Share

20. Napak Hawa

Penulis: Bill
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-15 19:24:29

"Jadi? Sampai sekarang kau masih belum menguasai jurus Napak Hawa ya?" Dwara berpangku tangan di dadanya, memandang muridnya yang sedari tadi hanya menunduk sambil terus menggaruk kepala.

"Begitulah, Sepuh." Askara membuang nafas gusar. "Aku tidak ingat bagaimana hari itu bisa melakukannya. Padahal sedang dalam pelatihan Napak Banyu."

Dwara berdeham, ia tahu apa yang menjadi kendala Askara saat berlatih. "Konsentrasi. Itu kuncinya. Dari dulu kau selalu berputar-putar dalam masalah itu saja."

"Ha? Apa iya aku kurang konsentrasi?" Askara menggulirkan matanya ke atas, tak yakin dengan ucapan sang guru. Ia sempat bertanya dalam benak sendiri, 'apa mungkin karena Dalu? Memang sih. Semenjak ada dia aku jadi susah konsentrasi.'

"O ya, aku lihat ada anak kecil yang selalu menemani latihanmu. Siapa dia?"

Askara terkejut, ternyata sepuhnya itu sudah tahu perihal Dalu. "Eung ... Dia anak terlantar, y

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cindaku Sang Penguasa   21. Di balik Rimbunan

    Dalu dan Askara kini berjalan menyusuri hutan yang penuh akan rerimbunan pohon. Ranting dan dedaunan di sana sangat lebat sampai sinar matahari pun sulit menembus isi hutan. Kondisi sekitaran terasa lembab dan berair, bahkan Askara beberapa kali hampir terpeleset karena ceroboh saat berjalan. Karena kebutuhan hidup, keduanya harus menyebrang ke kawasan barat hutan hitam, kembali masuk ke dunia peradaban manusia guna membeli beberapa makanan. Meski hidup di kawasan barat hutan hitam yang didominasi sihir, tetap saja mereka itu manusia. Sandang dan pangan menjadi mutlak kebutuhan manusia, meskipun sebagian dari mereka terlahir istimewa dengan kekuatan. Manusia penghuni kawasan timur (para pendekar adiwira) sering kali menyebrang ke kawasan barat dan berbaur dengan manusia biasa. Mereka juga menjalani beberapa kegiatan seperti jual beli dan belajar mengajar. Hanya saja, para pendekar adiwira selalu menyembunyikan identitas mereka guna keamanan area barat. Itu semua kare

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-26
  • Cindaku Sang Penguasa   22. Perenggut Nyawa

    'Sialan! Itu cindaku,' pikir Askara yang sempat-sempatnya mengumpat dalam nurani. Entah kenapa untuk menelan ludah pun terasa sulit saking gemetar tubuhnya.Selangkah dua langkah, Askara kian mundur disertai Dalu yang bersembunyi di balik punggungnya. Bersamaan dengan itu, cindaku ikut melangkah maju. Berjalan tegap namun tak sempurna bak seekor kera, hanya saja rupanya membentuk harimau dengan lengan berotot mirip manusia.Cindaku yang kian mendekat itu terdengar menggeram kencang, deretan gigi tajamnya menyembul dan menakuti dua insan yang berdiri beberapa jarak di depannya."Dengarkan aku Dalu, kau lari sejauh mungkin dari sini saat aku menghalau monster itu," gumam Askara tanpa menoleh ke belakang."T-tapi Kak ... Itu –""Pergi!" Sekali lagi Askara memerintah dengan penuh penekanan. Langsung saja, Dalu mundur perlahan-lahan sebelum akhirnya berbalik badan. Lantas ia memacu lari sekencang mungkin guna menjauh.Graaa!Cindaku

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-04
  • Cindaku Sang Penguasa   23. Senandung Penenang

