Bab 7
"Acara mau dimulai, nanti aku mau nyanyi. Kamu duduk di sana ya sama teman-teman!"
Rino mengusap rambut Lily, dibalas dengan anggukan Lily tanpa kata.Tangan Rino menggenggam erat jari mungil Lily, seraya mengajaknya berjalan menyusuri koridor kelas yang panjang.
Jantung Rino berdegup kencang, tidak seperti biasanya.Pikiran yang sedari kemarin penat karena menyiapkan acara Pensi, kini telah buyar dan terasa segar.Namun, hatinya berkecamuk memikirkan sesuatu.
Bagaimana jika nanti teman-temannya kembali mengolok-olok dia lagi dengan kata yang kurang enak didengar? Rino tak ingin Lily sakit hati ketika mengetahui semua ini.Baginya, apapun yang membuat Lily sakit, harus dijauhkan sejauh mungkin.Rino memejamkan mata sejenak, sebelum alunan musik masuk ke telinganya.
Ia sekarang sedang berdiri di atas panggung yang berhiaskan banyak balon.Ratusan pasang mata memandang ke arahnya, disertai Sorak Sorai dan tepuk tangan."Lagu ini, saya persembahkan untuk teman saya, yang sudah jauh-jauh datang ke sini, semoga harimu menyenangkan".
Rino mengucapkannya sambil menunjuk Lily yang sedang duduk di depan panggung.
Membuat semua orang mendadak mengarahkan pandangannya pada Lily.Dan Lily pun tersipu.Sungguh di luar dugaan, Ia kembali ke sekolah ini hanya untuk mencari Rino dan mengajaknya bolos sekolah, kenapa malah disuguhi tontonan seperti ini?Rino menuruni panggung dan memberi Lily sekuntum bunga mawar.
"Terimakasih telah menjadi temanku".Ucapan Rino sekaligus menyudahi lagunya.Lily hanya mampu tersenyum kecut.
Dalam hatinya Ia mengutuki perbuatan Rino. Tak seharusnya Rino melakukan seperti ini. Hanya membuat dirinya malu di tengah banyak siswa. Bahkan para guru.Lily segera beranjak dari kursi tempat Ia duduk, kemudian melangkahkan kaki menuju kantin, tempat Ia dulu menghabiskan waktu. Tempat paling nyaman di sekolah ini.
"Aah, rasanya aku sangat merindukan tempat ini". Gumamnya sendirian.
Kemudian Ia merebahkan diri di kursi panjang yang terbuat dari bambu, dahulu kursi ini adalah tempat Ibu kantin menaruh barang-barangnya.
Rino menyusul Lily, mendapati gadis itu sudah tertidur pulas.
Kemudian Rino duduk di sampingnya. Tak ada yang mampu Ia perbuat."Sepertinya dia sangat lelah".
Rino memandangi wajah pujaan hatinya. Begitu lekat, dan semakin dekat.Hingga bibirnya menyentuh pipi chuby seorang Lily."Haahh.. apaan kamu?"
Lily terbangun kaget."Maaf, aku..eh..a..aku..". Rino gelagapan, harus menjawab apa, padahal sebenarnya mudah saja. Hanya harus mengutarakan isi hatinya. Sesulit itu kah bagi cowok untuk melakukannya?
"Ganggu orang tidur aja, kamu gak tau aku udah dari jam tiga pagi belum tidur, capek banget aku harus naik bus". Seperti biasa Lily mengomel.
Rino hanya tersenyum, Ia tak dapat berfikir jernih, tak ada jawaban yang disiapkan untuk omelan Lily kali ini.
Semua terasa begitu beku, entah perasaan macam apa ini."Kamu tidur tanpa alas, tanpa bantal, nanti tambah pusing. Katanya kamu capek? Sini aja".
Rino menepuk pahanya, bermaksud agar Lily mau tidur di pangkuannya.Tanpa berfikir apapun, Lily meletakkan kepalanya di pangkuan Rino, kemudian memejamkan mata lagi.
Ah, sekali lagi Rino harus menahan iman agar tak tergoda.
Dielusnya rambut Lily yang sekarang terasa lembut, gadis ini sudah mulai pandai merawat diri. Terbukti dari rambutnya yang mulai dipanjangkan, dan semakin lembut, hingga pakaiannya pun semakin diperhatikan.Rino yang memang kurang tidur dari semalam, menyenderkan kepalanya pada tiang kayu, kemudian memejamkan mata dan terlelap.
Tangannya masih berada di kepala Lily, masih merasakan kehangatan.Rino tak menyadari tidurnya lumayan lama, kira-kira sejam telah terlewati.
Matanya terbuka perlahan ketika Ia merasakan getaran ponsel dalam saku celananya.Masih menahan kantuk, Ia melihat tangannya sendiri telah berganti posisi. Yang tadinya berada di kepala Lily, sekarang tangan kanannya berada di atas tubuh bagian atas Lily, menyentuh sesuatu yang Ia rasa seperti bola mainan anak-anak, kenyal.Rino yang kaget, malah justru meremasnya. Tanpa sengaja."Aaawww..." Pemiliknya berteriak dan terpaksa bangun.
"Maaf Lily, aku tidak sengaja. Benar-benar tidak bermaksud. Sumpah". Rino berusaha menjelaskan pada Lily. Namun gadis itu tak mau mendengarnya, sorot matanya menakutkan. Ia melangkah pergi meninggalkan Rino sendirian.
Rino semakin bingung, apa yang seharusnya Ia lakukan. Kemudian Ia berlari menyusul Lily.
"Lily, maaf. Aku beneran gak sengaja. Aku kaget dengar ponselku bergetar".
Rino meraih tangan Lily dan menariknya dalam pelukan. Rino mendekap tubuh mungilnya, hingga terasa sesak untuk bernapas.
"Cowok mesum! Lepasin! Gak bisa napas ini, kamu mau aku mati, hah..?"
Lily berusaha melepaskan dekapan Rino yang terasa menyesakkan.Rino terpaksa melepaskannya, kemudian menggamit lengan gadis itu, mengajaknya berjalan berdua.
Keadaan sekolah telah sepi, para siswa telah bubar sejak tadi siang sesaat acara ditutup.
Lily tak menyangka hari ini akan menjadi hari yang sangat aneh baginya."Aku bawa motor, sekarang ayo kita pulang". Ajak Rino, seraya menunjuk sebuah motor di halaman parkir.
Motor berwarna hijau yang biasa Ia gunakan sejak dulu, adalah warisan dari kakeknya. Meskipun motor tua, namun penampilan nyentriknya justru membuat orang lain mengagumi."Ayo. Cepat!" Jawab Lily.
Rino dengan sigap segera mengeluarkan kunci motor dari dalam tasnya.
Kemudian mengendarai motor kesayangannya."Ayo naik!" Ajak Rino.
Lily membonceng, dan motor segera melaju, membelah jalan pedesaan yang asri dan hijau.
Tiba-tiba rintik hujan turun begitu saja.Rino meminggirkan motor di bawah sebuah gubuk pinggir sawah.Mereka terpaksa harus berteduh sampai hujan selesai."Aku pengen main hujan, biar otakku semakin pintar". Kata Lily.
"Mana boleh, nanti kamu sakit". Jawab Rino.
Tak menghiraukan apapun, Lily segera berlari ke tengah jalan, menikmati rintik hujan yang semakin deras.
Rino menyusulnya, menutupi kepala Lily dengan tasnya."Jangan main hujan, nanti kamu sakit!"
Teriaknya.Seperti biasanya, Lily tak pernah menghiraukan dan tak pernah mau tau perkataan orang lain.
Ia selalu asyik dengan dirinya sendiri, hingga kadang lupa dengan siapa Ia berhadapan."Jangan main hujan! Nanti kamu sakit. Ayo kesini!" Rino berteriak sekali lagi seraya menarik tangan Lily yang sedari tadi menari-nari bermain hujan.
Rino terpaksa menariknya dan berteduh kembali di bawah gubuk.
Lily menatap Rino dan tersenyum."Kumohon jangan tersenyum, jantungku berdebar, aku tidak mau mengulangi kesalahan yang tadi aku perbuat." Ucap Rino, menatap mata Lily.
Kemudian keduanya terdiam sejenak.
Bibir Lily membiru pucat, sepertinya Ia kedinginan.Rino tak bisa berbuat banyak.Hanya bisa meminjamkan jaketnya untuk menutupi tubuh Lily yang menggigil.Rino membantu Lily memakaikan jaket itu, tapi pandangannya selalu saja salah. Ia tak sengaja menangkap sesuatu.
Belahan dada Lily menyembul begitu saja tanpa permisi. Sangat jelas terlihat karena Lily mengenakan kaos putih, dan telah basah terguyur hujan tadi.Rino tak kuasa mengutuki dirinya sendiri.
"Dasar mata kurang ajar". Ucapnya dalam hati.Hujan sedikit reda. Rino mengajak Lily untuk lanjut perjalanan pulang. Meskipun harus menerjang hujan yang tinggal gerimis, tapi ini membuat mereka kedinginan.
"Kamu pake ini aja ya, gak ada baju lain. Baju Reni semua di lemari, dikunci. Gak mungkin kan aku suruh kamu pake baju Ibu?".
Rino memberikan sebuah kaos miliknya, serta sebuah celana jeans pendek.
