berkerut samar, gadis mengulangi teriakan. “Tuan Julian?” Malangnya, lima detik berlalu, suasana di balik pintu masih juga hening. “Apa yang dia lakukan di dalam sana?” gerutu gadis itu sebelum mengangkat ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan baru saja muncul di layarnya. “Bagaimana, Mia? Bagaimana respon Julian?” Sang sekretaris mendesah membaca pertanyaan dari Gabriella. Setelah berpikir cepat, ia pun memasukkan ponsel ke dalam saku lalu menempelkan kartu akses ke sensor. Hanya dalam sekejap, pintu dapat dibuka. Melihat seorang gadis masuk tanpa izin, Julian sama sekali tidak bersuara. Ia tetap duduk di kursi CEO dengan tampang datar dan tatapan menerawang. “Maaf, Tuan. Saya terpaksa membuka pintu karena Anda tidak merespon,” ucap Mia yang berdiri di dekat pintu. Sekali lagi, ia disambut oleh diamnya sang CEO. Tak ingin waktu terbuang
Sebelum Sebastian berhasil menggapai Mia, Julian telah mencengkeram lengannya. “Jangan ganggu gadis itu,” ucap sang CEO penuh penekanan. “Kenapa? Kau tahu sendiri bahwa aku paling tidak tahan melihat orang-orang yang sama angkuh dengan adikmu. Dan gadis itu, dia sudah berani bertingkah.” Sedetik kemudian, Sebastian menepis tangan Julian dan kembali berjalan. Akan tetapi, sang CEO lagi-lagi menghentikan langkahnya. “Kubilang, jangan ganggu gadis itu.” Sebastian mendengus tak percaya. “Apakah kau benar-benar terlibat cinta segitiga dengannya?” “Dia milikku.” Helaan napas kesal sontak berembus dari mulut Amber. Telinganya panas mendengar pernyataan Julian yang tanpa beban itu. “Apa kau sudah gila? Sejak kapan gadis itu menjadi milikmu? Kau sudah terikat denganku,” ucapnya lewat pita suara yang terjepit. “Bukankah kita sudah putus?” Gerah dengan keributan yang berlangsung, Sebastian pun berdecak lalu menyentak lengannya. “S
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb