Bab 4
Lily bangun lebih pagi. Membersihkan diri dan bersiap pergi ke sekolah. Hari ini adalah pengumuman Kelulusannya. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Melebihi apa yang biasa Lily rasakan di arena.Hari ini, akan menjadi hari yang bersejarah dalam hidupnya. Masa putih abu-abu akan segera ditinggalkan. Akan berganti menjadi lebih dewasa. Semoga saja uang tabungannya cukup untuk mendaftar ke Universitas idamannya.
"Ibu, Lily berangkat dulu ya!" Pamitnya pada sang ibunda, sambil mencium punggung tangan Ibu.
"Yasudah, hati-hati. Nanti Ayah nyusul. Undangan katanya jam 9 ya?" Jawab ibunya.
"Iya Bu. Tapi Lily mau ngumpul dulu sama teman-teman. Siapa tau ini terakhir kami ngumpul. Soalnya udah lulus kan biasanya susah ngumpul lagi." Kata Lily.
"Iya, gak apa. Hati-hati di jalan ya!" Pesan ibu.
Di sekolah, Lily terduduk diam di kelas. Memandangi setiap sudut ruangan. Ini yang akan ia rindukan setelah kelulusan. Suasana kelas yang ramai saat jam kosong. Guru bahasa yang ganteng. Sigit yang kocak. Dan teman lainnya.
Banyak sekali kenangan di kelas ini.Jarum jam menunjukkan angka 8 lewat 40 menit.
Berarti sebentar lagi akan dimulai pengumuman kelulusan.Lily keluar dari kelasnya.Kemudian satu per satu wali murid memasuki kelas, termasuk ayah Lily.Tak berapa lama kemudian, pengumuman kelulusan dibagikan.
Banyak wali murid yang deg-degan. Mereka takut jika anaknya ada yang tidak lulus."Alhamdulillaaaahh..."
"Alhamdulillah ya Allah""Puji Tuhan..""Terimakasih Yesus.."Dsb.
Suara-suara saling bersautan dari dalam kelas.
Rasa syukur tak berhenti mengalir dari siswa-siswi yang dinyatakan LULUS 100%.Linangan air mata membanjiri orang-orang di sekitar Lily.Tak terbendung lagi kebahagiaan mereka hingga tangis bahagia pecah.Baju seragam mereka kemudian penuh banyak coretan. Mengungkapkan kegembiraan.
Sudah menjadi tradisi di lingkungan sekitar kita, ketika lulus maka mereka akan mencoret-coret seragam hingga penuh dengan tulisan entah apa itu.***
"Bu, Lily punya tabungan. Mungkin hanya cukup untuk mendaftar kuliah. Bisa gak Bu aku kuliah?" Tanya Lily.
Ibu hanya diam, sambil menyiangi kangkung untuk dimasak sebentar lagi.
Sedari tadi ketika Lily pulang dari sekolah, Lily hanya diam memikirkan apa yang harus dia perbuat selanjutnya."Gak tau sayang, Ibu tidak punya lagi sesuatu yang bisa dijual. Kalau Lily pengen kuliah, mungkin bisa tahun depan saja. Sekarang kita kumpulin modal dulu. Supaya tahun depan lebih siap." Jawab Ibu, mengecilkan hati Lily.
..tok..tok..tokk...
"Assalamuallaikuuummm..."Suara terdengar dari luar.Sepertinya tidak asing dengan suara itu.Lily tanpa basa-basi melenggang menuju pintu, berniat membuka pintu. Dia tau siapa yang datang.
"Beuhh, uler keket dateng jam segini. Mau ngapain deh?".. gumam Lily.
Kreeeekkk... Pintu terbuka.
Di hadapannya kini berdiri seseorang, lelaki tampan nan rupawan. Sayangnya masih balita.Yes, balita. Bawah limapuluh tahun."Ngapain kesini? Mau ngajak jalan? Kayaknya gak bisa deh. Aku lagi pengen di rumah nih. Kasian juga sama Ibu, gak ada temennya"
Belum apa-apa, si Lily udah nerocos aja."Yaelah micin, aku kesini mau kasih kamu ini. Selamat yaa udah Lulus. Hehehe.. sekarang udah tua donk ya?" Canda si Rino, sambil memberi sebuah kotak pada Lily.
Kotak berwarna biru muda, bergambar kupu-kupu.
"Apaan nih?" Tanya Lily.
"Aku gak mau ya dapet sogokan. Jangan harap aku mau jalan hari ini. Otakku lagi gak sinkron" tegas Lily."Aku gak ngajak kemana-mana. Aku cuma pengen kasih itu aja. Tapi kalau kamu gak mau, yaudah sini balikin!" Rio gemes.
"Enak aja, barang yang sudah diberikan, pantang diminta kembali, laki apaan begitu. Laki bukan sih?" Ketus Lily.
"Lhooo... Rino, kok gak diajak masuk? Ayo sini masuk. Kebetulan Ibu habis masak tadi. Rino sudah makan belum? Kita makan yuk!"
si Ibu ramah. Dan memang sepertinya Ibu suka dengan Rino. Karena sopan dan tanggung jawab. Sering mengajak Lily pergi kemudian pulang tepat waktu. Sejak kenal sama Rino, Lily sudah jarang keluar malam. Jarang pergi bergerombol.Bahkan Ibu kira, Lily sudah benar-benar berhenti dari arena balap."Wah, makasih Bu.. kebetulan belum makan. Ibu saya sedang ada rapat Persit di kecamatan. Jadi gak ada yang masak." Jawab Rino.
"Oh.. jadi kutu air nih kesini cuma mau makan ya? Kenapa gak bilang dari tadi?"
Dasar Lily, mulutnya keras. Haduuhh.."Yasudah ayo kita ke belakang!" Ajak Ibu.
Mereka bertiga kemudian makan di meja yang sama. Tumis kangkung, tempe goreng, pindang, sambal. Benar-benar menu ideal bagi mereka yang tinggal jauh dari hingar-bingar kota.
Begitu akrab Rino dengan Ibunya Lily. Begitupun sebaliknya, Lily pun akrab dengan Ibunya Rino.
Mereka para orang tua membebaskan anak berteman dengan siapapun. Asal tau batasan dan tidak saling menyakiti.***
Lily duduk di tepian kasur tanpa dipan. Tangannya memegang sebuah kotak pemberian Rino tadi siang.
Kemudian dia buka perlahan dengan menarik pita warna jingga.Sreeettt....
Diangkatlah tutup kotak tersebut.
Lily mendapati sebuah boneka Beruang mini warna merah muda. Di bawahnya ada dua batang coklat. Dan secarik kertas.Lily kemudian membuka kertas tersebut. Membaca dalam hati."Cieeee... Cewek jadi-jadian Lulus sekolah. Selamat ya paus kecil."
Tulisan besar memenuhi sebuah kertas, diselipkan pula emoticon berbentuk hati.
"Astaga, si bangsat. Bisa-bisanya kasih beginian. Kalo bukan anak Babinsa, udah ku potong lehernya pake celuritnya pak Asmo."
Gumam Lily.
Sejurus kemudian ia memandangi boneka itu. Lucu. Belum pernah ia dapatkan hadiah seperti ini. Di kamarnya juga tidak ada satu boneka pun. Sedari kecil, Lily tidak pernah punya mainan anak perempuan. Semua koleksinya adalah mobil-mobilan, tembak peluru karet, kelereng dan ketapel.
....beepp.. beeeepp....
Ponsel Lily berbunyi. Ada SMS masuk. Kemudian dibuka. Dari Rino.
"Eh, hiu darat.. lagi apa? Gak ada rencana gitu kita pergi minggu ini? Bosen aku, mbak Reni udah harus balik ke asrama. Kamu sebentar lagi juga pasti kuliah kan, aku bakalan gak punya temen deh."
Sigap jemari Lily membalas.
"Eh kampret kebon, emang kamu punya duit? Mau ngajakin jalan segala. Hahaha"Tidak sampai lima menit, balasan datang.
"Jangan kuatir. Aku habis jual ayam jagoku. Cukup lah buat beli bensin sampai pantai. Nanti bekel nasi dari rumah saja. Biar irit.""Yaaahh.. ngenes deh jalan dalam kemiskinan. Hahaha" balas Lily.
"Terus gimana donk? Aku kan masih sekolah. Nanti kalau aku sudah kerja, kita jalan ke luar negri deh. Hahaha" balas Rino lagi.
"Iya deehh.. nanti kalau kamu punya duit, kaya raya, ajakin aku ke luar planet sekalian. Capek deh." Lily menulisnya. Lalu mengirimkan.
"Yasudahlah kalau gak mau. Duitnya buat jajan bakso saja besok. Bye.." Rino mulai kesal.
" Lhah, belut sawah bisa ngambek.. hahahaha... Oke deh, kita jalan. Kali aja habis ini gak bisa jalan lagi kita." Ah, ini Lily makin bikin penasaran Rino.
"Oke, lusa aku jemput ya. Pagi jam 8. Biar gak panas amat di jalan. Bye.." tutup Rino.
Lily tak lagi membalas. Hanya senyuman di bibir mungilnya. Masih memandangi sebuah boneka warna merah muda.
