Bab 6
Semua terasa begitu sepi. Sejak kepergian Lily, hidup Rino seperti kosong, tak ada lagi tempat berbagi cerita, tak ada teman untuk sekedar melewati jalan yang sama setiap pagi, atau menikmati es kelapa muda pinggir jalan seperti saat itu.
Apalagi sekarang Rino telah naik kelas, sudah berbeda nuansa ruangan. Tak seperti dulu lagi ketika jam istirahat Rino masih bisa melihat Lily berlari ke kantin sekolah, walau kadang menyakitkan hati. Bagaimana tidak, Lily selalu terlihat akrab dengan siapapun. Bahkan dengan semua siswa laki-laki di sekolah ini, Lily sangat akrab.Pembawaan Lily yang santai dan terkesan cuek, membuat hati Rino penasaran.Sayang seribu sayang, pujaan hatinya tak pernah menganggap semua ini lebih dari pertemanan.Tiga bulan sudah sejak Lily meninggalkannya.
Kabar terakhir yang Ia terima, bahwa Lily kehilangan handphone.Itu dikarenakan hidup di lingkungan Mess, dan Lily adalah anak baru. Meskipun kehilangan, Lily tak berani bilang siapapun. Mungkin karena perasaan takutnya pada senior. Lagipula, Lily takut kehilangan pekerjaan karena mungkin jika dia buka suara, maka fitnah akan terjadi.Semakin sepi hidup Rino terasa.
Entah kapan Lily akan kembali menemaninya lagi, duduk bersama memandangi hamparan langit penuh bintang.Rino sangat bingung. Satu sisi, Lily cewek yang terkesan tomboy. Tapi, di sisi lain sebenarnya Lily sangat manis. Ia memperhatikan hal-hal kecil yang kadang terlewatkan oleh sebagian orang. Wajahnya meskipun tidak seputih teman-temannya, tapi tak ada jerawat satupun. Satu lagi, saat tersenyum terlihat sangat manis.
***
Hari itu hari Senin, semua siswa diharuskan mengikuti upacara di lapangan sekolah. Rino bertindak sebagai Ketua OSIS baru, menyampaikan pidato pertamanya.
Semua murid bertepuk tangan meriah, bangga atas Visi dan Misi Rino, menjunjung tinggi semangat Pancasila.Selesai upacara, Rino tak sengaja melewati kantor TU.
Kemudian terdengar suara memanggil namanya, Rino menoleh dan mendapati Bu Dina sedang melambaikan tangannya."Rino, sini! Ini ada surat."
Rino yang tak pernah menerima surat sebelumnya, hanya bisa nyengir. Berpikir, memangnya surat dari siapa, kok aneh.
"Iya Bu, surat buat saya? Dari siapa Bu?"
Rino mendekat meja Bu Dina."Dari Lily Bunga Pamungkas." Jawab Bu Dina seraya menyerahkan amplop berwarna coklat muda.
Rino tersenyum, "Terimakasih ya Bu.. terimakasih."
"Iyaaaa, girang banget, pacarmu ya? Tapi kok namanya kaya gak asih ya? Kaya pernah dengar, gitu." Jawab Bu Dina.
Rino sudah tak menjawab, hanya melambaikan tangan dan pergi menuju kelasnya.
Jam istirahat pun tiba.
Rino tak ingin beranjak sedikitpun dari bangku tempatnya duduk. Tak ada niat sedikitpun untuk membeli makanan atau sekedar air kemasan.Baginya saat itu adalah saat yang tepat untuk membuka surat dari sahabatnya.Mumpung kelas sepi, tak kan ada orang lain yang tahu. Maklum, Rino berulang kali menerima ejekan dari teman-temannya, hanya karena Ia berteman dengan cewek yang lebih tua.Rino membuka perlahan kertas amplop, kemudian menarik isinya.
Selembar foto, selembar kertas putih, dan selembar kertas biru muda." Hai, apa kabar? Semoga kamu sehat ya.. Aku di sini sehat, kerjaanku lancar. Aku udah gajian, jadi aku bisa kirim surat ini. Mungkin beberapa bulan lagi batu bisa beli HP baru.