Lily tak mau berlama-lama kedinginan. Ia pun langsung membuka kaosnya yang basah kuyup, di hadapan Rino.Disusul kemudian Bra.Kemudian Ia segera memakai kaos pemberian Rino.Celana panjangnya pun harus Ia ganti.
Rino sedari tadi menutup mata dan membalikkan badannya menghadap tembok."Sudah No, aku lapar pengen makan". Lily membereskan pakaian basahnya.
"Yaudah ayok bikin mie aja. Aku sudah seminggu ditinggal Ibu seminar. Jadi gak ada makanan". Rino segera melangkah ke luar kamar, menuju dapur.
Tangan Rino cekatan memasak dua porsi mie rebus lengkap dengan sayur dan telur.
Lily bersiap menyantap hidangan di harapannya.
Namun lagi-lagi Rino harus menelan ludah lebih banyak. Ia seorang laki-laki dan normal.Mana mungkin Ia tak tergoda ketika melihat gadis di hadapannya memakai kaos tanpa Bra, dan jelas sekali benda kenyal itu terlihat di balik kaos tipisnya."Aaahh.. sial benar aku hari ini". Gumamnya dalam hati.
Lily yang sedari tadi menikmati makanan pun tampaknya sadar bahwa ada sesuatu yang janggal dalam dirinya.
Ia menoleh melihat dadanya."Astagaa.. cowok mesum, jangan lihat ini. Jangan lagi!" Lily melotot sambil menutupi dadanya dengan tangan menyilang.
"Tenang saja, aku tidak sejahat itu. Aku akan melakukannya ketika nanti kita udah Sah".
Rino menjawab sekenanya. Padahal sebenarnya sebagai manusia normal, pasti ada satu keinginan."Apa maksudmu kita udah sah?" Tanya Lily.
"Ya nanti kalau kita udah sah, jadi suami istri". Jawaban Rino semakin membuat suasana semakin aneh.
"Mana ada aku nikah sama kamu, sama sekali aku gak tertarik sama kamu. Ingat itu!"
Tegas Lily pada Rino.Lalu Ia melangkah pergi meninggalkan Rino.***
Lily duduk sendiri di tepian irigasi yang mengalir bening menuju sawah-sawah penduduk.
Menggoyangkan kakinya yang sengaja ditenggelamkan dalam air.Melamun memandangi sebuah bukit jauh di ujung desa.Rino duduk tak jauh dari Lily. Sama-sama sedang menatap sebuah bukit.
"Kamu punya mimpi gak No?"
Lily tiba-tiba membuka obrolan."Tentu saja punya, kenapa emang?" Jawab Rino.
"Apa mimpi kamu? Kalau aku, pengen pergi keliling dunia. Aku suka berpetualang".
Lily beringsut dari tempatnya duduk. Berdiri kemudian menuju motor yang sedari tadi terparkir. Mengambil sebuah botol minum, membukanya dan langsung meminum hingga tandas."Mimpimu bisa terwujud, ketika nanti aku jadi seperti Ayahku. Setidaknya kita keliling Indonesia dulu." Rino dengan pedenya menyaut pendapat Lily.
"Aku bisa sendiri tanpa kamu, Rino. Sayang sekali, aku gak pernah bermimpi akan punya suami Abdi negara. Gak mau aku ditinggal perang, takut jadi janda usia muda."
Lily selalu saja membantah apa yang diucapkan Rino."Oh, begitu? Ada-ada saja kamu."
Rino tampak tersenyum melihat tingkah Lily yang sok keren di hadapannya.Sore itu, dua anak manusia menikmati indahnya matahari yang tenggelam, pulang dalam peraduannya. Sinar jingga nan elok menghiasi ujung langit jauh di sana.
Angin bertiup lembut khas pegunungan.Hari semakin gelap dan udara semakin terasa menusuk tubuh, merasuk hingga ke tulang.Motor kesayangan berwarna hijau, yang biasa Rino kendarai sehari-hari sendirian, saat ini harus menanggung beban lebih berat.
Jalan yang naik turun, membuat si 'Jaka' motor kesayangannya, terpaksa berhenti tiba-tiba.Bbrrppp...brrrppp..brrrpp...
"Yaaahhh.. mogok Ly. Gimana ini, jauh dari kampung.". Rino sedikit panik, karena hari mulai gelap dan perjalanan pulang masih jauh.
"Coba kita benerin dulu, atau cek bensin dulu. Barangkali habis."
Usul Lily ada benarnya juga.Mereka berdua turun dari motor, kemudian menyalakan senter ponselnya.
Keadaan jalan sangat sepi, penerangan pun kurang memadai.Kanan dan kiri adalah sawah dan ladang.Terdengar banyak suara serangga malam."Coba pegang ini sebentar, arahkan ke sini!"