Lucu.***
"No, kayaknya aku gak jadi kuliah deh. Uangku cuma cukup buat daftar saja. Ayah tidak sanggup. Kata Ibu, mungkin tahun depan. Sekarang yang bisa kami lakukan adalah kerja, kumpulin uang bekal tahun depan."
Lily menatap kosong ke arah lautan, bergumam diiringi lembut angin membelah wajahnya. Rambutnya yang sudah mulai dibiarkan panjang sebahu, bergerak-gerak hingga menutupi wajahnya.
Rino duduk di sebelahnya sedang asyik memainkan pasir dengan kedua kakinya."Terus ada rencana kerja di mana Ly?"
"Ada saudara di kota. Mungkin aku akan ikut beliau ke sana. Aku bisa ngelamar kerja di toko. Kalau untuk kerja di pabrik, sepertinya gak bisa deh. Tinggi badan aku kurang. Walaupun nilai bagus, tapi mereka mana peduli sama nilai." Lily masih menatap kosong.
"Sering pulang gak nanti?" Tanya Rino.
"Ya kalau dapat cuti, bisa pulang ya pulang. Kalau gak bisa pulang yaudah." Jawab Lily sekenanya.
Rino semakin menundukkan kepalanya. Membenamkan ke dalam dua lututnya.
Dadanya sesak, ia sedang menahan tangis. Namun pantang baginya menangis di depan seorang perempuan.Ia tak lagi punya kawan berbagi cerita. Selama ini Rino merasa sangat nyaman di samping Lily. Mencurahkan semua uneg-unegnya.Bahkan hingga masalah pribadinya di rumah.Rino merasa tak siap kehilangan teman baiknya. Terlebih sebenarnya ada rasa dalam hati Rino kepada Lily.
Rasa yang tak pernah ia mengerti. Rasa yang belum pernah ia punya selama ini.Baginya, pertemuan sore itu di persimpangan jalan, adalah awal segala cerita ini.
Karena sejak itu, ia banyak menghabiskan waktu bersama.Tak jarang teman-temannya mengira mereka berdua menjalin hubungan istimewa.
Bahkan ada teman yang bilang kalau Rino suka sama tante-tante. Mengingat usia Lily lebih tua 2 tahun dari Rino.Aahh.. entahlah. Bayangan semua kenangan itu terus menyiksa batin Rino. Serasa tak sanggup lagi, dan harus ia ungkapkan pada Lily. Namun ia masih takut.
Takut jika Lily justru menolaknya.Biasanya, perempuan akan menjauh setelah menolak cinta lelaki.Tak pernah tau mengapa begitu. Apakah memang seperti itu rumus kehidupan perempuan?
"Eh, congek.. laper gak?" Lily mengguncangkan badan Rino.
Ia kira Rino ketiduran."Laper" jawab Rino masih dalam tangkupan kedua lututnya.
"Yaudah, makan yuk." Ajak Lily.
"Kan kita gak bawa bekal. Duit gak punya juga. Udah cukup buat beli bensin doank tadi." Tolak Rino.
"Tenang, aku punya duit nih. Hasil aku nulis puisi di koran kota ." Jawab Lily.
"Haaahh.. banyak amat sampingan kamu? Yaudah ayok gassss. udah protes dari tadi perutku. Hehee."
Rino langsung berdiri, membalikkan badan dan bersiap jalan menuju warung.Ia begitu, karena takut dilihat Lily, baru saja ia menangis. Matanya memerah.Berdua menikmati hidangan khas pantai. Yaitu Popmie.
Benar-benar miskin.Tapi masih beruntung mereka bisa makan, setidaknya perut terisi. Semoga saja tahan sampai sore nanti.Kadang kenikmatan makanan tidak berasal dari rasa makanan tersebut.
Dengan makan berdua bersama orang kesayangan kita, sudah menjadikan kenikmatan tersendiri.Meskipun sederhana. Tapi ini kenangan. Yang mungkin tak akan pernah mereka lupakan seumur hidupnya kelak.Bahkan mungkin akan menjadi cerita bagi anak cucu mereka di kemudian hari.***
"Aku berangkat besok pagi. Doakan semoga aku sampai dengan selamat di sana. Dan segera mendapat pekerjaan. Biar nanti bisa traktir kamu popmie lagi. Jangan lupa, simpen tali rambutku yang waktu itu ketinggalan. Itu aku beli pas aku piknik ke Bali. Jadi awas ya kalau sampai hilang. Baik-baik kamu di sini. Belajar, jangan main-main. Tahun ini sudah harus serius, karena tahun depan kamu sudah tingkat akhir. Harus Lulus loh"
Lily nerocos sambil mengemasi barang-barangnya. Baju, sepatu, tak lupa ia memasukkan boneka kesayangannya ke dalam koper. Dibawa serta album foto yang berisi kenangannya bersama teman-temannya di sekolah.