Gimana harimu? Menyenangkan kan berada di kelas baru, atau semakin menyebalkan? Hahaha..Apapun itu, aku harap kamu tetap semangat belajar.Salam ya buat Ayah Ibu kamu. Semoga beliau sehat selalu."Isi surat singkat itu membuat hati Rino berdebar. Rasa bahagia memuncak, ketika Ia membuka lembaran berikutnya, yaitu kertas berwarna biru muda.
" Awan selalu beriring pergi dan datang lagi, Seperti kehidupan dan persahabatan.
Namun langit akan tetap sama, BIRUDan Mentari tak akan pernah ingkar pada bumi, untuk kembali menyinari, meskipun malam memisahkan. Meskipun tak pernah bumi memintanya.
Karena Tuhan menciptakan semua pada tempatnya. Saling mengisi dan memberi."
Rino semakin bahagia, terasa begitu cepat jantungnya berdetak.
Sesaat Ia melihat sebuah foto.Gambar diri seorang Lily yang telah sedikit berubah.Ada riasan di wajahnya, dengan perona pipi dan pewarna bibir tipisnya.Rambut yang dahulu terbiasa pendek, terakhir kali Rino lihat panjang di bawah telinga.Kiri semakin manis dengan poni menutupi keningnya.Sebuah jepit berwarna ungu, serasi dengan baju yang tengah Ia kenakan."Kenapa kamu begitu manis?" Ucap Rino dalam hati.
Rino memejamkan mata, mendekap dalam foto itu. Membayangkan betapa bahagia dirinya ketika nanti bertemu kembali dengan sahabatnya itu.
***
Sejak saat itu, sepertinya hari-hari yang dilalui semakin berat. Ya, berat karena menahan rindu yang perih dan entah sampai kapan akan begini. Sedangkan kelulusan sekolah masih sangat jauh.
Padahal seharusnya Rino konsentrasi dengan sekolahnya, agar nilainya bisa terus naik.Selama ini Rino termasuk siswa yang berprestasi. Hingga sering mendapat keringanan pembayaran sekolah.Surat yang waktu itu belum terbalas, karena Rino tak tahu harus dikirim ke mana. Lily tak menuliskan alamat yang jelas pada kolom 'pengirim'.
Entahlah, bingung dan bimbang selalu menyelimutinya.
Hingga suatu saat setelah dua bulan Ia mendapatkan surat itu, datang lagi surat ke dua dari Lily.Dalam surat itu, Lily bilang akan sesegera mungkin pulang.
Karena sudah berhak mengambil cuti setelah lewat tiga bulan bekerja.Lagi-lagi Rino tak bisa membalas. Sepertinya Lily memang sengaja tidak mencantumkan alamatnya. Agar Rino tak bisa membalas suratnya.
Entah apa yang dipikirkan Lily. Selalu datang dan pergi sesuka hatinya.Rino pun tak mau ambil pusing. Baginya, sudah biasa Ia seperti ini. Hilang harapan dan selalu pupus begitu saja. Sudah terbiasa dengan sikap Lily yang seenaknya sendiri.
Rino menyibukkan dirinya, berniat melupakan rasa yang ada.
Mengurus kegiatan sekolah adalah salah satu caranya untuk mencari penghiburan.Bulan depan, sekolah berencana menyelenggarakan Pentas seni, yang akan diisi oleh karya para siswa.
Rino bertindak sebagai ketua OSIS, harus terjun langsung menyiapkan semua yang diperlukan. Hingga Ia lupa akan rasa yang selama ini Ia pendam.Tiba saatnya, hari di mana Pensi akan digelar.
"Kriingggg...kriinggg.." bunyi handphone Rino.
Berkali-kali berbunyi, namun sepertinya Rino terlalu sibuk, hingga tak mendengar dering handphone.
"Ji, aku istirahat dulu ya di kelas. Capek banget, dari malam belum tidur.". Rino meminta izin pada sahabatnya, Aji.
"Iya, nanti aku bangunin kalau acara udah mau mulai." Jawab Aji.