Perintah Lily, sambil membuka jok motor untuk memeriksa Tanki bensin.Rino tanpa menjawab, langsung mengarahkan senter ponselnya ke arah yang ditunjuk Lily.
Terlihat Lily sedang berusaha membuka tutup Tanki."Bangsaatt..!!!! Kamu punya otak gak dipake apa gimana sih?" Lily menoleh ke arah Rino.
Rino kaget dan melongo, "kenapa emang?"
"Bensin habis, tuh lihat aja sendiri. Motor gak pernah diurusin, bensin aja gak diisi, emang motor bisa jalan pake air kencingmu, hahh?"
Lily terlihat sangat kesal dengan keadaan ini.
Bagaimana tidak, mereka kehabisan bensin di tengah hamparan sawah nan luas.Jauh dari perkampungan, minim penerangan.Dan jalan satu-satunya hanyalah mendorong si 'Jaka' hingga menemukan penjual bensin eceran. Entah di mana itu."Yaaahh, maaf. Aku lupa. Yaudah kalau kamu gak mau dorong, kamu tunggu di sini, nanti aku balik lagi. Gimana?" Rino mencoba negosiasi.
Namun dibantah mentah-mentah oleh Lily."Laki macam apa kamu, mau ninggalin cewek sendirian di sini. Iya kalau entar aku cuma diculik Om Om perut gendut, kalau aku diculik genderuwo, mau cari ke mana kamu?"
Lily terlihat sangat kesal. Kemudian melangkah begitu saja meninggalkan Rino.Jalanan sangat sepi, hingga tak ada yang bisa mereka dengar kecuali suara napas mereka sendiri.
Entah sudah berapa menit mereka berjalan, belum juga menemukan penjual bensin eceran. Tak ada satupun orang yang melintas untuk dimintai pertolongan.
Lily yang terlihat begitu kesal, sudah berjalan jauh di depan Rino yang sedang menuntun motornya.
Tiba-tiba ponsel Lily bergetar.
Ia merogohnya dari saku jaket yang Ia kenakan.Sejenak terlihat Ia membalas pesan di ponselnya.Rino memperhatikan dari jauh, batinnya bertanya kenapa Lily berhenti dan terlihat serius, padahal biasanya Ia jarang memperhatikan pesan masuk di ponselnya."Kenapa Ly..?" Teriak Rino dari kejauhan.
Lily tak menjawab, hanya melambaikan tangan.
Rino segera menyusul sedikit berlari sambil menuntun motornya.Napasnya memburu, jantungnya serasa mau meledak, berdegup kencang karena mengkhawatirkan sahabatnya."Kamu kenapa Ly? Kok diam aja, kamu lapar ya? Ayo kalau gitu, sebentar lagi kita sampai di desa, pasti ada yang jual bensin sama makanan." Ajak Rino.
Lily yang sedari tadi berdiri mematung, kemudian berjalan mengekor di belakang Rino.
Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya.Wajahnya menengadah, matanya hanya sibuk memandang hamparan bintang di langit yang begitu indah.Matanya terlihat menahan sesuatu yang mendadak memenuhi kelopak indahnya.Mulutnya terus terbuka mengatur napasnya.Malam yang indah ini, sayang untuk dilewatkan. Suasana yang menyenangkan, langit yang indah, dan suara binatang malam nan merdu, seolah adalah kesatuan yang agung. Yang tercipta sempurna.
Namun, pasti sesuatu telah terjadi, hingga membuat Lily mendadak diam seribu bahasa.Rino yang sedari tadi berjalan menjauh, sesekali menoleh ke belakang. Memastikan apakah Lily baik-baik saja atau tidak.
"Lily... Buruan. Minggir Ly... Minggir!!!.. Awaaaass !!!!".
