"Jadi? Sampai sekarang kau masih belum menguasai jurus Napak Hawa ya?" Dwara berpangku tangan di dadanya, memandang muridnya yang sedari tadi hanya menunduk sambil terus menggaruk kepala.
"Begitulah, Sepuh." Askara membuang nafas gusar. "Aku tidak ingat bagaimana hari itu bisa melakukannya. Padahal sedang dalam pelatihan Napak Banyu."
Dwara berdeham, ia tahu apa yang menjadi kendala Askara saat berlatih. "Konsentrasi. Itu kuncinya. Dari dulu kau selalu berputar-putar dalam masalah itu saja."
"Ha? Apa iya aku kurang konsentrasi?" Askara menggulirkan matanya ke atas, tak yakin dengan ucapan sang guru. Ia sempat bertanya dalam benak sendiri, 'apa mungkin karena Dalu? Memang sih. Semenjak ada dia aku jadi susah konsentrasi.'
"O ya, aku lihat ada anak kecil yang selalu menemani latihanmu. Siapa dia?"
Askara terkejut, ternyata sepuhnya itu sudah tahu perihal Dalu. "Eung ... Dia anak terlantar, y
Dalu dan Askara kini berjalan menyusuri hutan yang penuh akan rerimbunan pohon. Ranting dan dedaunan di sana sangat lebat sampai sinar matahari pun sulit menembus isi hutan. Kondisi sekitaran terasa lembab dan berair, bahkan Askara beberapa kali hampir terpeleset karena ceroboh saat berjalan. Karena kebutuhan hidup, keduanya harus menyebrang ke kawasan barat hutan hitam, kembali masuk ke dunia peradaban manusia guna membeli beberapa makanan. Meski hidup di kawasan barat hutan hitam yang didominasi sihir, tetap saja mereka itu manusia. Sandang dan pangan menjadi mutlak kebutuhan manusia, meskipun sebagian dari mereka terlahir istimewa dengan kekuatan. Manusia penghuni kawasan timur (para pendekar adiwira) sering kali menyebrang ke kawasan barat dan berbaur dengan manusia biasa. Mereka juga menjalani beberapa kegiatan seperti jual beli dan belajar mengajar. Hanya saja, para pendekar adiwira selalu menyembunyikan identitas mereka guna keamanan area barat. Itu semua kare
'Sialan! Itu cindaku,' pikir Askara yang sempat-sempatnya mengumpat dalam nurani. Entah kenapa untuk menelan ludah pun terasa sulit saking gemetar tubuhnya.Selangkah dua langkah, Askara kian mundur disertai Dalu yang bersembunyi di balik punggungnya. Bersamaan dengan itu, cindaku ikut melangkah maju. Berjalan tegap namun tak sempurna bak seekor kera, hanya saja rupanya membentuk harimau dengan lengan berotot mirip manusia.Cindaku yang kian mendekat itu terdengar menggeram kencang, deretan gigi tajamnya menyembul dan menakuti dua insan yang berdiri beberapa jarak di depannya."Dengarkan aku Dalu, kau lari sejauh mungkin dari sini saat aku menghalau monster itu," gumam Askara tanpa menoleh ke belakang."T-tapi Kak ... Itu –""Pergi!" Sekali lagi Askara memerintah dengan penuh penekanan. Langsung saja, Dalu mundur perlahan-lahan sebelum akhirnya berbalik badan. Lantas ia memacu lari sekencang mungkin guna menjauh.Graaa!Cindaku
Askara berusaha mendekat meski beberapa kali jatuh terjerembab. Mencoba menghentikan cindaku yang hendak melukai Dalu. Meskipun ia tahu, jika dirinya terlambat. Graaa ...! Dalu panik, anak itu berusaha lari dan menghindar. Sayang di sela larinya itu, cindaku berhasil menerkamnya. Langsung saja si monster mengigit dan mengoyak area bahu dan leher Dalu sampai terambil sebagian dagingnya. Darah pun seketika banjir di sekujur tubuh anak itu. Dalu memekik kencang, merasakan dahsyatnya rasa sakit yang diakibatkan cabikan gigi cindaku. Sampai akhirnya Askara mematung kala mendengar erangan Dalu yang cukup memekikkan telinga. Suara anak itu terdengar menyakitkan sampai tembus ke ulu hatinya. Pemuda itu membisu, melihat Dalu yang sudah terkapar bermandikan darah. 'Tidak!' 'Mustahil ...' "D-Dalu ...?" katanya terbata-bata. Amarah pun seketika membara, Askara sampai menggertakkan giginya murka. Seketika tubuh pemuda itu menyerap energi an
"Dalu!" pekik Askara saat ia bangun dari pembaringan. Terheran-heran, pemuda itu mengedarkan pandangan dan sedikit terkejut mendapati dirinya duduk di hamparan rumput kecil. Ada air terjun yang alirannya jernih dan menangkan hati. Namun saat Askara melihat deretan bunga wisteria ungu berjejer di sana, ia pun menyadari bahwa dirinya terbangun di sebuah tempat."Tempat ini?" Lagi-lagi bunyi seruling sunda mengalun di sekitar sana. Askara kini tak kaget lagi setelah perbincangan dengan seorang pria hari itu. Di sini, di tempat yang sama ia juga mendengar alunan seruling seperti ini dulu.Artinya, Askara kembali membuka gerbang alam bawah sadarnya."Kau baik-baik saja?"Askara terperanjat seketika. Bagaimana tidak? Tiba-tiba seorang pria berkumis tipis dengan ikat kepala bercorak mega mendung, mendadak muncul dan duduk di sampingnya. Padahal sedari tadi ia sibuk mengedarkan mata, dan tidak ada siapapun sebelumnya.Karena Askara tertegun cukup lama, pri