    Askara berusaha mendekat meski beberapa kali jatuh terjerembab. Mencoba menghentikan cindaku yang hendak melukai Dalu. Meskipun ia tahu, jika dirinya terlambat. Graaa ...! Dalu panik, anak itu berusaha lari dan menghindar. Sayang di sela larinya itu, cindaku berhasil menerkamnya. Langsung saja si monster mengigit dan mengoyak area bahu dan leher Dalu sampai terambil sebagian dagingnya. Darah pun seketika banjir di sekujur tubuh anak itu. Dalu memekik kencang, merasakan dahsyatnya rasa sakit yang diakibatkan cabikan gigi cindaku. Sampai akhirnya Askara mematung kala mendengar erangan Dalu yang cukup memekikkan telinga. Suara anak itu terdengar menyakitkan sampai tembus ke ulu hatinya. Pemuda itu membisu, melihat Dalu yang sudah terkapar bermandikan darah. 'Tidak!' 'Mustahil ...' "D-Dalu ...?" katanya terbata-bata. Amarah pun seketika membara, Askara sampai menggertakkan giginya murka. Seketika tubuh pemuda itu menyerap energi an

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-05
  • Cindaku Sang Penguasa   24. Bukan Monster?

    "Dalu!" pekik Askara saat ia bangun dari pembaringan. Terheran-heran, pemuda itu mengedarkan pandangan dan sedikit terkejut mendapati dirinya duduk di hamparan rumput kecil. Ada air terjun yang alirannya jernih dan menangkan hati. Namun saat Askara melihat deretan bunga wisteria ungu berjejer di sana, ia pun menyadari bahwa dirinya terbangun di sebuah tempat."Tempat ini?" Lagi-lagi bunyi seruling sunda mengalun di sekitar sana. Askara kini tak kaget lagi setelah perbincangan dengan seorang pria hari itu. Di sini, di tempat yang sama ia juga mendengar alunan seruling seperti ini dulu.Artinya, Askara kembali membuka gerbang alam bawah sadarnya."Kau baik-baik saja?"Askara terperanjat seketika. Bagaimana tidak? Tiba-tiba seorang pria berkumis tipis dengan ikat kepala bercorak mega mendung, mendadak muncul dan duduk di sampingnya. Padahal sedari tadi ia sibuk mengedarkan mata, dan tidak ada siapapun sebelumnya.Karena Askara tertegun cukup lama, pri

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-07
  • Cindaku Sang Penguasa   25. Tanda Pundak

    "Aska."Seruan itu membuat Askara membuka mata, pemandangan pertama yang ia lihat pertama kali adalah langit-langit gua. Berbaring di atas ranjang bambu dan tak bertenaga, kepalanya berkunang-kunang seakan baru bangun dari mimpi yang panjang."I-ini ..." lirihnya saat menyadari keberadaan bak air di ujung sana. Tak salah lagi, dia kini sudah berada di gua kediaman sepuhnya, Dwara."Akhirnya kau sadar juga." Askara melirik lewat ekor mata, ada Dwara di sampingnya yang duduk menemani. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya sang sepuh lagi.Askara diam saja. Matanya berdalih menatap corak tak beraturan langit gua. Tidak, lebih tepatnya Askara menatap kosong objek di sekitar. Pikirannya pasti meracau, belum bisa melupakan tragedi Dalu yang menambah luka akan kepergian Ashoka."Kau membuatku khawatir. Tapi syukurlah kau akhirnya selamat.""Dalu ... " rintih Askara tertatih sambil berusaha keras untuk bangun. Dwara membantu pemuda itu supaya bisa

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-09
  • Cindaku Sang Penguasa   26. Kujang Macan