Bab 8Rino berlari meninggalkan sepeda motornya, membiarkan tergeletak begitu saja. Berlari menghampiri Lily, memastikan tidak terjadi hal buruk pada Lily.Di alam terbuka seperti ini memang tak menutup kemungkinan banyak binatang liar keluar di malam hari untuk mencari makan.Rino yang sekilas melihat bayangan hitam berlari dari belakang Lily, spontan berteriak agar Lily menghindari binatang tersebut."Kamu gak kenapa-kenapa kan?"Rino memastikan keadaan Lily, seraya melihat sekeliling mereka"Gak kok, cuma kaget. Itu tadi seperti landak deh. Untung kamu teriak, kalau gak.. mungkin aku udah ketabrak tadi".Lily membersihkan celananya yang terkena tanah akibat terjatuh saat menghindari binatang tadi."Itu di depan ada desa. Kita akan segera mendapatkan bensin. Yuk!"Rino mengajak Lily kembali berjalan.Lily menurut. Berjalan di belakang Rino, masih terasa degup kencang jantungnya. Kejadian baru saja
Bab 9 Lily terlihat mengemasi baju-bajunya, memasukkan ke dalam sebuah tas ransel berwarna hitam.Hari ini sudah waktunya Ia kembali ke kota lagi untuk bekerja. Di luar sudah ada Rino yang menunggu untuk mengantarkan Lily ke terminal.Tersaji secangkir teh manis dan singkong goreng buatan Ibunya Lily. Rumah ini sepi. Hanya ada Lily dan Ibu yang sedang membantu Lily di kamar.Rino sudah lama tak berkunjung ke rumah ini, dahulu ada beberapa ekor burung dalam kandang, tergantung di teras rumah ini. Tapi sekarang hanya tinggal satu ekor. Itupun terlihat tak terawat, mungkin Ayah Lily sangat sibuk dengan pekerjaannya hingga tak sempat lagi mengurus hewan peliharaannya. "Reno, udah yuk berangkat. Takut kesiangan, nanti bisa-bisa gak dapet bus loh."Lily berjalan keluar menggendong tas ranselnya. "Oh, ya udah ayo. Masih ada yang ketinggalan gak? Inget-inget dulu biar gak repot nanti!"Rino beranjak dari kursi kayu yang sedari tadi Ia d
Bab 10Pagi gerimis, Rino memarkirkan motor bututnya di parkiran sekolah. Kemudian berjalan santai menuju ruang BK.Tujuannya tak lain adalah, sebagai pengantar surat.Ya, sudah sejak seminggu yang lalu Ia resmi menjadi kurir pribadi Pak Gatot.Tugasnya adalah mengantar surat dari Pak Gatot kepada Yanti, anak Ibu kantin.Begitu pula sebaliknya, Rino akan mengantarkan surat dari Yanti, kepada Pak Gatot.Ini harus Ia lakukan agar aman dari hukuman.Sejak kejadian tempo hari, Rino memilih tidur lebih awal, dari pada menemani Lily bercerita tentang pacarnya.Bel berbunyi, tanda kelas akan segera dimulai.Rino keluar dari ruang BK menuju kelasnya.Jam pertama adalah Kimia, pelajaran yang melelahkan otak.Ini adalah kelemahan Rino, dan di kelas itu hanya ada satu siswa yang mampu mematahkan anggapan bahwa Kimia itu sangat sulit.Dia adalah Anis."Nis.. Anis... Ssttt..."Rino menggoyangkan kursi Anis yang berad
Bab 10Pagi gerimis, Rino memarkirkan motor bututnya di parkiran sekolah. Kemudian berjalan santai menuju ruang BK.Tujuannya tak lain adalah, sebagai pengantar surat.Ya, sudah sejak seminggu yang lalu Ia resmi menjadi kurir pribadi Pak Gatot.Tugasnya adalah mengantar surat dari Pak Gatot kepada Yanti, anak Ibu kantin.Begitu pula sebaliknya, Rino akan mengantarkan surat dari Yanti, kepada Pak Gatot.Ini harus Ia lakukan agar aman dari hukuman.Sejak kejadian tempo hari, Rino memilih tidur lebih awal, dari pada menemani Lily bercerita tentang pacarnya.Bel berbunyi, tanda kelas akan segera dimulai.Rino keluar dari ruang BK menuju kelasnya.Jam pertama adalah Kimia, pelajaran yang melelahkan otak.Ini adalah kelemahan Rino, dan di kelas itu hanya ada satu siswa yang mampu mematahkan anggapan bahwa Kimia itu sangat sulit.Dia adalah Anis."Nis.. Anis... Ssttt..."Rino menggoyangkan kursi Anis yang berad
Bab 11"Kenapa kamu keras kepala? Kenapa kamu gak peduli lagi dengan orangtuamu? Kenapa kamu berubah? Hanya demi cinta bodohmu itu, kau menggadaikan semua kasih sayang di sekitarmu. Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini?"Sebuah pesan singkat tertuju untuk Lily, melalui ponselnya.Rino masih tertegun di dalam kamarnya.Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Hatinya tak berhenti bertanya-tanya apakah Lily baik-baik saja, apakah Lily memilih pendamping yang tepat, apakah.. apakah.. apakah..Semua berputar dalam pikirannya.Serumit ini menjadi dewasa.Beeepp..beeepp..Ponselnya bergetar, Rino segera menyambar dam membuka pesan diterima."Kamu, bukan siapa-siapaku. Ada Hak apa kamu ngurusin hidupku? Urus saja hidupmu sendiri." Pesan balasan dari Lily, semakin membuat Rino sebal.Ternyata selama ini yang Ia perbuat, tak ada harganya di mata Lily.Lalu, bagaimana selama