Rino yang sejak tadi memandang lesu oada Lily, hanya diam. Dalam batinnya berkata 'kayak mau perang aja semua dibawa, pesannya udah kayak nenek-nenek mau bagi warisan. Dasar paus mini'
"Kamu bilang apa? Gak usah dibatin deh, aku tau kamu bilang apa. Yasudah sih kalau gak suka." Lily menebak-nebak pikiran Rino.
Masih terdiam Rino menemani Lily berkemas di kamarnya. Album foto yang dipegang Lily, siap masuk ke dalam tas.
Pluugg.. sebuah foto terjatuh. Diam-diam Rini memungutnya tanoa sepengetahuan Lily. Lalu menyelipkan ke kantong jaketnya.
Lily pamit ke dapur untuk mengambil minuman. Kemudian Rino meneteskan air mata (lagi). Sungguh tak ingin ia ditinggalkan. Baginya semua seperti akan berakhir begitu saja. Sudah tiada harapan. Ia berfikir nanti Lily pasti lupa dengan dirinya, pasti Lily tergoda cowok lain.
Lho, apa salahnya jika Lily tergoda? Toh mereka kan tidak ada hubungan apapun selain teman. Lily berhak untuk menerima siapapun di hatinya, untuk mengisi kekosongan yang selama ini betum terisi, sejak disakiti cowok tempo hari.
Pikiran Rini semakin kacau. Tiba-tiba ia keluar kamar lalu berpamitan pulang. Ia tak bisa lagi melanjutkan menemani Lily berkemas. Rasanya ini akan menjadi hari yang buruk, jika ia tetap di kamar itu. Perasaannya akan semakin tercabik-cabik.
Batinnya tersiksa. Ingin mengungkapkan rasa, namun fakut kehilangan. Oh Rino yang malang..
"Ly, aku pulang dulu ya. Maaf gak bisa nterin kamu besok pagi. Aku kan sekolah. Aku gak mungkin bolos. Kamu hagi-hati ya besok. Semoga kamu selamat sampai tujuan, cepat dapat kerjaan. Jangan lupa ya kamu SMS aku. Kasih kabar, biar kita tetap berteman."
Rino berpamitan, tak kuasa menetes bulir beninh, lembut membelah pipinya yang bersih tanpa jerawat. Bibirnya sersenyum lebar, walaupun hatinya perih.
Lily meraih tangan Rino. Menggenggamnya erat. Tersenyum pula ia pada sahabatnya itu.
"Aku bisa jaga diri. Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu jangan khawatir.". Ucap Lily.
Kemudian Rino berpamitan pada Ayah Ibunya Lily.
Pergi menunggangi motor bututnya, berlalu hingga bayangannya hilang di ujung gang. Perpisahan malam ini, membuat mereka merasa kebilangan satu sama lain. Esok, akan sensiri. Esok, akan sepi. Semua harus bisa berdiri sendiri. Dengan atau tanpa sahabat di sisinya, semua akan baik-baik saja. Hanya jarak yang memisahkan. Suatu saatvpasti akan bertemu kembali. Semoga saja masih dalam keadaan yang sama. Sehat. Semoga semua berjalan sesuai rencana.
Malam begitu pekat, tanpa ada bintang bersinar malam ini. Semakin menambah rasa pilu di dalam hati dua anak manusia itu. Sepi.
Sepi sekali.