Sementara itu, di halaman sekolah telah penuh dengan hiruk pikuk para siswa.
Berjalan seorang perempuan di tengah-tengah kerumunan siswa. Terlihat tidak asing di mata para siswa SMA HARAPAN BANGSA.Perempuan dengan kulit Tan, mengenakan stelan kasual, celana Jeans warna biru di atas mata kaki, terdapat beberapa robekan di celana itu, namun tetap terkesan elegan. Kaos oblong putih bertuliskan "I Love my Life".
Serta sepatu kets warna putih.Dan tas selempang kecil berwarna hitam.Rambutnya dibiarkan tergerai panjang sepunggung, ikal hitam dengan sedikit coklat di ujungnya. Tak ada aksesoris apapun, hanya dibiarkan tergerai indah. Senyum di bibir tipis yang berhias lipstik warna orange seolah mampu mendebarkan hati siapapun."Hai Alin.." sapa perempuan itu.
Alin, adalah teman sekelas Rino.
Ia masih tertegun bingung. Seperti kenal, tapi lupa."Eehh.. mbak, temennya Rino bukan sih?"
"Iya, tau Rino di mana?" Jawab perempuan itu.
"Ada tuh lagi tidur di kelas. IPA dua. Kelasnya di ujung itu." Alin menerangkan.
"Oke, aku ke sana sendiri. Makasih ya.." ucap perempuan itu sambil berlalu.
Di tengah Ia berjalan, tak sedikit yang memandang heran padanya.
Sempat bertemu pula dengan cowok yang pernah ada di hatinya. Yaitu Didi.Didi sedang duduk di depan kelas sambil bermain Handphone.Melihat ada seseorang berjalan, Didi menoleh. Kaget, heran, namun berusaha tetap tersenyum."Hai, Di.. apa kabar?" Sapa perempuan itu sambil berlalu begitu saja.
Tak ada niatan berhenti untuk sekedar berjabat tangan dengan Didi.Tibalah Ia di depan kelas bertuliskan IPA².
Ia memutar kenop pintu dan menariknya. Kakinya mulai melangkah memasuki ruangan, dan matanya tertuju pada bangku paling belakang.Ia dapati seorang laki-laki sedang tidur terlentang di antara tiga kursi yang berjejer.Ia berjalan mendekatinya, memandangi wajah yang tampan dengan alis tebal itu.
Kemudian mendekatkan wajahnya pada laki-laki itu, hingga hidungnya beradu."Hai, belut sawah.. mau sekolah apa mau tidur?"
Suara sayup-sayup itu membuat mata Rino perlahan terbuka.
Masih susah terbuka.Sepertinya Rino mengira ini hanyalah mimpi.Kemudian wajah Rino terasa seperti ada yang menyentuh. Dingin.
Matanya kembali perlahan terbuka.Ia mengerutkan alisnya, berpikir 'siapa yang sedang di hadapannya'.Lalu Rino kaget, dan membuka matanya lebar-lebar. Melongo, mengucek matanya.
Tangannya berkali-kali mengucek matanya."Lily..?" Tanya Rino.
"Iyaaaa.. baweeelll." Jawab perempuan itu tersenyum, yang ternyata adalah Lily.
"Haaahh.. kapan datang?" Rino masih bingung.
"Tadi pagi. Kamu sih aku telponin gak diangkat. Jadi udah aku kesini aja. Eh ternyata lagi ada acara juga ya?" Lily menjawab sembari berlalu dari hadapan Rino.
Lily keluar kelas, berjalan menuju aula ingin menyaksikan Pensi yang sebentar lagi dimulai.
Rino berlari mengejar Lily, dan berhasil meraih tangan kanan Lily.Lily berbalik, memperhatikan Rino. Ia bingung apa yang sebenarnya terjadi pada anak itu.
Kemudian Rino tersenyum, langsung memeluknya. Membenamkan wajahnya di balik rambut lebat Lily.Hingga tak terasa air mata Rino menetes begitu saja tanpa aba-aba."Cacing kremi, aku kangeeenn.." ucap rino sesenggukan.
"Iya, aku juga kangen." Balas Lily.
