Askara berusaha mendekat meski beberapa kali jatuh terjerembab. Mencoba menghentikan cindaku yang hendak melukai Dalu. Meskipun ia tahu, jika dirinya terlambat.
Graaa ...!
Dalu panik, anak itu berusaha lari dan menghindar. Sayang di sela larinya itu, cindaku berhasil menerkamnya. Langsung saja si monster mengigit dan mengoyak area bahu dan leher Dalu sampai terambil sebagian dagingnya. Darah pun seketika banjir di sekujur tubuh anak itu. Dalu memekik kencang, merasakan dahsyatnya rasa sakit yang diakibatkan cabikan gigi cindaku.
Sampai akhirnya Askara mematung kala mendengar erangan Dalu yang cukup memekikkan telinga. Suara anak itu terdengar menyakitkan sampai tembus ke ulu hatinya. Pemuda itu membisu, melihat Dalu yang sudah terkapar bermandikan darah.
'Tidak!'
'Mustahil ...'
"D-Dalu ...?" katanya terbata-bata.
Amarah pun seketika membara, Askara sampai menggertakkan giginya murka. Seketika tubuh pemuda itu menyerap energi an
Hai , salam dari Author Bill👋 Terimakasih karena sudah setia mengikuti novel "Cindaku Sang Penguasa" Mohon dukungannya dengan memberikan vote dan gem jika kalian menyukai cerita ini Untuk menemukan berbagai karya Bill lainnya, kalian bisa ikuti akun sosial media (inst*gr*m) @bill__ibil untuk memantau cerita serupa Hope you enjoy it Thank you
"Dalu!" pekik Askara saat ia bangun dari pembaringan. Terheran-heran, pemuda itu mengedarkan pandangan dan sedikit terkejut mendapati dirinya duduk di hamparan rumput kecil. Ada air terjun yang alirannya jernih dan menangkan hati. Namun saat Askara melihat deretan bunga wisteria ungu berjejer di sana, ia pun menyadari bahwa dirinya terbangun di sebuah tempat."Tempat ini?" Lagi-lagi bunyi seruling sunda mengalun di sekitar sana. Askara kini tak kaget lagi setelah perbincangan dengan seorang pria hari itu. Di sini, di tempat yang sama ia juga mendengar alunan seruling seperti ini dulu.Artinya, Askara kembali membuka gerbang alam bawah sadarnya."Kau baik-baik saja?"Askara terperanjat seketika. Bagaimana tidak? Tiba-tiba seorang pria berkumis tipis dengan ikat kepala bercorak mega mendung, mendadak muncul dan duduk di sampingnya. Padahal sedari tadi ia sibuk mengedarkan mata, dan tidak ada siapapun sebelumnya.Karena Askara tertegun cukup lama, pri
"Aska."Seruan itu membuat Askara membuka mata, pemandangan pertama yang ia lihat pertama kali adalah langit-langit gua. Berbaring di atas ranjang bambu dan tak bertenaga, kepalanya berkunang-kunang seakan baru bangun dari mimpi yang panjang."I-ini ..." lirihnya saat menyadari keberadaan bak air di ujung sana. Tak salah lagi, dia kini sudah berada di gua kediaman sepuhnya, Dwara."Akhirnya kau sadar juga." Askara melirik lewat ekor mata, ada Dwara di sampingnya yang duduk menemani. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya sang sepuh lagi.Askara diam saja. Matanya berdalih menatap corak tak beraturan langit gua. Tidak, lebih tepatnya Askara menatap kosong objek di sekitar. Pikirannya pasti meracau, belum bisa melupakan tragedi Dalu yang menambah luka akan kepergian Ashoka."Kau membuatku khawatir. Tapi syukurlah kau akhirnya selamat.""Dalu ... " rintih Askara tertatih sambil berusaha keras untuk bangun. Dwara membantu pemuda itu supaya bisa
"Maafkan aku, Dalu ..."Terhitung satu jam lamanya, Askara duduk termenung menghadap pemakaman Dalu yang terletak di bawah bukit pasir nagog. Sedikit meratapi kepergian anak itu, namun ia memaksakan diri untuk kuat. Ambisinya tidak akan tercapai bila lemah dan mudah menangis. Tragedi naas yang menimpa Dalu dan Ashoka cukup jadi tamparan keras, menuntutnya untuk senantiasa tegar dalam menghadapi masalah.Tak lupa juga ia meletakkan seikat bunga di atas tanah kuburan baru itu. Di sela ia menghela napas panjang, Askara bergumam sendiri seolah mengajak kuburan Dalu berbicara."Meskipun pertemuan kita terbilang singkat, aku tidak akan pernah melupakanmu.""Kau pasti senang di alam sana karena bisa bertemu orang tuamu.""Lain denganku yang harus menjalani hidup di dunia tanpa Ayah dan Ibu." Kerut bibir Askara memang tersenyum namun seakan dipaksakan. Lelaki itu memang tengah getir saat ini.Lamunan itu buyar seketika saat ia berniat kembali