Bab 5Pagi telah datang.Mentari bersinar terang, langit begitu indah. Biru tak berawan. Seolah Tuhan menciptakan hari ini sangat sempurna untuk mengiringi kepergian Lily.Barang yang sudah dikemas rapi, kini sudah siap di depan pintu.Telah siap pula Lily dengan pakaian rapi, berjaket jeans, sepatu putih.Penampilan Lily kali ini berbeda dari biasanya, yang sering mengenakan celana rombeng.Kali ini Lily begitu rapi.Dengan rambut ditali, dan sedikit pewarna bibir, ide pemaksaan dari Ibu."Anak ayah sudah besar. Sekarang sudah mau cari duit sendiri. Hehe.." kata sang ayah.Kemudian Ibu menimpali, "Iya ya, kayak baru kemarin Ibu nganterin Lily ke sekolah pakai seragam TK. Kok sekarang sudah mau merantau. Hhmmm... Ibu bakalan kesepian Nak. Semoga kerasan ya, jangan nakal di sana. Kasian Pakdemu nanti."Lily tersenyum, berusaha untuk tidak terbawa suasana sedih ini."Ah, Ibuk.. bentar lagi juga Lily pulang kok. Kan pasti L
Bab 6Semua terasa begitu sepi. Sejak kepergian Lily, hidup Rino seperti kosong, tak ada lagi tempat berbagi cerita, tak ada teman untuk sekedar melewati jalan yang sama setiap pagi, atau menikmati es kelapa muda pinggir jalan seperti saat itu.Apalagi sekarang Rino telah naik kelas, sudah berbeda nuansa ruangan. Tak seperti dulu lagi ketika jam istirahat Rino masih bisa melihat Lily berlari ke kantin sekolah, walau kadang menyakitkan hati. Bagaimana tidak, Lily selalu terlihat akrab dengan siapapun. Bahkan dengan semua siswa laki-laki di sekolah ini, Lily sangat akrab.Pembawaan Lily yang santai dan terkesan cuek, membuat hati Rino penasaran.Sayang seribu sayang, pujaan hatinya tak pernah menganggap semua ini lebih dari pertemanan.Tiga bulan sudah sejak Lily meninggalkannya.Kabar terakhir yang Ia terima, bahwa Lily kehilangan handphone.Itu dikarenakan hidup di lingkungan Mess, dan Lily adalah anak baru. Meskipun kehilangan, Lily tak berani
Bab 7"Acara mau dimulai, nanti aku mau nyanyi. Kamu duduk di sana ya sama teman-teman!"Rino mengusap rambut Lily, dibalas dengan anggukan Lily tanpa kata.Tangan Rino menggenggam erat jari mungil Lily, seraya mengajaknya berjalan menyusuri koridor kelas yang panjang.Jantung Rino berdegup kencang, tidak seperti biasanya.Pikiran yang sedari kemarin penat karena menyiapkan acara Pensi, kini telah buyar dan terasa segar.Namun, hatinya berkecamuk memikirkan sesuatu.Bagaimana jika nanti teman-temannya kembali mengolok-olok dia lagi dengan kata yang kurang enak didengar? Rino tak ingin Lily sakit hati ketika mengetahui semua ini.Baginya, apapun yang membuat Lily sakit, harus dijauhkan sejauh mungkin.Rino memejamkan mata sejenak, sebelum alunan musik masuk ke telinganya.Ia sekarang sedang berdiri di atas panggung yang berhiaskan banyak balon.Ratusan pasang mata memandang ke arahnya, disertai Sorak Sorai dan tepuk tanga
Bab 8Rino berlari meninggalkan sepeda motornya, membiarkan tergeletak begitu saja. Berlari menghampiri Lily, memastikan tidak terjadi hal buruk pada Lily.Di alam terbuka seperti ini memang tak menutup kemungkinan banyak binatang liar keluar di malam hari untuk mencari makan.Rino yang sekilas melihat bayangan hitam berlari dari belakang Lily, spontan berteriak agar Lily menghindari binatang tersebut."Kamu gak kenapa-kenapa kan?"Rino memastikan keadaan Lily, seraya melihat sekeliling mereka"Gak kok, cuma kaget. Itu tadi seperti landak deh. Untung kamu teriak, kalau gak.. mungkin aku udah ketabrak tadi".Lily membersihkan celananya yang terkena tanah akibat terjatuh saat menghindari binatang tadi."Itu di depan ada desa. Kita akan segera mendapatkan bensin. Yuk!"Rino mengajak Lily kembali berjalan.Lily menurut. Berjalan di belakang Rino, masih terasa degup kencang jantungnya. Kejadian baru saja
Bab 9 Lily terlihat mengemasi baju-bajunya, memasukkan ke dalam sebuah tas ransel berwarna hitam.Hari ini sudah waktunya Ia kembali ke kota lagi untuk bekerja. Di luar sudah ada Rino yang menunggu untuk mengantarkan Lily ke terminal.Tersaji secangkir teh manis dan singkong goreng buatan Ibunya Lily. Rumah ini sepi. Hanya ada Lily dan Ibu yang sedang membantu Lily di kamar.Rino sudah lama tak berkunjung ke rumah ini, dahulu ada beberapa ekor burung dalam kandang, tergantung di teras rumah ini. Tapi sekarang hanya tinggal satu ekor. Itupun terlihat tak terawat, mungkin Ayah Lily sangat sibuk dengan pekerjaannya hingga tak sempat lagi mengurus hewan peliharaannya. "Reno, udah yuk berangkat. Takut kesiangan, nanti bisa-bisa gak dapet bus loh."Lily berjalan keluar menggendong tas ranselnya. "Oh, ya udah ayo. Masih ada yang ketinggalan gak? Inget-inget dulu biar gak repot nanti!"Rino beranjak dari kursi kayu yang sedari tadi Ia d