Mereka berpelukan lama, hingga tak disadari Didi menyaksikan kejadian itu.
Hari ini, Rino seperti terbang ke awan. Pujaan hatinya datang tiba-tiba. Membuat semua orang pangling dengan penampilannya.
Semua telah berubah, apa yang dulu dilihat banyak orang tentang Lily, sepertinya akan mulai hilang berkat penampilan baru Lily.Siapapun berhak berubah, siapapun berhak melangkah. Tak ubahnya Lily, Ia berhak merubah dirinya menjadi lebih baik lagi. Menjadi lebih Cantik dari sebelumnya, adalah hal yang lumrah pada wanita manapun, seperti yang Ibunya selalu bilang.
'Jadilah wanita yang cantik, dan juga Mandiri.'
Bab 7"Acara mau dimulai, nanti aku mau nyanyi. Kamu duduk di sana ya sama teman-teman!"Rino mengusap rambut Lily, dibalas dengan anggukan Lily tanpa kata.Tangan Rino menggenggam erat jari mungil Lily, seraya mengajaknya berjalan menyusuri koridor kelas yang panjang.Jantung Rino berdegup kencang, tidak seperti biasanya.Pikiran yang sedari kemarin penat karena menyiapkan acara Pensi, kini telah buyar dan terasa segar.Namun, hatinya berkecamuk memikirkan sesuatu.Bagaimana jika nanti teman-temannya kembali mengolok-olok dia lagi dengan kata yang kurang enak didengar? Rino tak ingin Lily sakit hati ketika mengetahui semua ini.Baginya, apapun yang membuat Lily sakit, harus dijauhkan sejauh mungkin.Rino memejamkan mata sejenak, sebelum alunan musik masuk ke telinganya.Ia sekarang sedang berdiri di atas panggung yang berhiaskan banyak balon.Ratusan pasang mata memandang ke arahnya, disertai Sorak Sorai dan tepuk tanga
Bab 8Rino berlari meninggalkan sepeda motornya, membiarkan tergeletak begitu saja. Berlari menghampiri Lily, memastikan tidak terjadi hal buruk pada Lily.Di alam terbuka seperti ini memang tak menutup kemungkinan banyak binatang liar keluar di malam hari untuk mencari makan.Rino yang sekilas melihat bayangan hitam berlari dari belakang Lily, spontan berteriak agar Lily menghindari binatang tersebut."Kamu gak kenapa-kenapa kan?"Rino memastikan keadaan Lily, seraya melihat sekeliling mereka"Gak kok, cuma kaget. Itu tadi seperti landak deh. Untung kamu teriak, kalau gak.. mungkin aku udah ketabrak tadi".Lily membersihkan celananya yang terkena tanah akibat terjatuh saat menghindari binatang tadi."Itu di depan ada desa. Kita akan segera mendapatkan bensin. Yuk!"Rino mengajak Lily kembali berjalan.Lily menurut. Berjalan di belakang Rino, masih terasa degup kencang jantungnya. Kejadian baru saja
Bab 9 Lily terlihat mengemasi baju-bajunya, memasukkan ke dalam sebuah tas ransel berwarna hitam.Hari ini sudah waktunya Ia kembali ke kota lagi untuk bekerja. Di luar sudah ada Rino yang menunggu untuk mengantarkan Lily ke terminal.Tersaji secangkir teh manis dan singkong goreng buatan Ibunya Lily. Rumah ini sepi. Hanya ada Lily dan Ibu yang sedang membantu Lily di kamar.Rino sudah lama tak berkunjung ke rumah ini, dahulu ada beberapa ekor burung dalam kandang, tergantung di teras rumah ini. Tapi sekarang hanya tinggal satu ekor. Itupun terlihat tak terawat, mungkin Ayah Lily sangat sibuk dengan pekerjaannya hingga tak sempat lagi mengurus hewan peliharaannya. "Reno, udah yuk berangkat. Takut kesiangan, nanti bisa-bisa gak dapet bus loh."Lily berjalan keluar menggendong tas ranselnya. "Oh, ya udah ayo. Masih ada yang ketinggalan gak? Inget-inget dulu biar gak repot nanti!"Rino beranjak dari kursi kayu yang sedari tadi Ia d