Bab 12 "Hai,.." Rino menyapa Lily. "Masuk.." Lily mempersilahkan. Rino dan Anis memasuki ruangan bernuansa putih, diletakkannya sekeranjang buah yang sengaja Ia bawa dari rumah, di atas meja sudut ruangan. "Gimana kabar Ibu? Sudah mendingan?" Rino tersenyum menyalami tangan Ibu. "Alhamdulillah, sudah berkurang sakitnya. Paling besok bisa pulang. Ibu sudah sehat sekarang " "Ibu hanya rindu sama Lily berarti ya? He he he.." Rino terkekeh. "Iya, Ibu rindu sama Lily. Sekarang sudah di sini, jadi Ibu sudah sembuh. Ehm.. ini siapa Nak?"Ibu menoleh ke arah Anis. "Saya, Anis Bu. Teman Rino." Jawab Anis. "Dia pacarnya Rino, Bu" Lily menambahkan "Udah bukan, Kak. Kami selesai.". Anis tersenyum. "Lho, kenapa? Padahal kalian serasi. Apakah Rino merepotkanmu?". Seloroh Lily, diikuti tawa kecilnya.Ia heran mengapa cinta sesingkat itu, padahal
Bab 13 "Cukup!" Lily mendorong tubuh Rino. "Gak! ini gak akan cukup untuk mewakili rasaku padamu. Aku bahkan memikirkanmu setiap hari." "Rino, kamu terlalu baik untuk ku dapatkan. Masa depan seperti apa yang kau inginkan dariku?" "Masa depan yang indah tentunya, kita bisa bersama sampai tua. Sampai maut memisahkan kita." "Kamu masih anak SMA. Tau apa kamu soal masa depan hari tua?"Lily menyeka air matanya. "Ly, pliss beri aku kesempatan. Beri aku waktu untuk membuktikan. Aku gak mau kamu disakiti orang lain lagi."Rino menggenggam jemari Lily, meremas perlahan. "Aku sudah gak percaya apa itu cinta. Sebenarnya di balik cinta hanya ada nafsu belaka." Lily menunduk. "Tidak Ly, aku tidak seperti itu. Semua ini benar-benar tulus." "Rino, mendingan sekarang kamu pikirin masa depan kamu sendiri. Mau dibawa kemana nanti, mau jadi apa kamu nanti, mau seperti apa hidupmu nanti. Pikirkan dari sekarang."
Bab 14Rino melangkah masuk ruangan berukuran 3x5 itu. Tanpa babibu, Ia duduk di kursi panjang berwarna coklat muda."Bapak ada perlu apa?" Tanya Rino pada Pak Gatot." Tidak ada perlu, cuma mau kasih tau saja, ini kampus bagus buat kamu. Katanya kamu gak mau nerusin jadi seperti Bapakmu 'kan?"Pak Gatot menyodorkan selembar kertas katalog Universitas."Tapi ini jauh Pak.""Kamu kan laki-laki. Masa' kalah sama kakakmu yang perempuan, dia saja mau ditugaskan ke luar Jawa. Kamu, ke kota saja sudah ngeluh. Laki-laki macam apa kamu?""Sejujurnya saya ragu Pak. Bagaimana jika orang tua saya tidak mengijinkan, dari mana saya harus membayar biaya kuliah?""Rino, dulu saya jualan gorengan setelah selesai jam kuliah. Kalau pas hari libur, saya jualnya full seharian. Saya juga belajar makelar motor, ya demi bisa bayar uang kuliah. Lha wong orang tua saya cuma petani, uangnya tidak banyak, sedangkan saya masih punya adik yang harus dibiayai
Bab 18"Sudah ku cukupkan rasa ini sampai di sini. Seharusnya aku tau, kamu bukan tujuan utamaku.Seharusnya aku tau dari dulu, bahwa aku bukan apa dan siapa di hatimu dan pikiranmu. Maafkan aku yang terlalu berharap, aku sudahi perasaan ini. Tidak ada lagi yang harus kau pikirkan tentang aku. Biar saja semua berlalu begitu saja. Menguap seperti air di lautan, walau aku tahu akan tiba saatnya semua akan kembali tercurah bagaikan hujan.Sudah.Aku harus pergi dari hidupmu. Terimakasih, Lily."Sebuah pesan di ponselnya, membuat Lily terhenyak.Seketika Ia berderai air mata. Semua ini salah paham. Tidak seperti yang Rino lihat, sebenarnya Lily dan Erik hanya sebatas teman. Erik melakukan semua kebaikan itu, karena tanggung jawab telah membuat Lily harus dirawat."Rino, aku gak tahu lagi harus bagaimana. Sedangkan perasaanku sendiri sungguh aneh. Aku takut menyakitimu, tapi ini telah terjadi. Bahkan sebelum kita terikat."Lily masih melamun