Bab 10Pagi gerimis, Rino memarkirkan motor bututnya di parkiran sekolah. Kemudian berjalan santai menuju ruang BK.Tujuannya tak lain adalah, sebagai pengantar surat.Ya, sudah sejak seminggu yang lalu Ia resmi menjadi kurir pribadi Pak Gatot.Tugasnya adalah mengantar surat dari Pak Gatot kepada Yanti, anak Ibu kantin.Begitu pula sebaliknya, Rino akan mengantarkan surat dari Yanti, kepada Pak Gatot.Ini harus Ia lakukan agar aman dari hukuman.Sejak kejadian tempo hari, Rino memilih tidur lebih awal, dari pada menemani Lily bercerita tentang pacarnya.Bel berbunyi, tanda kelas akan segera dimulai.Rino keluar dari ruang BK menuju kelasnya.Jam pertama adalah Kimia, pelajaran yang melelahkan otak.Ini adalah kelemahan Rino, dan di kelas itu hanya ada satu siswa yang mampu mematahkan anggapan bahwa Kimia itu sangat sulit.Dia adalah Anis."Nis.. Anis... Ssttt..."Rino menggoyangkan kursi Anis yang berad
Bab 10Pagi gerimis, Rino memarkirkan motor bututnya di parkiran sekolah. Kemudian berjalan santai menuju ruang BK.Tujuannya tak lain adalah, sebagai pengantar surat.Ya, sudah sejak seminggu yang lalu Ia resmi menjadi kurir pribadi Pak Gatot.Tugasnya adalah mengantar surat dari Pak Gatot kepada Yanti, anak Ibu kantin.Begitu pula sebaliknya, Rino akan mengantarkan surat dari Yanti, kepada Pak Gatot.Ini harus Ia lakukan agar aman dari hukuman.Sejak kejadian tempo hari, Rino memilih tidur lebih awal, dari pada menemani Lily bercerita tentang pacarnya.Bel berbunyi, tanda kelas akan segera dimulai.Rino keluar dari ruang BK menuju kelasnya.Jam pertama adalah Kimia, pelajaran yang melelahkan otak.Ini adalah kelemahan Rino, dan di kelas itu hanya ada satu siswa yang mampu mematahkan anggapan bahwa Kimia itu sangat sulit.Dia adalah Anis."Nis.. Anis... Ssttt..."Rino menggoyangkan kursi Anis yang berad
Bab 11"Kenapa kamu keras kepala? Kenapa kamu gak peduli lagi dengan orangtuamu? Kenapa kamu berubah? Hanya demi cinta bodohmu itu, kau menggadaikan semua kasih sayang di sekitarmu. Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini?"Sebuah pesan singkat tertuju untuk Lily, melalui ponselnya.Rino masih tertegun di dalam kamarnya.Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Hatinya tak berhenti bertanya-tanya apakah Lily baik-baik saja, apakah Lily memilih pendamping yang tepat, apakah.. apakah.. apakah..Semua berputar dalam pikirannya.Serumit ini menjadi dewasa.Beeepp..beeepp..Ponselnya bergetar, Rino segera menyambar dam membuka pesan diterima."Kamu, bukan siapa-siapaku. Ada Hak apa kamu ngurusin hidupku? Urus saja hidupmu sendiri." Pesan balasan dari Lily, semakin membuat Rino sebal.Ternyata selama ini yang Ia perbuat, tak ada harganya di mata Lily.Lalu, bagaimana selama
Bab 18"Sudah ku cukupkan rasa ini sampai di sini. Seharusnya aku tau, kamu bukan tujuan utamaku.Seharusnya aku tau dari dulu, bahwa aku bukan apa dan siapa di hatimu dan pikiranmu. Maafkan aku yang terlalu berharap, aku sudahi perasaan ini. Tidak ada lagi yang harus kau pikirkan tentang aku. Biar saja semua berlalu begitu saja. Menguap seperti air di lautan, walau aku tahu akan tiba saatnya semua akan kembali tercurah bagaikan hujan.Sudah.Aku harus pergi dari hidupmu. Terimakasih, Lily."Sebuah pesan di ponselnya, membuat Lily terhenyak.Seketika Ia berderai air mata. Semua ini salah paham. Tidak seperti yang Rino lihat, sebenarnya Lily dan Erik hanya sebatas teman. Erik melakukan semua kebaikan itu, karena tanggung jawab telah membuat Lily harus dirawat."Rino, aku gak tahu lagi harus bagaimana. Sedangkan perasaanku sendiri sungguh aneh. Aku takut menyakitimu, tapi ini telah terjadi. Bahkan sebelum kita terikat."Lily masih melamun