Bab 10Pagi gerimis, Rino memarkirkan motor bututnya di parkiran sekolah. Kemudian berjalan santai menuju ruang BK.Tujuannya tak lain adalah, sebagai pengantar surat.Ya, sudah sejak seminggu yang lalu Ia resmi menjadi kurir pribadi Pak Gatot.Tugasnya adalah mengantar surat dari Pak Gatot kepada Yanti, anak Ibu kantin.Begitu pula sebaliknya, Rino akan mengantarkan surat dari Yanti, kepada Pak Gatot.Ini harus Ia lakukan agar aman dari hukuman.Sejak kejadian tempo hari, Rino memilih tidur lebih awal, dari pada menemani Lily bercerita tentang pacarnya.Bel berbunyi, tanda kelas akan segera dimulai.Rino keluar dari ruang BK menuju kelasnya.Jam pertama adalah Kimia, pelajaran yang melelahkan otak.Ini adalah kelemahan Rino, dan di kelas itu hanya ada satu siswa yang mampu mematahkan anggapan bahwa Kimia itu sangat sulit.Dia adalah Anis."Nis.. Anis... Ssttt..."Rino menggoyangkan kursi Anis yang berad
Bab 10Pagi gerimis, Rino memarkirkan motor bututnya di parkiran sekolah. Kemudian berjalan santai menuju ruang BK.Tujuannya tak lain adalah, sebagai pengantar surat.Ya, sudah sejak seminggu yang lalu Ia resmi menjadi kurir pribadi Pak Gatot.Tugasnya adalah mengantar surat dari Pak Gatot kepada Yanti, anak Ibu kantin.Begitu pula sebaliknya, Rino akan mengantarkan surat dari Yanti, kepada Pak Gatot.Ini harus Ia lakukan agar aman dari hukuman.Sejak kejadian tempo hari, Rino memilih tidur lebih awal, dari pada menemani Lily bercerita tentang pacarnya.Bel berbunyi, tanda kelas akan segera dimulai.Rino keluar dari ruang BK menuju kelasnya.Jam pertama adalah Kimia, pelajaran yang melelahkan otak.Ini adalah kelemahan Rino, dan di kelas itu hanya ada satu siswa yang mampu mematahkan anggapan bahwa Kimia itu sangat sulit.Dia adalah Anis."Nis.. Anis... Ssttt..."Rino menggoyangkan kursi Anis yang berad
Bab 11"Kenapa kamu keras kepala? Kenapa kamu gak peduli lagi dengan orangtuamu? Kenapa kamu berubah? Hanya demi cinta bodohmu itu, kau menggadaikan semua kasih sayang di sekitarmu. Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini?"Sebuah pesan singkat tertuju untuk Lily, melalui ponselnya.Rino masih tertegun di dalam kamarnya.Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Hatinya tak berhenti bertanya-tanya apakah Lily baik-baik saja, apakah Lily memilih pendamping yang tepat, apakah.. apakah.. apakah..Semua berputar dalam pikirannya.Serumit ini menjadi dewasa.Beeepp..beeepp..Ponselnya bergetar, Rino segera menyambar dam membuka pesan diterima."Kamu, bukan siapa-siapaku. Ada Hak apa kamu ngurusin hidupku? Urus saja hidupmu sendiri." Pesan balasan dari Lily, semakin membuat Rino sebal.Ternyata selama ini yang Ia perbuat, tak ada harganya di mata Lily.Lalu, bagaimana selama
Bab 12 "Hai,.." Rino menyapa Lily. "Masuk.." Lily mempersilahkan. Rino dan Anis memasuki ruangan bernuansa putih, diletakkannya sekeranjang buah yang sengaja Ia bawa dari rumah, di atas meja sudut ruangan. "Gimana kabar Ibu? Sudah mendingan?" Rino tersenyum menyalami tangan Ibu. "Alhamdulillah, sudah berkurang sakitnya. Paling besok bisa pulang. Ibu sudah sehat sekarang " "Ibu hanya rindu sama Lily berarti ya? He he he.." Rino terkekeh. "Iya, Ibu rindu sama Lily. Sekarang sudah di sini, jadi Ibu sudah sembuh. Ehm.. ini siapa Nak?"Ibu menoleh ke arah Anis. "Saya, Anis Bu. Teman Rino." Jawab Anis. "Dia pacarnya Rino, Bu" Lily menambahkan "Udah bukan, Kak. Kami selesai.". Anis tersenyum. "Lho, kenapa? Padahal kalian serasi. Apakah Rino merepotkanmu?". Seloroh Lily, diikuti tawa kecilnya.Ia heran mengapa cinta sesingkat itu, padahal