Seharian ini, Askara sibuk mengagumi keindahan pusaka yang dipegangnya. Pusaka itu melengkung bak clurit, juga dihiasi tiga mata lubang yang menambah kesan sakral senjata itu. Entah kenapa alasannya, tetapi pemuda itu berangan jauh menjadi pendekar adiwira hebat menggunakan mata biru dan kujang itu. Padahal untuk seukuran manusia yang diilhami mata biru sepertinya, diperlukan latihan setengah mati untuk mendapat julukan urat kawat tulang baja. Ia sangat semangat berantusias ingin berlatih menggunakan kujang untuk pelatihan hari ini. Padahal Dwara memintanya untuk istirahat pasca pertarungan dengan cindaku yang terjadi beberapa hari lalu. Namun karena memaksa, akhirnya sang sepuh memberikan pelatihan ringan terlebih dahulu. Askara diminta memotong sepuluh batang pohon pisang mengunakan kujang miliknya dalam waktu sepuluh detik. Awalnya Askara termangu mendengar kalimat 'sepuluh detik'. Berarti satu bahan pohon pisang harus ia tebas dalam kurun waktu ku
"Bagaimana ini?" Dengan napas terenggah-enggah, Askara masih berdiri di depan batang pohon pisang yang tercabik kusut. Batang itu perlahan kembali ke wujud semula, membuat Askara jengkel karena tidak mampu menumbangkannya.Pemuda itu melirik sekitarnya, ia hanya mampu menumbangkan lima pohon pisang saja dalam kurun waktu seharian. Hanya lima. Tidak sesuai dengan apa yang dimintakan sang sepuh, selisihnya terlampau jauh."Apa aku bisa?" Askara mulai meragukan dirinya sendiri. Pasalnya Dwara memintanya untuk menebas sepuluh pohon pisang dalam waktu sepuluh detik. Sedangkan ia hanya bisa memotong lima, itupun dilakukan seharian.Askara berakhir duduk bersimbah, lelaki itu menghela napas berat. Berada di ambang keputusasaan karena diselimuti keraguan. Dalam nurani ia merenungi seputar pertanyaan akan keakuratan pusaka yang dipegangnya itu.'Senjata ini sangat cantik dan indah, tetapi kenapa sangat sulit di
Memikirkan perkataan Dwara tadi, Askara terus berlatih sampai hari menjelang malam. Ia tak henti untuk mengayunkan kujang guna menebas pohon pisang bersihir itu. Memang pohon itu sempat kembali ke bentuk semula, tak berhasil tumbang. Namun sepuluh pohon pisang itu pada akhirnya berhasil tumbang berkat kegigihannya yang kuat. "Memalukan," gerutu Askara saat waktunya melepas penat. "Padahal hanya pohon pisang, tapi kujang ini tak mampu menebangnya dengan cepat." Dwara mengatakan, jika Askara mampu membaca gerakan cindaku saat pertarungan kemarin, maka ia sudah memahami fungsi dari konsentrasi tingkat tinggi. Ia hendak mencobanya lagi pada kujangnya itu. Apalagi, pusaka itu hasil jerih saat berusaha menjinakkannya. Mungkin sekarang pun bisa. "Aku harus mengumpulkan konsentrasi tinggi, supaya menyalurkan energi pada kujang ini," ucapnya antusias. "Benar juga. Pelepasan energi. Akan kucoba." Sebelumnya Askara mencari lahan pohon pisang baru lagi, m
"Adududuh sakit ..." ringis Askara sambil terus mengusap-usap pucuk kepalanya yang terasa berdenyut sakit. Sebelumnya Askara terkena jitak maut Dwara karena dianggap telah menyinggung. Bukan menyinggung, lebih tepatnya mengejek sang Sepuh secara tidak langsung melalui pertanyaan konyolnya itu. Wajar jika pria itu agak sensitif, pasalnya Askara bertanya soal kondisi pinggang Dwara setelah refleks loncat-loncat. Dikira Dwara adalah pria tua yang mudah sakit otot, pantas saja kena amukan. Sepuh pendekar Adiwira sekelas Dwara dianggap pria dengan pinggang yang encok? Yang benar saja. "Ahihi ... Tapi tak apa. Setidaknya aku pernah melihat Sepuh bertingkah konyol," ujarnya disertai cekikikan kecil. Membayangkan wajah aib sang sepuh tadi menjadikan hiburan tersendiri baginya. Kini pemuda itu beralih pada deretan pohon berakar tunggang. Di mana batangnya pun cukup kuat untuk dijadikan alat percobaan. Askara kembali menebaskan kujangnya, namun kali ini tak ter
Cindaku macan tutul. Melihat totol hitam yang menyebar di sekujur makhluk itu, cukup meyakinkan Askara jika sosok di depannya kini adalah manusia setengah macan tutul. Wajah dan tubuh sekilas terstruktur bagai kerangka manusia, namun rupa kucing lebih mendominasi sehingga wujudnya lebih ke macan jadi-jadian. Askara bahkan tercengang mendapati otot perut dan otot tangan cindaku itu terbentuk sempurna —yang bahkan ia sendiri tidak memilikinya. Teringat akan kemalangan Dalu dan Ashoka yang diakibatkan nyalinya yang lemah, Askara kini berdiri tegap dan tak gentar. Ia bertekad mengalahkan makhluk itu meski kemampuan masih terbilang masih jauh dari kata hebat. Askara siap siaga dengan mengacungkan pusaka melengkung dengan tiga mata pisau itu pada si monster. Cindaku terlihat menggeram, menggertakkan gigi-gigi taringnya dilanjut mengaum sampai membisingkan sekitar. 'Ayo Askara, kau pasti bisa. Sebelumnya kau sudah berhasil mengalahkan cindaku juga.'