"Aska."Seruan itu membuat Askara membuka mata, pemandangan pertama yang ia lihat pertama kali adalah langit-langit gua. Berbaring di atas ranjang bambu dan tak bertenaga, kepalanya berkunang-kunang seakan baru bangun dari mimpi yang panjang."I-ini ..." lirihnya saat menyadari keberadaan bak air di ujung sana. Tak salah lagi, dia kini sudah berada di gua kediaman sepuhnya, Dwara."Akhirnya kau sadar juga." Askara melirik lewat ekor mata, ada Dwara di sampingnya yang duduk menemani. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya sang sepuh lagi.Askara diam saja. Matanya berdalih menatap corak tak beraturan langit gua. Tidak, lebih tepatnya Askara menatap kosong objek di sekitar. Pikirannya pasti meracau, belum bisa melupakan tragedi Dalu yang menambah luka akan kepergian Ashoka."Kau membuatku khawatir. Tapi syukurlah kau akhirnya selamat.""Dalu ... " rintih Askara tertatih sambil berusaha keras untuk bangun. Dwara membantu pemuda itu supaya bisa
"Maafkan aku, Dalu ..."Terhitung satu jam lamanya, Askara duduk termenung menghadap pemakaman Dalu yang terletak di bawah bukit pasir nagog. Sedikit meratapi kepergian anak itu, namun ia memaksakan diri untuk kuat. Ambisinya tidak akan tercapai bila lemah dan mudah menangis. Tragedi naas yang menimpa Dalu dan Ashoka cukup jadi tamparan keras, menuntutnya untuk senantiasa tegar dalam menghadapi masalah.Tak lupa juga ia meletakkan seikat bunga di atas tanah kuburan baru itu. Di sela ia menghela napas panjang, Askara bergumam sendiri seolah mengajak kuburan Dalu berbicara."Meskipun pertemuan kita terbilang singkat, aku tidak akan pernah melupakanmu.""Kau pasti senang di alam sana karena bisa bertemu orang tuamu.""Lain denganku yang harus menjalani hidup di dunia tanpa Ayah dan Ibu." Kerut bibir Askara memang tersenyum namun seakan dipaksakan. Lelaki itu memang tengah getir saat ini.Lamunan itu buyar seketika saat ia berniat kembali
Seharian ini, Askara sibuk mengagumi keindahan pusaka yang dipegangnya. Pusaka itu melengkung bak clurit, juga dihiasi tiga mata lubang yang menambah kesan sakral senjata itu. Entah kenapa alasannya, tetapi pemuda itu berangan jauh menjadi pendekar adiwira hebat menggunakan mata biru dan kujang itu. Padahal untuk seukuran manusia yang diilhami mata biru sepertinya, diperlukan latihan setengah mati untuk mendapat julukan urat kawat tulang baja. Ia sangat semangat berantusias ingin berlatih menggunakan kujang untuk pelatihan hari ini. Padahal Dwara memintanya untuk istirahat pasca pertarungan dengan cindaku yang terjadi beberapa hari lalu. Namun karena memaksa, akhirnya sang sepuh memberikan pelatihan ringan terlebih dahulu. Askara diminta memotong sepuluh batang pohon pisang mengunakan kujang miliknya dalam waktu sepuluh detik. Awalnya Askara termangu mendengar kalimat 'sepuluh detik'. Berarti satu bahan pohon pisang harus ia tebas dalam kurun waktu ku
"Bagaimana ini?" Dengan napas terenggah-enggah, Askara masih berdiri di depan batang pohon pisang yang tercabik kusut. Batang itu perlahan kembali ke wujud semula, membuat Askara jengkel karena tidak mampu menumbangkannya.Pemuda itu melirik sekitarnya, ia hanya mampu menumbangkan lima pohon pisang saja dalam kurun waktu seharian. Hanya lima. Tidak sesuai dengan apa yang dimintakan sang sepuh, selisihnya terlampau jauh."Apa aku bisa?" Askara mulai meragukan dirinya sendiri. Pasalnya Dwara memintanya untuk menebas sepuluh pohon pisang dalam waktu sepuluh detik. Sedangkan ia hanya bisa memotong lima, itupun dilakukan seharian.Askara berakhir duduk bersimbah, lelaki itu menghela napas berat. Berada di ambang keputusasaan karena diselimuti keraguan. Dalam nurani ia merenungi seputar pertanyaan akan keakuratan pusaka yang dipegangnya itu.'Senjata ini sangat cantik dan indah, tetapi kenapa sangat sulit di