Bab 13 "Cukup!" Lily mendorong tubuh Rino. "Gak! ini gak akan cukup untuk mewakili rasaku padamu. Aku bahkan memikirkanmu setiap hari." "Rino, kamu terlalu baik untuk ku dapatkan. Masa depan seperti apa yang kau inginkan dariku?" "Masa depan yang indah tentunya, kita bisa bersama sampai tua. Sampai maut memisahkan kita." "Kamu masih anak SMA. Tau apa kamu soal masa depan hari tua?"Lily menyeka air matanya. "Ly, pliss beri aku kesempatan. Beri aku waktu untuk membuktikan. Aku gak mau kamu disakiti orang lain lagi."Rino menggenggam jemari Lily, meremas perlahan. "Aku sudah gak percaya apa itu cinta. Sebenarnya di balik cinta hanya ada nafsu belaka." Lily menunduk. "Tidak Ly, aku tidak seperti itu. Semua ini benar-benar tulus." "Rino, mendingan sekarang kamu pikirin masa depan kamu sendiri. Mau dibawa kemana nanti, mau jadi apa kamu nanti, mau seperti apa hidupmu nanti. Pikirkan dari sekarang."
Bab 18"Sudah ku cukupkan rasa ini sampai di sini. Seharusnya aku tau, kamu bukan tujuan utamaku.Seharusnya aku tau dari dulu, bahwa aku bukan apa dan siapa di hatimu dan pikiranmu. Maafkan aku yang terlalu berharap, aku sudahi perasaan ini. Tidak ada lagi yang harus kau pikirkan tentang aku. Biar saja semua berlalu begitu saja. Menguap seperti air di lautan, walau aku tahu akan tiba saatnya semua akan kembali tercurah bagaikan hujan.Sudah.Aku harus pergi dari hidupmu. Terimakasih, Lily."Sebuah pesan di ponselnya, membuat Lily terhenyak.Seketika Ia berderai air mata. Semua ini salah paham. Tidak seperti yang Rino lihat, sebenarnya Lily dan Erik hanya sebatas teman. Erik melakukan semua kebaikan itu, karena tanggung jawab telah membuat Lily harus dirawat."Rino, aku gak tahu lagi harus bagaimana. Sedangkan perasaanku sendiri sungguh aneh. Aku takut menyakitimu, tapi ini telah terjadi. Bahkan sebelum kita terikat."Lily masih melamun
Bab 17"Bagaimana aku bisa tertidur di sini?"Lily berusaha bangkit, namun tak bisa. Nyeri di punggungnya masih terasa, bahkan semakin menjadi. Rasanya seperti sedang menggendong beban berat, melebihi berat badannya sendiri.Di samping tempat tidurnya, duduk lelaki yang baru beberapa hari yang lalu menabraknya.Masih terpejam matanya. Tubuh menyender di tembok belakangnya.'Tok. Tok. Tokk..'Suara pintu diketuk dari luar.Erik segera terbangun karena kaget.Ia kemudian berdiri dan melangkah ke arah pintu.Ternyata, Dokter yang akan memeriksa Lily, datang bersama suster."Selamat pagi Lily. Apa kabar? Gimana punggungnya, apa yang dirasakan?"Dokter bertanya sembari akan memeriksa keadaan Lily.Sementara, suster meletakkan makanan dan minuman, serta beberapa obat yang harus diminum pagi ini."Saya merasa punggung saya seperti sedang menggendong beban berat, Dok."Jawab Lily."Lily, sebelumnya