Bab 17"Bagaimana aku bisa tertidur di sini?"Lily berusaha bangkit, namun tak bisa. Nyeri di punggungnya masih terasa, bahkan semakin menjadi. Rasanya seperti sedang menggendong beban berat, melebihi berat badannya sendiri.Di samping tempat tidurnya, duduk lelaki yang baru beberapa hari yang lalu menabraknya.Masih terpejam matanya. Tubuh menyender di tembok belakangnya.'Tok. Tok. Tokk..'Suara pintu diketuk dari luar.Erik segera terbangun karena kaget.Ia kemudian berdiri dan melangkah ke arah pintu.Ternyata, Dokter yang akan memeriksa Lily, datang bersama suster."Selamat pagi Lily. Apa kabar? Gimana punggungnya, apa yang dirasakan?"Dokter bertanya sembari akan memeriksa keadaan Lily.Sementara, suster meletakkan makanan dan minuman, serta beberapa obat yang harus diminum pagi ini."Saya merasa punggung saya seperti sedang menggendong beban berat, Dok."Jawab Lily."Lily, sebelumnya
Bab 16 "Telah terukir walau setitik, senyumanmu di hatiku. Meski nanti akan pergi, setidaknya aku pernah menemuimu. Ada rasa dalam jiwa ini, untukmu yang selalu di sampingku. Walau nanti takdir berganti, setidaknya masih tersisa hangat pelukmu. Haruskah beban ini ku pikul sendiri, jika berat Rindu ini semakin menjadi setiap hari?" Lily memandangi fotonya bersama Rino, yang sempat mereka abadikan ketika saat itu mereka berdua berada di pantai. Sejujurnya, hati kecil Lily menginginkan hubungan ini lebih dari pertemanan. Namun pikirannya selalu menolak, Ia sadar semua itu hanya akan membawanya dalam lingkaran sakit hati yang tak ujung henti. Keluarga Rino tau siapa dirinya, gadis desa yang kurang pendidikan. Berasal dari keluarga biasa. Parasnya pun pas-pasan. Tidak ada yang istimewa, yang bisa dibanggakan Rino atas dirinya. Apalagi usianya yang lebih tua dari Rino. Ini adalah hal yang memalukan, mana mungkin Rino
Bab 15"Rino, ya?"Suara seseorang di balik kemudi mengagetkan Rino."Iya, Om." Jawab Rino, polos."Ayo masuk. Saya Edi, adiknya mas Gatot."Ajak orang itu, justru malah sambil membuka pintu mobilnya dan keluar.Kemudian berjalan ke arah belakang, rupanya dia berniat membuka pintu bagasi.Rino membawa barang-barangnya ke bagasi mobil, kemudian Ia masuk mobil dan duduk di samping Pak Edi.Mobil merah tersebut langsung tancap gas menuju ke sebuah rumah di komplek perumahan.Setelah memarkirkan mobilnya, Pak Edi turun. Begitupun Rino.Rino berdecak kagum melihat rumah yang bergaya minimalis itu. Meskipun tidak terlalu besar, namun rumah ini sangat rapi dan asri.Temboknya bercat putih keseluruhan, dengan pintu cokelat bergaya minimalis modern.Banyak tanaman bunga di halaman, mulai dari bunga mawar hingga tanaman menjalar.Di sisi lain, ada sebuah kolam kecil, dengan banyak ikan Koi di dalamnya. Ada pula
Bab 14Rino melangkah masuk ruangan berukuran 3x5 itu. Tanpa babibu, Ia duduk di kursi panjang berwarna coklat muda."Bapak ada perlu apa?" Tanya Rino pada Pak Gatot." Tidak ada perlu, cuma mau kasih tau saja, ini kampus bagus buat kamu. Katanya kamu gak mau nerusin jadi seperti Bapakmu 'kan?"Pak Gatot menyodorkan selembar kertas katalog Universitas."Tapi ini jauh Pak.""Kamu kan laki-laki. Masa' kalah sama kakakmu yang perempuan, dia saja mau ditugaskan ke luar Jawa. Kamu, ke kota saja sudah ngeluh. Laki-laki macam apa kamu?""Sejujurnya saya ragu Pak. Bagaimana jika orang tua saya tidak mengijinkan, dari mana saya harus membayar biaya kuliah?""Rino, dulu saya jualan gorengan setelah selesai jam kuliah. Kalau pas hari libur, saya jualnya full seharian. Saya juga belajar makelar motor, ya demi bisa bayar uang kuliah. Lha wong orang tua saya cuma petani, uangnya tidak banyak, sedangkan saya masih punya adik yang harus dibiayai
Bab 13 "Cukup!" Lily mendorong tubuh Rino. "Gak! ini gak akan cukup untuk mewakili rasaku padamu. Aku bahkan memikirkanmu setiap hari." "Rino, kamu terlalu baik untuk ku dapatkan. Masa depan seperti apa yang kau inginkan dariku?" "Masa depan yang indah tentunya, kita bisa bersama sampai tua. Sampai maut memisahkan kita." "Kamu masih anak SMA. Tau apa kamu soal masa depan hari tua?"Lily menyeka air matanya. "Ly, pliss beri aku kesempatan. Beri aku waktu untuk membuktikan. Aku gak mau kamu disakiti orang lain lagi."Rino menggenggam jemari Lily, meremas perlahan. "Aku sudah gak percaya apa itu cinta. Sebenarnya di balik cinta hanya ada nafsu belaka." Lily menunduk. "Tidak Ly, aku tidak seperti itu. Semua ini benar-benar tulus." "Rino, mendingan sekarang kamu pikirin masa depan kamu sendiri. Mau dibawa kemana nanti, mau jadi apa kamu nanti, mau seperti apa hidupmu nanti. Pikirkan dari sekarang."