Bab 17"Bagaimana aku bisa tertidur di sini?"Lily berusaha bangkit, namun tak bisa. Nyeri di punggungnya masih terasa, bahkan semakin menjadi. Rasanya seperti sedang menggendong beban berat, melebihi berat badannya sendiri.Di samping tempat tidurnya, duduk lelaki yang baru beberapa hari yang lalu menabraknya.Masih terpejam matanya. Tubuh menyender di tembok belakangnya.'Tok. Tok. Tokk..'Suara pintu diketuk dari luar.Erik segera terbangun karena kaget.Ia kemudian berdiri dan melangkah ke arah pintu.Ternyata, Dokter yang akan memeriksa Lily, datang bersama suster."Selamat pagi Lily. Apa kabar? Gimana punggungnya, apa yang dirasakan?"Dokter bertanya sembari akan memeriksa keadaan Lily.Sementara, suster meletakkan makanan dan minuman, serta beberapa obat yang harus diminum pagi ini."Saya merasa punggung saya seperti sedang menggendong beban berat, Dok."Jawab Lily."Lily, sebelumnya
Bab 16 "Telah terukir walau setitik, senyumanmu di hatiku. Meski nanti akan pergi, setidaknya aku pernah menemuimu. Ada rasa dalam jiwa ini, untukmu yang selalu di sampingku. Walau nanti takdir berganti, setidaknya masih tersisa hangat pelukmu. Haruskah beban ini ku pikul sendiri, jika berat Rindu ini semakin menjadi setiap hari?" Lily memandangi fotonya bersama Rino, yang sempat mereka abadikan ketika saat itu mereka berdua berada di pantai. Sejujurnya, hati kecil Lily menginginkan hubungan ini lebih dari pertemanan. Namun pikirannya selalu menolak, Ia sadar semua itu hanya akan membawanya dalam lingkaran sakit hati yang tak ujung henti. Keluarga Rino tau siapa dirinya, gadis desa yang kurang pendidikan. Berasal dari keluarga biasa. Parasnya pun pas-pasan. Tidak ada yang istimewa, yang bisa dibanggakan Rino atas dirinya. Apalagi usianya yang lebih tua dari Rino. Ini adalah hal yang memalukan, mana mungkin Rino
Bab 15"Rino, ya?"Suara seseorang di balik kemudi mengagetkan Rino."Iya, Om." Jawab Rino, polos."Ayo masuk. Saya Edi, adiknya mas Gatot."Ajak orang itu, justru malah sambil membuka pintu mobilnya dan keluar.Kemudian berjalan ke arah belakang, rupanya dia berniat membuka pintu bagasi.Rino membawa barang-barangnya ke bagasi mobil, kemudian Ia masuk mobil dan duduk di samping Pak Edi.Mobil merah tersebut langsung tancap gas menuju ke sebuah rumah di komplek perumahan.Setelah memarkirkan mobilnya, Pak Edi turun. Begitupun Rino.Rino berdecak kagum melihat rumah yang bergaya minimalis itu. Meskipun tidak terlalu besar, namun rumah ini sangat rapi dan asri.Temboknya bercat putih keseluruhan, dengan pintu cokelat bergaya minimalis modern.Banyak tanaman bunga di halaman, mulai dari bunga mawar hingga tanaman menjalar.Di sisi lain, ada sebuah kolam kecil, dengan banyak ikan Koi di dalamnya. Ada pula
Bab 14Rino melangkah masuk ruangan berukuran 3x5 itu. Tanpa babibu, Ia duduk di kursi panjang berwarna coklat muda."Bapak ada perlu apa?" Tanya Rino pada Pak Gatot." Tidak ada perlu, cuma mau kasih tau saja, ini kampus bagus buat kamu. Katanya kamu gak mau nerusin jadi seperti Bapakmu 'kan?"Pak Gatot menyodorkan selembar kertas katalog Universitas."Tapi ini jauh Pak.""Kamu kan laki-laki. Masa' kalah sama kakakmu yang perempuan, dia saja mau ditugaskan ke luar Jawa. Kamu, ke kota saja sudah ngeluh. Laki-laki macam apa kamu?""Sejujurnya saya ragu Pak. Bagaimana jika orang tua saya tidak mengijinkan, dari mana saya harus membayar biaya kuliah?""Rino, dulu saya jualan gorengan setelah selesai jam kuliah. Kalau pas hari libur, saya jualnya full seharian. Saya juga belajar makelar motor, ya demi bisa bayar uang kuliah. Lha wong orang tua saya cuma petani, uangnya tidak banyak, sedangkan saya masih punya adik yang harus dibiayai
Bab 13 "Cukup!" Lily mendorong tubuh Rino. "Gak! ini gak akan cukup untuk mewakili rasaku padamu. Aku bahkan memikirkanmu setiap hari." "Rino, kamu terlalu baik untuk ku dapatkan. Masa depan seperti apa yang kau inginkan dariku?" "Masa depan yang indah tentunya, kita bisa bersama sampai tua. Sampai maut memisahkan kita." "Kamu masih anak SMA. Tau apa kamu soal masa depan hari tua?"Lily menyeka air matanya. "Ly, pliss beri aku kesempatan. Beri aku waktu untuk membuktikan. Aku gak mau kamu disakiti orang lain lagi."Rino menggenggam jemari Lily, meremas perlahan. "Aku sudah gak percaya apa itu cinta. Sebenarnya di balik cinta hanya ada nafsu belaka." Lily menunduk. "Tidak Ly, aku tidak seperti itu. Semua ini benar-benar tulus." "Rino, mendingan sekarang kamu pikirin masa depan kamu sendiri. Mau dibawa kemana nanti, mau jadi apa kamu nanti, mau seperti apa hidupmu nanti. Pikirkan dari sekarang."