Bab 16 "Telah terukir walau setitik, senyumanmu di hatiku. Meski nanti akan pergi, setidaknya aku pernah menemuimu. Ada rasa dalam jiwa ini, untukmu yang selalu di sampingku. Walau nanti takdir berganti, setidaknya masih tersisa hangat pelukmu. Haruskah beban ini ku pikul sendiri, jika berat Rindu ini semakin menjadi setiap hari?" Lily memandangi fotonya bersama Rino, yang sempat mereka abadikan ketika saat itu mereka berdua berada di pantai. Sejujurnya, hati kecil Lily menginginkan hubungan ini lebih dari pertemanan. Namun pikirannya selalu menolak, Ia sadar semua itu hanya akan membawanya dalam lingkaran sakit hati yang tak ujung henti. Keluarga Rino tau siapa dirinya, gadis desa yang kurang pendidikan. Berasal dari keluarga biasa. Parasnya pun pas-pasan. Tidak ada yang istimewa, yang bisa dibanggakan Rino atas dirinya. Apalagi usianya yang lebih tua dari Rino. Ini adalah hal yang memalukan, mana mungkin Rino
Bab 15"Rino, ya?"Suara seseorang di balik kemudi mengagetkan Rino."Iya, Om." Jawab Rino, polos."Ayo masuk. Saya Edi, adiknya mas Gatot."Ajak orang itu, justru malah sambil membuka pintu mobilnya dan keluar.Kemudian berjalan ke arah belakang, rupanya dia berniat membuka pintu bagasi.Rino membawa barang-barangnya ke bagasi mobil, kemudian Ia masuk mobil dan duduk di samping Pak Edi.Mobil merah tersebut langsung tancap gas menuju ke sebuah rumah di komplek perumahan.Setelah memarkirkan mobilnya, Pak Edi turun. Begitupun Rino.Rino berdecak kagum melihat rumah yang bergaya minimalis itu. Meskipun tidak terlalu besar, namun rumah ini sangat rapi dan asri.Temboknya bercat putih keseluruhan, dengan pintu cokelat bergaya minimalis modern.Banyak tanaman bunga di halaman, mulai dari bunga mawar hingga tanaman menjalar.Di sisi lain, ada sebuah kolam kecil, dengan banyak ikan Koi di dalamnya. Ada pula
Bab 14Rino melangkah masuk ruangan berukuran 3x5 itu. Tanpa babibu, Ia duduk di kursi panjang berwarna coklat muda."Bapak ada perlu apa?" Tanya Rino pada Pak Gatot." Tidak ada perlu, cuma mau kasih tau saja, ini kampus bagus buat kamu. Katanya kamu gak mau nerusin jadi seperti Bapakmu 'kan?"Pak Gatot menyodorkan selembar kertas katalog Universitas."Tapi ini jauh Pak.""Kamu kan laki-laki. Masa' kalah sama kakakmu yang perempuan, dia saja mau ditugaskan ke luar Jawa. Kamu, ke kota saja sudah ngeluh. Laki-laki macam apa kamu?""Sejujurnya saya ragu Pak. Bagaimana jika orang tua saya tidak mengijinkan, dari mana saya harus membayar biaya kuliah?""Rino, dulu saya jualan gorengan setelah selesai jam kuliah. Kalau pas hari libur, saya jualnya full seharian. Saya juga belajar makelar motor, ya demi bisa bayar uang kuliah. Lha wong orang tua saya cuma petani, uangnya tidak banyak, sedangkan saya masih punya adik yang harus dibiayai
Bab 13 "Cukup!" Lily mendorong tubuh Rino. "Gak! ini gak akan cukup untuk mewakili rasaku padamu. Aku bahkan memikirkanmu setiap hari." "Rino, kamu terlalu baik untuk ku dapatkan. Masa depan seperti apa yang kau inginkan dariku?" "Masa depan yang indah tentunya, kita bisa bersama sampai tua. Sampai maut memisahkan kita." "Kamu masih anak SMA. Tau apa kamu soal masa depan hari tua?"Lily menyeka air matanya. "Ly, pliss beri aku kesempatan. Beri aku waktu untuk membuktikan. Aku gak mau kamu disakiti orang lain lagi."Rino menggenggam jemari Lily, meremas perlahan. "Aku sudah gak percaya apa itu cinta. Sebenarnya di balik cinta hanya ada nafsu belaka." Lily menunduk. "Tidak Ly, aku tidak seperti itu. Semua ini benar-benar tulus." "Rino, mendingan sekarang kamu pikirin masa depan kamu sendiri. Mau dibawa kemana nanti, mau jadi apa kamu nanti, mau seperti apa hidupmu nanti. Pikirkan dari sekarang."