    "Maafkan aku, Dalu ..."Terhitung satu jam lamanya, Askara duduk termenung menghadap pemakaman Dalu yang terletak di bawah bukit pasir nagog. Sedikit meratapi kepergian anak itu, namun ia memaksakan diri untuk kuat. Ambisinya tidak akan tercapai bila lemah dan mudah menangis. Tragedi naas yang menimpa Dalu dan Ashoka cukup jadi tamparan keras, menuntutnya untuk senantiasa tegar dalam menghadapi masalah.Tak lupa juga ia meletakkan seikat bunga di atas tanah kuburan baru itu. Di sela ia menghela napas panjang, Askara bergumam sendiri seolah mengajak kuburan Dalu berbicara."Meskipun pertemuan kita terbilang singkat, aku tidak akan pernah melupakanmu.""Kau pasti senang di alam sana karena bisa bertemu orang tuamu.""Lain denganku yang harus menjalani hidup di dunia tanpa Ayah dan Ibu." Kerut bibir Askara memang tersenyum namun seakan dipaksakan. Lelaki itu memang tengah getir saat ini.Lamunan itu buyar seketika saat ia berniat kembali

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-10
  • Cindaku Sang Penguasa   27. Bayangan Pelatihan

    Seharian ini, Askara sibuk mengagumi keindahan pusaka yang dipegangnya. Pusaka itu melengkung bak clurit, juga dihiasi tiga mata lubang yang menambah kesan sakral senjata itu. Entah kenapa alasannya, tetapi pemuda itu berangan jauh menjadi pendekar adiwira hebat menggunakan mata biru dan kujang itu. Padahal untuk seukuran manusia yang diilhami mata biru sepertinya, diperlukan latihan setengah mati untuk mendapat julukan urat kawat tulang baja. Ia sangat semangat berantusias ingin berlatih menggunakan kujang untuk pelatihan hari ini. Padahal Dwara memintanya untuk istirahat pasca pertarungan dengan cindaku yang terjadi beberapa hari lalu. Namun karena memaksa, akhirnya sang sepuh memberikan pelatihan ringan terlebih dahulu. Askara diminta memotong sepuluh batang pohon pisang mengunakan kujang miliknya dalam waktu sepuluh detik. Awalnya Askara termangu mendengar kalimat 'sepuluh detik'. Berarti satu bahan pohon pisang harus ia tebas dalam kurun waktu ku

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-12
  • Cindaku Sang Penguasa   28. Tingkatan Terlemah

    "Bagaimana ini?" Dengan napas terenggah-enggah, Askara masih berdiri di depan batang pohon pisang yang tercabik kusut. Batang itu perlahan kembali ke wujud semula, membuat Askara jengkel karena tidak mampu menumbangkannya.Pemuda itu melirik sekitarnya, ia hanya mampu menumbangkan lima pohon pisang saja dalam kurun waktu seharian. Hanya lima. Tidak sesuai dengan apa yang dimintakan sang sepuh, selisihnya terlampau jauh."Apa aku bisa?" Askara mulai meragukan dirinya sendiri. Pasalnya Dwara memintanya untuk menebas sepuluh pohon pisang dalam waktu sepuluh detik. Sedangkan ia hanya bisa memotong lima, itupun dilakukan seharian.Askara berakhir duduk bersimbah, lelaki itu menghela napas berat. Berada di ambang keputusasaan karena diselimuti keraguan. Dalam nurani ia merenungi seputar pertanyaan akan keakuratan pusaka yang dipegangnya itu.'Senjata ini sangat cantik dan indah, tetapi kenapa sangat sulit di

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-15

Bab terbaru

  • Cindaku Sang Penguasa   142. Salah Tingkah

    Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La

  • Cindaku Sang Penguasa   141. Jangan Pergi

    Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se

  • Cindaku Sang Penguasa   140. Keturunan Istimewa

    Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b

  • Cindaku Sang Penguasa   139. Menebus Dosa

    Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti

  • Cindaku Sang Penguasa   138. Tahap Pemulihan

    "Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?

  • Cindaku Sang Penguasa   137. Tanda Segel Pundak

    Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany

  • Cindaku Sang Penguasa   136. Raja Ghaib

    "Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting

  • Cindaku Sang Penguasa   135. Tanda Menjalar

    Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu

  • Cindaku Sang Penguasa   134. Perkelahian Sesama Rekan

    "Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam

DMCA.com Protection Status