Bab 12 "Hai,.." Rino menyapa Lily. "Masuk.." Lily mempersilahkan. Rino dan Anis memasuki ruangan bernuansa putih, diletakkannya sekeranjang buah yang sengaja Ia bawa dari rumah, di atas meja sudut ruangan. "Gimana kabar Ibu? Sudah mendingan?" Rino tersenyum menyalami tangan Ibu. "Alhamdulillah, sudah berkurang sakitnya. Paling besok bisa pulang. Ibu sudah sehat sekarang " "Ibu hanya rindu sama Lily berarti ya? He he he.." Rino terkekeh. "Iya, Ibu rindu sama Lily. Sekarang sudah di sini, jadi Ibu sudah sembuh. Ehm.. ini siapa Nak?"Ibu menoleh ke arah Anis. "Saya, Anis Bu. Teman Rino." Jawab Anis. "Dia pacarnya Rino, Bu" Lily menambahkan "Udah bukan, Kak. Kami selesai.". Anis tersenyum. "Lho, kenapa? Padahal kalian serasi. Apakah Rino merepotkanmu?". Seloroh Lily, diikuti tawa kecilnya.Ia heran mengapa cinta sesingkat itu, padahal
Bab 11"Kenapa kamu keras kepala? Kenapa kamu gak peduli lagi dengan orangtuamu? Kenapa kamu berubah? Hanya demi cinta bodohmu itu, kau menggadaikan semua kasih sayang di sekitarmu. Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini?"Sebuah pesan singkat tertuju untuk Lily, melalui ponselnya.Rino masih tertegun di dalam kamarnya.Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Hatinya tak berhenti bertanya-tanya apakah Lily baik-baik saja, apakah Lily memilih pendamping yang tepat, apakah.. apakah.. apakah..Semua berputar dalam pikirannya.Serumit ini menjadi dewasa.Beeepp..beeepp..Ponselnya bergetar, Rino segera menyambar dam membuka pesan diterima."Kamu, bukan siapa-siapaku. Ada Hak apa kamu ngurusin hidupku? Urus saja hidupmu sendiri." Pesan balasan dari Lily, semakin membuat Rino sebal.Ternyata selama ini yang Ia perbuat, tak ada harganya di mata Lily.Lalu, bagaimana selama
Bab 10Pagi gerimis, Rino memarkirkan motor bututnya di parkiran sekolah. Kemudian berjalan santai menuju ruang BK.Tujuannya tak lain adalah, sebagai pengantar surat.Ya, sudah sejak seminggu yang lalu Ia resmi menjadi kurir pribadi Pak Gatot.Tugasnya adalah mengantar surat dari Pak Gatot kepada Yanti, anak Ibu kantin.Begitu pula sebaliknya, Rino akan mengantarkan surat dari Yanti, kepada Pak Gatot.Ini harus Ia lakukan agar aman dari hukuman.Sejak kejadian tempo hari, Rino memilih tidur lebih awal, dari pada menemani Lily bercerita tentang pacarnya.Bel berbunyi, tanda kelas akan segera dimulai.Rino keluar dari ruang BK menuju kelasnya.Jam pertama adalah Kimia, pelajaran yang melelahkan otak.Ini adalah kelemahan Rino, dan di kelas itu hanya ada satu siswa yang mampu mematahkan anggapan bahwa Kimia itu sangat sulit.Dia adalah Anis."Nis.. Anis... Ssttt..."Rino menggoyangkan kursi Anis yang berad