Bab 12 "Hai,.." Rino menyapa Lily. "Masuk.." Lily mempersilahkan. Rino dan Anis memasuki ruangan bernuansa putih, diletakkannya sekeranjang buah yang sengaja Ia bawa dari rumah, di atas meja sudut ruangan. "Gimana kabar Ibu? Sudah mendingan?" Rino tersenyum menyalami tangan Ibu. "Alhamdulillah, sudah berkurang sakitnya. Paling besok bisa pulang. Ibu sudah sehat sekarang " "Ibu hanya rindu sama Lily berarti ya? He he he.." Rino terkekeh. "Iya, Ibu rindu sama Lily. Sekarang sudah di sini, jadi Ibu sudah sembuh. Ehm.. ini siapa Nak?"Ibu menoleh ke arah Anis. "Saya, Anis Bu. Teman Rino." Jawab Anis. "Dia pacarnya Rino, Bu" Lily menambahkan "Udah bukan, Kak. Kami selesai.". Anis tersenyum. "Lho, kenapa? Padahal kalian serasi. Apakah Rino merepotkanmu?". Seloroh Lily, diikuti tawa kecilnya.Ia heran mengapa cinta sesingkat itu, padahal
Bab 11"Kenapa kamu keras kepala? Kenapa kamu gak peduli lagi dengan orangtuamu? Kenapa kamu berubah? Hanya demi cinta bodohmu itu, kau menggadaikan semua kasih sayang di sekitarmu. Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini?"Sebuah pesan singkat tertuju untuk Lily, melalui ponselnya.Rino masih tertegun di dalam kamarnya.Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Hatinya tak berhenti bertanya-tanya apakah Lily baik-baik saja, apakah Lily memilih pendamping yang tepat, apakah.. apakah.. apakah..Semua berputar dalam pikirannya.Serumit ini menjadi dewasa.Beeepp..beeepp..Ponselnya bergetar, Rino segera menyambar dam membuka pesan diterima."Kamu, bukan siapa-siapaku. Ada Hak apa kamu ngurusin hidupku? Urus saja hidupmu sendiri." Pesan balasan dari Lily, semakin membuat Rino sebal.Ternyata selama ini yang Ia perbuat, tak ada harganya di mata Lily.Lalu, bagaimana selama
Bab 10Pagi gerimis, Rino memarkirkan motor bututnya di parkiran sekolah. Kemudian berjalan santai menuju ruang BK.Tujuannya tak lain adalah, sebagai pengantar surat.Ya, sudah sejak seminggu yang lalu Ia resmi menjadi kurir pribadi Pak Gatot.Tugasnya adalah mengantar surat dari Pak Gatot kepada Yanti, anak Ibu kantin.Begitu pula sebaliknya, Rino akan mengantarkan surat dari Yanti, kepada Pak Gatot.Ini harus Ia lakukan agar aman dari hukuman.Sejak kejadian tempo hari, Rino memilih tidur lebih awal, dari pada menemani Lily bercerita tentang pacarnya.Bel berbunyi, tanda kelas akan segera dimulai.Rino keluar dari ruang BK menuju kelasnya.Jam pertama adalah Kimia, pelajaran yang melelahkan otak.Ini adalah kelemahan Rino, dan di kelas itu hanya ada satu siswa yang mampu mematahkan anggapan bahwa Kimia itu sangat sulit.Dia adalah Anis."Nis.. Anis... Ssttt..."Rino menggoyangkan kursi Anis yang berad