Bab 12 "Hai,.." Rino menyapa Lily. "Masuk.." Lily mempersilahkan. Rino dan Anis memasuki ruangan bernuansa putih, diletakkannya sekeranjang buah yang sengaja Ia bawa dari rumah, di atas meja sudut ruangan. "Gimana kabar Ibu? Sudah mendingan?" Rino tersenyum menyalami tangan Ibu. "Alhamdulillah, sudah berkurang sakitnya. Paling besok bisa pulang. Ibu sudah sehat sekarang " "Ibu hanya rindu sama Lily berarti ya? He he he.." Rino terkekeh. "Iya, Ibu rindu sama Lily. Sekarang sudah di sini, jadi Ibu sudah sembuh. Ehm.. ini siapa Nak?"Ibu menoleh ke arah Anis. "Saya, Anis Bu. Teman Rino." Jawab Anis. "Dia pacarnya Rino, Bu" Lily menambahkan "Udah bukan, Kak. Kami selesai.". Anis tersenyum. "Lho, kenapa? Padahal kalian serasi. Apakah Rino merepotkanmu?". Seloroh Lily, diikuti tawa kecilnya.Ia heran mengapa cinta sesingkat itu, padahal
Bab 11"Kenapa kamu keras kepala? Kenapa kamu gak peduli lagi dengan orangtuamu? Kenapa kamu berubah? Hanya demi cinta bodohmu itu, kau menggadaikan semua kasih sayang di sekitarmu. Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini?"Sebuah pesan singkat tertuju untuk Lily, melalui ponselnya.Rino masih tertegun di dalam kamarnya.Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Hatinya tak berhenti bertanya-tanya apakah Lily baik-baik saja, apakah Lily memilih pendamping yang tepat, apakah.. apakah.. apakah..Semua berputar dalam pikirannya.Serumit ini menjadi dewasa.Beeepp..beeepp..Ponselnya bergetar, Rino segera menyambar dam membuka pesan diterima."Kamu, bukan siapa-siapaku. Ada Hak apa kamu ngurusin hidupku? Urus saja hidupmu sendiri." Pesan balasan dari Lily, semakin membuat Rino sebal.Ternyata selama ini yang Ia perbuat, tak ada harganya di mata Lily.Lalu, bagaimana selama
Bab 10Pagi gerimis, Rino memarkirkan motor bututnya di parkiran sekolah. Kemudian berjalan santai menuju ruang BK.Tujuannya tak lain adalah, sebagai pengantar surat.Ya, sudah sejak seminggu yang lalu Ia resmi menjadi kurir pribadi Pak Gatot.Tugasnya adalah mengantar surat dari Pak Gatot kepada Yanti, anak Ibu kantin.Begitu pula sebaliknya, Rino akan mengantarkan surat dari Yanti, kepada Pak Gatot.Ini harus Ia lakukan agar aman dari hukuman.Sejak kejadian tempo hari, Rino memilih tidur lebih awal, dari pada menemani Lily bercerita tentang pacarnya.Bel berbunyi, tanda kelas akan segera dimulai.Rino keluar dari ruang BK menuju kelasnya.Jam pertama adalah Kimia, pelajaran yang melelahkan otak.Ini adalah kelemahan Rino, dan di kelas itu hanya ada satu siswa yang mampu mematahkan anggapan bahwa Kimia itu sangat sulit.Dia adalah Anis."Nis.. Anis... Ssttt..."Rino menggoyangkan kursi Anis yang berad